80 BAB IV TEORI ROSTOW DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA A. Latar Belakang Teori Modernisasi Rostow 1. Latar Belakang Lahirnya Teori Modernisasi Modernisasi merupakan satu istilah yang menjadi mode setelah Perang Dunia II (Beling & Totten, 3: 1980). Paling tidak menurut tokoh-tokoh Amerika Serikat, terjadi akibat produk sejarah tiga peristiwa penting setelah Perang Dunia II (Suwarsono & So, 7: 2006). Ketiga peristiwa tersebut adalah, Pertama, munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia. Sekalipun negara- negara Barat lainnya, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman semakin melemah setelah perang dunia II, Amerika Serikat justru menjadi pemimpin dunia sejak pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan untuk membangun kembali Eropa Barat akibat Perang Dunia II. Kedua, pada saat yang hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja sampai Eropa Timur, tetapi juga sampai di Asia, antara lain di Cina dan Korea. Keadaan tersebut secara tidak langsung mendorong AS untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat sebagai upaya pembendungan penyebaran ideologi komunisme. Ketiga, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan daerah jajahan negara-negara Eropa. Negara-negara baru ini secara serempak mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan sebagai
97
Embed
BAB IV TEORI ROSTOW DALAM PEMBANGUNAN INDONESIAa-research.upi.edu/operator/upload/s_sej_033505_bab_4.pdf · TEORI ROSTOW DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA A. Latar Belakang Teori Modernisasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
80
BAB IV
TEORI ROSTOW DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA
A. Latar Belakang Teori Modernisasi Rostow
1. Latar Belakang Lahirnya Teori Modernisasi
Modernisasi merupakan satu istilah yang menjadi mode setelah Perang
Dunia II (Beling & Totten, 3: 1980). Paling tidak menurut tokoh-tokoh Amerika
Serikat, terjadi akibat produk sejarah tiga peristiwa penting setelah Perang Dunia
II (Suwarsono & So, 7: 2006). Ketiga peristiwa tersebut adalah, Pertama,
munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia. Sekalipun negara-
negara Barat lainnya, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman semakin melemah
setelah perang dunia II, Amerika Serikat justru menjadi pemimpin dunia sejak
pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan untuk membangun kembali Eropa
Barat akibat Perang Dunia II.
Kedua, pada saat yang hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan
komunis sedunia. Uni Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja
sampai Eropa Timur, tetapi juga sampai di Asia, antara lain di Cina dan Korea.
Keadaan tersebut secara tidak langsung mendorong AS untuk berusaha
memperluas pengaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat
sebagai upaya pembendungan penyebaran ideologi komunisme. Ketiga, lahirnya
negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang sebelumnya
merupakan daerah jajahan negara-negara Eropa. Negara-negara baru ini secara
serempak mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan sebagai
81
contoh untuk membangun ekonominya dan dalam usaha untuk mempercepat
pencapaian kemerdekaan politiknya.
Jika pada masa sebelum perang dunia, persoalan pembangunan negara
dunia ketiga hanya sedikit sekali mendapat perhatian para ilmuwan AS, namun
keadaan yang sebaliknya terjadi setelah Perang Dunia II. Dengan bantuan
melimpah dari pemerintah AS dan organisasi swasta, satu generasi baru ilmuwan
ekonomi menghasilkan karya-karya tentang dunia ketiga. Dalam karya-karya
tersebut salah satunya adalah mengenai Teori Modernisasi. Warisan pemikiran
Teori Modernisasi ini tidak terlepas dari pengaruh Teori Evolusi (Suwarsono &
So, 9: 2006), hal ini terjadi karena Teori Evolusi telah terbukti mampu membantu
menjelaskan proses masa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern negara-negara Eropa Barat, selain itu juga mampu menjelaskan arah yang
perlu ditempuh negara dunia ketiga dalam proses modernisasinya.
Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi, manifestasi proses ini
pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut revolusi industri.
Sejak itu gejala tersebut meluas ke semua penjuru dunia (Schoorl, 1: 1980), mula-
mula ke daerah-daerah yang kebudayaannya semacam, yaitu ke Eropa dan
Amerika Utara, kemudian ke bagian-bagian dunia yang lain dengan daerah-daerah
yang kebudayaannya berbeda sama sekali dengan kebudayaan Eropa. Penyebaran
itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu
sering dibagi menjadi dua kategori: negara maju dan negara sedang berkembang
masing-masing terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan
negara-negara yang sedang mengadakan modernisasi. Dalam pembagian itu tidak
82
disediakan tempat untuk kemungkinan adanya negara karena sesuatu hal tidak
terlibat dalam proses modernisasi itu.
Aspek yang paling spektakuler dalam modernisasi sesuatu masyarakat
ialah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional kecara-cara modern,
yang tertampung dalam pengertian revolusi industri (Schoorl, 1: 1980), namun
menurut Eisentadt, modernisasi merupakan proses perubahan menuju tipe sistem
sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika
Utara dari Abad ke-19 dan 20 meluas ke negara-negara Amerika Selatan, Asia
serta Afrika (Abraham, 4: 1991). Lebih lanjut Abraham memaparkan bahwa pada
umumnya ada dua tipe modernisasi, modernisasi ekonomi dan modernisasi sosial
(Abraham, 5: 1991)
Dalam bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri
yang besar-besar, dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang
sarana produksi diadakan secara masal (Schoorl, 1: 1980). Modernisasi ekonomi
juga diartikan sebagai perkembangan atau kemajuan ekonomi yang ditandai oleh
tingginya tingkat konsumsi dan standar hidup, revolusi tinggi, intensitas modal
yang semakin besar dan organisasi birokrasi yang rasional (Abraham, 5: 1991).
Satu hal terpenting yang harus dicermati adalah bahwa proses modernisasi dan
terwujudnya bentuk-bentuk masyarakat modern dengan sendirinya tidak mungkin
bebas nilai (Schoorl, 10: 1980), oleh karenanya cara melaksanakan modernisasi
juga ada hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan.
Mengingat Teori Modernisasi dibangun di atas landasan kapitalisme, maka nilai-
nilai yang mendukung modernisasi jelas bernuansa kapitalistik. Bahkan J. W.
83
Schoorl mengeluarkan pendapat yang berani, ia mengatakan bahwa bersama-sama
dengan proses modernisasi itu, terjadi proses westernisasi (Schoorl, 20: 1980), ini
dikarenakan memang perkembangan masyarakat modern itu terjadi di daerah
kebudayaan barat dan tersajikan dalam bentuk barat.
2. Teori-Teori Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kepada
peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup,
kesehatan, pendidikan, serta keadilan. Karena tumpuan dari proses perubahan
tersebut adalah bidang ekonomi, maka definisi dari pembangunan sering terfokus
kepada definisi pembangunan ekonomi. Menurut Goulet definisi pembangunan
ekonomi terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) pemenuhan kesejahteraan individu yang
sering diukur dalam bentuk pendapatan per kapita, (2) pemenuhan kebutuhan
pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup secara umum, dan (3) pemenuhan akan
adanya harga diri. (http://www. blogger. com/feeds/3755038716037863282
/posts/default [09-06-2008]).
Namun menurut Todaro (2000: 93) dalam bukunya Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga menyatakan bahwa kemajuan ekonomi memang
merupakan komponen utama pembangunan, akan tetapi itu bukan satu-satunya
komponen. Dengan demikian, pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses
yang multidimensional, yang melibatkan segenap pengorganisasian dan
peninjauan kembali atas sistem-sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan
tidak hanya tiga unsur yang disebutkan Goulet di atas.
84
Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara
pandang, mazhab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari
masing-masing negara (Suroso, 35: 1993). Herrick dan Kindleberger (Ekonomi
Pembangunan, 1988: 58) mengklasifikasikan teori-teori pembangunan menjadi
empat bagian, yaitu: Teori Pembangunan Klasik, Neo-Klasik, Teori Tahapan
Linear, dan Teori Revolusi Ketergantungan. Teori Pembangunan Klasik memiliki
tiga aliran, yaitu aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. Menurut
Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi
kuantitatif dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari
berfikir tradisional menjadi modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai
masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik.
Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-
organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep pembangunan ini,
masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut: tahap pra industri: pada
tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya terjadi dalam
kelompok masyarakat (isolasi fungsional); tahap Industrialisasi: sebagai akibat
dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill over) struktur budaya
modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di
pedesaan; tahap perkembangan dimana pusat secara terus menerus menyebarkan
modernisasi sehingga tercapai keseimbangan hubungan fungsional antara pusat
dan pinggiran.
Menurut aliran Weber, pembangunan adalah perubahan orientasi
masyarakat dari tradisional-irasional menuju modern-rasional. Indikatornya
85
adalah munculnya birokratisasi dalam setiap unsur kehidupan yang dicapai
melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di wilayah pinggiran
sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan. Sedangkan
menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai
akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan
masyarakat. Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan
masyarakat tanpa kelas (classless society) dan materialisme sebagai hirarkinya.
Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas lima kelas, yaitu: masyarakat
primitif, masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, masyarakat sosialis, dan
masyarakat komunis.
Teori Pembangunan Neo-Klasik, yang terdiri dari Tesis Pembangunan
Dualistik dan Teori Perubahan Struktural. Tesis Pembangunan Dualistik
berlandaskan pada fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang
kaya (superior) dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Sedangkan Teori
Perubahan Struktural mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis
dan Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan. Dalam Model
Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor, pertama
sektor tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsistem, kelebihan tenaga kerja
dan produktivitas marjinalnya sama dengan nol; kedua sektor modern, dengan
ciri-ciri di perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat
penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor
tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga
86
kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang
dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.
Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan, model ini
dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur
produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang
industri pada saat pendapatan perkapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa
peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but
not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Pola ini juga mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia,
diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem
ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini
melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan
dalam komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional serta
perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan
distribusi penduduk.
Teori Tahapan Linear yang salah satunya adalah Teori Tahap-Tahap
Pertumbuhan Rostow. Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang
(underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dijelaskan dalam seri tahapan
yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum suatu negara berkembang menjadi
negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off).
Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing
country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk
87
tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju.
Prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, yaitu suatu negara harus mampu
membangun pertanian, industri dan perdagangannya sehingga mampu
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Prasyarat penting
lainnya adalah harus ada mobilisasi tabungan dengan maksud untuk menciptakan
investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Harrod-Domar mengemukakan bahwa Pertumbuhan Pendapatan Nasional
Kotor (Gross National Product/GNP) secara langsung bertalian erat dengan rasio
tabungan, yaitu lebih banyak bagian GNP yang ditabung dan diinvestasikan maka
akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP tersebut (Todaro, 95: 2000). Dari model
yang dikemukakan oleh Harrod-Domar tersebut Rostow menyimpulkan bahwa
negara-negara yang dapat menabung 10-20% dari GNP-nya dapat tumbuh dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara
yang tabungannya kurang dari kisaran tersebut. Di negara-negara berkembang
pembentukan modal relatif rendah sehingga untuk memperoleh pertumbuhan yang
diinginkan dibutuhkan pinjaman luar negeri.
Terakhir adalah Teori Revolusi Ketergantungan Internasional. Pada
dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian
mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memandang bahwa negara-negara
dunia ketiga telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan
ekonomi internasional maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah
terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh negara-negara kaya.
Menurut Budiman teori ketergantungan merupakan varian dari teori struktural.
88
Kendati berinduk pada teori struktural yang sangat Marxis, teori ketergantungan
sebetulnya merupakan gabungan antara pandangan liberal dan sosialis (Budiman,
2008]). Lebih jauh Budiman menjelaskan bahwa inti teori ketergantungan adalah
penyebab utama kemiskinan dan kegagalan pembangunan di Dunia Ketiga,
bukanlah keterlambatan dalam melakukan modernisasi, tapi campur tangan
negara-negara kapitalis yang menghalangi perkembangan negara-negara itu. Pada
dasarnya negara-negara Dunia Ketiga memiliki dinamika yang berbeda dari
negara-negara Barat. Karena keunikan ini, maka pendekatan yang dipakai juga
harus berbeda.
3. Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi Rostow merupakan literatur
ekonomi yang paling luas beredar dan banyak menjadi acuan bagi negara-negara
berkembang dalam menjalankan modernisasinya (Jhingan, 149: 2000). Bahkan
menurut Sukirno (121: 1985) Teori Rostow merupakan salah salah satu teori yang
banyak menarik perhatian para ilmuan baik dari kalangan ahli Ekonomi maupun
Sejarah. Komentar para ahli terhadap Teori Rostow jauh lebih panjang daripada
teori Rostow itu sendiri.
Walt Whitman Rostow (7 Oktober 1916 – 13 Februari 2003) adalah
seorang ahli sejarah ekonomi asal Amerika Serikat, yang pada tahun 1960-an
menulis sebuah buku The Stages of Economic Growth, A Non-Communist
Manifesto. Buku ini mengurai sejarah perkembangan ekonomi Amerika Serikat
89
dengan menggunakan pendekatan analisis historis. Menurut Rostow
pembangunan ekonomi berlangsung secara betingkat-tingkat dengan lima tahapan
yang dijabarkan dalam teorinya, yaitu: 1) The traditional society (Masyarakat
tradisional); 2) The precondition for take off (Pra kondisi lepas landas); 3) The
take off (Lepas landas); 4) The drive to maturity (Pendewasaan); dan 5) The age of
high mass consumption (Zaman konsumsi masa besar-besaran) (Rostow, 4: 1993)
Model pertumbuhan ekonomi bertahap (Stages of Growth model of
development) muncul dikarenakan adanya perang dingin yang berkobar pada
dekade 1950-an dan 1960-an (Todaro, 95: 2000). Suasana politik perang dingin
tersebut memicu persaingan sengit dikalangan negara-negara besar untuk mencari
pengikut setia dari kalangan negara-negara yang baru saja merdeka. Salah satu
tokoh penganjur model pertumbuhan ekonomi yang paling terkenal adalah Walt.
Whitman Rostow. Ia berpendapat bahwa perubahan dari keterbelakangan menuju
kemajuan ekonomi dapat dijelaskan kedalam lima seri tahapan yang harus dilalui
oleh semua negara, seperti yang diungkapkan oleh Rostow dalam bukunya The
Stages Of Economic Growth, Sebagai berikut:
It is possible to identify all societies, in their economic dimensions, as lying within one of five categories: the traditional society, the preconditions for take-off, the take-off, the drive to maturity, and the age of high mass-consumption (Rostow, 4: 1993) Artinya: Adalah suatu kemungkinan untuk menggolongkan semua masyarakat, dalam dimensi ekonomi mereka, sebagai bagian didalam salah satu dari lima kategori: masyarakat tradisioanal, pra kondisi lepas landas, lepas landas, pendewasaan, dan zaman konsumsi besar-besaran.
90
Rostow menggolongkan semua masyarakat dunia ke dalam lima tahap yang
disebutkan diatas, tahap pertama adalah masyarakat tradisional (the traditional
society) yang menurut Rostow sebagai berikut:
... A traditional society is one whose structure is developed within limited production functions, based on pre-Newtonian science and technology, and on pre-Newtonian attitudes towards the physical world. (The Stages Of Economic Growth, 1993: 4) Artinya:
Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang strukturnya berkembang dalam fungsi-fungsi produksi yang terbatas, berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi pra Newton, dan berdasarkan pandangan (sikap) pra newton terhadap dunia fisika. Dengan begitu masyarakat tradisional dipandang sebagai masyarakat yang
strukturnya berkembang didalam fungsi produksi yang terbatas yang didasarkan
kepada teknologi, ilmu pengetahuan dan sikap masyarakat seperti sebelum masa
Newton, yang dimaksudkan oleh Rostow dengan masyarakat sebelum Newton
adalah suatu masyarakat yang masih menggunakan cara-cara memproduksi yang
relatif primitif dan cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh
cara pemikiran yang irasional (Sukirno, 103: 1985). Newton dipakai Rostow
sebagai simbol mulainya manusia berpikir bahwa dunia luar tunduk pada
beberapa hukum yang dapat diketahui dan bisa secara sistematis diselenggarakan
secara produktif.
Menurut Rostow dalam suatu masyarakat tradisional tingkat produksi
perkapita dan tingkat produktivitas pekerja masih sangat terbatas, oleh sebab itu
sebagian besar dari sumber-sumber daya masyarakat digunakan untuk kegiatan
dalam sektor pertanian. Dalam sektor ini struktur sosialnya sangat bersifat
hirarkis, yaitu anggota masyarakat mempunyai kemungkinan yang sangat kecil
91
untuk mengadakan mobilitas secara vertikal dalam struktur sosial. Maksudnya
ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat tidak akan berbeda dengan
kedudukan ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya. Jhingan menyebut struktur
sosial masyarakat seperti itu bersifat berjenjang, hubungan darah dan keluarga
memainkan peranan yang menentukan (2000: 143). Hal di atas dikemukakan
Rostow dalam bukunya seperti berikut:
Generally speaking, these societies, because of the limitation on productivity, had to devote a very high proportion of their resources to agriculture; and flowing from the agricultural system there was an hierarchical social structure, with relatively narrow scope--but some scope--for vertical mobility. Family and clan connexions played a large role in social organization. The value system of these societies was generally geared to what might be called a long-run fatalism; that is, the assumption that the range of possibilities open to one's grandchildren would be just about what it had been for one's grandparents (1993: 5). Artinya: secara umum, masyarakat seperti ini, oleh karena terbatasnya produktivitas, harus mencurahkan sebagain besar dari sumber tenaga mereka untuk pertanian, dan di dalam sistem pertanian itu terdapat struktur sosial yang bertingkat-tingkat dengan ruang lingkup yang relatif sempit tetapi ada lingkup seadanya untuk gerak vertikal. Hubungan keluarga dan suku memegang peranan besar dalam organisasi sosial. Sistem penilaian dari masyarakat ini umumnya berputar pada apa yang mungkin dinamakan fatalisme jangka panjang, yaitu asumsi bahwa kemungkinan lapangan yang terbuka untuk seorang cucu kira-kira akan sama dengan apa yang sudah didapat kakeknya.
Mengenai kegiatan politik dan pemerintahan dalam tahap masyarakat
tradisional, Rostow menggambarkan bahwa walaupun kadang-kadang terdapat
sentralisasi dalam pemerintahan, pusat dari kekuasaan politik terdapat di daerah-
daerah, ditangan tuan-tuan tanah yang berkuasa dalam berbagai daerah.
Kebijaksanaan dari pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan tuan-tuan
tanah di berbagai daerah tersebut.
92
Rostow mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang
menyebabkan perubahan dan ciri-ciri penting dalam suatu masyarakat, yaitu
perubahan dalam keadaan sistem politiknya, struktur sosialnya, nilai-nilai
masyarakatnya, dan struktur kegiatan ekonominya. Apabila perubahan-perubahan
seperti itu timbul sehingga menyebabkan pertumbuhan lebih selalu berlaku, maka
proses pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sudah mulai berlaku dan
masyarakat yang mencapai taraf tersebut menurut Rostow sudah dikatakan berada
pada tahap prasyarat untuk tinggal landas yaitu tahapan yang akan dilalui setelah
tahap pertama telah terpenuhi.
Tahap kedua dinamakan The precondition for take off (Pra kondisi lepas
landas), tahap ini merupakan transisi dimana prasyarat-prasyarat pertumbuhan
swadaya dibangun atau diciptakan (Jhingan, 143: 2000). Corak dari tahap
prasyarat untuk lepas landas dibedakan oleh Rostow menjadi dua jenis, yang
pertama adalah tahap prasyarat untuk lepas landas yang dicapai oleh negara-
negara Eropa, Asia, Timur Tengah dan Afrika yang dilakukan dengan merombak
masyarakat tradisional ynag sudah ada. Bentuk kedua adalah yang dicapai oleh
negara-negara yang dinamakan oleh Rostow born free, yaitu Amerika Serikat,
Kanada, Australia dan Selandia Baru, yang dapat mencapai tahap prasyarat untuk
lepas landas tanpa harus merombak sistem masyarakat tradisional karena negara-
negara itu terdiri dari imigran yang telah mempunyai sifat yang diperlukan oleh
suatu masyarakat untuk mencapai tahap prasyarat untuk lepas landas (Azwar, 23:
1962).
93
Rostow sangat menekankan perlunya perubahan yang bersifat multi
dimensi yaitu perubahan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial masyarakat,
karena ia tidak yakin akan kebenaran pandangan yang menyatakan bahwa
pembangunan akan dapat dengan mudah diciptakan apabila dapat dilakukan
peningkatan dalam tabungan (Sukirno: 104: 1985). Menurut pandangan tersebut,
kenaikan tersebut akan memungkinkan peningkatan penanaman modal dan
mempercepat pembangunan ekonomi. Tingkat tabungan yang tinggi akan
menyebabkan tercapainya tingkat penanaman modal yang tinggi hal tersebut akan
menjamin tercapainya pertumbuhan ekonomi dengan naiknya pendapatan nasional
yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk.
Menurut keyakinan Rostow, kenaikan tabungan, penanaman modal dan
selanjutnya pembangunan ekonomi, hanya akan tercapai apabila perubahan-
perubahan tersebut diikuti oleh perubahan-perubahan lain dalam masyarakat.
Perubahan itulah yang akan memungkinkan berlakunya kenaikan dalam tabungan
dan penggunaan tabungan itu dengan sebaik-baiknya. Kegiatan masyarakat harus
sanggup memanipulasi dan selanjutnya menggunakan ilmu pengetahuan modern
dan membuat penemuan-penemuan baru (Invensi) yang bersifat menurunkan
biaya produksi.
Di samping itu harus terdapat pula orang-orang yang bersedia
menggunakan penemuan baru untuk modernisasi kegiatan produksi. Kemudian
harus terdapat pula golongan masyarakat yang bersedia menciptakan tabungan
dan meminjamkannya kepada pengusaha yang inovatif untuk memperbesar
produksi dan mempertinggi tingkat produktivitas. Dan akhirnya sebagian besar
94
masyarakat harus bersedia mendapat pendidikan dan latihan untuk pekerjaan-
pekerjaan disektor industri, dan harus dapat melakukan tugasnya dengan disiplin
kerja yang tinggi. Singkatnya adalah kenaikan dalam tingkat penanaman modal
yang akan menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih cepat dari sebelumnya
bukan semata-mata tergantung kepada kenaikan dalam tingkat tabungan, tetapi
juga kepada perubahan radikal dalam sikap masyarakat terhadap ilmu
pengetahuan, hal tersebut bertujuan untuk mengubah teknik produksi, sikap
pengambilan resiko dan dalam sikap terhadap kondisi-kondisi maupun cara-cara
bekerja.
Rostow menekankan bahwa kenaikan tingkat penanaman modal hanya
mungkin tercipta apabila terjadi perubahan dalam struktur kegiatan ekonomi.
Kemajuan-kemajuan disektor pertanian, pertambangan dan prasarana harus terjadi
bersama-sama dengan proses peningkatan penanaman modal. Pembangunan
ekonomi hanya dimungkinkan oleh adanya kenaikan produktivitas di sektor
pertanian dan perkembangan di sektor pertambangan, hal ini berarti bahwa
walaupun negara yang telah mencapai pertumbuhan yang tinggi merupakan
negara industri, perkembangan permulaan kearah itu hanya dimungkinkan oleh
adanya perkembangan di sektor pertanian dan pertambangan.
Pada taraf permulaan dari proses pembangunan, sektor industri masih
belum mampu menjadi motor penggerak dari proses tersebut. Kenaikan
produktivitas sektor pertanian dan pertambangan merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi untuk melepaskan sesuatu masyarakat dari belenggu
95
ketradisioanalan dan keterbelakangannya. Sektor pertanian memegang peranan
yang penting dalam masa peralihan sebelum mencapai tahap lepas landas.
Kemajuan pertanian diperlukan untuk menjamin agar penyediaan bahan
makanan bagi penduduk yang bertambah akan tetap terjamin dan agar penduduk
kota yang bertambah dengan cepat sebagai akibat industrialisasi dapat
memperoleh bahan makanan yang cukup, kesanggupan sektor pertanian untuk
menyediakan bahan makanan yang cukup bukan saja menyebabkan terhindarnya
bahaya kelaparan, akan tetapi juga dapat menghindarkan penggunaan devisa
untuk megimpor bahan makanan sehingga ia dapat digunakan untuk mengimpor
barang-barang lain yang lebih berguna untuk pembangunan. Hal tersebut
dikemukakan Rostow sebagai berikut:
...agriculture must supply more food. Food is needed to meet likely rise in population, without yielding either starvation or a depletion of foreign excange available for purposes essential to growth. But increased supplies ang increased transfers of food out of rural areas are needed for another reason: to feed the urban populations which are certain to grow at a disproportionately high rate during transition. And, in most cases, increased agricultural supplies are needed as well to help meet the foreign excangebill for capital development either positively by earning foreign exchange...(Rostow, 22: 1993). Artinya: ...pertanian harus menyumbangkan lebih banyak makanan. Makanan diperlukan untuk menghadapi kemungkinan bertambahnya penduduk, tanpa mengakibatkan kelaparan maupun kemerosotan devisa yang bisa diperoleh guna maksud yang penting untuk pertumbuhan. Tetapi bertambahnya sumbangan dan bertambahnya perpindahan makanan dari daerah-daerah pedesaan diperlukan untuk alasan lain: untuk memberi makan pada penduduk kota yang pasti tumbuh dengan pesat yang tidak sebanding dengan transisi. Dan, yang paling penting, bertambahnya sumbangan pertanian juga diperlukan untuk membantu menghadapi keperluan devisa untuk pembangunan modal baik secara positif dengan memperoleh devisa...
96
Selanjutnya, perkembangan di sektor pertanian dapat pula menunjang
perkembangan sektor industri. Kenaikan produktivitas di sektor pertanian akan
memperluas pasar dari berbagai kegiatan industri. Kenaikan pendapatan petani
akan memperluas pasar industri barang-barang konsumsi dan kenaikan
produktivitas pertanian akan memperluas industri-industri penghasil input
pertanian modern seperti mesin-mesin pertanian dan pupuk kimia. Kenaikan
pendapatan disektor pertanian dapat pula menjadi sumber biaya untuk
pengeluaran pemerintah, yaitu dengan mengenakan pajak atas sektor pertanian.
Akhirnya sumbangan lain dari kemajuan sektor pertanian terhadap pembangunan
adalah untuk menciptakan tabungan yang dapat digunakan oleh sektor lain,
terutama sektor industri, sehingga akan mempertinggi tingkat penanaman modal
disektor-sektor lain tersebut.
Mengenai perkembangan sektor prasarana Rostow berpendapat bahwa
dalam masa transisi sebelum mencapai tahap lepas landas dan dalam tahap lepas
landas sendiri, bagian yang cukup besar dari penanaman modal digunakan untuk
membangun prasarana. Dibandingkan dengan penanaman modal disektor lain,
penanaman modal untuk membangun prasarana mempunyai tiga ciri yang khusus
yaitu:
...social overhead outlays have three characteristics which distinguish them from investment in general. First, their periods of gestation and of pay-off are usually long. a railway system is unlikely to yield ist result in a year or two from the time its construction is undertaken, although it will yield large benefits over a very long time. Second, social overhead capital is generally lumpy. Third, of its nature, the profits from social overhead capital often return to the comunity as a whole-Through indirect chains of caustion-rather than directly to the initiating entrepreneurs. (Rostow, 25: 1993).
97
Artinya:
Pengeluaran untuk membangun prasarana mempunyai tiga karakteristik yang membedakannya dari penanaman modal pada umumnya. Pertama, periode sebelum pemberian hasil biasanya lama. Suatu sistem kereta api besar kemungkinannya memberikan hasil-hasilnya dalam satu atau dua tahun sejak waktu pembangunannya dilakukan, meskipun ia akan menghasilkan keuntungan besar setelah jangka waktu lama. Kedua, pembangunan prasarana harus secara besar-besaran. Ketiga pada dasarnya keuntungan dari pembangunan prasarana kembali kepada masyarakat secara keseluruhan-melalui rantai sebab-akibat yang tidak langsung-bukan secara langsung pada pengusaha-pengusaha yang mengadakan inisiatif.
Berdasarkan anggapan Rostow di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga ciri
khusus pembangunan prasarana itu adalah masa diantara pembangunannya dan
hasil pembangunan tersebut sangat panjang. Pembangunannya harus dilakukan
secara besar-besaran sehingga memerlukan biaya yang sangat banyak, tetapi
pemanfaatan pembangunannya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Berdasarkan kepada sikap yang istimewa ini menurut Rostow, pengembangan
prasarana terutama harus dilakukan oleh pemerintah. Ini berarti pemerintah
memegang peranan yang penting sekali dalam menjamin tercapainya
pembangunan yang pesat dalam tahap prasyarat untuk mencapai tahap landas.
Dalam analisisnya Rostow menunjukan bentuk perubahan dalam
kepemimpinan pemerintahan masyarakat yang mengalami transisi. Untuk
menjamin terciptanya pembangunan yang teratur, suatu golongan elite yang baru
atau kepemimpinan yang baru haruslah tercipta dan melibatkan diri mereka
kepada usaha mewujudkan suatu masyarakat industri. Kepemimpinan yang baru
ini haruslah mempunyai sifat nasionalisme yang reaktif (reactive nationalism),
yaitu beraksi positif atas tekanan-tekanan yang datang dari negara yang lebih
98
maju. Dengan mencontohkan pengalaman negara Jerman, Rusia dan Jepang,
Rostow berpendapat bahwa perombakan terhadap masyarakat tradisional dan
percepatan pembangunan yang baru akan tercipta setelah negara-negara tersebut
menghadapi tekanan atau hinaan dari negara maju. Rostow meyakini bahwa tanpa
adanya tekanan atau penghinaan terhadap beberapa negara dari negara lain yang
maju, modernisasi masyarakat tradisional yang telah berlaku tidak akan secepat
seperti yang berlaku dalam satu setengah abad belakangan ini. Nasionalisme
reaktif ini, dapat juga dikatan sebagai reaksi melawan ketakutan akan dominasi
asing, berfungsi sebagai kekuatan potensial di dalam melahirkan masa transisi
tersebut (Jhingan, 144: 2000).
Tahap ketiga dinamakan take off (lepas ladas), tahap lepas landas
merupakan titik yang menentukan di dalam kehidupan suatu masyarakat ketika
pertumbuhan mencapai kondisi normalnya. Dalam tahap ini pertumbuhan
merupakan peristiwa yang selalu berlaku. Permulaan dari masa lepas landas
adalah berupa berlakunya perubahan yang sangat drastis dalam masyarakat,
seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi atau
berupa terbukanya pasaran-pasaran baru. Jadi faktor penyebab dimulainya masa
lepas landas berbeda-beda, yang penting, sebagai akibat dari perubahan-
perubahan ini secara teratur akan tercipta pembaharuan-pembaharuan
(innovations) dan peningkatan penanaman modal. Penanaman modal yang makin
bertambah tinggi tingkatnya ini mengakibatkan tingkat pertambahan pendapatan
nasional menjadi bertambah tinggi dan akan melebihi tingkat pertambahan
99
penduduk. Dengan demikian tingkat pendapatan perkapita makin lama akan
menjadi makin bertambah besar.
Menurut penaksiran Rostow masa lepas landas dibeberapa negara ialah
sebagai berikut: Great Britain (1783-1802), France (1830-1860), Belgium (1833-
1860), United States (1843-1860), Germany (1850-1873), Sweden (1868-1890),
Japan (1878-1900), Russia (1890-1914), Canada (1896-1914), Argentina (1953),
Turkey (1937), India (1952), China (1952) ( the economic off take-off into
sustained growth, 10: 1965). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa negara-
negara Barat sebagian besar mencapai tahap lepas landas pada abad yang lalu,
kecuali Inggris, yang sudah mencapainya pada akhir abad sebelumnya.
Untuk mengetahui apakah suatu negara sudah mencapai tahap lepas landas
atau belum, Rostow mengemukakan tiga ciri dari masa lepas landas untuk
menentukannya, yaitu:
1. a rise in the rate of productive investment from, say, 5% or less to over 10% of national income (or net national product (NNP)).
2. the development of one or more substantial manufacturing sectors, with a high rate of growth.
3. the existence or quick emergence of a political, social and institutional frame work which exploits the impulse to expansion in the modern sector and the potential external economy effects of the take-off and gives to growth an on-going character. (Rostow, 39:1993).
Artinya: 1. adanya kenaikan dalam tingkat investasi (penanaman modal) dari,
katakan 5% atau kurang sampai lebih 10% dari pendapatan nasional atau net nasional produk/ produk nasinal netto (NNP).
2. pembangunan satu atau lebih beberapa sektor industri dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi.
3. adanya atau segera terciptanya suatu rangka dasar politik, sosial dan institusional yang akan menciptakan ekpansi pada perluasan sektor modern serta efek ekonomi exstern yang ditimbulkan dari
100
kegiatan lepas landas, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang bersifat melanjutkan.
Untuk ciri pertama dalam tahap lepas landas ialah tingkat investasi netto
harus melebihi 10 persen dari pendapatan nasional, salah satu kondisi penting bagi
tinggal landas adalah kenaikan output perkapita harus melebihi tingkat
pertumbuhan penduduk, demi mempertahankan tingkat pendapatan perkapita
yang lebih tinggi di dalam perekonomian. Rostow menekankan berlakunya proses
kenaikan tingkat penanaman modal sebagai prasyarat untuk mencapai lepas
landas, karena dengan terciptanya keadaan tersebut perekonomian dapat
berkembang lebih cepat daripada tingkat pertambahan penduduk.
Selanjutnya Rostow menganalisa the inner structure of the take off, yaitu
mengenai perubahan-perubahan lain yang mengikuti kenaikan tingkat penanaman
modal, yang berlaku dalam masa lepas landas. Suatu perubahan penting dalam
masa lepas landas yang memungkinkan terjadinya kenaikan tingkat penanaman
modal yang tinggi adalah berlakunya kenaikan jumlah dana yang dapat
dipinjamkan (loanable funds), dan kenaikan ini berasal dari dua sumber: pertama,
berlakunya perubahan dalam aliran pendapatan dan impor modal. Perubahan
aliran pendapatan pada masa yang lalu diciptakan dengan mengenakan pajak ke
atas sektor pertanian atau dengan menambah pengeluaran dengan mencetak uang.
Cara yang terakhir ini akan menimbulkan inflasi.
Disamping dengan cara-cara di atas, kenaikan tabungan diciptakan pula
oleh perkembangan sistem perbankan dan pasar modal. Beberapa negara Amerika
Serikat, Rusia, Swedia dan Kanada melengkapi pula kelengkapan tabungan dalam
101
negeri dengan impor modal dari luar negeri. Sumber kedua dari pertambahan dana
untuk penanaman modal adalah penanaman kembali keuntungan-keuntungan yang
diperoleh sektor-sektor yang mengalami perkembangan yang pesat.
Ciri yang kedua dalam tahap lepas landas adalah berkembangnya sektor-
sektor penting, Rostow menganggap perkembangan sektor penting itu sebagai
tulang punggung analisis dari tahap pertumbuhan ekonomi tersebut. Rostow
membedakan tiga sektor yang ada dalam perekonomian, yaitu: sektor
pertumbuhan suplementer, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang menciptakan
pertumbuhan yang pesat dan menciptakan kekuatan ekpansi ke berbagai sektor
lain dalam perekonomian, sebagai contoh kategori ini adalah tekstil katun di
Inggris. Sektor pertumbuhan suplementer, yaitu sektor yang berkembang dengan
cepat sebagai akibat langsung dari perkembangan di sektor pertumbuhan primer.
Sebagai contoh kategori ini adalah pembangunan kereta api, misalnya, adalah
merupakan sektor pertumbuhan primer dan perluasan industri dibidang besi,
batubara dan baja dapat dianggap sebagai sektor pertumbuhan suplementer. Sektor
pertumbuhan terkait, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang berkembang
seirama dengan kenaikan pendapatan, penduduk dan produksi sektor industri,
sebagai contoh adalah produksi makanan dan pembangunan perumahan dalam
hubungannya dengan penduduk.
Menurut catatan sejarah, sektor-sektor utama (leading sectors) ini
mencakup tekstil di Inggris sampai kereta api di Amerika Serikat, Rusia, Jerman,
Perancis dan penebangan kayu modern di Swedia. Pertumbuhan pesat Denmark
dan Selandia Baru merupakan hasil dari produksi ilmiah dibidang daging, babi,
102
telur, mentega dan daging domba. (Jhingan, 146: 2000). Dengan demikian jelas
bahwa dalam tinggal landas tidak ada urut-urutan sektoral dan tidak ada satu
sektor pun yang merupakan kunci utama. Pada tahap-tahap permulaan dari proses
perkembangan ekonomi, sektor pertumbuhan primer dan sekunder mengalami
pertumbuhan terutama sebagai akibat dari rangsangan yang ditimbulkan oleh
berlakunya penurunan biaya dan perubahan penawaran, sedangkan sektor
pertumbuhan terkait perkembangannya dipengaruhi oleh perluasan permintaan.
Apabila masa tingkat konsumsi tinggi telah tercapai, disegala sektor pertumbuhan
terutama diakibatkan oleh terjadinya perluasan dalam permintaan.
Dalam berbagai perekonomian, pertumbuhan selalu timbul sebagai akibat
dari berkembangnya sejumlah kecil kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat
digolongkan dalam sektor pertumbuhan primer, dan mereka dapat disebut sebagai
sektor-sektor utama (leading sectors) dalam proses pertumbuhan ekonomi.
Ekspansi dari kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan ekonomi ekstern yang
besar sekali kepada sektor-sektor yang lain. Jenis industri atau kegiatan-kegiatan
ekonomi lainnya yang menjadi sektor utama berbeda-beda di berbagai negara,
seperti yang diungkapkan Jhingan di atas. Di beberapa negara, kegiatan-kegiatan
ekonomi di sektor primer (primary sector) telah menjadi sektor utama. Di Swedia
industri tersebut adalah kayu, di Denmark adalah kegiatan peternakan dan Jepang
industri sutra, di Australia dan Argentina sektor utamanya adalah industri-industri
barang-barang konsumsi pengganti barang impor. Berdasarkan kepada kenyataan
ini Rostow mengambil kesimpulan bahwa untuk mencapai tahap lepas landas
tidak ada satu sektor ekonomi pun dapat dipandang sebagai kunci dalam
103
menciptakan pembangunan ekonomi, yang terpenting menurut Rostow (1993: 53)
dalam menciptakan sektor utama perlu dipenuhi empat faktor berikut:
1. Harus terdapat kemungkinan memperluas pasar untuk barang-barang
yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi yang mempunyai
kemungkinan untuk berkembang dengan cepat.
2. Dalam sektor ini harus dikembangkan teknik produksi yang lebih
modern dan kapasitas memproduksi harus dapat diperluas.
3. Dalam masyarakat harus tercipta tabungan dan para pengusaha harus
menanam kembali keuntungannya untuk membiayai pengembangan
sektor-sektor pemimpin (utama).
4. Perkembangan dan transformasi teknis sektor pemimpin (utama)
haruslah menciptakan permintaan akan perluasan kapasitas dan
modernisasi sektor-sektor lain.
Persyaratan terakhir bagi tinggal landas ialah hadir atau munculnya
kerangka budaya yang mendorong ekspansi di sektor modern. Syarat penting
untuk ini ialah kemampuan perekonomian untuk menggalakkan lebih besar
tabungan dari pendapatan yang bertambah, guna meningkatkan permintaan efektif
terhadap barang-barang pabrik dan kemampuan untuk menciptakan ekonomi
eksternal melalui ekspansi sektor-sektor penting. Seperti yang diungkapkan
Rostow sebagai berikut:
“…take off requires the massive set of preconditions, going to the heart of a society’s economic organization, its politics, and its effective scale of values…The take off usually witnesses a definitive social, political, and cultural victory of those who would modernize the economy over those who would either cling to the traditional society or seek other goals…by and large, the maintenance of momentum for a generation persuades the
104
society to persist, and to concentrate its efforts on extending the trick of modern technology beyond the sectors modernized during take-off.”(Rostow, 58:1993). Artinya: “…Tinggal landas memerlukan seperangkat prasyarat besar-besaran, sampai kejantung organisasi ekonomi masyarakatnya, politiknya dan tatanan efektif nilai-nilainya…dalam tahap ini, orang-orang yang ingin mempermodern perekonomian biasanya meraih secara definitive, baik di bidang sosial, ekonomi maupun budaya, atas orang-orang yang bersikeras ingin mempertahankan masyarakat tradisional atau yang mau mencari tujuan lain…secara keseluruhan, ia mendorong masyarakat untuk memusatkan dan terus melakukan segala upaya menyebarluaskan rahasia teknologi modern keluar sektor yang telah dipermodern selama masa tinggal landas tersebut.”
Tahap keempat dalam teori Rostow dinamakan The drive to maturity
(pendewasaan), tahap ini didefinisikan oleh Rostow sebagai berikut:
There are a variety of ways a stage of economic maturity might be defined: but for these purposes we define it as rhe periode when a society has effectively applied the range of (then) modern technology to the bulk of its resources (the stage of economic growth, 59: 1993) Artinya: Terdapat beraneka ragam cara untuk mendefinisikan suatu tahap ekonomi yang matang: tetapi untuk maksud ini kita mendefinisikannya sebagai tahap ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan serentetan teknologi modern terhadap keseluruhan sumber daya mereka. Dalam tahap ini sektor-sektor ekonomi berkembang lebih lanjut, sektor-
sektor utama baru akan muncul untuk menggantikan sektor-sektor utma yang
lama yang akan mengalami kemunduran. Sektor-sektor utama pada tahap gerakan
kearah kedewasaan coraknya ditentukan oleh perkembangan teknologi, kekayaan
alam, sifat-sifat dari tahap lepas landas yang berlaku dan juga oleh bentuk
kebijaksanaan pemerintah.
105
Rostow mengemukakan suatu taksiran kasar mengenai masa dimana tahap
gerakan kearah kedewasaan dicapai oleh beberapa negara, sebagai berikut: Inggris
Raya (1850), Amerika Serikat (1900), Jerman (1910), Perancis (1910), Swedia
(1930), Jepang (1940), Rusia (1950) dan Kanada (1950) (Azwar, 76: 1962).
Dalam menganalisis ciri-ciri tahap gerakan menuju kearah kedewasaan,
Rostow menekankan penelaahannya pada corak perubahan sektor-sektor utama di
berbagai negara yang pada saat sekarang ini telah menjadi negara maju, dan ia
menunjukan bahwa di tiap-tiap negara tersebut jenis-jenis sektor utama pada tahap
sesudah lepas landas adalah berbeda dengan yang ada pada tahap lepas landas. Di
Inggris misalnya, industri tekstil yang telah mempelopori pembangunan pada
tahap lepas landas telah digantikan oleh industri besi, batu bara dan peralatan
teknik berat. Sedangkan di Amerika Serikat, Perancis dan Jerman dimana
pengembangan jaringan jalan kereta api memegang peranan penting dalam
menciptakan pembangunan pada tahap lepas landas, telah digantikan peranannya
sebagai sektor utama oleh industri peralatan berat dari baja dalam tahap gerakan
menuju arah kedewasaan.
Selanjutnya Rostow menyinggung mengenai ciri-ciri yang bukan bersifat
ekonomi dari masyarakat yang telah mencapai tahap gerakan menuju kedewasaan
dan yang hampir memasuki tahap berikutnya. Ciri-ciri tersebut adalah:
1. Struktur dan keahlian tenaga kerja mengalami perubahan. Sektor
industri bertambah penting peranannya sedangkan sektor pertanian
bertambah menurun. Kemahiran dan kepandaian pekerja-pekerja telah
menjadi bertambah tinggi. Dengan kata lain sifat tenaga kerja telah
106
mengalami perubahan, ia berubah menjadi terdidik. Orang lebih suka
tinggal di kota daripada di desa. Upah nyata mulai meningkat dan para
pekerja mengorganisasi diri untuk mendapatkan jaminan sosial dan
ekonomi yang lebih besar.
2. Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan. Peranan
manager profesional telah menjadi bertambah penting dan
menggantikan kedudukan pengusaha yang merangkap jadi pemilik.
Perubahan sifat ini terlihat dari pekerja keras dan kasar berubah
menjadi manajer efisien yang halus dan sopan.
3. Masyarakat secara keseluruhan merasa bosan dengan keajaiban yang
diciptakan oleh industrialisasi dan kriti-kritik terhadapnya mulai
timbul.
Tahap terakhir dari teori pertumbuhan Rostow dinamakan The age of
high mass consumption (Zaman konsumsi masa besar-besaran) yaitu masa dimana
perhatian masyarakat lebih menekankan pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan masalah konsumsi dan kesejahtraan masyarakat, bukan lagi pada masalah
produksi. Seperti yang diungkapkan oleh Rostow sebagai berikut:
In a quite technical sense, the balance of atention of the society, as it approached and went beyond maturity, shifted from supply to demand, from problem of production to problems of consumption, and of walfare in the widest sense. (Rostow, 73: 1993)
Artinya:
Dalam suatu pengertian yang sangat teknis, keseimbangan perhatian dari masyarakat, sementara ia mendekati dan pergi meninggalkan tahap kematangan, beralih dari penawaran ke permintaan, dari persoalan produksi ke persoalan konsumsi dan kesejahteraan dalam arti luas.
107
Negara pertama yang mencapai tahap ini menurut Rostow adalah : USA
(1920), Inggris (1930), Jepang dan Eropa Barat (1950) Rusia (Pasca Stalin).
Dalam tahap ini terdapat tiga macam tujuan masyarakat yang saling bersaingan
untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang tersedia dan sokongan politik,
yaitu:
1. Penerapan kebijaksanaan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan
pengaruh melampui batas-batas nasional. Dalam artian memperbesar
kekuasaan dan pengaruh negara tersebut keluar negeri, dan
kecenderungan ini dapat berakhir kepada penaklukan atas negara-
negara lain.
2. Menciptakan suatu walfare state (negara kesejahtraan), yaitu
kemakmuran yang lebih merata kepada penduduknya dengan cara
mengusahakan terciptanya pembagian pendapatan yang lebih merata
sistem perpajakan yang progresif. Dalam sistem perpajakan seperti ini,
makin tinggi pendapatan makin besar pula tingkat pajak atas
pendapatan itu. Selain itu peningkatan jaminan sosial, fasilitas hiburan
bagi pekerja harus tersedia.
3. Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat di atas konsumsi
keperluan utama yang sederhana atas makanan, pakaian dan
perumahan menjadi meliputi pula barang-barang konsumsi tahan lama
dan barang-barang mewah. Dengan kata lain adanya pembangunan
pusat perdagangan dan sektor penting seperti mobil, rumah murah dan
108
berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik dan
sebagainya.
Di atas kertas teori Rostow memang sangat mengagumkan, prinsip bahwa
pertumbuhan itu terjadi secara bertahap adalah sangat memuaskan sehingga
memperoleh banyak pengikut diseluruh dunia (Herrick& Kindleberger, 83: 1983).
Dalam teori ini dianggap bahwa dengan pertumbuhan ekonomi buah
pembangunan akan dinikmati pula oleh si miskin melalui proses merambat ke
bawah (trickle-down effects) (Suroso, 30: 1993). Maka tidak heran kalau teori
Rostow menjadi kerangka teori pembangunan bagi kebanyakan negara-negara
yang sedang berkembang khususnya di benua Asia dan Afrika. Adanya janji
manis berupa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang relatif lebih cepat
dicapai dengan pola pertumbuhan ekonomi menjadikan pandangan ini menjadi
mainstream. Kekhawatiran akan adanya ketimpangan akibat konsentrasi dan
sentralisasi pembangunan yang menjadi ciri khas pertumbuhan ekonomi dijawab
dan ditepis dengan asumsi trickle down effects atau efek tetes kebawah selama
proses pertumbuhan ekonomi.
Klaim trickle down effects ini didasarkan pada asumsi yang dibangun
berupa empat hal, Pertama, pertumbuhan ekonomi meningkatkan produksi barang
dan jasa di masyarakat. Kedua, peningkatan produksi barang dan jasa akan diikuti
dengan peningkatan akan permintaan faktor-faktor produksi seperti tanah, tenaga
kerja, modal dan skill/kemampuan sebagai input utama proses produksi. Ketiga,
masyarakat yang ada diwilayah produksi tersebut atau dalam literatur ilmu
ekonomi dikenal dengan sektor rumah tangga, yang menjadi penyedia faktor-
109
faktor produksi akan meningkat pendapatannya sebagai dampak dari transaksi
pertukaran faktor produksi yang dimilikinya dengan sektor usaha/perusahaan.
Keempat, kesejahteraan ekonomi masyarakat meningkat seiring dengan
peningkatan pendapatan mereka.
Klaim yang dibangun di atas sesungguhnya sangat menyederhanakan
realitas yang sebenarnya. Klaim yang menjadi asumsi keberhasilan pertumbuhan
ekonomi tersebut terbantahkan dengan munculnya fenomena bottleneck
(sumbatan dalam proses tetesan pertumbuhan ekonomi), hal ini menjadi faktor
penjelas kenapa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa kasus negara berkembang
menyebabkan negara tersebut mengalami kegagalan dan ketergantungan.
Ada tiga persoalan yang melingkupi munculnya fenomena bottleneck
dalam proses pertumbuhan ekonomi, yaitu: pertama, adanya perbedaan tipe faktor
produksi yang paling dibutuhkan. Faktor produksi yang paling dibutuhkan adalah
faktor yang bisa mempercepat pertumbuhan secara efisien dan disini adalah
modal. Maka tidaklah mengherankan jika dalam kultur ekonomi masyarakat
kapitalis yang mendewa-dewakan pertumbuhan ekonomi, kalangan pemilik modal
menempati strata yang paling tinggi. Lain halnya dengan faktor produksi tenaga
kerja yang mana akan semakin tidak efisien jika sebuah perusahaan memiliki
banyak tenaga kerja. Dari keterangan ini sudah terungkap betapa telah terdapat
ketidaksetaraan yang menjadi bibit ketidakadilan pemerataan pembangunan.
Kedua, disparitas kelompok masyarakat dalam mengakses kesempatan
atas penambahan faktor produksi. Ketika faktor produksi yang paling dibutuhkan
adalah modal maka kelompok masyarakat yang menyediakan modal akan
110
diuntungkan dengan situasi ini. Selanjutnya, kelompok masyarakat yang
menyediakan faktor produksi berupa tenaga kerja akan kehilangan bargaining
power atau daya tawar sehingga nasib mereka akan tetap terpuruk. Lain halnya
dengan kalangan pemilik faktor produksi berupa modal yang akan semakin
berkesempatan menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Terakhir, perbedaan kompensasi yang diterima masyarakat pemilik faktor
produksi berupa tanah, tenaga kerja dan skill dengan keuntungan yang dihasilkan
oleh kalangan pengusaha. Disinilah sering terjadi ketidakseimbangan harga faktor
produksi yang dijual oleh masyarakat dengan keuntungan yang diraih pengusaha.
Harga yang diterima seringkali tidak setimpal dengan pengorbanan yang
dikeluarkan, seperti nasib buruh yang merana yang telah menjual faktor
produksinya berupa tenaga kerja dan dibayar dengan gaji yang tidak manusiawi,
harga jual tanah yang sangat murah dibanding keuntungan yang bakal didapat
pelaku industri dan sebagainya. Ketiga faktor tersebut menjelaskan alasan kenapa
dengan adanya pertumbuhan ekonomi justru menjadikan orang yang kaya
semakin kaya seiring dengan kebutuhan akan modal yang kian pesat dan
sebaliknya, orang yang miskin makin miskin karena faktor produksinya diserap
secara tidak seimbang.
Bukan itu saja Teori Rostow ternyata mempunyai beberapa kelemahan,
bahkan para ahli ekonomi meragukan keotentikkan pembagian sejarah ekonomi
kedalam lima tahap pertumbuhan seperti yang dikemukakan Rostow (Jhingan,
149: 2000). Menurut Jhingan apakah tahap-tahap tersebut tak terelakan seperti
kelahiran dan kematian atau apakah tahapan tersebut seperti serentetan urutan
111
seperti masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan usia tua? Dapatkah orang
mengatakan dengan tepat bahwa suatu tahapan telah selesai dan tahap yang lain
telah mulai?.
Mempertahankan pendapat bahwa setiap perekonomian mengikuti jalur
perkembangan yang sama dengan masa silam yang sama dan masa depan yang
sama adalah terlalu mensistematisasikan kekuatan-kekuatan pembangunan yang
sebenarnya bersifat kompleks dan terlalu menggeneralisasikan urutan tahap-tahap
tersebut secara tak beralasan. Menurut Kuznets ada sifat-sifat yang diperlukan
agar suatu teori tahap-tahap pertumbuhan ada manfaatnya, ia mengatakan bahwa
Teori Rostow hanya memiliki sebagian kecil saja dari sifat-sifat tersebut. Ciri-ciri
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Setiap tahap harus merupakan tahap yang mempunyai ciri-ciri yang secara empiris dapat diselidiki kebenarannya.
2. Ciri-ciri dari setiap tahap harus cukup nyata bedanya dengan tahap yang lainnya.
3. Hubungan analitis dengan tahap sebelumnya harus dijelaskan, dalam artian bentuk-bentuk proses yang akan berlaku untuk mengakhiri sesuatu tahap tertentu dan menyebabkan terciptanya tahap selanjutnya harus ditunjukan.
4. Ruang lingkup bagaimana teori tersebut berlaku harus dengan tegas dinyatakan. (Sukirno, 111: 1985).
Dari ciri-ciri yang disebutkan diatas, Kuznets beranggapan bahwa
perbedaan diantara berbagai tahap dalam Teori Rostow sangat kabur. Untuk tahap
pertama misalnya, masyarakat tradisional tidak perlu bagi perkembangan, dimana
pertumbuhan suatu negara tidak mesti melalui tahapan ini. Beberapa negara
seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia dilahirkan tanpa sebagai
masyarakat tradisional yang mewarisi pra-kondisi dari Inggris, suatu negara yang
telah maju. Jadi, pertumbuhan suatu negara tidak mesti melalui tahap pertama ini.
112
Untuk tahap kedua pra-kondisi tahap landas mungkin tidak mendahului tinggal
landas. Pra-kondisi tidaklah mesti mendahului tahap tinggal landas. Misalnya
tidak ada alasan untuk percaya bahwa suatu revolusi pertanian dan pembentukan
modal sosial overhead dibidang pengangkutan harus terjadi sebelum tinggal
landas (Jhingan, 150: 2000).
Kritikan terhadap tahap ketiga, yaitu tahap tinggal landas yang dipandang
oleh Jhingan sebagai tahap kontroversial dan banyak dibicarakan orang. Para
sejarawan ekonomi meragukan tahun tinggal landas yang dikemukakan oleh
Rostow (Jhingan, 151: 2000). Keraguan tersebut semakin besar dengan adanya
perbedaan antara penerbitan yang satu dengan penerbitan lainnya. Sebagai contoh
tahun tinggal landas India, didalam artikel “the take off into sustained growth”
disebut tahun 1937, sedang dalam penerbitan kemudian disebut tahun 1952.
sebenarnya diperlukan penelitian bertahun-tahun untuk menentukan benar
tidaknya jadwal tinggal landas tersebut sebagaimana yang diajukan Rostow.
Perbedaan diantara berbagai tahap dalam teori Rostow sangat kabur.
Menurut Kuznet tahap prasyarat untuk mencapai lepas landas dan tahap lepas
landas sangat sukar dibedakan karena beberapa ciri-ciri yang dinyatakan terdapat
dalam tahap lepas landas sudah berlaku pada tahap sebelumnya (Sukirno, 112:
1985). Sebagai contoh dalam teorinya Rostow menyatakan bahwa perkembangan
dan kenaikan produktivitas sektor pertanian dan perkembangan prasarana akan
berlaku pada tahap prasyarat untuk lepas landas, hal ini hanya mungkin berlaku
apabila tingkat penanaman modal meningkat dengan cepat. Berarti kenaikan
113
penanaman modal yang cepat, yang dinyatakan oleh Rostow sebagai salah satu
ciri penting pada tahap lepas landas, sudah berlaku pada masa sebelumnya.
Ciri yang ketiga dalam tahap lepas landas dikatakan bahwa telah terdapat
atau akan segera tercipta suatu rangka dasar politik, sosial dan institusional yang
akan menciptakan atau menjadi pendorong perluasan kegiatan ekonomi. Ciri
seperti ini berarti bahwa dalam tahap sebelumnya rangka dasar tersebut mungkin
sudah tercipta. Dalam konteks ini menimbulkan sebuah tanya dimanakah
perbedaan antara tahap prasyarat lepas landas dan tahap lepas landas itu sendiri?
Hal tersebut menunjukan adanya tumpang tindih dalam berbagai tahap tersebut
(Jhingan, 150: 2000).
Kesukaran untuk menentukan garis pemisah yang tegas juga terdapat di
antara tahap lepas landas dan tahap menuju kearah kedewasaan. Teori Rostow
menganggap bahwa pada tahap menuju kearah kedewasaan terdapat suatu rangka
dasar institusional yang akan melancarkan perkembangan sektor-sektor lain diluar
sektor-sektor utama. Ciri seperti ini juga sebenarnya terdapat dalam tahap lepas
landas. Kemudian dalam tahap menuju kearah kedewasaan akan tercipta
perkembangan yang pesat pada satu atau beberapa industri, yang akan menjadi
sektor-sektor utama dari proses pertumbuhan dalam tahap tersebut. Ciri semacam
ini juga terdapat dalam tahap lepas landas. Menurut kuznets, adanya perbedaan
yang tidak begitu nyata diantara ciri-ciri tahap lepas landas dengan tahap sebelum
dan sesudahnya menyebabkan manfaat untuk membahas hubungan analitis di
antara tahap-tahap tersebut sangat terbatas sekali (Sukirno, 112: 1985).
114
Kuznets berpandangan bahwa sebagian besar dari ciri-ciri dalam tahap-
tahap pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan oleh Rostow tidak mudah untuk
diuji secara empiris dan untuk yang dapat diselidiki kenyataan yang diperoleh
sangat berbeda dengan yang digambarkan Rostow, sebagai contoh dalam tahap
tinggal landas satu-satunya ciri yang dapat diuji secara empiris adalah kenaikan
tingkat penanaman modal dari 5% menjadi 10%. Data tingkat penanaman modal
di beberapa negara Barat pada waktu mereka mencapai tahap lepas landas
menunjukan bahwa tingkat penanaman modal tidak mengalami pertumbuhan
secepat seperti yang digambarkan Rostow, yaitu tingkatnya meningkat manjadi
dua kali lipat sepanjang masa lepas landas.
Berdasarkan pada data mengenai tingkat penanaman modal di beberapa
negara, Kuznets mengemukakan kritik berikut terhadap Teori Rostow:
a. Tingkat penanaman modal pada permulaan tahap lepas landas di beberapa negara yang dinyatakan oleh Rostow adalah lebih tinggi daripada yang disebut oleh Rostow yaitu 5%.
b. Dalam tahap lepas landas tingkat penanaman modal tidak berkembang menjadi dua kali lipat.
c. Rasio modal produksi tidaklah tetap sebesar 3,5% tetapi nilainya berbeda-beda diberbagai negara. Dan dalam satu negara berbeda-beda pula dari satu masa ke masa lainnya (Sukirno, 114: 1985)
Terdapatnya ketidaksesuaian di antara fakta-fakta yang terdapat di
beberapa negara pada masa dimana negara-negara itu dianggap oleh Rostow
mencapai tahap lepas landas dengan ciri-ciri tahap lepas landas seperti yang
dikemukakan Rostow, menyebabkan adanya keraguan perlunya membedakan
tahap lepas landas dengan tahap sebelum dan sesudahnya. Bahkan dalam tahapan
yang lebih mendasar lagi, teori pertumbuhan Rostow boleh dikatakan telah gagal
total dalam berbagai kenyataan penting lainnya terutama pada saat diterapkan di
115
dunia ketiga (Todaro, 99: 2000). Kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga
sekarang ini merupakan bagian integral dari suatu sistem internasional yang
sedemikian rumit dan integratif, sehingga strategi-strategi pembangunan yang
paling hebat dan terencana secara matang sekalipun dapat dimentahkan begitu
saja oleh kekuatan-kekuatan asing yang keberadaan dan sepak terjangnya sama
sekali di luar kendali negara-negara yang bersangkutan.
B. Analisis Penerapan Teori Modernisasi Rostow di Indonesia
1. Peranan Ekonom Kelompok Berkeley
Pada bulan Maret 1967 MPRS menyelenggarakan sidang istimewa dan
Mengangkat Soeharto menjadi pejabat presiden. Tetapi disisi lain Sukarno tetap
diakui sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) yang sah, hanya saja segala
mandat untuk menjalankan pemerintah dicabut oleh MPRS, hal tersebut
menimbulkan adanya dualisme dalam kepemimpinan di Indonesia, sebagaimana
yang ditulis oleh Poesponegoro dan Notosusanto dalam bukunya Sejarah
Nasional Indonesia VI (415: 1993) bahwa:
“Dalam masa 1966-1967 terdapat dualisme dalam kepemimpinan Nasional, yaitu di satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif dan dipihak lain adanya tokoh Jenderal Soeharto”
Baru pada tanggal 27 maret 1968 melalui sidang umumnya MPRS
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI untuk masa jabatan 5 tahun
Sesuai dengan UUD 1945. Berdasarkan keputusan sidang MPRS itu dualisme
kepemimpinan terhapuskan dan Suharto tampil menjadi penguasa tunggal. Dari
pergantian pemerintah Sukarno ke Soeharto terlihat secara jelas Indonesia dapat
116
dilihat sedang berbalik arah, yaitu dari ideologi kiri ke kanan di bawah pimpinan
Jenderal Soeharto (Green, 99: 1992). Hal tersebut terlihat dari kebijakan-
kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru yang lebih condong ke Barat.
Menurut Green sebelum tahun 1966 Indonesia merupakan kekuatan yang
negatif dalam percaturan dunia, sesudah tahun 1966 negara ini menjadi kekuatan
yang positif. Perubahan haluan secara besar-besaran di Indonesia dalam kurun
waktu yang penting sejak tahun 1965-1967 sungguh hebat sehubungan dengan
penampikan keras terhadap komunisme dan penolakan terhadap Soekarnoisme
(168: 1992).
Pada awal masa jabatannya sebagai Presiden, Soeharto dihadapkan pada
keadaan ekonomi yang parah terutama masalah inflasi yang memerlukan
penanganan yang cepat dan segera. Seperti halnya yang tertulis dalam buku Asean
karya Ranjit Gill (134: 1988) bahwa:
“...Soekarno dikeluarkan dari kancah politik, tujuan membangun kembali negara jatuh pada Suharto, yang menghadapi tantangan merosotnya ekonomi, inflasi merajalela, kegelisahan sosial, meningkatnya pengangguran, hutang luar negeri, ketiadaan modal dan pemberontakan Irian Barat terhadap pemerintah”.
Senada dengan Ranjit, Ricklefs (2005: 572), menyatakan bahwa salah satu
masalah pertama Suharto adalah utang luar negeri yang begitu besar yang
diwariskan pemerintah demokrasi terpimpin. Laporan pemerintah Indonesia bulan
September 1966 kepada para kreditornya yang nonkomunis menggambarkan
tingkat bencana nasional yang dihadapi rezim Orde Baru, inflasi tahunan terhitung
melebihi 600%, persediaan uang 800 kali lebih tinggi daripada angka di tahun
1955 dan defisit pemerintah 70 kali lebih banyak daripada tahun 1961 (Ricklefs,
117
573: 2005). Hal ini menunjukan begitu peliknya masalah ekonomi yang harus
dihadapi Orde Baru. Atas dasar inilah maka pada awal jaman Orde Baru program
pemerintah semata-mata diarahkan kepada usaha penyelamatan ekonomi nasional
terutama berupaya untuk menurunkan Inflasi (Poesponegoro dan Notosusanto,
430: 1993).
Masalah paling berat yang dihadapi orde baru ialah bagaimana
membereskan segala sesuatu yang murat marit akibat rusaknya sendi-sendi
ekonomi negara selama bertahun-tahun. Infrastruktur berantakan, inflasi menjadi-
jadi, hidup 10 tahun dalam hutang, mengabaikan produksi sehingga
mengakibatkan krisis nilai tukar dengan valuta asing. Angka pertambahan
penduduk di Jawa, yang didiami oleh 60% penduduk Indonesia berjumlah 115
juta jiwa melampaui angka produksi pangan mengakibatkan krisis beras yang
gawat (Green, 102: 1992)
Ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan dalam bulan Maret 1966,
ia mempunyai modal kuat. Diantaranya ialah tumpuan kekuatan militer bertambah
kokoh, nasehat yang masuk akal dari Adam Malik mengenai persoalan luar negeri
dan kebijakan kelompok kecil para ahli ekonomi yang cemerlang dan kebanyakan
diantara mereka menerima pendidikan di Universitas California sehingga terkenal
dengan sebutan “Mafia Berkeley” (Green, 100: 1992). Mafia Berkeley adalah
julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang ekonomi dan
keuangan, yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia dimasa awal
pemerintahan Presiden Suharto (http://id.wikipedia. org/ wiki/ Mafia_Berkeley
[12-07-2008]). Sebagian besar dari menteri-menteri adalah lulusan doktor atau
118
master dari University of California at Berkeley di tahun 1960-an atas bantuan
Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat
mengajar di Universitas Indonesia. Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah
Widjojo Nitisastro. Sedangkan para anggotanya antara lain Emil Salim, Ali
Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan
dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini.
Dengan teknik-teknik makro ekonomi yang mereka dapatkan dari Berkeley,
mereka menetapkan berbagai kebijaksanaan makroekonomi dan deregulasi yang
memacu kegiatan ekonomi Indonesia yang macet pada masa pemerintahan
Sukarno.
Latar belakang terbentuknya “Kelompok Berkeley” ini ialah adanya suatu
keputusan berdasarkan pengamatan jauh ke depan oleh Dr. Sumitro, yang waktu
itu menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk mengirimkan
sekitar 10 orang asistennya ke Amerika Serikat guna mengikuti pendidikan
Sarjana dan terbukti membuahkan hasil, semuanya menjadi menteri atau
perencana tertinggi pemerintah (Green, 100: 1992). Menteri atau perencana
tertinggi ini sering disebut sebagai teknokrat karena orang-orang ini yang
merancang segala kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah.
Mohammad Sadly mendefinisikan teknokrat sebagai pejabat pemerintah
yang profesional yang tidak merasa terikat kepada suatu “Isme” ideologi. Mereka
ikut merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi dengan semangat
yang rasional dan ilmiah. Para Sarjana Ekonomi yang mengemban semangat ini
119
banyak merupakan alumni Fakultas Ekonomi UI dan dapat disebut kader Sumitro
(Asmara, 404: 1987).
Mengenai kepercayaan Soeharto pada kelompok Berkeley terlihat pada
saat ia mengikuti pendidikan seskoad di Bandung awal tahun 1960, disana ia
mendapat kesan yang baik atas pandangan yang diutarakan secara jelas oleh
beberapa orang mafia berkeley, di seskoad terdapat latihan perencana yang luas
yang ada hubungannya dengan langkah-langkah yang perlu diambil oleh
Indonesia guna mencapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal itu mampu
menjelaskan cara sistematis yang disusun oleh Soeharto dan rekan-rekannya guna
memperbaiki kondisi ekonomi di Indonesia (Green, 101: 1992).
Gardner berpandangan bahwa program ekonomi Orde Baru yang
mendapat dukungan seminar angkatan darat di Bandung pada pokoknya
merupakan pekerjaan ahli-ahli ekonomi yang dididik di AS (Gardner, 507: 1999),
yang atas dasar sementara tidak formal telah memberikan nasehat pada Adam
Malik dan Sultan Yogyakarta. Empat diantara mereka adalah widjojo Nitisastro,
Muhammad Sadly, Subroto dan Emil Salim kemudian diangkat oleh presiden
Soeharto sebagai anggota staf pribadinya, sedangkan Widjojo menjadi ketua
badan perencanaan pembangunan nasional. Beberapa bulan kemudian Soeharto
memanggil mentor kelompok tersebut, Sumitro Djojohadikusumo supaya kembali
dari luar negeri dan ikut dalam kabinet sebagai mentri perdagangan.
Orientasi pikiran para Sarjana Ekonomi di Indonesia pada waktu itu tidak
dapat terlepas dari perkembangan alam pikiran dikalangan development economist
di dunia, khususnya di Barat. Dasawarsa 50 doktrin pembangunan ekonomi yang
120
menekankan pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi menguasai alam
pikiran mereka (Asmara, 405: 1987).
Menurut Bara Simatupang secara periodik rupanya para alumnus FE-UI
yang sedang tugas belajar lanjut di Berkeley sering bertemu di rumah Widjojo
Nitisastro, dan buku Prof . W. W Rostow, The Stages of Economic Growth
(Cambridge University Press 1960) didiskusikan dalam pertemuan berkala itu
yang-terantuk-di-pengadilan/ [07-06-2008]), yang menyatakan bahwa :
“Pemikiran ahli ekonomi asal Amerika Serikat, Walt Whitman Rostow mempengaruhi perumus kebijakan pembangunan Orde Baru, sehingga dengan menaruh kepercayaan pada teori Rostow mereka menyusun arah pembangunan Indonesia”.
Pokok pemikiran Rostow inilah yang kemudian dijadikan pegangan ilmiah
oleh pemerintah dalam menyusun Garis Besar Haluan Negara, seperti halnya yang
ditulis di MacDougall, seperti berikut:
“mereka yang pernah membaca GBHN dan buku Rostow, The_Stages_of_Economic_Growth:_A_Non-Communist_Manifesto, tahu bahwa yang pertama hampir merupakan terjemahan langsung dari yang kedua”.(MacDougall,http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/04/13/0016.html[08-06-2008]).
Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan
pembangunan telah dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-
rencana tersebut mencapai tahap yang matang dan membuahkan hasil yang
memuaskan. Upaya-upaya perencanaan pembangunan tersebut menurut
adalah sebagai berikut: Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir
Siasat Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta.
Pada bulan Juli tahun 1947, dibawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan
“Plan Produksi Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah
rencana ini juga tidak sempat dilaksanakan. Kemudian disusun “Rencana
Kesejahteraan Istimewa 1950-1951” (untuk bidang pertanian pangan) yang
disusul dengan “Rencana Urgensi Untuk Perkembangan Industri 1951-1952” di
122
bawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. Rencana-rencana ini tidak berjalan
dengan baik. Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima
Tahun 1956-1960” yang disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai
oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun pelaksanaannya tertunda hingga tahun
1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana baru. Pada tahun 1960
berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-
1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik”
daripada rencana pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis,
sehingga rencana kurang berjalan baik dan keadaan ekonomi bertambah parah.
Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan
Ekonomi Perjuangan Tiga Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Setir”.
Rencana ini tidak pernah terselenggara dengan baik dan tidak mampu menolong
parahnya situasi ekonomi. Akibat tidak satupun rencana pembangunan
mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia kian bertambah parah hingga
jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30 September PKI pada
tahun 1965.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintahan Suharto menetapkan
prioritas pada stabilisasi ekonomi terutama penurunan tingkat inflasi yang telah
mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan 1966, perbaikan keuangan pemerintah
dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif. Untuk itu pada awal
pemerintahan Orde Baru program pemerintah semata-mata diarahkan kepada
usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama berupa usaha memberantas
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
123
Kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi sekitar
650% setahun tidak memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan
pembangunan dengan segera tetapi harus melakukan stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi terlebih dulu (Poesponegoro dan Notosusanto, 430: 1993)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan perlu
diadakannya landasan-landasan baru, berdasarkan landasan-landasan itu dapat
dilakukan stabilitasi dan rehabilitasi. Dikeluarkanlah Ketetapan No.
XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan yang pada hakekatnya merupakan suatu konsepsi
strategis yang tepat untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak
tahun 1955. Ketetapan MPRS ini terdiri dari 10 bab dan 71 pasal sebagai berikut:
1. Landasan dan prinsip kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan
pembangunan.
2. Kebijaksanaan ekonomi
3. Skala prioritas nasional
4. Peranan pemerintah
5. Peranan koperasi
6. Peranan swasta nasional
7. Kebijaksanaan pembiayaan
8. Hubungan ekonomi luar negeri
9. Prasarat
10. Penutup
124
Dengan ketetapan ini MPRS menggariskan bahwa pemerintah harus
mengadakan pembaharuan landasan ekonomi yaitu dari ekonomi terpimpin ke
arah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi menurut Widjojo Nitisastro
bukanlah suatu hal yang baru melainkan telah terdapat didalam penjelasan UUD
1945 (Poesponegoro dan Notosusanto, 430: 1993). Demokrasi ekonomi berarti
produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan dan pemilikan anggota
masyarakat. Ekonomi disusun atas dasar kekeluargaan, jadi tidak mengenal
pertentangan kelas. Karena itu mempunyai konsekuensi keharusan adanya
pengawasan rakyat terhadap kekayaan negara. Peranan pemerintah sejauh
mungkin tidak menguasai segala sesuatu tetapi memberikan pengarahan dan
mendorong pembangunannya. Hal ini bukanlah sistem liberal, tetapi pemerintah
jangan mengurus segala sesuatu dengan sistem lisensi, sistem penjatahan yang
akibatnya justru penyalahgunaan dan penyelewengan. Jadi, pemerintah
menggunakan apa yang disebut indirect means dan menjalankan indirect control.
MPRS menyadari bahwa kemerosotan ekonomi yang berlarut-larut itu
disebabkan oleh (Poesponegoro dan Notosusanto, 432: 1993):
a. Tidak adanya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijaksanaan
ekonomi.
b. Kepentingan ekonomi dikalahkan oleh kepentingan politik.
c. Pemikiran ekonomi yang rasional untuk memecahkan masalah-masalah
ekonomi dikesampingkan.
Kemudian MPRS menggariskan tiga macam program yang harus
diselesaikan oleh pemerintah secara bertahap.
125
Program itu adalah :
- Program penyelamatan
- Program stabilitasi dan rehabilitasi
- Program pembangunan
Khusus program stabilitasi dan rehabilitasi merupakan program yang pendek
dengan skala prioritasnya:
- Pengendalian inflasi
- Pencukupan kebutuhan pangan
- Peningkatan kegiatan ekspor
- Pencukupan kebutuhan pangan
Stabilisasi berarti pengendalian inflasi, agar harga-harga tidak melonjak
terus secara cepat. Sedangkan rehabilitasi adalah rehabilitasi secara fisik daripada
prasarana-prasarana, rehabilitasi ekspor dan rehabilitasi alat-alat produksi yang
banyak mengalami kerusakan. Dengan melaksanakan rehabilitasi bukan berarti
pemerintah membuat jalan-jalan baru, tetapi perbaikan jalan-jalan yang sudah ada
dan bukan pula berarti membuat pabrik baru sebelum pabrik yang ada bisa
dimanfaatkan sepenuhnya. Demikian pula rehabilitasi dibidang ekspor. Dalam
tahun 1950 ekspor Indonesia diluar minyak bumi adalah sekitar 500 juta dollar
sampai 1 milyar dollar. Ekspor tahun 1966 adalah kurang dari 500 juta dollar
tanpa minyak bumi. Adanya kemerosotan ekspor terus menerus memerlukan
rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor. Pada waktu
itu hutang Indonesia kepada luar negeri meliputi sekitar 2,3 milyar dollar.
Pemerintah wajib membayarnya kembali di dalam tahun 1967, ditambah dengan
126
tunggakan-tunggakan dari tahun-tahun sebelumnya. Jumlahnya diperkirakan
meliputi 500 juta dollar.
Program dibidang keuangan/moneter ialah dengan penekanan inflasi dan
peningkatan nilai rupiah. Dibidang produksi ditetapkan prioritas peningkatan
produksi sandang pangan terutama 9 bahan kebutuhan pokok dan produksi ekspor
serta perbaikan prasarana produksi. Dibidang distribusi ditetapkan program untuk
memperlancar distribusi dengan jalan menertibkan pengawasan dan penguasaan 9
bahan kebutuhan pokok, peningkatan kemampuan angkutan darat, laut dan udara,
serta memperlancar komunikasi baik dalam negeri maupun luar negeri.
Sesuai dengan ketetapan MPRS No. XXIII, peranan pemerintah dalam
stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi adalah lebih menekankan pengawasan arah
kegiatan ekonomi dan bukan pada penguasaan yang sebanyak-banyaknya dari
kegiatan ekonomi, hal ini berarti perlu diselenggarakan debirokratisasi dari sistem
pengawasan dan dekontrol manajemen perusahaan-perusahaan negara. Dengan
demikian unit-unit produksi memperoleh kebebasan bekerja yang lebih besar
sedangkan pemerintah tetap memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
perkembangan ekonomi secara tidak langsung, antara lain seperti kebijaksanaan
fiskal, kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan impor. Dengan adanya dekontrol
ini maka campur tangan secara langsung dalam managemen perusahaan-
perusahaan dihindarkan sehingga pimpinan perusahaan dapat menjalankan
tugasnya berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional.
Guna membulatkan usaha stabilitasi dan rehabilitasi ekonomi serta
mempersiapkan landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan Rencana
127
Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN 1968)
menjadi UU No. 13 tahun 1967. UU APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran
dimulai. Hal ini adalah berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya pada jaman Orde
Lama. Perbedaan lainnya adalah kalau pada tahun-tahun yang lalu digunakan
sistem deficit spending dalam penerimaan dan pengeluaran negara, maka dalam
APBN digunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget. Prinsip ini
berarti bahwa besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan
negara. Dengan APBN tersebut pemerintah mengambil kebijaksanaan agar hasil
penerimaan pemerintah digunakan untuk belanja rutin pemerintah. Sedangkan
bantuan luar negeri digunakan untuk belanja pembangunan.
Bantuan luar negeri ini terutama berasal dari negara Barat, menurut
Ricklefs ketika orde baru semakin mengendalikan negara dan peluang bangkitnya
pendukung Sukarno menyusut, prospek Soeharto memperoleh bantuan keuangan
dalam jumlah besar dari dunia barat semakin meningkat pula (Ricklefs, 572:
2005). Sebagai imbalan atas bantuan ekonomi yang diberikan negara-negara
barat, pemerintahan Soeharto mengadopsi langkah-langkah reformasi yang terus-
menerus dipuji oleh Bank Dunia dan IMF. Langkah-langkah ini mendominasi
kebijakan ekonomi pada tahun 1970-an. Strategi laissez-faire pintu terbuka untuk
meningkatkan investasi asing dan pertumbuhan ekonomi maksimum diiringi
dengan pengendalian ekonomi intern yang tegas. Ricklefs memandang bahwa
dengan kebijakan-kebijakan baru ini adalah hadirnya sekelompok ahli ekonomi
Indonesia yang terdidik secara akademis, para teknokrat yang dikenal dengan
“mafia Berkeley” (Ricklefs, 573: 2005). Dengan kemampuan mereka berbicara
128
dalam bahasa ekonomi Internasional, mereka menambah kredibilitas
pemerintahan Soeharto di mata negara-negara Barat.
Laporan pemerintah Indonesia bulan September 1966 kepada para
kreditornya yang nonkomunis menggambarkan tingkat bencana nasional yang
dihadapi rezim baru ini. Inflasi tahunan terhitung melebihi 600%, persediaan uang
800 kali lebih tinggi daripada angka ditahun 1955 dan defisit pemerintah 780 kali
lebih banyak daripada tahun 1961 (dan 1,8 kali dari persediaan total uang). Saat
berkonsultasi dengan IMF, para teknokrat memperkenalkan pengendalian
anggaran, tarif bunga tinggi, pengendalian ekspor yang lebih ketat, dan langkah-
langkah anti-korupsi yang akan dimulai pada bulan Oktober (Ricklefs, 573: 2005).
Perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika yang sebelumnya disita segera
dikembalikan kepada pemiliknya. Pada bulan Februari 1967, undang-undang
investasi baru disahkan untuk mendorong investasi asing.
Soeharto dengan tegas melaksanakan langkah-langkah keras yang
dianjurkan para teknokrat dan para penasehat mereka dari IMF termasuk
mengimbangi anggaran pemerintah, membatasi kredit bank, menghentikan
perekrutan pegawai pemerintah, menaikkan bea, menjalankan pengumpulan pajak
dan mengakhiri subsidi-subsidi pemerintah. (Gardner, 508: 1999).
Untuk mengimbangi anggaran, pemerintah harus tegas dalam memotong
pengeluaran-pengeluaran. Anggaran tahun 1967 merinci pokok-pokok penting
dari pengurangan anggaran, pemotongan-pemotongan ini dibagi dalam enam
kategori (Prawiro, 28: 2003):
129
1. Pengurangan dalam biaya personalia, dikantor-kantor sipil maupun militer.
2. Penghentian pembelian tanah, bangunan dan hal-hal yang berkaitan untuk
kantor-kantor sipil dan militer.
3. Penghentian subsidi kepada daerah-daerah.
4. Penghentian subsidi kepada usaha-usaha milik negara
5. Penghentian atau penundaan proyek-proyek yang baru berjalan dan tidak
memberikan imbal hasil keuangan secara cepat bagi negara.
6. Pelarangan proyek-proyek baru yang memberatkan cadangan rupiah atau
cadangan devisa negara.
Keenam hal ini bisa diringkas lagi menjadi pembatasan terhadap besarnya
pengeluaran pemerintah, penjadwalan ulang atau pembatalan proyek-proyek besar
dan pengurangan subsidi. Pemerintah baru memutuskan untuk segera
menghentikan pembiayaan untuk semua proyek yang tidak esensial. Pernyataan
yang dibuat oleh Jenderal Soeharto atas nama pemerintah Indonesia pada
konferensi multilateral di Tokyo pada tanggal 17 September tahun 1966, memberi
panduan yang jelas untuk menyetujui atau membatalkan proyek-proyek. Di sana
ia mengatakan:
“...pemerintah saya telah bertekad sebagai bagian dari program stabilisasi, untuk sementara membatasi pengeluaran-pengeluaran untuk investasi, walaupun ini sangat penting untuk memberi kesempatan kerja yang lebih luas. Proyek-proyek yang tidak diharapkan dapat menghasilkan imbal hasil ekonomi dalam waktu yang singkat, harus ditunda atau sama sekali akan dihentikan. Bila dalam kasus-kasus yang layak, usaha-usaha swasta berminat untuk menyelesaikan proyek-proyek ini atas beban mereka sendiri, pemerintah saya akan menyambut baik minat-minat demikian” (Prawiro, 30: 2003).
130
Pemerintah Orde Baru mengambil langkah berani untuk mengadakan
pemotongan-pemotongan yang cukup besar terhadap subsidi-subsidi. Dalam bulan
April tahun 1968 subsidi untuk bensin dihentikan yang menyebabkan kenaikan
harga sebesar 400% dari Rp 4 menjadi Rp 16 per liter (Prawiro, 32: 2003).
Kenaikan harga ini berpengaruh terhadap seluruh ekonomi, namun dampak
inflasinya secara keseluruhan tidak begitu besar. Dengan memotong subsidi untuk
bensin dan pengurasan sumber penghasilan pemerintah yang penting telah
ditiadakan. Pengurangan dalam subsidi-subsidi merupakan sebuah manifestasi
yang tidak dapat dihindari dari kebijakan anggaran imbang.
2. Rencana Pembangunan Lima Tahunan
Berdasarkan pola dasar pembangunan nasional disusun pola umum
pembangunan jangka panjang yang meliputi waktu 25-30 tahun. Didalam pola
umum itu ditentukan kebijaksanaan pembangunan dan sasaran-sasaran
pembangunan yang hendak dicapai. Pembangunan jangka panjang dilakukan
secara bertahap dan berkelanjutan, setiap tahap tersebut berjangka waktu lima
tahun. Sesuai dengan jangka waktu tersebut, maka setiap tahap disebut
Pembangunan Lima Tahun (Poesponegoro dan Notosusanto, 443: 1993):
2.1. Repelita I (1969/1970-1973/1974)
Repelita I mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 setelah
berhasilnya usaha-usaha stabilisasi dibidang politik dan ekonomi yang dijalankan
sejak oktober 1966. Tujuan Repelita I ialah untuk meningkatkan taraf hidup
131
raktyat sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap
berikutnya (Poesponegoro dan Notosusanto, 444: 1993). Repelita I menekankan
pada rehabilitasi perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta
perbaikan irigasi dan sistem transportasi. Dalam Repelita I ini, investasi
pemerintah lebih ditanamkan pada bidang usaha yang menghasilkan dampak yang
paling besar seperti pertanian, insfrastruktur ekonomi, dan perluasan industri hal
tersebut sesuai dengan teori rostow dimana bidang-bidang tersebut menjadi modal
penting bagi berkembangnya suatu negara untuk mencapai tahap tinggal landas.
Bantuan ekonomi asing ditempatkan dalam kerangka pembangunan lima
tahun orde baru yang pertama tanggal 1 April 1969, tujuan utamanya yakni
meningkatkan standar kehidupan terutama pertanian yang merupakan gagasan
Widjojo Nitisastro (Gardner, 524: 1999). Tiga perempat pengeluaran pada
Repelita I dibiayai dari pinjaman asing yang jumlahnya membengkak US$ 877
juta pada akhir periode (Ricklefs, 582: 2005). Berdasarkan pengamatan Ricklefs
pada tahun 1972, utang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966 sudah
melebihi pengeluaran saat Sukarno berkuasa. Pada tahun 1969, pulihnya nama
Indonesia didunia Komunis ditandai dengan kunjungan dari beberapa kepala
negara asing termasuk presiden Amerika Serikat Richard Nixon. Menyusul
kunjungan Nixon, bantuan militer Amerika untuk Jakarta pun meningkat tajam
mencapai US$ 40 juta pada tahun 1976 (Ricklefs, 582: 2005).
Persoalan pokok yang dihadapi dalam Repelita I adalah bagaimana
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi
yang telah dapat dicapai. Kesemuanya ini untuk meningkatkan pendapatan riil
132
masyarakat dan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang senantiasa
meningkat. Dalam lingkup ini termasuk di dalamnya bagaimana meningkatkan
pendapatan devisa, meningkatkan kemampuan untuk pembangunan (ekonomi),
mengubah struktur perekonomian agar tidak tergantung pada sektor pertanian dan
meningkatkan produksi nasional.
Untuk menghadapi persoalan pokok tersebut di atas pemerintah menyusun
Repelita yang mencakup kurun waktu 1969/1970-1973/1974. Pedoman dan arah
rencana ini adalah bertumpu pada ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
Dengan perkataan lain, TAP MPRS tersebut dijadikan GBHN yang pertama.
Periode ini dikenal sebagai periode ekspansi ekonomi. Strategi dasar Repelita I
diarahkan pada pencapaian stabilitas nasional (ekonomi dan politik) dan
pertumbuhan ekonomi. Strateginya dititikberatkan pada sektor pertanian dan
industri yang menunjang sektor pertanian.
Alasan dasar penekanan strategi Repelita I adalah bahwa sebagai
kelanjutan langkah-langkah pemerintah Orde Baru, sejumlah ketetapan yang
bersifat prinsipiil telah dihasilkan dalam bidang sidang MPRS tahun 1966 tentang
pembaruan dibidang ekonomi dan pembangunan (Tap MPRS No.
XXIII/MPRS/1966). Tugas utama Orde Baru adalah untuk menghentikan proses
kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan
ekonomi kearah yang wajar. Untuk melaksanakan tugas itu program jangka
pendek diarahkan pada pengendalian inflasi rehabilitasi sarana ekonomi,
peningkatan kegiatan ekonomi dan pencukupan sandang yang telah dilakukan,
dan dirasakan cukup berhasil khususnya dalam hal pengendalian inflasi. Setelah
133
perekonomian dapat stabil maka ekspansi ekonomi sebagai cerminan
pembangunan ekonomi dilakukan melalui tahap-tahap tertentu.
Penekanan pada sektor pertanian dipilih karena sebagian besar penduduk
Indonesia (80%) tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian di bidang pertanian
(termasuk perhutanan, perkebunan, perikanan dan peternakan). Ini berarti sektor
pertanian memberi sumbangan terbesar baik bagi penerimaan devisa maupun
dalam menyediakan lapangan kerja. Lebih dari itu sektor pertanian yang
merupakan sumber bahan baku bagi sektor industri perlu diamankan terlebih
dahulu. Penekanan kegiatan pada sektor pertanian juga dilandasi pada kenyataan
bahwa Indonesia yang dikenal memiliki alam yang subur itu masih juga
mengimpor beras yang berarti memboroskan devisa. Dengan demikian, Repelita I
menetapkan sektor pertanian sebagai leading sektor pembangunan ekonomi
Indonesia yang diharapkan akan mampu menarik dan mendorong sektor-sektor
kegiatan ekonomi lainnya seperti apa yang dikatakan Rostow dalam teorinya,
khususnya sektor industri yang menunjang sektor pertanian seperti pabrik pupuk,
insektisida serta prasarana ekonomi lainnya seperti sarana angkutan.
Untuk membiayai pembangunan dan dalam rangka mempercepat laju
pertumbuhan, pemerintah mengundang modal asing untuk melakukan investasi di
Indonesia. Jumlah modal asing ini dapat dilihat dari tabel dibawah ini:
134
Tabel 4.1 Volume modal luar negeri yang masuk ke indonesia 1970/1971 sampai
1978/1979 (dalam juta US dolars)
Tahun Modal Asing Untuk
tujuan Investasi
Langsung
Pinjaman Luar Negeri
Kotor
Jumlah
1970/1971 88 369 457
1971/1972 186 420 606
1972/1973 254 481 753
1973/1974 331 643 974
1974/1975 538 660 1198
1975/1976 454 1995 2449
1976/1977 287 1823 2110
1977/1978 285 2106 2391
1978/1979 271 2101 2372
Sumber : World Bank (Arief & Adi, 147: 1981)
Corak investasi modal asing maupun modal dalam negeri ataupun
investasi patungan cenderung kearah industri pengganti impor. Strategi dasar
dalam Repelita I tersebut kemudian dijabarkan pada rencana anggaran
pengeluaran pembangunan dimana sebagian besar dana dialokasikan pada bidang
ekonomi, yaitu 78,28%, khususnya untuk sektor pertanian dan irigasi, sektor
perhubungan dan pariwisata, industri dan pertambangan serta sektor pedesaan
(Suroso, 103: 1993). Sektor-sektor diluar ekonomi seperti bidang sosial
135
(pendidikan, kesehatan) dan bidang umum (pertahanan, keamanan) masing-
masing memperoleh 16,25% dan 5,4%.
Dalam rangka menunjang strategi dasar tersebut di atas pada tahun 1970
pemerintah Indonesia menetapkan kebijaksanaan baru dibidang perdagangan,
ekspor-impor dan devisa. Kebijaksanaan ini merupakan lanjutan dari
kebijaksanaan Oktober 1966 dan kebijaksanaan Juli 1968. Kebijaksanaan baru ini
dikenal sebagai kebijaksanaan 16 April 1970. Sasaran kebijaksanaan Oktober
1966 adalah:
1. Penertiban keuangan negara yang serba kalut
2. Pengaturan kembali urusan moneter dan dunia perbankan
3. Memberikan kebebasan kepada dunia perdagangan yang terbelenggu
oleh sistem “jatah” yang tidak wajar dan terbeku oleh peraturan
berbelit-belit yang mematikan inisiatif masyarakat.
Sasaran pokoknya adalah membendung keganasan inflasi yang melanda
Indonesia. Kebijaksanaan Juli 1968 mempunyai sasaran pokok antara lain,
Pertama, penguasaan harga pangan, harga sandang dan valuta asing. Kedua,
Penyediaan yang cukup bagi sarana-sarana untuk peningkatan produksi dalam
negeri khususnya pangan dan sandang. Ketiga, perbaikan prasarana yang
menunjang proses produksi. Dan terakhir, perbaikan kelembagaan di bidang
perdagangan, perbankan dan fiskal. Sasaran kebijaksanaan April 1970 adalah
(Suroso, 104: 1993) sebagai berikut:
1. Lebih memperkuat stabilisasi ekonomi
2. Mendorong ekspor untuk peningkatan penerimaan devisa
136
3. Mendorong peningkatan produksi
4. Mendorong dan memperlancar perdagangan
5. Memperluas kegiatan ekonomi masyarakat yang berarti juga
memperluas lapangan kerja
Sasaran ini hendak dicapai melalui pertama, memberi arah dan bimbingan
yang lebih aktif lagi bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Kedua, mendorong lebih
kuat dan menunjang lebih besar lagi kelancaran usaha. Ketiga, menggairahkan
kerja. Keempat, meningkatkan produksi dan terakhir ialah memperluas kegiatan
dalam masyarakat sendiri.
Perkembangan perekonomian pada periode ini cukup tinggi (kurang lebih
6,5% /tahun). Penyebabnya dalam banyak hal adalah adanya konsistensi
kebijaksanaan dalam bidang moneter, fiskal, dan perdagangan (Suroso, 105:
1993). Selain itu pengaruh luar negeri seperti permintaan terhadap minyak yang
relatif baik dan harga minyak juga cukup baik memberikan pengaruh yang positif
terhadap perkembangan perekonomian pada periode ini. Dibidang pertanian
terjadi peningkatan pada sebagian besar hasil pertanian. Beras mengalami
kenaikan rata-rata 4% Tahun. Kenaikan yang terbesar tercatat pada produksi kayu,
khususnya kayu rimba, rata-rata 37,4% setahun.
Produksi beras naik karena adanya perluasan areal panen dan kenaikan
rata-rata hasil per hektar. Areal peswahan meningkat disebabkan oleh bertambah
baiknya sarana pengairan sedangkan kenaikan hasil perhektar disebabkan oleh
terlaksananya program insentifikasi melalui Bimas dan Inmas, serta pemakaian
bibit unggul, pupuk dan obat pembasmi hama.
137
Tabel 4.2. Persediaan Beras Di Indonesia tahun 1967-1978 (Dalam Juta Ton)
Tahuan Produksi Bersih Impor Jumlah Persediaan
1967 9,46 0,35 9,81
1968 10,62 0,65 11,25
1969 11,15 0,60 11,75
1970 11,96 0,96 12,92
1971 12,49 0,49 12,98
1972 11,99 0,74 12,73
1973 13,29 1,66 14,95
1974 13,90 1,07 14,97
1975 13,81 0,68 14,49
1976 14,42 1,28 15,70
1978 14,45 1,96 16,41
1979 16,02 1,84 17,86
Sumber: Depertemen Pertanian dan Bulog (Arief & Adi, 167: 1981)
Iklim ekonomi yang semakin membaik menjadi perangsang bagi
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Sektor industri
merupakan sektor paling menarik bagi penanaman modal dalam negeri disusul
oleh sektor kehutanan, pariwisata, perhubungan dan perkebunan. Dibidang
perminyakan ditemukan sumber-sumber minyak baru di daratan dan lepas pantai
antara lain di Kalimantan Timur dan di pantai utara Jawa Barat. Yang perlu di
catat ialah pada Repelita I, adanya fenomena oil boom yang dimulai tahun 1973,
memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia.
138
Dan pada Repelita II, anggaran pembangunan dapat melampaui budget, ini
dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah.
Penyebab dari oil boom ini adalah adanya perang Arab-Israel yang terjadi
pada bulan oktober 1973, sehingga menyebabkan revolusi harga minyak. Harga
minyak mentah Indonesia meningkat dari US$ 12,60 pada bulan Juli 1974. pada
tahun 1966, minyak menyumbang 30% dari nilai ekspor Indonesia dan pada
tahun 1974 melonjak hingga 74% (Ricklefs, 588: 2005). Repelita I berakhir
tanggal 31 Maret 1974.
2.2 Repelita II (1974/1975-1978/1979)
Repelita II dimulai pada tanggal 1 april 1974. hasil-hasil yang telah
dicapai dalam Repelita I merupakan titik tolak bagi pelaksanaan Repelita II.
Berdasarkan hasil-hasil tersebut, maka sasaran-sasaran utama Repelita II
(Poesponegoro dan Notosusanto, 449: 1993) adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya pangan dan sandang yang serba cukup dengan mutu
yang bertambah baik juga terbeli oleh masyarakat pada umumnya.
2. Tersedianya bahan-bahan perumahan dan fasilitas-fasilitas lain yang
diperlukan terutama untuk kepentingan rakyat banyak.
3. Keadaan prasarana yang maikin meluas dan sempurna.
4. Keadaan kesejahtraan rakyat yang lebih baik dan lebih merata.
5. meluasnya kesempatan kerja.
Dibawah Repelita II 72% pengeluaran dapat dibiayai dari pendapatan
dalam negeri, tidak lagi dari pinjaman asing (Ricklefs, 589: 2005). Hal tersebut
139
dikarenakan pendapatan pemerintah yang cukup tinggi akibat adanya peristiwa oil
boom pada akhir Repelita I. Tetapi kenaikan harga minyak yang pesat ini tidak
membuat Indonesia menjadi negara kaya. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di
Indonesia menurut Ichimura tak lain disebabkan juga oleh adanya ledakan harga
minyak dunia yaitu pada tahun 1973-1974 dan 1978-1979.
Penerimaan devisa dari ekspor minyak pada tingkat harga yang lebih
tinggi diperkirakan sebesar US$ 4,1 milyar per tahun dalam kurun waktu 1973-
1974, ini sama dengan kenaikan harga minyak tersebut dari US$ 2 per barel
menjadi US$ 11 per barel dikalikan jumlah minyak yang diekspor tiap tahun,
yakni sekitar 450 juta per barel per tahun dan sama dengan sekitar US$ 10 milyar
pada tahun 1978 dan 1979 (Ichimura, 38: 1989).
Tabel 4. 3. Penerimaan dalam Negeri 1969/1970 sampai 1978/1979
(Dalam milyar Rupiah)
Tahun Penerimaan Dari
Sektor Minyak
Penerimaan Dari
Sektor Non-
Minyak
Jumlah
Penerimaan
Dalam Negeri
1969/1970 48,3 195,4 243,7
1970/1971 68,3 275,8 344,6
1971/1972 112,5 315,5 428,0
1972/1973 198,9 391,7 590,6
1973/1974 344,6 623,1 967,7
1974/1975 973,1 780,6 1.753,7
1975/1976 1.241,1 992,8 2.241,9
140
1976/1977 1.619,4 1.286,6 2.906,0
1977/1978 1948,7 1.586,8 3.535,5
1978/1979 2.308,7 1.957,4 4.266,1
Sumber Depertemen Keuangan (Arief & Adi, 161: 1981)
Jumlah penerimaan dalam negeri dari tahun 1969-1979 terus mengalami
kenaikan, begitu pun dengan tabungan pemerintah dari tahun ke tahun yang terus
menunjukan kenaikan. Mengenai data tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah
ini:
Tabel 4.4 Tabungan pemerintah 1969/1970 sampai 1978/1979
(Dalam Milyar Rupiah)
Tahun Jumlah Penerimaan
Dalam Negeri
Jumlah
Pengeluaran Rutin
Tabungan
Pemerintah
1969/1970 243,7 216,5 27,2
1970/1971 344,6 288,2 56,4
1971/1972 428,0 349,1 78,9
1972/1973 590,6 438,1 152,5
1973/1974 967,7 713,3 254,4
1974/1975 1.753,7 1.016,1 737,6
1975/1976 2.241,9 1.332,6 909,3
1976/1977 2.906,0 1.629,8 1.276,2
1977/1978 3.535,5 2.149,0 1.386,5
1978/1979 4.266,1 2.668,1 1.598,0
Sumber : Depertemen keuangan (Arief & Adi, 162: 1981)
141
Pada awal periode ini pembicaraan tentang makna pembangunan mulai
bergeser. Apabila sebelum periode Repelita II ini pembangunan ekonomi hanya
ditekankan pada laju pertumbuhan ekonomi maka pada awal periode ini
pandangan bahwa pembangunan harus berwawasan keadilan semakin dominan.
Pandangan ini muncul selain didasarkan pada pengalaman negara lain, juga dari
pengalaman Indonesia sendiri yang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi
yang hanya menekankan pertumbuhan tidak mencapai maksud pembangunan itu
sendiri. Untuk itu strategi pertumbuhan ekonomi pada periode ini, selain
menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga sangat menekankan
pentingnya pemerataan pembangunan.
Sebagai akibat dari kebijaksanaan penanaman modal yang sifatnya
menghasilkan barang pengganti impor dengan segala kebijaksanaan yang
mendukungnya (misalnya proteksi) sudah mulai dirasakan adanya ekonomi biaya
tinggi. Keadaan ini menyebabkan produk yang dihasilkan kurang dapat bersaing
dipasaran internasional. Perkembangan yang perlu mendapatkan perhatian adalah
semakin dirasakan perlunya pedoman dalam melaksanakan pembangunan. Satu
dan lain hal dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan itu tidak
menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Pedoman ini
semakin dirasakan perlunya karena dari pengalaman pelaksanaan Repelita I,
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (6-7% /tahun), tetapi keadilan sosial
terasa semakin jauh. Untuk itu menjelang akhir Repelita I, yaitu pada tahun 1973
MPR telah merumuskan dan menetapkan GBHN yang merupakan pedoman, arah,
142
dan strategi pembangunan nasional. Berdasarkan GBHN tersebut lalu disusun
Repelita II ini.
Dalam GBHN tersebut dirumuskan bahwa pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan didasarkan pada demokrasi ekonomi yang menentukan bahwa
masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Prinsip
demokrasi ekonomi ini memiliki ciri-ciri (Suroso, 106: 1993) sebagai berikut:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4. Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan
permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat serta pengawasan terhadap
kebijaksanaannya ada pada lembaga-lembaga perwakilan rakyat pula;
5. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang
dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang
layak.
6. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat
7. Potensi, insiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum
8. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
143
Sementara itu dalam demokrasi ekonomi harus dihindari ciri-ciri negatif,
yaitu: pertama, Sistem free fight liberalisme yang menumbuhkan ekploitasi
terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah
menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural posisi Indonesia dalam
ekonomi dunia. Kedua, sistem etatisme dalam mana negara beserta aparatur
ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan
daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara. Ketiga, pemusatan kekuatan
ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan
masyarakat.
Berdasarkan arah dan strategi pembangunan jangka panjang sebagaimana
ditetapkan GBHN, demi tercapainya tujuan dari setiap Repelita haruslah bertumpu
pada Trilogi Pembangunan yang intinya:
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat;
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis (Suroso, 107: 1993)
Pemerataan pembangunan dalam pengertian ini tidak hanya dalam arti
pemerataan antarindividu atau antarkelompok didalam masyarakat, tetapi juga
pemerataan antardaerah. Untuk itu dalam Repelita II, pembangunan di Indonesia
mulai dengan pembangunan yang berwawasan ruang. Dalam Repelita II Indonesia
dibagi dalam wilayah-wilayah pembangunan dengan tujuan agar pembangunan
tidak hanya Jawa sentris atau bahkan hanya Jakarta sentris.
144
Masalah-masalah lain yang dihadapi dalam Repelita II pada dasarnya
merupakan masalah-masalah yang belum dapat dipecahkan dalam Repelita I,
yaitu perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, pembagian
pendapatan dan hasil-hasil yang lebih merata, peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi daerah-daerah, penyempurnaan dan peningkatan fasilitas pendidikan,
kesehatan, perumahan rakyat. Masalah-masalah tersebut semakin nampak justru
setelah Repelita I mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi (6-7% /tahun).
Kebijaksanaan ekonomi dalam periode ini setelah tingkat hiper inflasi
mampu dikendalikan, seperti halnya kebijaksanaan sebelumnya, berkisar pada
aspek moneter (pengendalian ekspansi ekonomi melalui kebijaksanaan
perkreditan), aspek fiskal (sebagai sumber pendapatan dan sekaligus sebagai
pengarahan perkembangan ekonomi) dan aspek perdagangan (dalam rangka
memperlancar arus barang yang akan mampu meningkatkan produksi).
Sebagai akibat dari kebijaksanaan ekspansi moneter yang dilakukan dalam
periode ini, dan periode sebelumnya, dan juga karena tingkat inflasi yang tinggi di
negara industri, kegoncangan moneter internasional, dan kenaikan harga barang
yang diimpor Indonesia, tingkat inflasi pada tahun anggaran 1972/73 dan 1973 /74
cukup tinggi, masing-masing 21% dan 47%. Untuk mengatasi inflasi ini, agar
stabilitas ekonomi dapat dikendalikan, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan
stabilisasi yang dikenal sebagai kebijaksanaan 9 April 1974.
Lingkup kebijaksanaan stabilisasi ini meliputi kebijaksanaan moneter,
fiskal, dan perdagangan. Isinya antara lain menaikkan tingkat suku bunga bank
(deposito dan tabanas) sebagai upaya menarik uang yang beredar; memberlakukan
145
jangka waktu deposito untuk 18 dan 24 bulan. Dengan jangka waktu yang relatif
lama ini dimaksudkan agar pemerintah dapat mengelola uang tersebut lebih
berdaya guna. Kebijaksanaan stabilisasi ini ternyata mampu meningkatkan
tabungan masyarakat, baik tabanas maupun deposito maka pada tanggal 28
Desember 1974 diambil tindakan penyesuaian terhadap kebijaksanaan 9 April
1974. Tindakan penyesuaian ini adalah menurunkan tingkat bunga deposito. Pada
Januari 1977, tingkat bunga deposito diturunkan lagi. Dari gambaran peristiwa ini
nampak sekali betapa besarnya peranan bank pemerintah dalam mengelola jumlah
uang yang beredar. Bank swasta nasional pada waktu itu nampaknya peranannya
kecil sekali mengingat banyaknya skandal keuangan di banyak bank swasta.
Pada akhir periode Repelita II, semakin dirasakan bahwa pengaruh krisis
moneter internasional, juga pengaruh dari kebijaksanaan proteksi, semakin
membuat produk Indonesia tidak dapat bersaing di pasaran internasional. Untuk
mengatasi masalah ini dan sebagai upaya meningkatkan ekspor pemerintah
memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dolar AS sebesar kurang
lebih 45% pada bulan November 1978. sejak devaluasi ini kurs rupiah
diambangkan secara terkendali.
Sementara itu tantangan yang dihadapi dalam Repelita II ini secara garis
besarnya ialah, pertama merosotnya kegiatan ekonomi dunia terutama di negara-
negara industri, telah melemahkan permintaan atas ekspor hasil produksi
Indonesia sedangkan inflasi di negara-negara tersebut telah meningkatkan pula
harga barang-barang modal yang diperlukan bagi pembangunan, kedua krisis
146
Pertamina (1974/75-1976/77) merupakan suatu musibah dan pengalaman yang
sangat mahal bagi usaha pembangunan Indonesia.
Kenaikan harga minyak bumi di pasaran dunia yang seharusnya
melipatgandakan kemampuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan, ternyata
harus dipakai untuk membayar utang-utang jangka pendek Pertamina dan terakhir
adalah hambatan-hambatan dalam produksi pangan oleh karena musim kering
yang luar biasa (krisis beras tahun 1974/1975). Sedangkan Faktor pendorong
utama laju pertumbuhan ekonomi pada periode ini adalah meningkatnya harga
minyak di pasaran internasional.
2.3. Repelita III (1979/1980-1983/1984)
Repelita III dimulai pada tanggal I April 1979 dan berakhir pada tanggal
31 Maret 1984. Seperti pada Repelita I dan II, pembangunan dalam Pelita III akan
terus dilandaskan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan yang lebih menonjol
pada segi pemerataan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam Repelita II
memang relatif tinggi yaitu sekitar 7,2%. Namun semakin dirasakan kurang
adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara daerah maupun sektor yang
mengakibatkan kurang adanya kesempatan kerja, kurang adanya kesempatan
memperoleh pendapatan, kesempatan untuk berusaha khususnya bagi golongan
ekonomi lemah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa harapan dan arti
pembangunan di Indonesia telah memasuki dimensi-dimensi baru yaitu makin
mendesaknya usaha untuk meratakan pembangunan dan mencerminkan suasana
serta rasa keadilan. Atas dasar tersebut asas pemerataan itu akan dituangkan
147
dalam berbagai langkah dan kegiatan antara lain melalui kebijaksanaan delapan
jalur pemerataan yang intinya adalah:
1. Pemerataan kebutuhan pokok rakyat, terutama pangan, sandang,
dan perumahan;
2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelayanan
kesehatan;
3. Pemerataan pembagian pendapatan;
4. Pemerataan perluasan kesempatan kerja;
5. Pemerataan usaha, khusunya bagi golongan ekonomi lemah;
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita;
7. Pemerataan pembangunan antardaerah;
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan (Suroso, 111: 1993).
Perekonomian pada periode ini masih sangat dipengaruhi oleh
kebijaksanaan devaluasi November 1978, juga oleh resesi dunia yang sulit
diramalkan kapan akan berakhir. Kebijaksanaan yang sifatnya mendukung
kebijaksanaan November 1978 banyak dilakukan, khususnya yang bertujuan
untuk memperlancar arus barang. Dalam periode ini kebijaksanaan tersebut
dilakukan pada Januari 1982. Inti dari kebijaksanaan ini adalah memberi
keringanan persyaratan kredit ekspor, penurunan biaya gudang serta biaya
pelabuhan. Disamping itu eksportir dibebaskan dari kewajiban menjual devisa
yang diperolehnya dari hasil ekspor barang/jasa kepada Bank Indonesia. Dengan
perkataan lain eksportir sekarang bebas memiliki devisa yang diperolehnya.
148
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang
belum juga berakhir. Sementara itu nampak ada kecenderungan harga minyak
yang semakin menurun khusunya pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Keadaan
ini membuat posisi neraca pembayaran Indonesia semakin buruk. Bahkan angka
pertumbuahan tahun 1982/83 merupakan angka pertumbuhan paling rendah yang
pernah dicapai Indonesia selama 15 tahun terakhir (Suroso, 112: 1993).
Untuk mengatasi ancaman ini, juga dalam rangka meningkatkan daya
saing produk Indonesia, pemerintah memberlakukan devaluasi rupiah terhadap
US$ sebesar 27,6% pada 30 Maret 1983. Menghadapi keadaan ekonomi yang
tidak menentu, usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, baik dari penggalakan ekspor maupun pajak-pajak di dalam negeri.
Untuk itu tanggal 31 Maret 1983 pemerintah memberlakukan kebijaksanaan bebas
visa dari 26 negara yang berkunjung ke Indonesia kurang dari 2 bulan.
Maksudnya agar turis semakin tertarik mengunjungi Indonesia. Pada akhir tahun
Repelita III perkembangan yang terjadi dilingkup internasional adalah bahwa nilai
dolar menguat, tingkat bunga riil di AS menguat, dana mengalir ke AS, likuiditas
internasional meningkat dan semakin beratnya beban utang negara-negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia.
2.4. Repelita IV (1984/1985-1988/1989)
Repelita IV dimulai pada tanggal I April 1984 dan berakhir pada tanggal
31 Maret 1989. Apa yang dialami pada periode Repelita III, ternyata masih
dialami dalam periode Repelita IV ini. Bahkan pada periode ini harga minyak
149
bumi turun sangat tajam (menjadi hanya kurang lebih US$ 9 per barel pada tahun
anggaran 1986/87 (Suroso, 113: 1993). Kejadian ini membuatAPBN 1986/87
lebih rendah dari APBN 1985/86 kurang lebih 7%. Suatu hal yang baru sekali
terjadi selama Orde Baru. Harga minyak ini kemudian berfluktuasi kearah yang
tidak menentu.
Pada periode ini masalah yang semakin nampak dan dirasakan adalah
masalah tenaga kerja yang melaju pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada
tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan tahun 1988 diperkirakan akan
menjadi 73 juta. Sementara angka pertumbuhan direncanakan hanya 5% / tahun
selama Pelita IV.
Suatu hal yang tidak dapat diabaikan dalam periode yang sulit ini adalah
bahwa pada tahun 1984 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor beras (tahun 1980
Indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton, tahun 1981 mengimpor 0,54 juta
ton, tahun 1982 mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983 mengimpor 0,78 juta ton).
Dengan demikian devisa yang sebelumnya digunakan untuk mengimpor beras
dapat digunakan untuk keperluan pembangunan yang lain.
Usaha-usaha untuk melanjutkan deregulasi pada periode ini semakin
ditingkatkan dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar,
khusunya yang berkaitan dengan aspek moneter, kelancaran arus barang yang
padagiliran berikutnya diharapkan dapat meningktkan produksi. Namun dengan
situasi internasional yang tidak menentu, pada tahun anggaran 1986/1987 neraca
pembayaran Indonesia menghadapi tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya
harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman itu ,sekali lagi pemerintah
150
memberlakukan kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap dolar AS sebesar 31%
pada 12 september 1986. Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk
mengamankan neraca pembayaran selain untuk meningkatkan ekspor Indonesia,
meningkatkan daya saing produk Indonesia dan mencegah rupiah lari keluar
negeri. Namun dengan kebijaksanaan devaluasi ini mengakibatkan jumlah utang
Indonesia menjadi semakin meningkat.
Untuk memperbaiki pola unit produksi yang membuat ekonomi biaya
tinggi sehingga produk Indonesia kurang dapat bersaing di luar negeri, pemerintah
memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri dan daya saing barang ekspor
bukan migas melalui pemberian kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan dan
pengembalian bea masuk serta pembentukan kawasan berikat.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita IV, perekonomian Indonesia semakin
dibebani dengan meningkatnya utang luar negeri sebagi akibat depresiasi mata
uang dolar Amerika terhadap Yen kurang lebih 35%. Namun dalam situasi sulit
seperti itu, APBN tahun 1987/1988 naik kurang lebih 6,6% dibandingkan dengan
tahun anggaran sebelumnya. Penyebab utamanya adalah bahwa harga minyak
sudah meningkat pada tingkat rata-rata US$ 15 / barel. Sesuatu hal yang
menggembirakan adalah bahwa pada tahun 1987 ekspor non-migas telah
melampaui ekspor migas.
Oleh para pengamat naiknya ekspor non migas ini disambut dengan dua
pandangan. Disatu pihak beranggapan bahwa meningkatnya ekspor non-migas ini
disebabkan karena deregulasi yang selama ini secara intensif dilakukan, namun
151
pengamat yang lain berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini disebabkan
karena depresiasi dolar Amerika terhadap Yen, karena ternyata ekspor Indonesia
ke Jepang merupakan bagian terbesar dari keseluruhan ekspor Indonesia.
Kalau dilihat dari Rangkaian Repelita sebelumnya nampaknya ada
penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, semenjak Repelita III, ada
kecenderungan penurunan sasaran pertumbuhan. Repelita II sasaran
pertumbuhannya 7,5% / tahun, Repelita III sasaran hanya 6,5% / tahun, dan untuk
Repelita IV hanya menjadi 5% / tahun. Hal tersebut dilihat oleh para pengamat
sebagai sasaran yang tidak memungkinkan penciptaan lapangan kerja yang
mampu menampung pertambahan angkatan kerja yang meningkat 2,5% itu. Dan
yang lebih buruk lagi, ternyata pertumbuhan nyata selama Repelita IV selalu
relatife jauh di bawah sasaran yang ditetapkan.
Sebab utama ketidakberhasilan mencapai sasaran ini lebih dipengaruhi
oleh faktor exogen yang memang diluar jangkauan pengelolaan Indonesia. Harga
minyak bumi yang pada Januari 1986 masih pada tingkat US$ 28 / barel turun
menjadi di bawah US$ 10 / barel pada bulan Agustus 1986. Perkembangan harga
minyak ini sulit diperkirakan, lebih-lebih setelah ada banyak negara penghasil
minyak yang tidak bergabung dengan OPEC, sementara itu diantara para anggota
OPEC sendiri tidak mudah untuk mengadakan kesepakatan dalam menetapkan
kebijakan harga ini.
152
2.5. Repelita V (1989/1990-1993/1994)
Repelita V dimulai pada tanggal I April 1989 dan berakhir pada tanggal 31
Maret 1994. Tujuan dari Repelita V sesuai dengan GBHN tahun 1988 adalah
pertama, meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahtraan seluruh rakyat
yang makin merata dan adil. Kedua, meletakan landasan yang kuat untuk tahap
pembangunan berikutnya. Prioritas pembangunan sesuai dengan pola umum
pembangunan jangka panjang pertama, maka dalam Pelita V prioritas diletakkan
pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada:
1. Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya;
2. Sektor industri khususnya industri yang menghasilkan untuk ekspor,
industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil
pertanian, serta industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin
industri.
Sejalan dengan prioritas pada pembangunan bidang ekonomi, maka
pembangunan dalam bidang politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan
lain-lain makin ditingkatkan sepadan dan agar saling menunjang dengan
pembangunan ekonomi sehingga lebih menjamin ketahanan nasional.
Di balik keberhasilan pembangunan ekonomi yang ditunjukan oleh
perkembangan indikator-indikator ekonomi, aspek yang perlu diperhatikan adalah
biaya untuk membiayai pembangunan Indonesia. Sejak pemerintahan Indonesia
melaksanakan pembangunan, baik Orde Lama dan Orde Baru, kebijaksanaan yang
diambil untuk mengatasi masalah kurangnya dana adalah mengundang modal
153
asing dan utang luar negeri yang kemudian hal tersebut menjadi suatu masalah
yang serius dalam Repelita V ini, dimana utang Indonesia semakin besar dan terus
membengkak.
Masalah yang dihadapai dalam penanaman modal asing adalah
ditransfernya keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan yang bersangkutan ke
negara asal modal. Dalam artian ini, sebetulnya yang terjadi adalah mengalirnya
dana (modal) dari Indonesia ke luar negeri. Masalah utang luar negeri selalu
berkaitan dengan jumlah dan tingkat bunga yang membebaninya. Jumlah utang
luar negeri sangat dipengaruhi oleh kurs mata uang negara kepada siapa Indonesia
berhutang.
Sejak terjadi krisis moneter pada dasawarsa 70-an, kurs berfluktuasi
kearah yang sulit diperkirakan. Hanya karena terjadinya perubahan kurs mata
uang Negara-negara pemberi pinjaman setiap tahun utang Indonesia terus
meningkat, pada tahun 1985 utang Indonesia meningkat sebanyak kira-kira US$
2,5 milyar sementara itu cicilan utang laur negeri Indonesia beserta bunganya
pada tahun 1985 berjumlah US$ 5,4 milyar yang berarti kira-kira 7% dari Produk
Nasional Bruto atau merupakan 34% dari nilai bersih ekspor setelah
memperhitungkan impor sektor migas dan pada tahun 1990, pembayaran cicilan
utang luar negeri dan bunga luar negeri Indonesia berada pada 48% dari nilai
bersih ekspor.
Bila dilihat dari data-data pinjaman dana dari luar negeri pada awal tahun
1970-an sampai 1990an arus bersih modal asing yang masuk ke Indonesia yang
terdiri dari Investasi modal asing dan utang luar negeri, setelah memperhitungkan
154
pembayaran cicilan utang luar negeri, bunga utang luar negeri dan keuntungan
yang ditransfer pihak asing ke luar negeri, telah menunjukan nilai yang negatif
dalam artian selama periode tersebut Indonesia telah menjadi eksportir modal dan
bukan importir modal.
Selain utang luar negeri masalah yang dihadapi dalam Repelita V ini
adalah masalah pertumbuhan penduduk dan masalah angkatan kerja. Faktor
penduduk merupakan pusat dari segala kegiatan dan perkembangan, masalah
penduduk akan mempengaruhi pengadaan pangan, sandang, pemukiman, dan
fasilitas lainnya. Di samping itu faktor penduduk juga merupakan sumber masalah
angkatan kerja dan pemerataan pendapatan.
Menurut Suroso jumlah angkatan kerja yang masuk kelapangan kerja di
tahun 1988 hingga akhir Repelita V melebihi 2,3 juta setiap tahun (161: 1993), ini
berarti setiap tahun harus diciptakan lapangan kerja baru yang mampu
menampung tenaga kerja sebanyak itu. Kemungkinannya adalah menambah
proyek-proyek yang padat karya. Namun proyek-proyek padat karya tersebut
semakin menurun jumlahnya sebagai akibat merosotnya dana pembangunan,
khususnya setelah zaman boom minyak (oil boom). Peliknya masalah angkatan
kerja ini bertambah apabila dilihat dari segi pendidikannya. Masalah yang
dihadapi selain karena jumlahnya yang besar, juga karena permintaan tenaga kerja
tidak sesuai dengan penawaran tenaga kerjanya.
155
2.6. Repelita VI (1994/1995-1998/1999)
Repelita VI merupakan awal dari pembangunan jangka panjang kedua
(PJP II) yang dimulai pada tanggal I April 1994 dan akan berakhir pada tanggal
31 Maret 1999. Dalam buku rencana pembangunan lima tahun keenam 1994/95 –
1998/99 yang diterbitkan oleh Negara RI ( 47: 1994), menuliskan tujuan dari
Repelita VI, yaitu,
1. menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat
Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
untuk mewujudkan kesejahtraan lahir batin yang lebih selaras, adil dan
merata.
2. meletakan landasan pembangunan yang mantap untuk tahap
pembangunan selanjutnya. Dalam buku ini disebutkan bahwa dalam
Repelita VI ini bangsa Indonesia dapat memasuki proses tinggal
landas.
Repelita VI memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat
pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan
produksi pertanian serta industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap
tenaga kerja, pegolahan hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri,
meningkatkan pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan
keamanan.
Dalam Repelita ini sektor industri makin berperan sangat strategis karena
merupakan motor penggerak pembangunan. Sektor ini diharapkan disamping
sebagai penyerap tenaga kerja terbesar, penghasil devisa, juga sebagai pemacu
156
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam upaya mencapai tinggal landas. Selama
PJP II industri pengolahan non migas diproyeksikan tumbuh dengan rata-rata
sebesar 9,8 persen per tahun dan selama Repelita VI diharapkan berkembang
dengan laju pertumbuhan rata-rata 10,3 persen setiap tahunnya.
Pertumbuhan industri pengolahan non migas selama Repelita VI ini
didukung oleh agroindustri dengan perkiraan pertumbuhan sekitar rata-rata 8,2
persen per tahun; industri logam dan barang modal dengan pertumbuhan sekitar
12,6 persen per tahun; industri penghasil barang kimia, plastik dan mineral bukan
logam dengan pertumbuhan rata-rata 9,7 persen per tahun; dan industri tekstil dan
pakaian jadi serta produk hasil industri lainnya rata-rata sebesar 13 persen per
tahun.
Untuk mencapai sasaran pembangunan industri dalam Repelita VI,
pengembangan industri rekayasa diarahkan selaras dan terkait dengan
pengembangan industri-industri prioritas termasuk industri strategis, seperti
halnya pengembangan agroindustri yang dikembangkan secara terpadu melalui
jaringan kegiatan agrobisnis yang produktif termasuk jasa pendukungnya
diantaranya adalah industri pengolah sumber daya mineral, industri permesinan,
barang modal dan elektronika/ peralatan telekomunikasi, industri peralatan
energy, industri alat transportasi, serta industri yang berorientasi ekspor yang
makin padat keterampilan dan beranekaragam termasuk industri yang
menghasilkan komponen pendukungnya.
Sementara itu, upaya menciptakan industri yang tangguh tidak hanya
melalui peningkatan kemampuan produksi, tetapi lebih jauh lagi melalui
157
peningkatan kemampuan untuk memasarkan produknya. Sedangkan kemampuan
memasarkan produk tidak akan terlepas dari kemampuan manajerial, berarti unsur
sumber daya manusia dan ditumbuhkembangkannya kegiatan inovasi teknologi
menjadi faktor penentu keberhasilan dari sasaran kemandirian industri. Dalam
rangka mendorong timbulnya inovasi teknologi, upaya transfer teknologi,
peningkatan produktivitas dalam mendorong berkembangnya industri, paling
tidak harus ada peranan Pemerintah, diantaranya ialah:
Pada tingkat pertama, yaitu pada tingkatan makroekonomi berupa
kebijakan yang mampu menciptakan suatu iklim yang mampu merangsang
investasi dan pertumbuhan. Banyak studi menunjukkan bahwa tingkat bunga dan
nilai tukar yang layak, inflasi yang rendah, serta prospek pertumbuhan barang-
barang andalan untuk produksi dan ekspor sangatlah esesnsial guna memelihara
peningkatan daya saing internasional. Selain daripada itu, tentu diperlukan
kebijakan investasi yang mendorong meningkatnya tabungan nasional. Semakin
mampu suatu negara meningkatkan daya saing ini, semakin merangsang industri
dan pengusaha melakukan upaya-upaya inovasi, dan semakin pula mendorong
mereka lebih melakukan upaya transfer teknologi dengan makin meningkatnya
barang modal yang masuk karena meningkatnya investasi.
Pada tingkat kedua, pemerintah perlu menciptakan iklim pengendalian dan
insentif yang tepat, sehingga mampu merangsang perusahaan dan industri untuk
memperbaiki kinerjanya. Pada tingkat ketiga, pemerintah mempunyai peranan
yang penting dalam menyediakan berbagai macam infrastruktur. Meliputi
infrastruktur fisik dan pelayanan seperti transportasi, telekomunikasi, energi dan
158
sebagainya. Juga menyangkut infrastruktur pendidikan yakni sistem pendididkan
formal dan informal guna mendidik dan melatih masyarakat industri dan iptek
dalam berbagai aktivitas produktif.
Tabel 4.5: Perkembangan Anggaran Pembangunan Nasional
PERKEMBANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN NASIONAL S/D 1999/2000
"Suatu negara bisa tinggal landas, jika tidak lagi tergantung kepada utang luar negeri dalam anggaran belanja negara, investasi dan pengembangan ekonomi masyarakat secara keseluruhan," (W.W. Rostow, dalam Pioneers in Development, The World Bank, The World Bank, 1985, hal. 227-261).
Dengan begitu menurut Rachbini negara – negara sedang berkembang
diingatkan untuk tidak terjerat ke dalam jebakan utang luar negeri. Indikator
perkembangan GNP (Gross National Product), persentase investasi terhadap GDP
(Gross Domestic Product), dan adanya "leading sector" tidak sepenuhnya bisa
mengantar negara sedang berkembang untuk melewati tahap lepas landas jika
tidak bisa membebaskan diri dari utang luar negeri. Rostow menganggap bahwa
dalam dua dekade terakhir ini telah terjadi hal yang tidak diharapkan
dalam mekanisme dan pelaksanaan utang luar negeri, dimana banyak negara
sedang berkembang yang diperkirakan akan masuk ke tahap lepas landas justru
166
semakin tergantung dan terjerat utang luar negeri. keadaan tersebut selaras dengan
apa yang dialami Indonesia selama enam rangkaian Repelita dimana Indonesia
yang diprediksi akan lepas landas dan menjadi negara maju ternyata mengalami
kehancuran ekonomi akibat krisis dan beban utang yang tinggi menjelang akhir
Repelita VI.
2. Kontroversi Terhadap Kehidupan Sosial- Ekonomi Masyarakat
Indonesia Selama 30 Tahun Pembangunan
2.1. Dampak Terhadap Kehidupan Seluruh Masyarakat Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 30 tahun sangat pesat dan
konstan. Keadaan tersebut terlihat dari meningkatnya pendapatan perkapita dari
tahun 1967: US $ 80 - 1997 US$ 990 atau rata-rata 7% pertahun. Ekspor
meningkat dari US $ 665 juta pada tahun 1967 menjadi US $ 52 Milyar pada
tahun 1997 atau tumbuh rata rata 9% pertahun. Investasi modal asing maupun
dalam negeri juga meningkat pesat. Pendek kata pertumbuhan materil Indonesia
meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang sedemikian pesat yang
mengakibatkan pemerintah RI di tahun 90-an mendapat pujian dari Bank Dunia
dan IMF serta dari negara-negara berkembang. Tahun 1985 organisasi PBB yang
bergerak dibidang pangan FAO memberi penghargaan pada Presiden Soeharto
atas pencapaian swasembada pangan di Indonesia. Laporan ekonom profesional
dari World Bank 19 Juni 1997 mengatakan bahwa awal milenium yang akan
datang Indonesia akan menjadi salah satu dari 20 negara yang ekonominya
terbesar/terkuat didunia.
167
Fakta yang kontroversial dengan penghargaan & pujian di atas adalah
bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak mampu mengatasi masalah
pengadaan pangan minimum untuk menghindari terjadinya kelaparan. Sejak Juli
1997 sedikitnya 500 orang di 5 kabupaten di Irian Jaya meninggal karena
kekurangan pangan. Selain itu di Sumsel, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
tengah bahkan Jawa tengah diberitakan bahwa didaerah tersebut terdapat banyak
orang yang menderita kelapara.
Pertumbuhan ekonomi yang dipuji lembaga - lembaga ekonomi
internasional bukannya tidak memakan ongkos atau bahkan korban pembangunan.
Hutang luar negeri Indonesia 1967 berjumlah US$ 2,3 milyard sedangkan di tahun
1997 berjumlah US$ 145 milyar. Hutang luar negeri Indonesia tumbuh rata-rata
14% per tahun atau 2 kali lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Bukan hanya itu proses peningkatan peran sektor industri yang menggantikan
sektor pertanian dalam proses pembangunan menyebabkan terusirnya petani kecil
dari desa dan berkurangnya lahan pertanian sampai 1 juta hektar untuk
membangun pabrik demi industrialisasi dan pembangunan real estate, super
market, mall, villa, dan hotel. Kebijaksanaan pembangunan yang sedemikian,
dimana kegiatan investasi banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan Jawa (lebih
dari separuh terkonsentrasi di Jabotabek) menimbulkan kesenjangan antara kota
dengan desa, Jawa dan luar Jawa, sektor industri dengan pertanian dan
konglomerat dengan pengusaha kecil.
Bapenas pernah mengumumkan bahwa jumlah penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan di tahun 1993 menurun menjadi hanya 27 juta jiwa atau
168
hanya 14% saja. Pengumuman tersebut kedengarannya hebat tetapi sayang tolok
ukur garis kemiskinan yang diambil sangat rendah, yaitu penduduk dengan tingkat
konsumsi tidak lebih dari Rp. 20.000/bulan. Jika batas garis kemiskinan diambil
dari Kebutuhan Fisik Minimum yang dikeluarkan oleh Depnaker 1993, yaitu
Rp.80.000,-/bulan, maka tidak kurang dari 90% atau sekitar 180 juta jiwa masih
hidup dibawah garis kemiskinan. Termasuk kategori ini adalah nelayan kecil,
buruh tani, petani gurem, buruh kasar, pedagang asongan dan para penganggur.
Penduduk yang terkena program pendidikan pemerintah juga masih
sedikit. Tidak kurang dari 70% dari orang yang bekerja berpendidikan paling
tinggi tamat Sekolah Dasar dan hanya 4% berpendidikan universitas atau
akademi. Data-data tersebut diatas menunjukan betapa bertolak belakangnya
antara keberhasilan yang di klaim pemerintah selama 30 tahun pembangunannya
dengan keadaan penduduk yang secara keseluruhan kehidupan ekonomi maupun
sosialnya masih sangat memprihatinkan.
2.2. Kelompok Sosial Masyarakat yang Kehidupan Ekonominya Meningkat
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Papanek melihat sebagian besar
kelompok yang mempunyai arti politis penting mendapat keuntungan dari
pertumbuhan cepat yang terjadi sejak tahun 1966, sebaliknya banyak buruh,
petani kecil, dan buruh di kota yang hanya menawarkan jasa, mungkin sekali tidak
ikut menikmati keuntungan yang berasal dari pertumbuhan sejak tahun 1970
(Papanek, 71: 1987). Tentu kelompok inilah yang merupakan bagian terbesar dari
169
mayoritas kaum miskin yang tidak mendapat manfaat dari pembangunan sejak
tahun1970.
Pertengahan tahun 1960-an merupakan masa yang sangat buruk dalam
ekonomi Indonesia. Apabila perekonomian kacau balau, hampir semua kelompok
akan menderita. Dan, tidak mengherankan bahwa yang paling menderita adalah
mayoritas kaum miskin. Usaha pemulihan ekonomi agar menjadi normal kembali,
yang dijalankan melalui program stabilisasi dan penggalakan efisiensi ekonomi
oleh pemerintah Orde Baru, menguntungkan banyak kelompok, dan tentunya
menguntungkan juga sebagian bahkan sebagian besar kelompok kaum miskin.
Apabila diteliti data-data fragmenter mengenai kelompok-kelompok tertentu, kita
akan menemukan bahwa kelompok yang mempunyai arti politis terpenting
memperoleh kenaikan yang cukup berarti dalam pendapatan nyata sejak tahun
1965.
Dalam hal ini Booth dan McCawley berusaha melihat secara menyeluruh
apa yang telah berhasil di capai dan apa yang belum bisa dicapai dalam
pembangunan Ekonomi Indonesia, dengan mencoba melihat perubahan-perubahan
penting yang terjadi sejak tahun 1965 sampai pada tahun Repelita ke dua.
Menurut Booth tahun 1977 perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan
struktur secara cukup mencolok, sebagai akibat kebijaksanaan pemerintah
bersama dengan kenaikan harga minyak. Perubahan dramatis terjadi pada tingkat
investasi. Pengeluaran investasi naik 5% pada tahun 1966 menjadi 70% pada
tahun 1973 (Booth& McCawley, 34: 1979). Pertumbuhan ini telah menghasilkan
kemajuan-kemajuan yang berarti, demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir
170
kapasitas dan kemampuan administrasi negara menunjukan perbaikan-perbaikan.
Tetapi Booth dan McCawley mengakui bahwa dalam sepuluh tahun pertumbuhan
ekonomi di Indonesia belum dapat menghasilkan perbaikan tingkat hidup bagi
sebagian besar penduduk. Pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu tersebut
atau selama Repelita pertama dan kedua hanya dinikmati oleh sebagian kecil
golongan yang memiliki kedudukan strategis dalam pemerintahan yang
menempuh hidup mewah (Booth & McCawley, 36: 1979).
Berdasarkan tulisan dari Papanek, ada beberapa golongan kelompok yang
pendapatannya meningkat sejak tahun 1965, diantaranya ialah: pertama kelompok
pekerja-pekerja perkebunan, industri dan lain-lain. Data yang paling berguna
adalah data mengenai pekerja yang umumnya tidak trampil di perkebunan,
industri dan proyek-proyek pekerjaan umum. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa
upah nyata pekerja-pekerja ini merosot drastis hingga pertengahan tahun 1960-an,
kemudian naik secara lebih cepat lagi hingga awal tahun 1970-an. Pendapatan
nyata tidak begitu banyak mengalami perubahan karena hingga 1965, merangkap
beberapa pekerjaan sekaligus masih lebih mudah, sedangkan sesudahnya menjadi
lebih sukar, tetapi kecenderungan dasar jelas sekali. Pendapatan pekerja
mengalami kenaikan yang sangat berarti sejak tahun 1965.
Kedua kelompok orang-orang yang pindah ke kota, salah satu perkiraan
menunjukkan bahwa orang-orang berpendapatan rendah yang pindah ke Jakarta
mengalami kenaikan pendapatan 85 %. Karena kesempatan kerja di kota
bertambah dan arus migrasi ke kota semakin deras, nasib banyak orang miskin di
daerah pertanian menjadi lebih baik karena ada perpindahan ke kota. Ketiga
171
adalah kelompok-kelompok profesi, intelektual, teknisi, militer. Baik kesempatan
kerja maupun gaji bagi insinyur, pegawai negeri, teknisi, ahli ekonomi, dan
sebagainya, meningkat karena meluasnya program pembangunan pemerintah dan
karena perusahaan-perusahaan asing, pertamina, dan perusahaan-perusahaan lain
memerlukan jasa mereka. Orang yang memiliki rumah juga mendapat keuntungan
karena kelompok ini meyewa rumah mereka, terutama di Jakarta. Peran militer
semakin luas pada setiap jenjang pemerintahan dan juga dalam perusahaan-
perusahaan pemerintah dan semi pemerintah. Pendapatan militer secara umum
tampaknya mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan kelompok
profesi-cendikiawan-teknisi.
Keempat kelompok petani, berkat rehabilitasi sistem irigasi, sebagian
petani telah memperoleh keuntungan karena hasil (output) yang mereka peroleh
jauh lebih tinggi. Sebagian petani lain sanggup membeli peralatan pertanian
dengan harga yang lebih rendah dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi
karena perbaikan pengangkutan. Produksi tanaman pangan mengalami kenaikan
25 % sejak tahun 1968 hingga tahun 1974, sedangkan harganya mengalami
kenaikan yang lebih tinggi daripada harga hasil-hasil industri (terutama tekstil),
sehingga pendapatan petani yang menjual bahan pangan seharusnya mengalami
kenaikan yang cukup berarti. Dan kelompok terakhir menurut Papanek adalah
kelompok pengusaha / industrialis. Kelompok ini merupakan kelompok
campuran. Mungkin sekali sebagian besar dari mereka mendapat keuntungan dari
impor yang semakin meningkat, investasi yang lebih banyak dan produksi yang
semakin meningkat. Keuntungan ini sering kali didapat dengan bekerja sama
172
dengan para investor asing, tetapi ada golongan lain yang kalah dalam persaingan
dengan perusahaan-perusahaan baru.
Singkatnya, sebagian besar kelompok yang aktif dan penting dalam politik
tampaknya telah mengalami perbaikan yang berarti dibandingkan dengan tahun
1965 (Papanek, 75: 1987). Kelompok ini terdiri dari kelas menengah, militer,
pekerja di bidang industri dan pertanian, dan sejumlah besar petani dan
pengusaha. Kenaikan pendapatan mutlak sangat besar, meskipun belum diketahui
apa yang terjadi pada pendapatan relatif dari kelompok yang lebih luas.
2.3. Kelompok Sosial Masyarakat yang Kehidupan Ekonominya Menurun
Kelompok-kelompok utama yang dari segi ekonomi mengalami
kemerosotan sejak tahun 1965 adalah mereka yang menjadi pimpinan politik
selama pemerintahan Soekarno dan kelompok yang diidentikkan dengan Partai
komunis serta kelompok-kelompok oposisi lainnya (Papanek, 75: 1987). Akan
tetapi, ada kelompok-kelompok khusus lagi yang mengalami kemunduran.
Kelompok-kelompok tersebut adalah, pertama pengusaha / industrialis.
Perlindungan pemerintah tetap penting demi keberhasilan dalam bidang usaha dan
industri, meskipun arti perlindungan seperti itu semakin berkurang karena
dihapusnya izin impor (impor licensing) dan peraturan-peraturan lainnya. Namun,
kemungkinan memperoleh kredit lunak (proferential rates) dan mendapat
berbagai macam izin tetap merupakan faktor yang menentukan bagi sebagian
besar perusahaan. Bersamaan dengan itu kemampuan memperoleh teknologi,
modal, dan kadang-kadang pasaran asing telah menjadi semakin penting. Dalam
173
persaingan memperebutkan semuanya itu perusahaan yang tidak mempunyai
pelindung dari pihak pemerintah atau dari pihak asing tampaknya terdepak keluar.
Dalam kelompok orang-orang yang kalah, terdapat sejumlah besar orang dari
golongan Islam (santri) (Papanek, 76: 1987).
Kelompok kedua adalah kelompok buruh tani yang tidak memiliki tanah
dan beberapa pemilik tanah kecil. Di satu pihak, laporan-laporan Survei Agro-
Ekonomi menunjukkan terjadinya kemerosotan pendapatan para penuai padi
karena sistem bagi-hasil berubah menjadi sistem pembayaran dengan uang dan
karena ani-ani diganti dengan arit. Pendapatan wanita yang berasal dari pekerjaan
menumbuk padi merosot pesat dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa upah
pekerja di bidang produksi beras semakin berkurang. R. Montgomery
memperkirakan buruh harian berkurang 20 % karena penggunaan jenis-jenis padi
unggul. Soejono memperkirakan upah untuk pekerjaan menjelang panen
berkurang 14 % dari tahun 1968-1969 hingga 1973-1974, meskipun jumlah hari
kerja bertambah, ini menunjukkan bahwa tingkat upah sangat merosot.
Sejauh ini tampaknya belum terjadi akibat-akibat politis oleh merosotnya
pendapatan beberapa kelompok yang tidak memiliki tanah atau hanya memiliki
sebidang kecil saja ketika pendapatan kelompok lain meningkat dalam jumlah
yang belum diketahui. Mereka yang merosot pendapatannya umumnya tinggal di
desa asal dan seperti halnya dengan petani di tempat lain, tidak berani
mengungkapkan ketidakpuasan mereka kecuali kalau mereka sudah terlalu
tertekan. Pendapatan orang yang pindah ke kota tetap naik akan tetapi, mungkin
sekali di masa mendatang akan terdapat beratus ribu keluarga di daerah pertanian
174
dengan pendapatan yang semakin merosot karena kemungkinan memperoleh
pekerjaan memanen dan pekerjaan bertani lainnya tidak akan meningkat
bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Apabila orang-orang ini
terpaksa lari ke kota, mereka mungkin akan menjadi kekuatan politik yang berarti,
kalau pembangunan tidak lagi memungkinkan mereka memperoleh pendapatan
yang lebih baik di sana.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh Papanek, diketahui bahwa hampir
semua kelompok yang mempunyai arti politis penting memperoleh keuntungan
sejak tahun 1965. keadaaan ini semakin melebarkan jurang antara yang miskin
dan yang kaya yang pada perkembangan selanjutnya menimbulkan kecemburuan
sosial yang besar, dimana puncaknya trejadi peristiwa penting yang dikenal
dengan Malari (Malapetaka januari). Peristiwa ini dipicu dengan adanya
kunjungan perdana Menteri Tanaka Kakuei ke Jakarta ada bulan Januari 1984
yang mengakibatkan kerusuhan yang paling buruk di ibu kota sejak kejatuhan
Sukarno (Ricklefs, 588: 2005).
Untuk hal ini Papanek memberikan analisisnya yang akan menjawab
mengapa peristiwa itu samapi terjadi. Sejauh ekonomi memegang peran penting,
ada beberapa faktor yang mungkin relevan di sini (Papanek, 77:1987). Faktor
pertama ialah mencoloknya kemunduran sementara yang dialami kaum miskin.
Seperti halnya dengan negara-negara lain, Indonesia merupakan negara dengan
perekonomian yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan iklim, pasar
internasional dan musibah, dan mau tak mau akan mengalami kemunduran yang
cukup parah pada waktu-waktu tertentu. Kebijaksanaan pemerintah harus dibuat
175
secara hati-hati supaya hal-hal seperti itu dapat dihindarkan. Kalau tidak,
pengaruh kemunduran seperti itu secara khusus akan dirasakan oleh kelompok-
kelompok berpendapatan rendah. Inilah yang terjadi di Indonesia pada tahun
1972-1973. sebagai akibat kekurangan bahan pangan yang sebenarnya hanya
bersifat sementara, terutama beras, harga bahan pangan melonjak karena upah
nominal tidak dapat menyamai kenaikan harga itu, upah nyata menjadi merosot.
Faktor kedua ialah konsumsi mencolok orang-orang kaya, kemunduran
kaum miskin akan lebih nyata dan lebih membangkitkan kemarahan apabila
konsumsi orang-orang kaya dibiarkan tetap mencolok tanpa batas. Lebih dari itu,
umumnya perbedaan pendapatan hanya dapat diketahui kalangan luas apabila
perbedaan ini terlihat dalam perbedaan konsumsi, karena hanya sedikit orang yang
mengetahui berapa besarnya pendapatan orang kaya tetapi banyak ornag miskin
melihat mobil yang mereka pakai, rumah yan mereka diami, dan pesta-pesta yang
mereka selenggarakan.
Perbedaan pendapatan di Indonesia mungkin tidak sebesar perbedaan
pendapatan di India dan Pakistan, tetapi orang-orang kaya di negara-negara yang
disebut terakhir ini telah belajar bagaimana menutupi-nutupi kekayaannya.
Sebagian besar pendapatan orang-orang kaya di Asia Selatan digunakan untuk
investasi dan bukan untuk konsumsi yang mencolok. Sebaliknya di Indonesia
sesudah tahun 1968, terjadi peningkatan yang jelas dalam konsumsi mencolok
(dan investasi mencolok, misalnya untuk membangun gedung pemerintah),
terutama di Jakarta. Kehidupan mewah orang kaya berlangsung tanpa halangan
selama tahun 1973-1974, ketika banyak orang miskin di kota sangat menderita.
176
Salah satu indeks konsumsi mencolok ialah pemilikan mobil pribadi dan sepeda
motor. Jumlah bis yang digunakan kaum miskin jelas tidak bertambah secepat
jumlah mobil pribadi yang digunakan golongan menengah dan putra-putra orang
kaya. Perbandingan dengan zaman Soekarno juga akan menjelaskan beberapa hal.
Seperti halnya upah nyata, orang miskin tidak memperoleh keuntungan dari sikap
kerakyatan rezim Soekarno. Pembangunan sesudah tahun 1967 jelas-jelas
menguntungkan kaum miskin. Jumlah bis bertambah secara berarti tetapi
pembangunan itu meningkatkan konsumsi mencolok orang-orang kaya dengan
lebih cepat lagi.
Faktor ketiga adanya pandangan mayoritas kaum miskin terhadap
pemerintah. Kemakmuran ekonomi mayoritas kaum miskin di negara seperti
Indonesia mengalami perbaikan yang amat lamban terlepas dari tingkat
pertumbuhan dan perubahan normal (bukan revolusioner) dalam pemerataan