BAB IV PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HIZBUT TAHRIR A. Gagasan Sistem Pendidikan Islam 1. Pendidikan Islam Agama Islam adalah agama yang universal dan sempurna. Yang mengajarkan kepada manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi. Salah satu di antara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula, manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal kehidupannya. 1 Pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi semua perbuatan atau semua usaha dar i generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya. 2 Maka dari itu, Hizbut Tahrir memahami bahwa pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan 1 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 98. 2 Ibid, 92.
56
Embed
BAB IV PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HIZBUT TAHRIRdigilib.uinsby.ac.id/8595/7/Bab 4.pdf · Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) Syakhshiyyah, dalam bahasa Arab berasal
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HIZBUT TAHRIR
A. Gagasan Sistem Pendidikan Islam
1. Pendidikan Islam
Agama Islam adalah agama yang universal dan sempurna. Yang
mengajarkan kepada manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik
duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu di antara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada
umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam,
pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak
harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia
dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula, manusia akan mendapatkan berbagai
macam ilmu pengetahuan untuk bekal kehidupannya.1
Pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi semua
perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
(melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta
keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan
mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya.2 Maka dari itu, Hizbut Tahrir
memahami bahwa pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya
sadar, terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan
1Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 98. 2Ibid, 92.
60
manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi.3 Pendidikan
Islam harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem hidup Islam.
Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam, sistem pendidikan
memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau
lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut.
Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain
adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa),
manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan
pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan
biaya pendidikan.
Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses
pendidikan. Proses pendidikan ini didefinisikan Pannen dan Malati dalam
buku Program Applied Approach (1996) sebagai proses transformasi atau
perubahan kemampuan potensial individu peserta didik menjadi kemampuan
nyata untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir dan batin. Proses pendidikan
dapat terjadi dimana saja. Berdasarkan pengorganisasian serta struktur dan
tempat terjadinya proses tersebut, dikenal adanya pendidikan sekolah dan
pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini diperoleh hasil pendidikan yang
mengacu pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, hasil pendidikan ini dikembalikan kepada supra sistem
atau lingkungan. Di dalam lingkungan inilah, hasil pendidikan efektivitas dan
efisiensi proses pendidikan yang berlangsung dapat dibuktikan. Dari hasil
3Muhammad Ismail Yusanto, dkk, Menggagas Pendidikan Islami, 47.
61
pendidikan ditambah interaksi dengan lingkungannya, sistem pendidikan
memperoleh umpan balik yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan
meningkatkan mutu proses pendidikan.
Dari gambaran di atas diketahui bahwa kesinambungan tujuan
pendidikan dalam setiap jenjang pendidikan sekolah (formal) sangatlah
penting, dan itu akan mempengaruhi kemampuan anak didik dalam menjalani
proses pendidikan. Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan,
penjabaran capaian tujuan pendidikan melalui kurikulum pendidikan, dengan
guru/dosen dan budaya pendidikan yang mendukung menjadi suatu kebutuhan
yang tidak terelakkan. Kurikulum pendidikan Islam sendiri sangatlah khas,
unique. Tampak pada penetapan tujuan/arah pendidikan, unsur-unsur
pelaksana pendidikan serta asas dan struktur kurikulum.4
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan Islam adalah suatu sistem di mana terjadi proses
kependidikan yang berusaha mencapai suatu tujuan.5 Sedangkan tujuan adalah
suatu kondisi ideal dari obyek didik yang akan dicapai, ke arah mana seluruh
kegiatan dalam sistem pendidikan diarahkan. Maka, sebagaimana
pengertiannya, pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar yang
terstruktur, terprogram dan sistematis bertujuan untuk membentuk manusia
4Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, 91. 5 H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), 147.
62
yang (1) berkepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3) menguasai
ilmu kehidupan (sains teknologi dan keahlian) yang memadai.6
a. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah)
Syakhshiyyah, dalam bahasa Arab berasal dari kata syakhshun
(Inggris = Personality), yang artinya pribadi atau orang. Karena itu,
syakhshiyyah diterjemahkan ke dalam bahas Indonesia menjadi
kepribadian.
Menurut Dr. Ibrahim Anis et.al. (1972) dalam kitab Al-Mu'jam Al-
Wasith, syakhshiyyah secara bahasa bermakna "shifatun tumayyizu al-
syakhsha min ghairihim" (sifat atau karakter yang membedakan satu orang
dengan orang lainnya). Dalam pengertian yang bersifat umum ini, maka
syakhshiyyah mengandung arti sebagai jati diri atau identitas seseorang
yang membedakannya dengan orang lain.
Sementara kalau kita perhatikan, setiap orang mempuanyai banyak
identitas personal yang bisa membedakannya dengan orang lain seperti
nama, tempat dan tanggal kelahiran, kebangsaan, ras, bentuk fisik, warna
kulit, raut wajah, pekerjaan, kekayaan, hobby, dan lain sebagainya. Namun,
semua identitas tersebut, menurut Ismail Yusanto jelas bukanlah indikator
hakiki yang menentukan tinggi rendahnya derajat atau kualitas kepribadian
seseorang. Karena semua itu hanyalah 'kulit' (gusyuur) belaka. Selain itu,
sebagian identitas fisikal dan genetik tersebut merupakan pemberian dari
Allah semata (bersifat qadha'iyah atau taken for granted), yang memang
6Wawancara dengan Ust. Hisyam Yanis, SH., Lajnah Tsaqafiyyah HTI DPD I Jawa Timur, Senin 31 Agustus 2009.
63
tidak dapat diubah dan tidak dapat ditolak manusia. Maka, bila dikatakan
begitu saja bahwa orang yang berkulit putih pasti lebih tinggi kualitas
kepribadiannya daripada orang yang berkulit hitam, atau orang ganteng
lebih baik daripada berwajah sederhana, alangkah malangnya mereka yang
berkulit hitam atau yang berwajah jelek. Jelas anggapan ini tidak adil dan
tidak masuk akal. Sekali lagi, warna kulit, raut wajah, bentuk tubuh,
bukanlah hasil usaha manusia (shifataun muktasabah), melainkan sifat
fisik (shifataun khalqiyah) yang tidak dapat dipilih atau ditolak manusia,
karena memang termasuk dalam qada' (keputusan) Allah SWT.7
Oleh karena itu, Hafidz Abdurrahman mengatakan bahwa
merupakan pemahaman yang dangkal, tanpa didasari analisa ataupun
hujjah yang kokoh yang menganggap performance (penampilan fisikal),
seperti bentuk tubuh, warna kulit, dan raut wajah manusialah yang
mempengaruhi kepribadian seseorang.8
Jadi menurut Taqiyuddin an-Nabhani yang dikutip oleh Ismail
Yusanto, bahwa tolok ukur yang paling tepat untuk menilai tinggi
rendahnya kualitas syakhshiyyah seseorang adalah perilaku (suluk) sehari-
hari seseorang dalam berbagai interaksi di tengah masyarakat.9 Hal senada
juga dikatakan oleh Prof. H. M. Arifin, M. Ed. bahwa apa yang disebut
dengan kepribadian manusia tidak lain adalah keseluruhan hidup manusia
lahir batin yang menampakkan corak wataknya dalam amal perbuatan atau
7Muhammad Ismail Yusanto, et.al., Membangun kepribadian Islami. (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2005), 1-2. 8Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spritual, 66. 9Muhammad Ismail Yusanto, et.al., Membangun Kepribadian Islami, 2.
64
tingkah laku sehari-hari. Dengan demikian, proses kependidikan Islam
bertugas pokok membentuk kepribadian Islam dalam diri manusia selaku
makhluk individual dan sosial.10
Tujuan yang pertama ini pada hakikatnya merupakan perwujudan
dari konsekuensi seorang muslim, yakni bahwa sebagai muslim ia harus
memegang erat identitas kemuslimannya dalam seluruh aktivitas hidupnya.
Identitas itu menjadi kepribadian yang tampak pada pola berpikir
(aqliyyah) dan bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada ajaran
Islam. Dengan kata lain, kepribadian seseorang merupakan perilaku yang
melekat pada diri seseorang terkait dengan pemahaman.
Pada prinsipnya, ada tiga langkah untuk membentuk dan
mengembangkan kepribadian Islam pada diri seseorang, sebagaimana
dicontohkan Rasulullah SAW. Pertama, menanamkan akidah Islam
kepada yang bersangkutan dengan metode tepat, yakni yang sesuai dengan
kategori akidah Islam sebagai aqidah aqliyyah (akidah yang keyakinannya
dicapai melalui proses berfikir). Kedua, mengajaknya bertekad bulat untuk
senantiasa menegakkan bangunan cara berpikir dan perilakunya di atas
pondasi ajaran Islam semata. Ketiga, mengembangkan kepribadiannya
dengan cara membakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh mengisi
pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah dan mengamalkan dan
10M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, 9.
65
memperjuangkannya dalam seluruh aspek kehidupannya sebagai wujud
ketaatan kepada Allah SWT.11
Pendidikan, melalui berbagai pendekatan, harus menjadi media
untuk memberikan dasar bagi pembentukan, peningkatan, pemantapan dan
pematangan kepribadian anak didik. Semua komponen yang terlibat dalam
kegiatan pendidikan (guru/dosen/karyawan, orangtua, masyarakat bahkan
sesama peserta didik), termasuk semua kegiatan yang dilakukan baik
kurikuler, ko-kurikuler, ekstra kurikuler maupun interaksi diantara
komponen di atas harus diarahkan bagi tercapainya tujuan yang pertama
ini.12
b. Menguasai Tsaqofah Islam
Tsaqafah Islam (kebudayaan Islam) adalah pengetahuan yang
menempatkan akidah Islam sebagai induk pembahasan, baik untuk
pengetahuan yang mengandung akidah Islam, seperti ilmu tauhid, maupun
pengetahuan yang dibangun di atas landasan akidah Islam, seperti ilmu
fiqh, tafsir dan hadis, ataupun pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memahami apa yang terpancar dari akidah Islam yang berupa hukum-
hukum. Misalnya saja pengetahuan-pengetahuan yang harus dimiliki untuk
melakukan ijtihad, seperti ilmu bahasa Arab, musthalahah hadits dan ilmu
ushul. Semuanya merupakan tsaqafah Islam, karena akidah Islam menjadi
induk dalam pembahasannya.
11Muhammad Ismail Yusanto, dkk., Mengagas Pendidikan Islami, 52-53. 12Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, 92.
66
Sejarah umat Islam merupakan bagian dari tsaqafah umat Islam,
mengingat di dalamnya terdapat berbagai informasi tentang peradaban
umat Islam, para pelaku, para pemimpin dan para ulamanya. Lain lagi
dengan sejarah Arab sebelum Islam, itu bukan termasuk tsaqafah Islam.
Meski demikian, sya’ir-sya’ir Arab sebelum Islam dianggap sebagai
tsaqafah karena di dalamnya terdapat petunjuk yang dapat membantu
memahami lafadz-lafadz dan sususnan bahasa Arab, yang dapat membantu
dalam proses ijtihad, penafsiaran al-Qur’an dan memahami Hadits.13
Tsaqafah Islam seluruhnya kembali kepada al-Qur'an dan sunnah.
Dari keduanya, dengan memahami keduanya, dan yang mengharuskan
keduanya, muncul seluruh cabang tsaqafah Islam. Keduanya juga
termasuk tsaqafah Islam, karena akidah Islam mengharuskan mengambil
keduanya, dan terikat dengan apa yang dibawa oleh keduanya. Al-Qur'an
telah turun kepada Rasulullah SAW agar beliau menjelaskannya kepada
manusia. Allah swt berfirman:
وأنزلنا إلیك الذكر لتبین للناس .....(44) "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia." (QS.an-Nahl[16]: 44).
Al-Qur'an menyuruh kaum muslim agar mereka mengambil apa
yang telah dibawa oleh rasul. Allah SWTberfirman;
وما ءاتاكم الرسول فخذوه وما نھاكم عنھ فانتھوا ... (7)
13 Abu Yasin, Strategi Pendidikan Negara Khilafah. Terj. Ahma Fahrurozi. (Bogor: Pustak Thariqul Izzah, 2007), 1-2.
67
"Apa yang diberikan kepada Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS.al-Hasyr[59]: 7).
Mengambil apa yang dibawa oleh Rasul tidak mungkin kecuali
setelah memahami dan mempelajarinya. Akibat dari hal itu adalah adanya
pengetahuan-pengetahuan yang diharuskan untuk memahami al-Qur'an
dan sunnah, sehingga muncul berbagai macam pengetahuan Islam. Maka
jadilah tsaqafah Islam memiliki madlul tertentu, yaitu musthalahah hadits,
ushul, tauhid dan lain-lain yang termasuk dalam pengetahuan-pegetahuan
Islam.14
Tujuan kedua ini juga merupakan konsekuensi (lanjutan) dari
kemusliman seseorang. Islam mendorong setiap muslim untuk menjadi
manusia yang berilmu dengan cara men-taklif-nya (memberi beban
hukum) kewajiban menuntut ilmu. Imam al Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin, membagi ilmu dalam dua kategori dilihat dari sisi kewajiban
menuntutnya. Pertama ilmu yang dikategorikan sebagai fardu a’in, yakni
ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim. Ilmu yang
termasuk dalam golongan ini adalah ilmu-ilmu tsaqofah Islam, yakni
pemikiran, ide dan hukum-hukum (fiqh) Islam, bahasa Arab, sirah
nabawiyah, ulumu al-Qur’an, ulumu al-Hadits dan sebagainya. Kedua
adalah ilmu yang dikategorikan sebagai fardu kifayah, yaitu ilmu yang
wajib dipelajari oleh sebagian dari umat Islam. Ilmu yang termasuk
dalam golongan ini adalah sains dan teknologi serta berbagai keahlian,
14 Taqiyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam. Terj. Zakiah Ahmad. (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2008), 386-387.
68
seperti kedokteran, pertanian, teknik dan sebagainya, yang sangat
diperlukan bagi kemajuan material masyarakat.15
Berkaitan dengan bahasa Arab sebagai bagian dari tsaqofah Islam,
memegang peranan penting dalam kehidupan umat Islam. Bahasa Arab
adalah bahasa al-qur'an dan Hadits; bahasa dalam ibadah shalat, juga
bahasa internasional, khususnya untuk dunia Islam. Seorang qadhi (hakim)
tidak akan mungkin berijtihad tanpa memahami bahasa Arab. 16
Rasulullah SAW telah menjadikan bahasa ini sebagai bahasa umat Islam
yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pendidikan.
Karenanya setiap muslim, termasuk yang bukan Arab sekalipun, wajib
mempelajari bahasa Arab. Imam Syafi’i dalam kitab al-Risalah fi ‘Ilmi
Ushul menyatakan, “Allah SWT mewajibkan seluruh umat untuk
mempelajari lisan Arab dengan tekun dan sungguh-sungguh agar dapat
memahami kandungan al-Qur’an dan untuk beribadah.”
Mengajak kepada tsaqafah Islam bukan berarti hanya membatasi
seorang muslim mempelajari tsaqafah tersebut. Yang dimaksudkannya
adalah tsaqafah Islam harus dijadikan sebagai asas dalam tatsqif dan ta'lim.
Jadi, boleh mempelajari tsaqafah dan ilmu pengetahuan lainnya. Seorang
muslim berhak mempelajari hal yang diinginkannya, baik itu berupa
tsaqafah-tsaqafah lain maupun mempelajari perkara yang menarik baginya
15Muhammad Ismail Yusanto dalam www.geocities .com/war-24ever/artikel/syriat-islam-dalam-pendidikan.doc-Similar 16Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir Untuk Indonesia. (Ttp:tb, 2009), 64.
69
berupa ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, syakhshiyyah Islam harus
menjadi poros utama yang dikelilingi hasil dari setiap tsaqafah.17
Dorongan kuat agar setiap muslim mempelajari tsaqofah
Islamiyyah di samping sains dan teknologi, membuktikan bahwa Islam
membentengi manusia dengan menjadikan akidah Islam sebagai satu-
satunya asas bagi kehidupan seorang muslim, termasuk dalam tata cara
berpikir, berkehendak, sehingga setiap tindakannya diukur dengan standar
ajaran Islam. Hanya dengan itu setiap muslim memiliki pijakan yang
sangat kuat untuk maju sesuai dengan arahan Islam.
c. Menguasai Ilmu Kehidupan (Iptek dan keahlian)
Sementara itu, kewajiban untuk menguasai ilmu kehidupan (iptek
dan keahlian) diperlukan agar umat Islam dapat meraih kemajuan material
sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT
dengan baik di muka bumi ini. Dorongan Islam untuk menguasai Ilmu
kehidupan (iptek) juga dapat dimengerti dari pengkajian terhadap hakikat
ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal, yakni
pengetahuan yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia – sehingga
ia dapat menentukan suatu tindakan (aksi) tertentu – dan pengetahuan
mengenai perbuatan itu sendiri.
Berkaitan dengan akal, Allah SWT telah memuliakan manusia
dengan akalnya. Dengan akalnya, manusia dilebihkan atas seluruh
17Taqiyuddin an-Nabhani, Kepribadian Islam, 393.
70
makhluk ciptaan Allah SWT. Akal menjadi sesuatu yang paling berharga
yang dimiliki manusia. Allah SWT menurunkan al-Qur’an dan mengutus
Rasul-Nya Muhammad SAW dengan membawa risalah Islam untuk
menuntun akal manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar. Dalam
al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan tentang fungsi dan
pentingnya akal.
Sementara, dalam banyak ayat lainnya Allah SWT juga
menyerukan manusia untuk menggunakan akalnya dan memanfaatkannya
supaya dapat memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah SWT sehingga
darinya bisa didapat sains dan aplikasinya berupa teknologi. Dari itu pula
dapat membuahkan tambahan keimanan terhadap Allah SWT, terhadap
keesaan-Nya, kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya. Di sinilah pentingnya
peranan akal manusia, dimana melalui proses pemikirannya akan mampu
menghantarkan manusia pada keimanan.
Pada sisi yang lain, akal yang demikian juga akan memacu
kehendak untuk menguasai iptek, sebab dorongan dan perintah untuk maju
ternyata berasal dan sekaligus menjadi buah dari keimanan seorang
muslim. Dalam kitab al Fathul Kabiir, misalnya, diketahui bahwa Rasul
pernah mengutus dua orang sahabatnya ke negeri Yaman guna
mempelajari teknik pembuatan senjata yang mutakhir ketika itu yang
disebut dabbabah, sejenis tank yang terdiri atas kayu tebal berlapis kulit
dan tersusun dari roda-roda. Rasul memahami betul manfaat senjata ini
untuk menerjang benteng lawan.
71
Dalam kitab al Furusiyah (Ibnul Qoyyim), diriwayatkan bahwa
Rasulullah suatu ketika melihat busur-busur panah buatan orang-orang
Arab, berkata, “Dengan ini, dengan busur-busur, tombak, Allah SWT
mengokohkan kekuasaanmu di dalam negeri dan menolong kalian atas
lawan-lawanmu.” Pada kali yang lain, Rasulullah SAW memerintahkan
Asy-Syifa binti Abdullah agar mengajarkan kepada Hafshah Ummul
Mukminin menulis dan teknik pengobatan. Rasul juga menganjurkan
kaum muslimah agar mempelajari ilmu tenun, menulis dan merawat orang
sakit (pengobatan).18
Abdurrahman Assegap dalam pengantar bukunya Jasa Ungguh
Muliawan yang berjudul Pendidikan Islam Integratif mengatakan bahwa
belakangan disadari bahwa institusionalisasi dikotomi ilmu menyebabkan
ketertinggalan umat Islam yang amat jauh di bidang sains, ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kondisi keterbelakangan pendidikan
Islam dalam penguasaan di bidang sains dan Iptek terjadi di hampir semua
negara Islam. Negara-negara Islam jauh tertinggal oleh negara-negara
Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Slandia Baru yang Protestan;
Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katolik, Eropa Timur yang
Katolik Ortodoks; Israel yang Yahudi; India yang Hindu; Cina, Korea
Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura, yang Buddhis Konfusialis; Jepang
yang Buddhis Taois; dan Thailand yang Buddhis. Praktis, di semua
penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang
18http://wisnudibjo,wordpress.com/menggagas-kembali-konsep-sistem-pendidikan-islam, 20 Januari 2009
72
paling rendah dalam sains dan teknologi. 19 Padahal, pada masa lalu,
banyak umat Islam yang faham agama sekaligus menguasai sains dan
tegnologi seperti al-Kindi yang ahli di bidang optik, Ibnu Haitam sebagai
pakar cahaya atau al-Khawarizmi sang jagoan di bidang matematika.
Dunia kedokteran juga dihiasi dengan karya-karya intelektual Muslim
seperti Ibnu Nails al-Qarshi, yang menjelaskan teori sirkulasi darah minor
tiga abad sebelum William Harvey, dan Ibnu Sina yang mengarang kitab
qaanuun tentang perawatan jantung.20
3. Pilar Pelaksana Pendidikan
Menurut Ust. Ibnu Ali, Lajnah Fa’aliyah HTI Jawa Timur, berdasarkan
pengorganisasian, proses pendidikan terbagi atas tiga pilar, yaitu (1)
pendidikan di keluarga atau yang biasa disebut dengan pendidikan informal,
(2) pendidikan di sekolah/kampus atau yang biasa disebut dengan pendidikan
formal, dan (3) pendidikan di masyarakat atau yang biasa disebut dengan
pendidikan nonformal. Ketiga pilar tersebut harus terjadi singkronisasi agar
tujuan pendidikan yang diinginkan khususnya pendidikan Islam dapat tercapai
secara maksimal.21
a. Pendidikan di keluarga
Pemikiran sosial dalam Islam setuju dengan pemikiran sosial
modern yang mengatakan bahwa keluarga itu adalah unit pertama dan
institusi pertama dalam masyarakat di mana hubungan-hubungan yang
19Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, X-XI. 20 Farid Wadjdi, DiskriminasiKapitalisme. Majalah al-Wa'ie No. 81 Tahun VII, 1 -31 Mei 2007/Rabiul Tsani 1428 H, 4. 21Wawancara dengan Ust. Ibnu Ali, Lajnah Fa’aliyah HTI DPD Jawa Timur, Senin 14 September 2009.
73
terdapat di dalamnya, sebagian besarnya bersifat hubungan langsung. Di
situlah berkembang individu dan di situlah terbentuknya tahap-tahap awal
proses pemasyarakatan (socialization). 22 Di situlah pertama kali
pembinaan kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam dilakukan
melalui pendidikan dan pengamalan hidup sehari-hari dan dipengaruhi
oleh sumber belajar yang ada di keluarga, utamanya orang tua.
Peran penting pendidikan dalam keluarga tercermin dalam Hadits
Rasulullah SAW:
“Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan
fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Muslim)
Itulah sebabnya, proses pendidikan dalam keluarga disebut sebagai
pendidikan yang pertama dan utama, karena ia menjadi peletak pondasi
kepribadian anak. Keluarga ideal berperan menjadi wadah pertama
pembinaan keislaman dan sekaligus membentenginya dari pengaruh-
pengaruh negatif yang berasal dari luar. Dalam dakwah pun, sebelum
kepada masyarakat luas, seorang muslim diperintahkan untuk berdakwah
terlebih dulu kepada anggota keluarga dan kerabat dekatnya.
وأنذر عشیرتك الأقربین (214) “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” QS. Asy-Syu’ara [26]: 214)
یاأیھا الذین ءامنوا قوا مأنفسك وأھلیكم نارا
22Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan Pendidikan. (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1995), 346.
74
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” (QS. At-Tahrim [66]: 6).23
Supaya keluarga terbebas dari siksa api neraka, maka anggota
keluarga harus dididik dan dibina sesuai ajaran agama Islam. Hanya
dengan demikianlah keluarga akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
fitrah dan diridlai Allah.24
Upaya pendidikan dalam keluarga sebenarnya telah dan harus
dimulai sejak usia anak dalam kandungan hingga menginjak usia baligh
dan memasuki jenjang pernikahan; dan bahkan akan terus berlangsung
hingga usia tua. Rasul SAW. Bersabda:
“Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan hingga liang lahat.”
Pendidikan pada saat anak dalam kandungan (pranatal) dilakukan
dengan cara mendoakannya agar menjadi anak yang soleh sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh istri Imran ketika mengandung Maryam yang
digambarkan dalam Al-Qur’an:
إذ قالت امرأة عمران رب إني نذرت لك ما في بطني محررا
فتقبل مني إنك أنت السمیع العلیم (35) “Ingatlah ketika istri Imran berdo’a, “Tuhanku, sungguh aku memohon kepada-Mu, agar anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi anak yang soleh dan berkhidmat…”. (QS. Ali Imran [3]: 35)
Ketika seorang anak telah lahir (postnatal), Islam mengajarkan
untuk mendidik dan mengembangkan aspek tauhid, antara lain dengan
membacakan azan di telinga kanan dan iqamat di telinga kirinya. Setelah
itu, Islam menuntun dengan pemberian nama yang baik, pemberian air
susu ibu (ASI), dan penanaman keteladanan kepribadian islam serta
pemberian tuntunan untuk berumah tangga.
“Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nama
yang baik dan mendidiknya dengan adab yang mulia.” (HR. Hakim)
والوالدات یرضعن أولادھن حولین كاملین لمن أراد أن یتم
الرضاعة ”Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...”. (QS. Al-Baqarah[2]: 233).
“Seorang anak hendaknya disembelihkan akikah setelah hari ke-7 dari kelahirannya dan diberi nama (dengan nama yang baik) dan dicukur rambutnya. Setelah anak tersebut mencapai umur 6 tahun, hendaknya dididik tentang sopan santun. Setelah berusia 9 tahun hendaknya dipisahkan tempat tidurnya. Dan bila telah mencapai usia 10 tahun, hendaknya dipukul bila meninggalkan shalat. Kemudian setelah dewasa dinikahkan. Maka pada saat itu, ayah menjabat tangan anaknya dan mengatakan, ‘Saya telah mendidik, mengajar, dan menikahkan kamu. Karena itu, saya mohon kepada Allah agar dijauhkan dari fitnah dunia dan azab di akhirat kelak’.” (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin)
Imam al-Ghazali juga menganjurkan bahwa hendaklah (orang tua)
menjaga anak-anak dari bergaul dengan anak-anak yang dibiasakan
bersenang-senang dan bermewah-mewahan serta dibiasakan berpakaian
yang serba lux, dan demikian pula terhadap anak-anak yang berkelakuan
buruk. Demikian pula orang tua harus memperhatikan pengaruh dari
berbagai bacaan dan kebudayaan di dalam dan di luar rumah serta
mengusahakan situasi keagamaan dalam kehidupan sehari-hari anak.25
25Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 119.
76
Suasana keagamaan dalam keluarga akan berakibat pada anak
tersebut berjiwa agama. Begitu pula sebaliknya, kebiasaan orang tua dan
kakak-kakaknya berbuat maksiat akan membentuk kepribadian yang
maksiat pula pada anak. Ini menunjukkan bahwa keluarga sangat berperan
penting terhadap pembentukan kepribadian anak.26
b. Pendidikan di sekolah/kampus
Pendidikan di sekolah/kampus pada dasarnya merupakan proses
pendidikan yang diorganisasikan secara formal berdasarkan struktur
hierarkhis dan kronologis, dari jenjang taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi.27
Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, sekolah memegang
peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada
jiwa anak. Maka di samping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah
pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan
kepribadian anak.28
Karena sekolah sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk
tempat pendidikan, maka sekolah dapat digolongkan sebagai tempat atau
lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, karena sekolah mempunyai
fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai pengganti
orang tua yang harus ditaati.29
26Ibid, 117. 27Muhammad Ismail Yusanto, dkk., Menggagas Pendidikan Islami, 58. 28Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, 180. 29Ibid, 118.
77
Selain mengacu pada tujuan pendidikan yang diterapkan secara
berjenjang, berlangsungnya proses pendidikan di sekolah/kampus sangat
bergantung pada keberadaan subsistem-subsistem lain yang terdiri atas:
anak didik (pelajar/mahasiswa); manajemen penyelenggaraan
sekolah/kampus; struktur dan jadwal waktu kegiatan belajar-mengajar;
materi bahan pengajaran yang diatur dalam seperangkat sistem yang
disebut sebagai kurikulum; tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana yang
bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan pendidikan; alat bantu
belajar (buku teks, papan tulis, laboratorium, dan audiovisual); teknologi
yang terdiri dari perangkat lunak (strategi dan taktik pengajaran) serta
perangkat keras (peralatan pendidikan); fasilitas atau kampus beserta
perlengkapannya; kendali mutu yang bersumber atas target pencapaian
tujuan; penelitian untuk pengembangan kegiatan pendidikan; dan biaya
pendidikan guna melancarkan kelangsungan proses pendidikan.
Berdasar sirah Rasul dan tarikh Daulah Khilafah pendidikan
formal dapat dideskripsikan sebagai berikut:
- Kurikulum pendidikan, mata ajaran, dan metodologi pendidikan
disusun berdasarkan pada Akidah Islam.
- Tujuan penyelenggaraan pendidikan merupakan penjabaran dari tujuan
pendidikan Islam yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
- Sejalan dengan tujuan pendidikan, waktu belajar untuk ilmu-ilmu
Islam (tsaqofah Islamiyyah) diberikan dengan proporsi yang
78
disesuaikan dengan pengajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan
keahlian).
- Pelajaran ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian) dibedakan dari
pelajaran guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah dan tsaqofah
Islamiyyah. Materi guna membentuk syakhsiyyah Islamiyah mulai
diberikan di tingkat dasar sebagai materi pengenalan dan kemudian
meningkat pada materi pembentukan dan pematangan setelah usia
anak didik menginjak baligh (dewasa). Sementara materi tsaqofah
Islamiyyah dan pelajaran ilmu-ilmu kehidupan diajarkan secara
bertingkat dari mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
- Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar di seluruh jenjang pendidikan,
baik negeri maupun swasta.
- Materi pelajaran yang bermuatan pemikiran, ide dan hukum yang
bertentangan dengan Islam, seperti ideologi sosialis/komunis atau
liberal/kapitalis, akidah ahli kitab dan lainnya, termasuk sejarah asing,
bahasa maupun sastra asing dan lainnya, hanya diberikan pada tingkat
pendidikan tinggi yang tujuannya hanya untuk pengetahuan, bukan
untuk diyakini dan diamalkan.
- Pendidikan di sekolah tidak membatasi usia. Yang ada hanyalah batas
usia wajib belajar bagi anak-anak, yakni mulai umur tujuh tahun,
berdasar pada hadits,
“Perintahkanlah anak-anak mengerjakan shalat di kala mereka
berusia tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat
79
pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (pada
usia tersebut pula)” (HR. Al Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah
bin Amr bin Ash)
- Penyelenggaraan kegiatan olahraga dilangsungkan secara terpisah bagi
murid laki-laki dan perempuan.
- Pendidikan diselenggarakan oleh negara secara gratis atau murah.
Swasta bisa menyelenggarakan pendidikan asal visi, misi dan sistem
pendidikan yang dikembangkan tidak keluar dari ajaran Islam.
Dalam kehidupan sekuler seperti saat ini, peran penting
sekolah/kampus sangat terasa, mengingat bahan masukannya berasal dari
suprasistem yang sekuler. Beban sekolah bertambah berat manakala ia pun
harus mampu mensterilkan sekolah dari gempuran pengaruh negatif yang
datang dari kedua suprasistem. Proses pendidikan di sekolah/kampus harus
mampu menghasilkan keluaran yang Islami, bukan sekuler. Proses
pendidikan seperti ini dilakukan melalui apa yang disebut small Islamic
environment yang interaksi dengan suprasistem masyarakat dan keluarga30
tergambarkan pada bagan berikut:
30Muhammad Ismail Yusanto, Menggagas Pendidikan Islami, 58-61.
80
Posisi Pendidikan Sekolah/Kampus terhadap Keluarga dan
Masyarakat
c. Pendidikan di tengah masyarakat
Hampir sama dengan pendidikan di keluarga, pendidikan di tengah
masyarakat pada hakikatnya juga merupakan proses pendidikan sepanjang
hayat, khususnya berkenaan dengan praktek kehidupan sehari-hari yang
dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di masyarakat, yakni tetangga,
teman pergaulan, lingkungan serta sistem nilai yang berjalan.31
Menurut Heri Jauhari Muchtar,32 pendidikan di tengah masyarakat
identik dengan dakwah. Masyarakatlah sebagai subyek dan sekaligus
objek dakwah. Mendidik masyarakat berarti berdakwah, yang berarti
membina, mengarahkan, menasehati serta menjadikan masyarakat agar
baik atau lebih baik keadaannya.
Kata dakwah sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu dari akar
kata ”da’a, yad’u” yang berarti menyeru atau mengajak. Maksudnya
menyeru atau mengajak masyarakat ke arah yang benar dan lebih baik.
Termasuk dalam pengertian dakwah adalah juga berarti merubah, yaitu
merubah masyarakat dari keadaan gelap (sesat) ke arah yang terang
benderang (benar) atau ”minadzdzulumati ilannuur”.
Dakwah juga bisa berarti ”amar ma’ruf nahyi mungkar”, yaitu
menyeru kepada yang makruf (kebaikan/kebenaran) dan mencegah dari
yang mungkar (keburukan/kejahatan/kesalahan/kesesatan). Dakwah juga
dikenal dengan istilah lain yaitu tablig, yang berarti menyampaikan yang
benar (ajaran Islam) kepada orang lain, baik perorangan maupum
kelompok.
Dakwah sebenarnya bukan hanya ditujukan kepada masyarakat
dalam arti sempit (perorangan, kelompok, suku bangsa, atau bangsa) tapi
juga dalam artian luas, yaitu seluruh manusia di muka bumi ini. Dakwah
bukan hanya kewajiban para pendidik, ustadz, muballigh, atau pun ulama,
tapi kewajiban seluruh umat manusia, sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya.
Terdapat banyak firman Allah (ayat-ayat Allah) dan sabda-sabda
Rasulullah (hadis-hadis) yang memerintahkan untuk berdakwah, di
antaranya:
مكنت خیر أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنھون عن
المنكر
82
”Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan Tuhan, guna menyuruh manusia berbuat kebajikan dan melarangnya melakukan kemungkaran”. (QS. Ali Imran[3]: 110).
ولتكن منكم أمة یدعون إلى الخیر ویأمرون بالمعروف وینھون
عن المنكر وأولئك ھم المفلحون (104) ”Dan hendaklah ada di antaramu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), menyeru melaksanakan kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran, mereka itulah orang-orang beruntung”. (QS. Ali Imran[3]: 104).
لم وان فبلسانھ یستطع لم فان بیده فلیغیر منكرا منكم رأى من
(مسلم رواه) االیمان اضعف وذلك فبقلبھ یستطع”Barangsiapa melihat kemungkaran maka cegahlah dengan tangan (kekuatan, kekuasaan, jabatan), bila tidak bisa maka cegahlah dengan lisan (teguran, nasehat), apabila tidak bisa maka lawanlah dengan hati, itu merupakan pertanda lemahnya iman”. (HR. Muslim).
Dalam sistem Islam, masyarakat merupakan salah satu elemen
penting penyangga tegaknya sistem selain ketaqwaan individu serta
keberadaan negara sebagai pelaksana syariat Islam. Masyarakat berperan
mengawasi anggota masyarakat lain dan penguasa dalam pelaksanaan
hukum syariat Islam.
Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang
dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan Islam yang mengikat
mereka sehingga menjadi masyarakat yang solid.
یاأیھا الذین ءامنوا كونوا قوامین للھ شھداء بالقسط ولا نكمیجرم
شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا ھو أقرب للتقوى واتقوا اللھ إن
اللھ خبیر بما تعملون (8)
83
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.” (QS. Al-Maidah[5]: 8).
Lebih dari itu, masyarakat Islam memiliki kepekaan indera
bagaikan pekanya anggota tubuh terhadap sentuhan benda asing. Tubuh
yang hidup akan turut merasakan sakit saat anggota tubuh lain terluka,
kemudian ia bereaksi dan berusaha melawan rasa sakit tersebut hingga
lenyap. Dari sinilah amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang paling
esensial yang sekaligus membedakan masyarakat Islam dengan
masyarakat lainnya.
Ketakwaan individu anggota masyarakat di samping ditentukan
oleh upaya pribadi, juga sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan anggota
masyarakat lain dan nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat.
Dalam masyarakat Islam, seseorang yang berbuat maksiyat tidak akan
berani melakukannya secara terang-terangan, atau bahkan tidak berani
melakukan sama sekali. Kalaupun ada yang tergoda untuk berbuat
maksiyat, ia akan berusaha melakukan secara sembunyi-sembunyi. Begitu
sadar akan kesalahannya, ia akan terdorong segera bertobat atas
kekhilafannya dan kembali kepada kebenaran.
Kisah Ma’iz al Aslami dan al Ghomidiyah radliyallahu anhuma
yang langsung menghadap Nabi SAW untuk meminta hukuman sesaat
setelah berzina, merupakan contoh nyata gambaran dari ketinggian
ketaqwaan individu dalam masyarakat Islam.
84
Masyarakat yang berfungsi mendidik inilah yang disebut sebagai
learning society, yakni ketika proses pendidikan berjalan bagi seluruh
anggota masyarakat melalui interaksi keseharian yang selalu bernuansa
amar ma’ruf dan nahi mungkar. Setiap anggota masyarakat akan selalu
mendapatkan masukan positif dari hasil interaksinya itu.33
4. Asas Pendidikan
Sistem pendidikan Islam berdasarkan pada asas akidah Islam, mulai
dari penetapan dan pelaksanaan kurikulum, metode pembelajaran, penentuan
tenaga pengajar (guru dan dosen), dan yang lain-lainnya. 34 Dalam isi
ceramahnya, K.H. Zeinuddin MZ menjelaskan bahwa akidah adalah pondasi
suatu bangunan. Sebagai pondasi, maka harus kuat karena kalau tidak kuat,
pondasinya lemah, maka suatu bangunan sangat mudah runtuh. 35 Islam
mewajibkan setiap muslim untuk memegang teguh ajaran Islam dan
menjadikannya sebagai dasar dalam berfikir dan berbuat, asas dalam
hubungan antar sesama manusia, asas bagi aturan masyarakat dan asas dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk dalam menyusun sistem
pendidikan. Penetapan akidah Islam sebagai asas pendidikan tidaklah berarti
bahwa setiap ilmu pengetahuan harus bersumber pada akidah Islam, karena
memang tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari akidah Islam, misalnya
33Buklet Hizbut Tahrir Indonesia tahun 2009, Menggagas Kembali Konsep Sistem Pendidikan islam 34Wawancara dengan Ust. Hisyam Yanis, SH., Lajnah Tsaqafiyyah HTI DPD I Jawa Timur, Senin 31 Agustus 2009. 35K.H. Zeinuddin MZ pada acara Tablig Akbar TV ONE, Kamis 10 September 2009 di Masjid Raja Kulo Asem Jakarta.
85
matematika, manajemen dan lain-lain.36 Yang dimaksud dengan menjadikan
akidah Islam sebagai asas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah dengan
menjadikan akidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata lain, akidah
Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan.37
Berbeda dengan saat ini, meskipun pendidikan yang berjalan saat ini
kebanyakan mengatakan pendidikan Islam, namun yang mendasarinya adalah
sekulerisme sehingga tidak mampu menciptakan manusia-manusia yang
berkepribadian Islam.38
Perkembangan pendidikan Islam pada zaman awalan, yakni pada
zaman Rasul dengan para sahabat-sahabatnya dan pada zaman Kerajaan
Umayyah, pendidikan bertujuan terutama untuk menegakkan akidah Islam
berdasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah. Segala perselisihan di kalangan umat
Islam selalu dikembalikan kepada dua sumber tersebut. Dalam masalah
tertentu di mana penyelesaian masalah yang timbul itu tidak ada dalam al-
Qur'an dan Sunnah barulah digunakan ijtihad, seperti makna Hadis berkenaan
dengan pengutusan Mu'az bin Jabal ke negeri Yaman.39
Al-Qur’an sendiri memuat pemikiran dan keyakinan dari berbagai
agama dan golongan di masa Nabi SAW. Islam tidak melarang mempelajari
segala macam pemikiran sekalipun bertentangan dengan akidah Islam, asal
disertai koreksi dengan hujjah yang kuat untuk menumbangkan pendapat yang
salah itu. Ilmu tentang pendapat-pendapat yang bertentangan dengan Islam
36Wawancara dengan Ust. Fikri Arsyad, Ketua HTI DPD Surabaya, Kamis 27 Agustus 2009. 37Muhammad Ismail Yusanto, dkk., Menggagas Pendidikan Islami, 48-49. 38 Wawancara dengan Ust. Saiduddin, Lajnah Tsaqafiyah DPD II Surabaya pada Jum’at, 4 September 2009. 39Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, 11.
86
tentu bukan sebagai suatu pengetahuan yang utama, melainkan semata-mata
dipelajari untuk pengetahuan, menjelaskan kekeliruannya serta memberikan
jawaban yang tepat.
Yang dilarang adalah mengambil pemikiran-pemikiran yang salah itu
sebagai pegangan hidup. Teori evolusi Darwin misalnya, yang mengatakan
bahwa perkembangan manusia berawal dari hewan primata (kera). Teori ini
jelas bertentangan dengan firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya
perumpamaan Isa di sisi Allah seperti halnya perumpamaan Adam. Ia
diciptakan dari tanah, kemudian Dia katakan: ‘Jadilah engkau! ‘Maka
jadilah ia.” (QS. Ali Imran/3: 59).
Dalam aspek sosial, teori Darwin mempengaruhi cara berpikir
masyarakat dengan pendapatnya bahwa yang terkuat akan tumbuh dan
menang, sesuai dengan seleksi alam (prinsip “survival for the fittest”). Paham
ini mempunyai andil tumbuh tegaknya paham Kapitalis dan Liberal, sehingga
tercetus gagasan bahwa hanya dengan perjuangan yang bebas sajalah yang
akan mampu mencapai kedudukan yang baik dan ekonomi yang maju. Jadilah
ia seorang yang machiavelis, manusia yang berperinsip menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan.
Contoh lain yang bertentangan dengan akidah Islam adalah teori
perkembangan (evolusi) materi sebagaimana keyakinan kaum komunis.
Menurut teori ini, materi berkembang dengan sendirinya, tidak ada faktor lain
yang turut campur mengadakannya ataupun menumbuhkannya. Dalam bidang
biologi, dikenal dengan istilah generatio spontanea, yaitu bahwa makhluk
87
hidup (dalam hal ini organisme sel) tercipta dengan sendirinya. Tuhan tidak
ada, padahal Allah SWT berfirman yang artinya: “Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (QS.
As-Sajadah/32:4).40
Pengetahuan mengenai ide-ide yang bertentangan dengan aqidah Islam,
seperti contoh-contoh tersebut di atas, tidak boleh diajarkan begitu saja karena
akan berpotensi merusak akidah. Kecuali disertai dengan penjelasan mengenai
kesalahannya agar orang tidak meyakininya.41
5. Struktur Kurikulum
Kurikulum pendidkan Islam wajib belandaskan akidah Islamiyah.
Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun
tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut.42
Kurikulum pendidikan juga harus tunggal. Tidak dibenarkan ada kurikulum
lain selain kurikulum Negara. Lembaga pendidikan swasta boleh
berdiri/dibangun selama kurikulum pendidikannya terikat dengan kurikulum
Negara dan berdiri di atas asas kebijakan umum pendidikan Negara. 43
Kurikulum pendidikan Islam di sekolah/kampus dijabarkan dalam tiga
(Kepribadian Islami), (2) Tsaqofah Islam dan (3) Ilmu Kehidupan (Iptek dan
40 Abdur Rahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan Di Masa Khilafah Islam. Editor, Nur Eva. (Surabaya: Al-Izzah , 1996), 15-16. 41 http://wisnudibjo,wordpress.com/2009/01/20/menggagas-kembali-konsep-sistem-pendidikan-islam 42Taqiyuddin an-nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam. Terj. Abu Amin, dkk. (Jakarta: HTI-Press, 2006), 180. 43Fathy Syamsuddin Ramadhan al-Nawiy, Asas dan Format Pendidikan Dalam Negara Khilafah, 62.
88
keahlian).44 Dalam kurikulum pembelajaran tsaqafah Islam, bagi setiap orang
Islam wajib mengikutinya sedangkan bagi orang non-muslim diberi pilihan
untuk mengikuti atau tidak mengikutinya. Adapun kurikulum materi sains dan
teknologi, baik Muslin maupun non-muslim semua harus mendapatkan
pengajaran bagi yang ingin mengikutinya. Artinya, bagi yang ingin saja yang
boleh mengikutinya, tidak ada paksaan untuk mengikuti materi-materi
tersebut. 45 Sebagaimana yang tercermin dalam tabel di bawah ini, selain
muatan penunjang proses pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah yang secara
menerus diberikan pada tingkat TK – SD dan SMP – SMU – PT, muatan
tsaqofah Islam dan Ilmu Kehidupan (Iptek dan keahlian) diberikan secara
bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik
berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
44Abdurrahman Al-Bagdadi, Bunga Rampai Syariat Islam, 99. 45Wawancara dengan Ust. Hisyam Yanis, SH., Lajnah Tsaqafiyyah HTI DPD I Jawa Timur, Senin 31 Agustus 2009.
89
Struktur dan Performa Komponen Kurikulum
JENJANG
PENDIDIKAN
KOMPONEN
MATERI
TK
SD
SMP
SMU
PT
Pembentukan
Syakhsiyyah
Islamiyyah
Dasar-dasar
Pembentukan
Pematangan
Tsaqofah Islam
1
2
3
4
5
Ilmu Kehidupan
- Iptek
/keahlian
- Keterampilan 1
2
3
4
5
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD),
penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum,
terpadu dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Yang termasuk
dalam materi dasar ini antara lain: pengenalan al-Qur’an dari segi hafalan dan
90
bacaan; prinsip-prinsip agama; membaca; menulis dan menghitung; prinsip-
prinsip bahasa Arab; menulis halus; sirah Rasul dan Khulafaur Rasyidin serta
berbagai latihan seperti berenang dan menunggang kuda atau menyetir mobil.
Khalifah Umar bin Khattab dalam wasiat yang dikirimkan kepada
gubernur-gubernurnya menulis, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-
anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab
sopan santun dan syair-syair yang baik.” Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalby, guru anaknya: “Sesungguhnya
anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan padamu mengajarnya.
Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Dan
yang pertama-tama saya wasiatkan kepadamu adalah agar engkau
mengajarkan kepadanya al-Qur’an, kemudian hafalkan kepadanya al-
Qur’an,…”
a. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah
Pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah harus dilakukan pada
semua jenjang pendidikan sesuai dengan proporsinya melalui berbagai
pendekatan. Salah satu diantaranya adalah dengan menyampaikan
tsaqofah Islam kepada para siswa/mahasiswa. Seperti tampak pada Tabel
Struktur dan Performa Komponen Kurikulum, pada tingkat TK hingga SD
materi Syakhsiyyah Islamiyyah yang diberikan adalah Materi Dasar. Hal
ini mengingat anak didik berada pada usia menuju baligh, sehingga lebih
banyak diberikan materi yang bersifat pengenalan guna menumbuhkan
keimanan.
91
Setelah mencapai usia baligh, yakni pada SMP, SMU dan PT,
materi yang diberikan bersifat Lanjutan (Pembentukan, Peningkatan dan
Pematangan). Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan sekaligus
meningkatkan keimanan serta keterikatan dengan syariat Islam.
Indikatornya adalah bahwa anak didik dengan kesadarannya
melaksanakan seluruh kewajiban dan mampu menghindari seluruh
bersamaan akan tercipta pula pribadi-pribadi yang mampu memperoduksi
alat-alat dan dapat mengolah hasil-hasil produksi. Merekalah yang
diharapkan untuk mengolah kekayaan alam bagi umat manusia dan
merekalah yang diharapkan mampu merealisir kemajuan ilmu dan
teknologi di seluruh aspek kehidupan.50
6. Kualifikasi Guru/Dosen
Guru sebagai pendidik atau pengajar merupakan faktor penentu
kesuksesan setiap usaha pendidikan. Dari sudut pandang sistemik, guru/dosen
adalah sebuah prototype teladan yang hidup. Maknanya, guru/dosen di
samping mengajarkan ilmu, juga perlu memberikan teladan kepada
siswa/mahasiswanya. Dalam proses belajar-mengajar di sekolah/kampus,
peran guru/dosen sangat penting dan hendaknya mampu berfungsi
sebagaimana orang tua yang mampu memahami, mengayomi dan
memberikan perasaan aman kepada peserta didik. Dalam proses pendidikan,
materi-materi keislaman (dalam arti nilai substansi) tidak diberikan oleh
seorang guru/dosen khusus (guru agama), meski pengajaran agama Islam
tetap ada. Diharapkan seorang guru, apapun mata pelajaran yang menjadi
tangggung jawabnya, merupakan sosok yang mampu memberikan teladan
perilaku Islami sekaligus memiliki visi yang jelas dalam peranannya
mengembangkan pribadi siswa/mahasiswa muslim. Sesuai dengan pola
perkembangan, anak lebih mudah mengikuti teladan perilaku yang bersifat
visual dibandingkan dengan materi yang disaampaikan secara klasikal dan
50Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah, 53.
99
verbalistik. Selain itu, peserta didik lebih cenderung meneladani guru yang
juga melakukan sesuatu seperti yang ia ajarkan kepada siswa/mahasiswanya.
Berdasarkan hal ini, maka guru/dosen perlu memenuhi kualifikasi
berikut ini:
1. Amanah, yaitu bertanggung jawab dalam keberhasilan proses pendidikan.
Ia betul-betul memiliki komitmen yang tinggi untuk membentuk
kepribadian Islam pada diri peserta didik. Bila tidak, pendidikan yang
diharapkan unggul hanya akan menjadi impian.
2. Kafa’ah atau memiliki skill (keahlian) di bidangnya. Pengajar yang tidak
menguasai bidang yang diajarkannya, baik dalam aspek iptek dan keahlian
maupun tsaqafah Islam tidak akan mampu memberikan hasil yang optimal
pada para peserta didik. Dengan demikian, penguasaan materi yang akan
diajarkan penting dipahami oleh pengajar yang bersangkutan. Dalam
keseharian, seorang guru/dosen dituntut untuk selalu mengembangkan
wawasan, baik terkait dengan dunia pendidikan secara umum mapuan
bidang ilmu yang menjadi pesialisasinya. Di samping itu, guru/dosen
dituntut pula untuk memahami dengan seksama aspek paradigma
pendidikan yang menjadi landasan visi, misi, dan tujuan pendidikan sesuai
jenjangnya.
3. Himmah atau memiliki etos kerja yang baik seperti disiplin, bertanggung
jawab, kreatif, inovatif, dan taat kepada akad kerja dan tugas.
4. Berkepribadian Islam. guru/dosen harus menjadi teladan bagi
siswa/mahasiswanya agar tidak hanya sekedar menjalankan fungsi
100
mengajar, melainkan juga fungsi mendidik. Artinya, upaya menanamkan
kepribadian Islam kepada siswa/mahasiswa harus dimulai dengan
tersedianya guru/dosen yang berkepridbadian Islam yang kuat.51 Mengenai
pentingnya kepribadian guru, seorang psikolog terkemuka, Profesor
Doktor Zakiah Darajat (1982) menegaskan bahwa “kepribadian itulah
yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik
bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi
hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat
sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa
(tigkat menengah).52
7. Metode Pembelajaran Islam
Metode secara harfiah berarti "cara". Dalam pemakaian umum, metode
diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan
pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis.
Adapun yang dimaksud metode pembelajaran ialah cara yang berisi prosedur
baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan
pengajaran materi pelajaran kepada siswa/mahasiswa.53 Para ahli pendidikan
Muslim sangat memperhatikan persoalan metode pengajaran dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang strategis bagi keberhasilan proses
pembelajaran. 54 Begitu pula dengan Hizbut Tahrir, sangat memperhatiakan
51Muhammad Ismail Yusanto, dkk., Menggagas Pendidikan Islami, 92-93. 52Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), 225-226. 53Ibid, 201. 54Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam. Terj. Mahmud Arif. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 209.
101
persoalan metode pembelajaran, karena tanpa metode pembelajaran, suatu
materi pembelajaran tidak akan dapat berproses secara efisien dan efektif dala
kegiatan belajar mengajar menuju tujuan pendidikan. Hanya saja, metode
pembelajaran yang benar dalam Islam menurut Hizbut Tahrir adalah
penyampaian (khithab) dan Penerimaan (talaqqiy) pemikiran dari pengajar
kepada pelajar.55 Metode penyampaian pelajaran dirancang sedemikian rupa
untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang telah
dijelaskan di muka. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan
tersebut dilarang.56
Sarana utama untuk Khitab al-fikri (penyampaian pemikiran) dan
talaqqi al-fikri (penerimaan pemikiran) adalah bahasa. Tanpa bahasa atau
pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan oleh pengajar, tentu tidak akan
terjadi komunikasi antara pengajar dan pelajar, dan tidak pula terjadi transfer
ilmu dan pengetahuan dari pengajar ke pelajar. Untuk itu, pengajar dan
pembuat kurikulum pendidikan mesti menyederhanakan bahasa dan istilah
dalam mata pelajarannya. Ini ditujukan agar siswa memahami apa yang
disampaikan oleh pengajar.57
Dengan metode tersebut, dapat digunakan untuk menyampaikan
seluruh jenis pemikiran, baik yang berhubungan dengan pandangan hidup
tertentu seperti ideology, maupun yang tidak berhubungan langsung dengan
55Abu Yasin, Strategi Pendidikan Negara Khilafah, 11. 56Taqiyuddn an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam. 180. 57Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy, Asas Dan Format Pendidikan Dalam Negara Khilafah. (Majalah al-Wa’ie No. 81 Tahun VII, 1-31 Mei 2007), 62.
102
pandangan hidup tertentu seperti ilmu matematika, ilmu fisika, kimia dan lain-
lain.
Mempelajari teks pemikiran yang berkaitan dengan pandangan hidup,
tidak dimaksudkan untuk berhenti pada makna-makna bahasa saja. Teks
pemikiran dipahami untuk dapat diletakkan pada fakta yang terkait, agar dapat
mengambil sikap sesuai dengan tuntutan syara' baik berupa tuntutan untuk
mengerjakan maupun tuntutan untuk meninggalkan. Pemikiran seperti ini
dipelajari agar dapat mengendalikan perilaku anak didik sesuai dengan hukum
Islam. Jadi pendidikan bukan ditujukan untuk semata-mata kemewahan
intelektual, tetapi untuk membentuk kepribadian yang Islami, pola pikir dan
pola jiwa Islami, yang selalu berusaha untuk meraih keridhaan Allah, yang
tercermin pada setiap berbuatan dan perkataannya.
Sedangkan pemikiran yang tidak ada hubungannya secara lansung
dengan pandangan hidup tertentu, dipelajari untuk mempersiapkan anak didik
untuk mengelola alam semesta yang disediakan Allah bagi manusia.58
8. Teknik Dan Sarana/Prasarana Pendidikan
Teknik atau cara (uslub) adalah tata cara tertentu untuk melakukan
suatu aktivitas yang bersifat tidak tetap (fleksibel). Dalam konteks pendidikan,
yang dimaksud dengan uslub adalah seluruh aktivitas terarah yang digunakan
pengajar dengan maksud untuk membantu para siswa meraih apa yang
diinginkan, yaitu diterimanya pemikiran, pemahaman dan berbagai
pengetahuan secara efektif dan efisien. Dengan demikian, berbagai cara dapat
58Abu Yasin, Strategi Pendidikan Negara Khilaah, 11.
103
dipilih oleh pengajar sesuai dengan kondisi belajar mengajar. Seorang
pengajar hendaknya memperhatikan tingkat kemampuan para siswa, dan
memilih teknik yang terbaik untuk mencapai sasaran pendidikan, seperti
teknik berdialog, berdiskusi, bercerita, menirukan sesuatu, memecahkan
masalah, melalui percobaan, dan praktek-praktek secara langsung.59
Adapun sarana/prasarana pendidikan adalah sarana/prasarana
pendidikan yang digunakan dalam proses belajar-mengajar semisal papan tulis,
buku, slide, proyektor, alat peraga, dan lain sebagainya.
Pemilihan uslub dan wasilah (media/sarana) harus selalu berpijak pada
tingkat efektivitas dan capaian maksimal yang dihasilkan. Jika ada uslub dan
wasilah yang baru lebih efektif dan efisien, maka uslub dan wasilah yang lama
bisa ditinggalkan.60 Artinya, sarana (wasilah) dan cara (uslub) bersifat tidak
tetap, dapat berubah, berkembang, dan beragam sesuai dengan kondisi,
personal dan berbagai kemungkinan lainnya. Sama halnya dengan keharusan
adanya metode untuk melaksanakan suatu pemikiran, maka wasilah dan uslub
juga memiliki peran penting dalam pelaksanaan suatu metode. Kesempurnaan
suatu pekerjaan secara efektif dan efisien bergantung pada kreativitas dalam
mewujudkan sarana/prasarana dan cara yang sesuai untuk melaksanakan
pekerjaan tersebut.61
Adapun terkait dengan dan atau biaya, negara harus memberikan
pelayanan yang gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah.
59Ibid, 20. 60Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy, Asas Dan Format Pendidikan Dalam Negara Khilafah, 63. 61Abu Yasin, Strategi Pendidikan Negara Khilafah, 20-21.
104
Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagaimana
disarikan oleh al Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa
Khilafah Islam, negara memberikan pelayanan pendidikan secara cuma-cuma
(bebas biaya) dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan
prasarana) sebaik mungkin. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat
diperhatikan. Dana pendidikan ditanggung negara yang diambil dari kas baitul
maal. Sistem pendidikan bebas biaya dilakukan oleh para shahabat (ijma’),
termasuk pemberian gaji yang sangat memuaskan kepada para pengajar yang
diambil dari baitul maal.
Contohnya, Madrasah al Muntashiriah yang didirikan Khalifah al
Muntashir di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa
sebesar satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin
sepenuhnya. Fasilitas seperti perpustakaan, bahkan rumah sakit dan
permandian tersedia lengkap di sana. Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah
di Damaskus yang didirikan pada abad keenam Hijriah oleh Khalifah Sultan
Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti
asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan untuk siswa, staf
pengajar dan para pelayan serta ruang besar untuk ceramah. Khalifah Umar
Ibnu Khattab jauh sebelum itu, memberikan gaji kepada tiga orang guru yang
mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap
bulan.62
62Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam, 103-104.
105
9. Evaluasi
Secara bahasa, evaluasi berasal dari istilah asing yaitu evaluation yang
berarti menilai. Meskipun kini memiliki makna yang luas, namun pada
awalnya pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi
belajar siswa. Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950).
Ahli ini mengatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan
data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan
pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa
sebabnya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua orang ahli lain,
yakni Cranbach dan Stufflebeam. Tambahan definisi tersebut adalah bahwa
proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi
juga digunakan untuk membuat keputusan.63
Dalam rangka mengukur taraf keberhasilan pencapaian tujuan dan
membuat keputusan, evaluasi harus dilakukan secara bertahap untuk semua
jenjang pendidikan. Bagi seorang guru, terutama yang bertanggung jawab
memegang suatu bidang studi, tugas evaluasi itu difokuskan pada tingkat
instruksional. Oleh karena itu, setiap guru di samping mahir merumuskan
tujuan-tujuan instruksional secara cermat, juga harus mahir dalam
mengembangkan dan menggunakan instrumen evaluasi serta dapat melakukan
penilaian (scoring) dan penafsiran (interpretasi) hasilnya.
Secara umum, dikenal dua jenis evaluasi atau penilaian, yaitu penilaian
kegiatan dan kemajuan belajar yang biasa disebut evaluasi manjerial, dan
penilaian hasil belajar atau yang lebih populer disebut tes dan pengukuran
hasil belajar.
Kedua evaluasi tersebut dipandang sangat penting untuk mengukur
berbagai masukan kekuatan dan kelemahan dari berbagai komponen yang
terdapat dalam suatu proses belajar-mengajar. Informasi-informasi ini pada
gilirannya akan digunakan untuk memperbaiki kualitas proses belajar-
mengajar itu sendiri. Dan sebagai tujuan akhirnya, hasil-hasil evaluasi ini akan
bermanfaat untuk mengoptimalkan proses belajar-mengajar peserta didik.
1. Penilaian Kegiatan dan Kemajuan Belajar
Pola acuan model penilaian ini adalah identifikasi dini terhadap
performansi guru dalam mengajar dan performansi murid dalam menerima
pelajaran. Kreteria utama atau tolok ukur penilaian tersebut adalah
seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan (presribed objective) dapat
tercapai. Oleh karena itu, tujuan program belajar-mengajar harus
dirumuskan secara jelas dan tegas maupun tersembunyi (hidden) dalam
pikiran guru dan peserta didik. Hasil penilaian ini selanjutnya akan
dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kondisi peserta didik,
mengembangkan program belajar-mengajar serta memperbaiki
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Proses dan strategi penilaian membutuhkan kreativitas sekaligus
kejelian guru dalam menangkap indikator-indikator penilaian. Indikator
yang dimaksud adalah penampakan peserta didik, baik secara lisan, tulisan
maupun bahasa tubuh sebagai respon terhadap proses belajar-mengajar
107
yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, guru harus menciptakan cara
serta suasana yang memungkinkan peseta didik menunjukkan indikator
tersebut secara jelas misalnya dengan bertanya, meminta pendapat atau
pemberian tugas.
2. Penilaian Hasil Belajar
Secara garis besar, penilaian hasil belajar dapat dibagi dua, yaitu
penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif dilakukan
untuk membantu mengetahui sejauh mana suatu proses pendidikan telah
berjalan sebagaimana yang direncanakan. Sedangkan penilaian sumatif
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat
berpindah dari suatu unit ke unit berikutnya. Instrumen evaluasi yang
digunakan dalam penilaian hasil belajar dapat berupa instrumen tes (pre
tes, pos tes seta tertulis, lisan atau perbuatan) maupun non tes seperti
observasi atau skala rating dan lain-lain, karena maksud penilaian ini
adalah untuk memberi nilai tentang kualitas hasil belajar. Jadi lebih
diarahkan kepada menjawab pertanyaan bagaimana atau seberapa jauh
suatu proses belajar-mengajar atau hasil yang diperoleh seseorang dari
proses belajar-mengajar tersebut. Penilaian ini akan memperlihatkan
tingkat penguasaan dan pemahaman konsep, perwujudan sikap dan
partisipasi dalam interaksi sosial secara nyata.
Penggunaan instrumen evaluasi tes dan non-tes menjadi sama
pentingnya dalam pendidikan, mengingat aspek pembentukan kepribadian
108
Islam tidak hanya dapat dilakukan melalui tes tertulis, namun digarap
melalui sejumlah pendekatan yang telah dipaparkan sebelumnya.64
B. Implementasi Gagasan Pendidikan Islam
Gagasan model pendidikan atau sekolah unggulan seperti yang
dijelaskan di atas hanya dapat diterapkan oleh negara karena negaralah yang
memiliki seluruh otoritas yang diperlukan bagi penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu, termasuk penyediaan dana yang mencukupi, sarana prasarana
yang memadai dan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu. Dalam
membangun model pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Islam saat ini
tentu saja akan menghadapi kendala utama, yakni belum diterapkannya
bangunan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.65
Mengingat kendala di atas, maka Hizbut Tahrir sebagai organisasi
politik selalu dan konsen memperjuangkan tegaknya bangunan sisitem Islam
secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dengan bingkai Khilafah Islamiyyah. Karena bagi Hizbut Tahrir, hanya
dengan Khilafah Islamiyyahlah sistem pendidikan unggulan dan seluruh
sistem Islam lainnya bisa diterapkan. Tanpa Khilafah Islamiyyah, tidak
mungkin seluruh sistem Islam bisa diterapkan, baik dalam bidang ekonomi,
pemerintahan, politik, dan tentunya juga dalam bidang pendidikan yang diatur
sesuai dengan Syariah.
64Muhammad Ismail Yusanto, dkk., Menggagas Pendidikan Islami, 85-87. 65Anonym, Bunga Rampai Syariat Islam, 104-105.
109
Untuk itu, maka pendidikan yang dilakukan Hizbut Tahrir secara
umum dapat dibagi tiga, yaitu pendidikan dalam rana keluarga, sekolah dan
masyarakat. Namun secara khusus pendidikan yang dilakukan Hizbut Tahrir
lebih terimplementasi dalam bentuk halqah-halqah,66 karena pendidikan dalam
bentuk ini merupakan ujung tombak dari kegiatan Hizbut Tahrir dalam rangka
untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Dan dengan pendidikan
dalam bentuk halqah itu, Hizbut Tahrir mampu bertahan dan berkembang di
berbagai negara. 67 Dalam kegiatan halqah ini, Hizbut Tahrir melakukan
pembinaan secara intensif kepada kader-kadernya dan orang-orang yang ingin
belajar dan menjadi anggota Hizbut Tahrir tanpa memandang status pekerjaan
maupun warna kulit, apakah ia seorang pelajar, mahasiswa, pegawai, pekerja
buruh harian, orang kulit putih, orang kulit hitam, orang tua, anak muda dan
lain-lain. Artinya, sebelum resmi menjadi anggota Hizbut Tahrir, maka setiap
orang harus melalui proses halqah. Dengan kegiatan halqah ini, menurut
pernyataan dari salah seorang daris, yaitu Ahsan, mahasiswa IAIN Sunan
Ampel semester VII mengaku mendapatkan pemahaman Islam secara kaffah
yang bukan hanya membahas tentang Islam sebagai ibadah ritual tapi juga
membahas tentang masalah politik.68 Setelah mendapatkan pemahaman seperti
itu, maka kader-kader Hizbut Tahrir bisa dikatakan di samping memiliki
66Wawancara dengan Muhammad Ismail, Ketua Lajnah Fa’aliyyah HTI DPD Jawa Timur, Senin 7 September 2009 67Wawancara dengan Ust. Fery Fauzi, Musyrif Halqah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Surabaya pada hari Kamis, 22 Oktober 2009 68Wawancara dengan saudara Ahsan Hakim, daris halqah Hizbut Tahrir Indonesia di Surabaya pada hari Kamis, 15 Oktober 2009
110
kepribadian Islam, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk
mendakwahkannya/memperjuangkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Dalam kegiatan halqah ini, yang dilakukan adalah mengkaji kitab-kitab
tertentu yang ditabanni (diadopsi) oleh Hizbut Tahrir. Pesertanya hanya
dibatasi maksimal 5 orang peserta yang dibimbing oleh satu orang musyrif
(pembimbing) dari kalangan Hizbiyyin (orang yang sudah resmi jadi anggota
Hibz). 69 Waktu dan tempat kegiatan halqah ditentukan sesuai dengan
kesepakatan antara para peserta halqah dan musyrif yang bersangkutan dan
tidak boleh telat/terlambat lebih dari 5 menit. Apabila terlambat, maka akan
dikenakan sanksi, yaitu tidak boleh ikut bergabung dan bertanya dalam forum
halqah.70 Adapun durasi waktu kegiatan ini adalah kurang lebih dua jam. Pada
waktu halqah, musyrif menjelaskan materi pembahasan kemudian
memberikan waktu bertanya kepada peserta halqah. Bila ada pertanyaan yang
tidak bisa dijawab oleh musyrif, maka akan menjadi PR bagi si musyrif
ataupun peserta halqah untuk menanyakan kepada anggota Hizb yang
tahu/faham terhadap masalah yang ditanyakan.
C. Keunggulan dan Hambatan
Keunggulan
Pendidikan yang dilakukan oleh hizbut Tahrir dalam bentuk halqah-
halqah tersebut mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan
69Wawancara dengan Ust. Zainuri, Musyrif Halqah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Surabaya pada hari Sabtu, 16 Oktober 2009 70Wawancara dengan Ust. Fery Fauzi, Musyrif Halqah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Surabaya pada hari Kamis, 22 Oktober 2009
111
pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi-organisasi lain
seperti Muhammadiyyah dan NU yang mendirikan sekolah-sekolah formal, di
antaranya yang disebutkan oleh Ust. Zainuri71 adalah sebagai berikut:
1. Aplikasi pemahaman. Artinya, apa yang difahamkan kepada peserta
halqah dituntut untuk mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-
harinya. Ini berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-
sekolah, peserta didik tidak dituntut untuk melaksanakan apa yang telah
dipelajari disekolah. Contohnya materi shalat, anak-anak hanya diberi ilmu
tentang shalat, tapi tidak dituntut untuk memperaktekkannya. Kalaupun
ada hanya sekedarnya saja.
2. Jumlah pesertanya tidak terlalu banyak. Pesertanya hanya sampai 5 orang
saja, sehingga lebih mudah terkonsentrasi. Adapun kalau lebih, itu
dilakukan sebagai darurat atau sementara saja dan dipertemuan berikutnya
akan dibagi menjadi dua kelompok dan kemudian dicarikan lagi tambahan
musyrif. Atau kalau tidak, tetap dibagi dua kelompok namun berbeda
waktu pertemuannya.
3. Pemikiran dan perasaan yang ingin dibangun dalam kegiatan halqah
adalah sama, yaitu pemikiran keislaman yang sempurna (mencakup segala
aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, budaya dan lain-lain) dan
memiliki perasaan untuk merealisasikan, mendakwahkan dan
memperjuangkannya.
71Wawancara dengan Ust. Zeinuri, Musyrif Halqah Hizbut Tahrir Indonesia, Sabtu 16 Oktober 2009
112
4. Waktu dan tempatnya pleksibel, tidak terikat pada waktu dan tempat
tertentu, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam dan efektif serta
efisien dalam melaksanakan kegiatan tersebut.
5. Biayanya lebih murah dan bahkan bisa dikatakan tidak pakai biaya, karena
hanya dilaksanakan dengan kemauan peserta sendiri untuk belajar dan
mengkaji kitab-kitab yang ditabannat oleh Hizbut Tahrir tanpa harus
membayar. Sedangkan musyrif yang membimbingnya tidak digaji oleh
siapa pun tapi hanya melaksakan kegiatan tersebut sebagai amal dakwah
yang lahir dari diri sendiri, namun tetap ada kontrol dari penanggung
jawab daerah. Adapun beban biaya yang dikenakan kepada peserta halqah,
menurut Ust. Zeinuri adalah hanya sebagai latihan untuk menginfakkan
hartanya di jalan Allah SWT.
Selain itu, Ust. Hisyam72 menambahkan bahwa ide dan pemikiran
dari Hizbut Tahrir lebih cepat diterima dan mendapat respon positif dari
masyarakat setelah mereka mendapatkan penjelasan-penjelasan dari
anggota Hizbut Tahrir.
Hambatan/Kendala
Hambatan atau kendala-kendala yang dialami Hizbut Tahrir ketika
melaksanakan pendidikan dalam bentuk halqah adalah peserta maupun
musyrif sering mengalami rasa ngantuk, kurang paham dengan bahasa Arab
karena yang dikaji adalah kitab-kitab berbahasa Arab meskipun ada juga
72Wawancara dengan Ust. Hisyam Yanis, SH., Lajnah Tsaqafiyyah HTI DPD I Jawa Timur, Senin, 31 Agustus 2009
113
terjemahannya di kitab yang lain, terkadang peserta melakukan pelanggaran
waktu. Maka dari itu, untuk mengantisipasinya adalah dengan cara kegiatan
halqah diganti di waktu yang lain jika halqah memang tidak bisa dilaksanakan
atau dilanjutkan karena ngantuk atau karena yang lain. 2) walaupun tidak tahu
bahasa Arab, halqah tetap harus dilaksanakan karena halqah bukan untuk
mengkaji bahasa Arab, tapi untuk memberikan pemahaman dan tetap berusaha
mempelajari dan memahami bahasa Arab. 3) kalau melanggar seperti telat
maka diberi sanksi yaitu tidak boleh ikut bergabung dan bertanya diforum
halqah tetapi tetap diboleh ikut mendengarkan diluar forum.73
Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir saat ini
secara makro adalah (1) Menyebarnya dan tertanamnya pemikiran dan
perilaku sekuler-materialisme di tengah masyarakat. (2) Ide-ide HTI, yaitu
khilafah Islamiyyah sekarang tidak ada faktanya sehinnga orang sulit
memahami ide-ide dari Hizbut Tahrir dan untuk menjelaskan harus merujuk
pada kisah-kisah, sejarah, dan dokumen-dokumen masa lalu. Karena ide-ide
Hizbut Tahrir tersebut hanya ada pada masa lalu. Berbeda dengan ide
demokrasi yang ada sekarang ini. Ketika dijelaskan kepada masyarakat, orang
langsung paham karena dia langsung melihat faktanya. Sementara dari segi
fisik, tidak ada.74
Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah memfokuskan dakwah
melakukan dengan pencerahan dan penyadaran kepada umat tentang ide
73Wawancara dengan Ust. Fery Fauzi, Musyrif Halqah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Surabaya pada hari Kamis, 22 Oktober 2009 74Wawancara dengan Ust. Fikri Arsyad, Ketua Hizbut Tahrir Indonesia DPD Surabaya, Kamis, 27 Agustus 2009
114
syariah dan khilafah. Dengan begitu, insya Allah dengan izin dan pertolongan
Allah khilafah dan syariah Islam bisa tegak kembali sehingga kerahmatan