BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA 4.1. Pengantar Dalam bab-bab sebelumnya, terungkap bahwa agama beserta ritualnya dalam suatu masyarakat terutama masyarakat suku, memiliki korelasi yang erat dengan proses terbentuknya integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Demikian pula Agama Marapu melalui ritual mangejing, berperan penting dalam pembentukan integrasi sosial bagi masyarakat Sumba. Berdasarkan data-data lapangan yang ditemukan, ritual mangejing di Kampung Waiwunga, merupakan instrumen pembentuk integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Ritual mangejing telah menjadi suatu kesatuan dan kompleksitas yang menjalin makna maupun simbol dan perilaku dalam pembentukan integrasi sosial. Integrasi sosial yang dimaksud adalah proses penyesuaian di antara sistem-unsur atau komponen yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi, serta sebagai suatu realita terjadinya pembauran menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Bertitik tolak dari pemahaman di atas, uraian dalam bab ini akan memaparkan pemikiran-pemikiran analitis terhadap ritual mangejing yang terdapat dalam masyarakat Kampung Waiwunga. Hal ini dilakukan guna menampilkan dimensi integrasi sosial bermakna logis dan integrasi sosial fungsional kausal yang terbentuk dalam masyarakat tersebut. Demikian juga berbagai potensi perubahan yang ditemukan, mendorong analisa diarahkan pada ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dan 74
30
Embed
BAB IV RITUAL MANGEJING DAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13348/3/T2...Jawa, Mbali, Ndima, Humba (Jawa, Bali, Bima, hingga tiba di Sumba). Berikut adalah gambar delapan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL
MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA
4.1. Pengantar
Dalam bab-bab sebelumnya, terungkap bahwa agama beserta ritualnya
dalam suatu masyarakat terutama masyarakat suku, memiliki korelasi yang erat
dengan proses terbentuknya integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Demikian
pula Agama Marapu melalui ritual mangejing, berperan penting dalam
pembentukan integrasi sosial bagi masyarakat Sumba. Berdasarkan data-data
lapangan yang ditemukan, ritual mangejing di Kampung Waiwunga, merupakan
instrumen pembentuk integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Ritual mangejing
telah menjadi suatu kesatuan dan kompleksitas yang menjalin makna maupun
simbol dan perilaku dalam pembentukan integrasi sosial. Integrasi sosial yang
dimaksud adalah proses penyesuaian di antara sistem-unsur atau komponen yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola
kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi, serta sebagai suatu realita
terjadinya pembauran menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Bertitik tolak dari pemahaman di atas, uraian dalam bab ini akan
memaparkan pemikiran-pemikiran analitis terhadap ritual mangejing yang
terdapat dalam masyarakat Kampung Waiwunga. Hal ini dilakukan guna
menampilkan dimensi integrasi sosial bermakna logis dan integrasi sosial
fungsional kausal yang terbentuk dalam masyarakat tersebut. Demikian juga
berbagai potensi perubahan yang ditemukan, mendorong analisa diarahkan pada
ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dan
74
penetrasi sejumlah faktor eksternal, serta keberadaan lembaga-lembaga sosial-
religius baru dalam konteks kehidupan masyarakat Waiwunga.
4.2. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Bermakna Logis
Berdasarkan skema berpikir Cliford Geertz tentang kebudayaan dan
agama, ritual mangejing merupakan salah satu komponen pembentuk kebudayaan
sekaligus yang berperan dalam pembentukan integrasi sosial bermakna logis bagi
masyarakat kampung Waiwunga.28 Integrasi sosial bermakna logis (logico-
meaningful integration) adalah sesuatu yang khas kebudayaan, merupakan
kesatuan gaya, implikasi logis serta kesatuan makna dan nilai, dan tidak mudah
berubah-ubah. Aspek-aspek fundamental seperti “etos” dan “pandangan hidup”
merupakan dimensi makna yang turut membentuk integrasi sosial bermakna logis.
Etos adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan serta sikap mendasar terhadap
diri sendiri dan dunia diluar dirinya, yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Sedangkan pandangan hidup (world view) merupakan aspek kognitif dan
eksistensial dari kehidupan atau kebudayaan dan merupakan gambaran tentang
kenyataan apa adanya baik konsep-konsep tentang alam, diri sendiri dan sesama
manusia.29
Berkaitan dengan hal di atas, kosmologi orang Sumba dalam konteks
Agama Marapu, terutama pandangan tentang alam semesta, pandangan tentang
Yang Ilahi, serta pandangan tentang manusia, menjadi titik pijak analitis untuk
menjelaskan lebih jauh tentang dimensi makna sebagai sumber integrasi sosial
bermakna logis.
28 Lihat Skema Berpikir Geertz pada Bab II 29 Geertz, Kebudayaan & Agama, 51.
75
4.2.1. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Alam
Orang Sumba memahami alam sebagai totalitas yang memiliki kekuatan
gaib, memiliki kehidupan, memiliki kemauan atau kehendak. Konsepsi tentang
alam bagi orang Sumba terdiri dari tiga tingkat atau lapisan yaitu 1).Alam atas
atau langit sebagai tempat bersemayamnya Sang Ilahi yaitu Yang tidak dapat
disebutkan namaNya, Yang menciptakan Manusia, Ibu dan Bapak alam semesta
(Na Ndapa Tiki Tamu - Ndapa Nyura Ngara; Mawullu Tau - Majii Tau; Ina
Pakawurungu - Ama Pakawurungu) serta para leluhur (Marapu). 2).Alam Tengah
atau bumi, merupakan tempat manusia dan makluk-makluk lainnya; 3).Alam
bawah sebagai tempat bagi arwah-arwah atau roh orang mati yang tersesat dan
roh-roh jahat. Dunia ini merupakan tempat pertentangan roh-roh baik dan jahat.
Menjadi jelas bahwa orang Sumba memahami dirinya sebagai bagian
yang utuh dari alam semesta (totalitas kosmis). Dalam prinsip totalitas kosmis,
alam semesta yang diciptakan oleh Yang Ilahi, dilengkapi dengan keteraturan,
keharmonisan, keselarasan yang mana manusia memiliki tanggungjawab dan
kewajiban untuk terus memelihara keharmonisan itu. Keyakinan ini mengarahkan
segala aktivitas sosial-religious orang Sumba dalam berbagai-bagai bidang adat
istiadat (kawin mawin, pertanian, kematian), untuk menjaga keselarasan dan
keharmonisan hubungan dengan Yang Ilahi, alam semesta, dan sesama manusia.30
4.2.2. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Ilahi
Orang Sumba meyakini bahwa keberadaan alam semesta tidak terjadi
dengan sendirinya, namun diciptakan oleh Sang Ilahi yaitu Mawullu-Majii
30 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 38-40, 90-93; Mubyarto, Etos Kerja dan
Kohesi Sosial, 39-41
76
(Pencipta) atau Ina Pakawurungu-Ama Pakawurungu (Ibu-Bapak semesta).
Setelah menciptakan, Sang Ilahi meninggalkan alam semesta dan bersemayan
ditempat yang jauh dan tak terjangkau oleh manusia yaitu tanah dan batu
keselamatan (Tana Manangu-Watu Manangu). Namun transendensi Ilahi tersebut
tidak menghalanginya untuk menjadi Yang Maha melihat dan Maha Mendengar
(Na ma Bakulu Wua Mata, Ma Mbaralu Kahilu) terhadap segala sesuatu yang
terjadi di dunia dan juga manusia dengan segala perilakunya. Dalam upaya
berhubungan dengan Yang Ilahi, orang Sumba percaya kepada leluhurnya yang
diperilah yaitu Marapu, yang dipandang memiliki kekuatan ilahi sebagai
“perantara” (Lindi Papakalangu, Ketu Papajolangu).31 Latar belakang
pemahaman inilah yang menyebabkan segala permohonan dalam ritual-ritual yang
dilakukan, disampaikan melalui Marapu.
Disamping sebagai perantara, Marapu diyakini pula sebagai pengatur,
pemelihara alam semesta yang mewujudkan kekuatan ilahi dalam bentuk tanda-
tanda alam (kilat, gempa bumi, dan lain-lain), maupun dalam bentuk benda-benda
(gunung, batu, pohon, emas yang dikeramatkan dan sebagainya). Eksistensi
rumah (uma), bukan sebagai tempat tinggal saja, namun melambangkan kesatuan
hidup manusia dengan Marapu yang diperilahnya, sekaligus menjadi pusat
penyelenggaraan penyembahan pada Marapu. Rumah-rumah adat dalam
perkampungan orang Sumba melambangkan hubungan dunia nyata yang tidak
dipisahkan begitu dengan alam baka. Rumah adat merupakan perpaduan mikro-
kosmos dan makro-kosmos.
31 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 87-88.
77
4.2.3. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Manusia
Manusia merupakan makluk hidup yang juga turut diciptakan oleh Yang
Ilahi. Penciptaan manusia ini dilengkapi dengan hukum dan keteladanan (nuku
hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat istiadat masyarakat
Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan warganya. Dalam cerita
penciptaan manusia, sejarah leluhur orang Sumba hingga berada di Sumba
diungkapkan dalam syair adat (luluku) yang berbunyi: “Malaka-tana bara, hapa
fungsinya masing-masing yang menggambarkan posisi serta keutuhan hidup
manusia dalam hubungan dengan Yang Ilahi dan makluk ciptaan lainnya.35 Secara
sosial keyakinan akan keutuhan diatas, nampak pula dalam pola kampung
(praingu) sebagai bentuk keterikatan individu, marga, maupun klan (kabihu)
dalam lingkungan yang lebih luas. Konsepsi kampung (praingu) merupakan
gambaran keterikatan bathiniah dan kehidupan nyata bagi masyarakat kampung
Waiwunga baik terhadap tanah yang didiaminya untuk tidak boleh ditinggalkan
sebagai bentuk menjaga dan memelihara pemberian Yang Ilahi, maupun untuk
hidup bersama dan berdampingan satu dengan lain dalam menjalankan kehidupan
dan aktivitas bersama secara kolektif.36 Kuburan yang terletak ditengah kampung
(praingu), serta altar-altar persembahan (katoda) yang terletak ditengah kampung
atau di depan rumah setiap kabihu dan menjadi tempat pelaksanaan ritual
penyembahan kepada Marapu, merupakan pancaran faktualitas makna hubungan
manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hal ini masyarakat kampung Waiwunga
berupaya terus berhubungan dengan para leluhur atau yang diperillah sebagai
Marapu melalui keberadaan kuburan, katoda (altar), dan simbol benda-benda suci
(tanggu Marapu).
Disamping simbol rumah, kampung, kuburan, dan katoda (altar
penyembahan), terdapat pula tanggu marapu (benda-benda suci Marapu) yang
disimpan dirumah.37 Benda-benda suci terdiri dari anyaman daun pandan atau
anyaman daun lontar maupun rotan yang dipergunakan untuk menyimpan beras,
nasi dan lauk pauk (mbola), periuk tanah (wurung tana), tempat sirih-pinang
35 Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, 36: Lihat pula Bab III tulisan ini 36 Lihat konsep kampung (praingu) dalam Bab II 37 Lihat Bab III tentang Tanggu Marapu
81
(tanga wahil). Tanggu marapu ini secara simbolis menunjukkan keberadaan salah
satu marga tertentu dalam kabihu, sekaligus menjadi pengikat setiap anggota
kabihu dan marga tersebut sebagai bagian dari kolektivitas kabihu. Tanggu
marapu telah membentuk ikatan rasa sebagai suatu kesatuan keluarga. Hubungan
kekeluargaan ini bukan lahir hanya karena mereka memiliki hubungan darah yang
jelas dan baku saja, namun karena mereka disatukan secara simbolis melalui
keberadaan benda-benda suci yang diklasifikasi sesuai nama marganya masing-
masing. Secara kolektif mereka telah ditandai dengan simbol-simbol benda suci
sebagai bagian yang utuh dari kolektif. Emile Durkheim mengatakan bahwa
kesatuan dan kepaduan mereka muncul dari nama dan lambang yang sama, dari
kepercayaan akan adanya ikatan bersama dengan kategori-kategori hal-ihwal
tertentu, dan dari ritus-ritus yang juga mereka praktekkan bersama.38
Mengelola alam terutama kegiatan bercocok tanam, adalah ibadah dan
karena itu menjadi kewajiban bagi setiap individu maupun kolektif masyarakat
Kampung Waiwunga untuk melakukannya. Makna mendasar di balik kegiatan
bertani (dan beternak) bukan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis,
namun berorientasi religius dan sosial. Orientasi religiusnya adalah menjaga
keseimbangan hubungan dengan alam dan menghasilkan bahan persembahan
kepada Marapu. Sedangkan orientasi sosialnya adalah bahwa apa yang dihasilkan,
akan menjadi bahan-bahan pendukung pelaksanaan adat istiadat dalam keluarga,
kabihu maupun dalam kebersamaan di kampung (praingu). Tuntutan-tuntutan
kerja sawah dan kebun dengan kondisi alam yang kering, memerlukan ketetapan-
38 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk
Agama Yang Paling Dasar, 252.
82
ketetapan khusus untuk kerja sama teknis dan memperkuat kebersamaan dan
kohesivitas kelompok. Dalam konteks inilah ritual mangejing telah menjadi
instrument religious, dalam gaya yang sama sebagai pola perayaan bersama, dan
berperan memperkuat kembali rasa kebersamaan. Pelaksanaan ritual mangejing
dengan mengacu pada nilai-nilai, aturan-aturan, mekanisme, dan sejumlah kriteria
pelaksanaannya, merupakan ekspresi pelaksanaan dan penerapan hukum serta
keteladanan (nuku hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat
istiadat masyarakat Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan
warganya.
Penanggalan musim yang menjadi acuan masyarakat Kampung
Waiwunga dalam berinteraksi dan mengelola alam, menggambarkan adanya
kebutuhan yang besar bagi masyarakat Waiwunga untuk mengetahui posisi
mereka secara ruang dan waktu. Mereka membuat garis-garis waktu dalam
ingatan dan ruang kehidupannya, sebagai upaya menempatkan posisi mereka
dalam ruang dan waktu kehidupannya, dan dalam garis-garis waktu itulah mereka
menjalankan kehidupan dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, alam, dan sesama
manusia.39 Dalam pandangan Clifford Geertz penanggalan musim adalah sebagai
mesin kultural yang memotong-motong waktu menjadi unit-unit terbatas, bukan
supaya dapat menghitung atau menjumlahkan, melainkan untuk menjelaskan dan
mencirikan, untuk merumuskan makna sosial, intelektual dan religius yang
berbeda dari unit-unit waktu itu.40 Durkheim menyebutkan bahwa kategori waktu
adalah framework abstrak yang tidak hanya berisikan eksistensi individual tapi
39 Lihat Bab III
40 Geertz, Tafsir Kebudayaan, 182.
83
juga humanitas. Pengorganisasian waktu bersifat kolektif dan karena itu
merupakan ekspresi ritme aktivitas kolektif yang berpatokan pada keteraturan
tersebut.41
Dapat dikatakan bahwa ritual mangejing merupakan panggung pentas
tenunan makna integrasi sosial bermakna logis bagi masyarakat Kampung
Waiwunga. Dengan memahami ritual mangejing, menjadi jelas bahwa integrasi
sosial bermakna logis yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat Waiwunga
adalah perpaduan dan pembauran sejumlah pandangan hidup, etos, nilai dan
norma, sifat, watak, batasan-batasan, benda-benda, peristiwa dalam ruang dan
proses, serta kualitas kehidupan dan sikap mendasar terhadap diri sendiri dan
dunia diluar dirinya, yang diekspresikan dan direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Sebagai sesuatu yang khas kebudayaan, integrasi sosial bermakna logis bagi
masyarakat Kampung Waiwunga adalah seperangkat makna yang secara umum
diterima dan dirasakan artinya, dan karenanya dimiliki bersama oleh masyarakat
tersebut. Makna tersebut terekspresikan dalam berbagai bentuk simbol dan sistim
social yang didalamnya berlangsung perilaku sosial, bentuk-bentuk kelompok dan
lapisan masyarakat. Kondisi ini ang pada gilirannya membentuk sistim arti dan
rasa atau menjadi sistim keberartian.42
4.3. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Fungsional Kausal
Integrasi sosial fungsional-kausal (causal-function integration) adalah
integrasi yang khas bagi sistim sosial, yaitu jenis integrasi yang ditemukan dalam
41 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk
Agama Yang Paling Dasar, 31 42 Bruce J. Malina, Asal Usul Kekristenan & Antropologi Budaya, (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2011), 18-19.
84
suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal.43
Dalam upaya memahami substansi integrasi sosial fungsional kausal dalam
masyarakat Kampung Waiwunga berdasarkan konsep ini, cara pandang terhadap
masyarakat Kampung Waiwunga haruslah dilihat sebagai suatu kesatuan sistim
sosial yang dibentuk oleh struktur sosial yang didalamnya berlangsungnya
interaksi dan pola perilaku sosial-religius. Sejumlah unsur yang menjadi sumber
terbentuknya integrasi sosial fungsional kausal adalah struktur sosial yang di
dalamnya terdapat perilaku sosial-religius sebagai ekspresi konkrit akan tatanan
makna kehidupan mendasar sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian
sebelumnya. Demikian pula dalam sistim sosial terdapat kelompok sosial, lapisan
social, maupun institusi sosial.
Perspektif fungsionalisme menekankan bahwa perilaku seseorang dalam
bidang kebudayaan, menampilkan dunia-dalamnya. Kebudayaan terbentuk oleh
perilaku manusia mengekpresikan dirinya dan mencari relasi-relasi tepat terhadap
dunia sekitarnya.44 Pandangan ini dapat menjelaskan bahwa perilaku sosial dan
religius masyarakat Kampung Waiwunga merupakan cerminan dari unsur-unsur
makna yang terdapat dan dianutnya sebagi bagian dari spirit kehidupan suatu
masyarakat religi dan berbudaya. Menjadi jelas bahwa sekalipun terdapat
pembedaan antara integrasi sosial yang bermakna logis dan integrasi sosial
fungsional kausal, namun keduanya tetap saling terikat dan mempengaruhi. Hal
ini nampak dalam sistim sosial-religius masyarakat Kampung Waiwunga yang
merupakan cerminan pandangan hidupnya tentang kesatuan manusia dengan alam
Dampak langsung dari kondisi diatas juga terlihat pada intensitas
pelaksanaan ritual-ritual pertanian. Ritual mangejing terakhir dilaksanakan pada
tahun 2014.53 Sedangkan pada tahun 2016 masyarakat Waiwunga hanya
melaksanakan ritual meminta air hujan (Hamayang Karai Wai Urang) sebagai
respon terhadap kekeringan akibat tidak adanya curah hujan yang berpotensi pada
kekeringan dan dagal panen. Dibalik kegagalan pelaksanan ritual mangejing,
tercatat sejumlah hal sebagai hambatannya yaitu: kekurangan bahan-bahan
material konsumsi serta bahan persembahan dalam ritual, kesiapan rumah adat
tempat penyelenggaraan sebagai tempat berkumpul bersama yang belum selesai
dikerjakan, serta kesulitan koordinasi kepada banyak anggota kabihu yang berada
di luar kampung dalam rangkah mencari penghasilan ekonomi.
4.4.1.3. Perubahan Fisik
Berbagai keterbatasan sumber daya alam, berdampak pada perubahan
penggunaan bahan-bahan dasar rumah-rumah adat dan kuburan. Kebanyakan
53 Catatan akhir Bab III memberitahukan bahwa masyarakat Kampung Waiwunga
melaksanakan ritual mangejing terakhir pada tahun 2014.
95
rumah adat telah menggunakan seng karena kekurangan ilalang. Demikian juga
kuburan, banyak menggunakan bahan semen dan beton sebagai pengganti
lempengan batu asli. Hal ini dilkukan karena selain tidak mudah mendapatkannya
ditempat terdekat, juga memiliki biaya sosial dan finansial yang besar.
4.4.2. Faktor-faktor penyebab perubahan
Faktor-faktor penyebab perubahan yang dialami masyarakat Waiwunga,
dapat bersumber dari internal masyarakat tersebut atau yang datang dari luar
sebagai faktor eksternal. Beberapa perubahan berkesan sumbernya adalah internal
masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh sedikitnya anggota kabihu yang memiliki
kemampuan memahami konsepsi ritual mangejing maupun ritual-ritual lain,
mengakibatkan terjadi keterbatasan anggota kabihu yang berperan sebagai Rato
atau Wunang dan memimpin pelaksanaan ritual-ritual.54 Namun jikalau dicermati
lebih dalam, kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang
dihadapi masyarakat Waiwunga ditengah perubahan global, dan faktor eksternal
tersebut justru lebih dominan mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat.
4.4.2.1. Kekristenan Sebagai Nilai Eksternal
Kekristenan sebagai kelompok sosial keagamaan terbesar di Pulau
Sumba, memiliki peran terhadap perubahan yang dialami orang Sumba penganut
Marapu. Perjumpaan Kekristenan dengan Marapu (Kebudayaan Sumba) yang
dimulai pada penghujung abad ke 19 atau awal abad ke 20, ditandai oleh
kolaborasi kekuatan politik militer pemerintah Hindia Belanda dengan program
54 Kondisi ini terjadi pada empat kabihu dalam masyarakat Waiwunga yaitu hanya
memiliki seorang Rato (Imam) yaitu Bapak Pura Tanya dari kabihu Katina. Manakala kabihu lain
melaksanakan ritual, maka Bapak Pura Tanya menjadi satu-satunya pilihan untuk berperan sebagai
Rato (Imam)
96
pacifikasinya (1906-1912). Penaklukan kekuasaan politik raja-raja lokal diikuti
pelaksanaan Pekabaran Injil Gereja oleh Gereja dengan dukungan pelayanan
pendidikan serta pelayanan kesehatan, menjadi titik baru peradaban Sumba yang
lebih terbuka. Gereja secara tegas melakukan penolakan praktek-praktek adat-
budaya Sumba terutama yang berkenaan dengan ritual atau yang dianggap
merugikan dan tidak sesuai dengan Firman Allah dan Pengakuan Gereja Kristen
Sumba. Sekalipun sikap ini tidak serta merta menjadi sikap “anti budaya”.55
Namun berbagai doktrin serta peraturan gerejawi yang diterapkan, telah
menciptakan ketegangan-ketegangan sosial-religius dengan tatanan nilai dan
keyakinan Agama Marapu. Dalam batas tertentu sikap penolakan tersebut masih
mewarnai sikap gereja terhadap budaya maupun religiusitas masyarakat Sumba.
Hal ini dapat dipahami karena teologi awal yang dianut dalam masa-masa awal
Pekabaran Injil yang cenderung mereduksi segala keberadaan kelompok dan
ajaran lain di luar gereja, masih cukup mempengaruhi paradigma bergereja dan
bertelogi masa kekinian. Salah seorang Zending di Pulau Sumba, H. Dijkstra
(1902) dalam suratnya yang berjudul Den Duivelen Offeren atau
mempersembahkan kurban pada setan, menulis:
Sungguh tidak perlu disangsikan bahwa penyembahan berhala oleh kaum
kafir sungguh beraneka ragam. Bila anda datang ke Pulau Sumba, misalnya,
Anda akan menemukan penyembahan berhala yang langsung ditujukan
kepada roh-roh jahat. Orang Sumba sesungguhnya mengetahui Allah Yang
Esa, Yang Agung dan Baik, Yang tak berkarya, dan karena itu tidak
disembahnya; dan dia tahu pula tentang arwah dari almarhum leluhurnya,
yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Arwah itu
dibedakan ke dalam dua golongan yaitu yang baik dan yang jahat; yang baik
55 Sesungguhnya GKS cukup memberi perhatian pada kebudayaan Sumba. Kehadiran
Prof.Dr. L.Onvlee yang berupaya menyelidiki bahasa Sumba dan dipakai sebagai wahana PI,
merupakan hal yang tidak ternilai harganya; A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema
Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba (Jakarta: Persetia, 1995), 206
97
menghendaki kesejahteraan turunan mereka dan hanya berbuat kebajikan
bagi turunannya, sedangkan yang jahat menghendaki kehancuran bagi kaum
manusia. Arwah jahat itu membalas dendam atas nasib buruk yang
dialaminya sewaktu hidup di dunia, serta atas kealpaan dalam
mengenangkan arwahnya. Lalu arwah yang jahat itu hendak dipuaskan
hatinya oleh orang Sumba dengan mempersembahkan kurban. Maka
penyembahan berhalanya itu langsung merupakan pemujaan setan-setan56.
Interaksi keKristenan dan kebudayaan Sumba dalam perjalanan waktu
yang panjang telah menciptakan ketegangan-ketegangan bahkan konflik tertentu
yang mereduksi banyak hal dalam aspek kebuayaan Sumba. Agama Marapu
diposisikan sebagai budaya “kafir” yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
agama Kristen. Konsekuensinya adalah bahwa sistem nilai religi dan budaya
masyarakat Sumba tergeser dan terancam punah dari konteks Sumba. Pada saat
yang sama gereja sendiri telah menjadi unsur kebudayaan yang diterima begitu
saja, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kebudayaan.57
Perubahan ini pula yang sedang terjadi dalam konteks kehidupan
masyarakat Waiwunga dalam hubungannya dengan kekristenan. Masyarakat
Waiwunga sedang berada dalam tahapan reinterpretasi dan penyelarasan unsur-
unsur konseptual kebudayaannya dalam hubungan dengan kekristenan.
Penerimaan mereka terhadap kekristenan nampak dengan memberikan ijin kepada
anak-anaknya untuk mengikuti sekolah minggu atau kebaktian di Gereja.
Demikian juga sejumlah orang dewasa yang telah masuk gereja, selalu memberi
persembahan hasil buminya pada Gereja dari hasil panen pertama yang
didapatnya. Sikap ini merupakan bentuk penyelarasan konsep uhu kawungang
56 Th. Van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Kristen Sumba,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 165-166. 57 A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba
(Jakarta: Persetia, 1995), 207.
98
(padi awal)58 dengan konsep Gereja tentang hulu hasil. Polarisasi kelompok
sosial juga bertambah. Semula terdiri dari kabihu-kabihu, kini terbentuk pula
kelompok sosial baru berdasarkan keanggotaannya dalam Gereja.
4.4.2.2. Kebijakan Politik Ekonomi dan Pembangunan
Kehadiran pembangunan dan industrialisasi bukan sekedar kehadiran
barang, jasa, teknologi, dan informasi, namun juga disertai dengan kehadiran
nilai-nilai dan budaya baru. Paradigma pembangunan positivistik rasional yang
dikembangkan di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
menempatkan negara sebagai lembaga yang mendominasi segala konsepsi
pengetahuan dan pembangunan. Pada kondisi ini, tidak terdapat ruang bagi
terjadinya relasi-relasi sosial dan kemajemukan. Dampaknya adalah kebudayaan
lokal dinegasikan, masyarakat adat dipinggirkan, dan demi stabilitas serta
pencapaian kesejahteraan ekonomi, negara memiliki legalitas memformat segala
kebijakan makro maupun mikro dalam menjalankan pembangunan.59 Penerapan
Undang undang Desa pada tahun 1979 yang menggantikan tradisi musyawarah
desa dan menggantikan dengan lembaga desa yang dikontrol oleh pemerintah
merupakan bentuk dominasi negara dan penerapan ideologi pembangunan dengan
mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang ketat.60 Perubahan format
politik di Indonesia pasca reformasi yang menerapkan sistim multi partai dengan
prinsip demokrasi satu orang satu suara (one man, one vote), juga berdampak
58 Lihat penjelasan tentag ritual mangejing dalam Bab III tentang uhu kawungang. 59 Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 137-146 60 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 204-208
99
langsung pada pola-pola demokrasi lokal yang dianut masyarakat komunal
dengan prinsip satu komunitas, satu suara (one community, one vote).
Berbagai problematik di atas adalah konteks kehidupan pembangunan
sosial, politik dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Kampung
Waiwunga sebagai bagian yang integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Konteks ini merupakan penetrasi eksternal yang tidak dapat
dihindari dan menuntun mereka pada sebuah perubahan. Otoritas pemimpin
kabihu, berhadapan dengan legalitas kepemimpinan desa dan dusun sebagai hasil
demokrasi politik formal. Kelompok sosial kabihu-kabihu yang telah terbagi
dalam komunitas keagamaan lain seperti kekristenan, juga harus rela melebur dan
terbagi lagi dalam kelompok-kelompok tani serta usaha ekonomi bentukan
pemerintah desa. Sistim politik multi partai dan pemilihan langsung, berdampak
pada terbentuknya friksi politik dalam komunitas masyarakat karena perbedaan
afiliasi politik. Demikian pula orientasi pembangunan pada pertumbuhan
ekonomi, merubah orientasi aktivitas bercocok tanam sebagai “ibadah” menjadi
aktivitas yang berorientasi keuntungan ekonomis.
4.4.2.3. Persebaran Uang : Pasar
Mekanisme pasar yang ditandai dengan persebaran mata uang sebagai
alat transaksi, dan ukuran kesejahteraan ekonomi serta menentukan status sosial,
berperan besar bagi terjadinya perubahan pemahaman dan berpikir masyarakat
Kampung Waiwunga. Secara perlahan uang menjadi orientasi untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup mendasar. Kegagalan panen dalam kegiatan bercocok
tanam akibat ketidakjelasan dan ketidaktepatan iklim, mendorong banyak warga
100
masyarakat Waiwunga untuk beralih pola mencari nafkah ke sektor jasa dan
mendapatkan uang guna dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan
pangannya. Hasil pertanian maupun peternakan yang semula berorientasi
“penyembahan kepada Marapu”, perlahan mengalami pergeseran orientasi
menjadi komoditas ekonomi yang menentukan untung atau ruginya suatu
aktivitas. Demikian pula banyak sedikitnya pengeluaran material dalam
pelaksanaan ritual, akan diukur pula secara keuntungan dan kerugian material
ekonomis, dan bukan lagi untuk kemanfaatannya bagi solidaritas dan kohesivitas
kelompok (kabihu). Kehadiran fisik dalam ritual sebagai bentuk kebersamaan dan
solidaritas kolektif, dapat digantikan dengan keterwakilan “uang” yang diberikan
sebagai sumbangan untuk kebutuhan pelaksanaan ritual. Perubahan pola pikir dan
tindak seperti ini sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kampung
Waiwunga sebagai suatu komunitas sosial-religius.61
4.5. Perubahan Perilaku dan Bukan Makna
Masyarakat Kampung Waiwunga sebagai bagian dari peradaban dan
keberagaman, berada dalam konteks perubahan yang sedang dan terus terjadi
dalam interaksinya dengan lingkungan hidup dan alam disekitarnya. Integrasi
sosial yang menjadi inti pembahasan dan kajian dalam karya ini, menjadi
perspektif telaah terhadap keberadaan masyarakat Kampung Waiwunga sebagai
suatu realitas sosial dan religius. Integrasi sosial bermakna logis maupun integrasi
sosial fungsional kausal merupakan transfigurasi hubungan antara makna dan
simbol pada satu sisi, dan perilaku masyarakat dengan individu anggota
61 Lihat Alasan-alasan kegagalan pelaksanaan ritual mangejing tahun 2016 pada bagian
akhir Bab III
101
masyarakat pada sisi lain dalam lingkungan alam serta sosialnya, dan secara
dialektis-dinamis telah jalin menjalin membentuk identitas sosial-religius bagi
masyarakat Kampung Waiwunga. Integrasi sosial tersebut terbentuk dalam proses,
dan melalui konsensus masyarakat Waiwunga, baik karena homogenitas pikiran,
perasaan, dan tanggungjawab kolektifnya, maupun juga karena sejumlah
ketegangan dan konflik nilai-norma, dalam interaksi dengan berbagai unsur
eksternal sebagaimana telah disebutkan diatas.
Ritual mangejing menjadi wujud pancaran faktualitas tranfigurasi unsur-
unsur integrasi sosial masyarakat Kampung Waiwunga. Berdasarkan prinsip ini
pula, ketika masyarakat Waiwunga sedang berada dalam tantangan perubahan
yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan sosial religiusnya, Ritual
mangejing memiliki peran integratif dan menjadi bagian dari mekanisme sosial
yang dapat memulihkan keseimbangan serta solidaritas kelompok.
Dalam keberartian ritual mangejing tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga,
terutama terjadi dimensi perilaku sebagai salah satu unsur pembentuk inetegrasi
sosial fungsional kausal. Sedangkan integrasi sosial bermakna logis masih
menjadi kekuatan perekat masyarakat Waiwunga pada masa kini sebagai suatu
komunitas masyarakat Sumba yang masih mempertahankan tradisi-tradisi
kebudayaannya. Sebagai satu komunitas religius-soaial, sikap keterbukaan
masyarakat Waiwunga untuk menerima dan berinteraksi dengan banyak pengaruh
eksternal, tidak membuatnya melebur dalam gejala perubahan menyeluruh yang
sedang terjadi pada kebanyakan komunitas-komunitas lokal di Sumba. Dimensi
102
makna merupakan modal sosialnya dalam beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Ketegangan-ketegangan atau konflik yang dialaminya dalam lingkungan hidup
yang kompleks, dapat menjadi peluang bagi masyarakat Kampung Waiwunga
menguatkan dan menegaskan identitasnya. Belajar dari pengalaman masyarakat
Ndembu dalam penelitian Turner, ritual mangejing dapat menjadi mekanisme
penyelesaian konflik, sekaligus menguatkan identitas masyarakat Waiwunga
sebagai sebuah integrasi. Sekalipun banyak perselisihan atau konflik, namun
struktur sosial masyarakat Ndembu tetap utuh. Keutuhan ini terjadi oleh karena
ritual-ritual yang dilaksanakan masyarakat Ndembu telah berperan
mengintegrasikan masyarakat tersebut.62
62 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer