114 BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI PRESPEKTIF HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN DALAM PELA GANDONG A. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Sebelum Konflik 1. Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo Praktik hubungan berpela antara negeri Batumerah-Passo sebelum konflik merupakan serangkaian peristiwa adatis eksklusif (moment khusus) yang dilakukan -diatur dan dikerjakan- (saling bahu-membahu atau sepenanggungan) bersama oleh kedua komunitas. Peristiwa dimaksud antara lain, yakni: pelantikan raja; pembangunan rumah adat (Baileu), rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), acara panas-pela. Adapun proses inti dalam praktik adatis Pela ini diisi dengan beberapa muatan ritual yang berhubungan dengan historitas pembentukan hubungan Pela tersebut, diantaranya: akta minum sopi oleh tua-tua adat, sejarah pembentukan pela antar kedua negeri didramatisir, diceritakan, dibacakan kembali. Kedua ritual tersebut dilakukan dengan tujuan yakni agar hubungan ini abadi menjadi peringatan bersama oleh kedua komunitas, dan memediasi keterhubungan mereka dengan para leluhur yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang memiliki andil dalam proses pembentukan hubungan Pela tersebut. Praktik adat bermuatan ritual historis pembentukan hubungan Pela Batumerah Passo dengan tujuan memediasi keterhubungan masyarakat dengan para leluhur tersebut sejalan dengan gagasan Ruhulessin 1 mengenai sejarah tradisi Pela. Hal tersebut penting, karena secara historis hubungan Pela tidak dapat dilepaskan dari latar keyakinan masyarakat Maluku umumnya dan di Pulau Seram khususnya bahwa hubungan Pela yang dibentuk oleh para Leluhur. Selanjutnya, yang unik berkaitan dengan pelaksanaan peristiwa adatis tersebut, bahwa praktik pela Batumerah-Passo ini, tidak mengabaikan fakta keber- 1 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela di Maluku, (Salatiga: Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),255
22
Embed
BAB IV KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13318/4/T2_752012008_BAB IV... · berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
114
BAB IV
KONFLIK BERDARAH DI KOTA AMBON DARI
PRESPEKTIF HUBUNGAN ISLAM DAN KRISTEN
DALAM PELA GANDONG
A. Hubungan Pela Gandong Batumerah-Passo Sebelum Konflik
1. Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo
Praktik hubungan berpela antara negeri Batumerah-Passo sebelum konflik
merupakan serangkaian peristiwa adatis eksklusif (moment khusus) yang
dilakukan -diatur dan dikerjakan- (saling bahu-membahu atau sepenanggungan)
bersama oleh kedua komunitas. Peristiwa dimaksud antara lain, yakni: pelantikan
raja; pembangunan rumah adat (Baileu), rumah ibadah (Mesjid dan Gereja), acara
panas-pela. Adapun proses inti dalam praktik adatis Pela ini diisi dengan
beberapa muatan ritual yang berhubungan dengan historitas pembentukan
hubungan Pela tersebut, diantaranya: akta minum sopi oleh tua-tua adat, sejarah
pembentukan pela antar kedua negeri didramatisir, diceritakan, dibacakan
kembali.
Kedua ritual tersebut dilakukan dengan tujuan yakni agar hubungan ini
abadi menjadi peringatan bersama oleh kedua komunitas, dan memediasi
keterhubungan mereka dengan para leluhur yang dianggap sebagai sumber
kebijaksanaan yang memiliki andil dalam proses pembentukan hubungan Pela
tersebut.
Praktik adat bermuatan ritual historis pembentukan hubungan Pela Batumerah
Passo dengan tujuan memediasi keterhubungan masyarakat dengan para leluhur
tersebut sejalan dengan gagasan Ruhulessin1 mengenai sejarah tradisi Pela. Hal
tersebut penting, karena secara historis hubungan Pela tidak dapat dilepaskan dari
latar keyakinan masyarakat Maluku umumnya dan di Pulau Seram khususnya
bahwa hubungan Pela yang dibentuk oleh para Leluhur.
Selanjutnya, yang unik berkaitan dengan pelaksanaan peristiwa adatis
tersebut, bahwa praktik pela Batumerah-Passo ini, tidak mengabaikan fakta keber-
1 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali Dari Tradisi Pela di Maluku, (Salatiga: Satya
Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),255
115
agama-an kedua belah pihak. Hal tersebut nampak ketika dalam kegiatan
pembangunan rumah Ibadah, baik Mesjid di Batumerah dan Gereja di Passo,
proses pengerjaan diawali dengan serangkaian ritual keagaman –dilakukan dalam
gedung gereja atau masjid- yang sesuai dengan keyakinan masing-masing pihak di
mana pekerjaan tersebut dilangsungkan. Pada saat itu, orang Batumerah masuk
dalam gereja dan sebaliknya orang Passo ke Mesjid untuk berdoa. Perilaku
demikian sejalan dengan yang diungkapkan Ruhulessin2 tentang pemaknaan
hakekat hubungan Pela sebagai kesatuan Persaudaraan (Orang Basudara) yang
paling jelas terlihat dalam relasi Islam-Kristen. Dikatakan sejalan karena secara
religius, kebersamaan dan kesatuan Islam-Kristen merefleksikan kesatuan dan
kesamaan: kesetaraan dihadapan Tuhan. Olehnya masyarakat Batumerah-Passo
adalah masyarakat yang secara historis telah mengakui, menerima dan
menghargai adanya perbedaan agama sebagai ciri masyarakat yang majemuk.
Karakter masyarakat Batumerah-Passo berwatak komunitas kultur yang khas
telah menuntun kedua untuk memahami kepentingan individu-komunitas masing-
masing yang berbeda menjadi satu kepentingan bersama yang dikerjakan dan
dipelihara bersama. Hal tersebut masih sejalan dengan gagasan Ruhulessin3,
bahwasannya makna penting dari hubungan sebagai “orang basudara”
terimplementasi manakala masing-masing pihak memposisikan diri sebagai yang
setara, harus dihormati. Perbuatan yang dilakukan terhadap sesama anggota
komunitas yang berPela dipahami sebagai sebuah tindakan yang dilakukan
terhadap diri sendiri secara pribadi.
Tindakan yang dilakukan oleh orang Batumerah (Islam) yang bekerjasama
dan membantu orang Passo (Kristen) untuk mengerjakan gedung Gereja -yang
walaupun bukan untuk kepentingan bersama atau hanya sepihak- tidak hanya
dimaknai sebagai sebuah tindakan yang dilakukan bagi dirinya sendiri tetapi lebih
daripada itu yakni untuk kepentingan komunitas masyarakat secara keseluruhan.
Hal tersebut terjadi karena secara historis hubungan Pela Batumerah-Passo
sebagai orang basudara sebagaimana orang yang dilahirkan sekandung (Gandong)
terbentuk dari suatu pengakuan dan kesepakatan bersama untuk hidup saling
mensejahterakan.
2 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…. (2007),259
3 John. Chr. Ruhulessin,. Etika Publik…( 2007), 260
116
Selain itu, khususnya berkaitan dengan praktek adat panas pela, hubungan
Batumerah-Passo tidak hanya berfungsi sebagai momentum mempererat ikatan
hubungan berpela. Tetapi juga sebagai sebuah pendekatan penyelesaian konflik
antar sesama negeri yang berpela. Faktual dalam pengalaman kedua negeri
Batumerah-Passo, sebagaimana diungkapkan oleh seorang informan: ...ketika
keduanya pernah terlibat dalam persoalan perkelahian, orang Passo memukul
orang Batumerah di negeri Passo, yang mengakibatkan orang Passo mengalami
wabah penyakit... . Untuk menyelesaikan konflik tersebut maka, Orang
Batumerah-Passo, dengan perantara tokoh-tokoh adat negerinya melakukan
perjumpaan dan menggelar pertemuan bersama, berkompromi, bernegosiasi,
mencari solusi menyelesaikan masalah tersebut. Adapun praktik ritus yang
dilakukan kedua komunitas yakni, orang Passo mengambil air dari “Mesjid
Batumerah“ dan memberikan kepada warga Passo yang menderita penyakit. Dan
akhirnya wabah penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Upaya penyelesaian konflik hubungan antar warga berPela dalam
pengalaman negeri Batumerah dengan metode negosiasi yang termediasi melalui
perjumpaan tokoh-tokoh adat seperti yang telah diungkapkan di atas sejalan
dengan gagasan Galtung4 tentang perdamaian dengan tipe peacemaking. Artinya,
konflik “horisontal“ dapat diselesaikan lebih tepat melalui peacemaking. Hal
tersebut termungkinkan karena secara kultural, hubungan Pela sangat memiliki
muatan konsep perdamaian yang ampuh dalam penyelesaian konflik dalam
sebuah organisasi atau kelompok secara internal.
Penyelesaian konflik melalui pendekatan kultur dalam pengalaman negeri
Batumerah-Passo yang seperti demikian akhirnya menegaskan apa yang telah
diungkapkan oleh Wirawan5 tentang rekonsilasi sebagai proses tua yang telah
berakar pada budaya dan praktek hidupan masyarakat Indonesia, dengan metode
pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan
konflik. Mengapa demikian, karena secara sosio-religio, relasi berpela dengan
4 Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan
Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 9393 dan Jhon. Galtung. “Three Approaches to
Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War
and Defence: Essays in Peace Research. (Copenhagen: Christian Ejlders, 1976), 284-288 5 Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika,
2010),177
117
aspek perjanjian yang teraktakan melalui ritus minum darah dan bersumpah untuk
saling mengasihi dalam persaudaraan telah menjadi spirit: keyakinan dan perilaku
yang dapat melahirkan kedamaian.
Akhirnya, praktek hubungan Pela Gandong Batumerah –Passo yang berakar
secara historis dan pada kenyataannya memiliki guna (nilai) bagi masyarakat
kedua negeri. Hal tersebut sejalan dengan pikiran Van peursen6, tentang realitas
fakta dan nilai, maka budaya Pela Gandong dalam hubungan Batumerah-Passo
instrinsik memperlihatkan realitas nilai kultural, agama dan sosial yang saling
berkaitan, terdapat relasional antara seluruh komponen adat Pela Gandong,
masyarakat-ritual-leluhur yang terwujud dalam perilaku antar sesama komunitas
yang saling membantu, menolong (solider), penghargaan, dan penerimaan fakta
keragaman, perbedaan keberagamaan tidak memisahkan masyarakat untuk
bersekutu, bekerjasama demi kepentingan bersama.
Berdasarkan kajian diatas, maka salah satu hal penting berkaitan dengan
pemaknaan terhadap hubungan Pela dalam praktik Batumerah-Passo terpahami
dalam dua segi. Pertama, hubungan Pela Gandong sebagai hubungan yang
didasari oleh pengakuan bahwa kedua negeri berasal dari keturunan yang sama
(geneologis); dan Kedua, sebagai sebuah kontrak sosial. Keduanya secara
bersamaan mengarahkan individu-komunitas untuk berperilaku inklusif, kolektif,
dan aktif bagi pemenuhan kepentingan bersama.
2. Dampak Praktik Pela Gandong Batumerah-Passo Terhadap hubungan
Islam-Kristen
Hubungan antar Islam-Kristen di Kota Ambon sebelum peristiwa pecahnya
konflik berdarah tahun 19 januari 1999 sangat rukun. Hal tersebut ditandai ketika
pada masing-masing negeri Batumerah (Mayoritas Islam)- Passo (Mayoritas
Kristen) terdapat penduduk Kristen dan pemeluk Islam, yang walaupun minoritas
tetapi keduanya dapat hidup berbaur erat dalam kebersamaan yang saling percaya,
menghargai dan berbagi antar sesama yang berbeda keyakinan. Keadaan ini turut
didukung dengan jalinan komunikasi antar umat maupun pimpinan umat kedua
agama untuk memediasi silaturahmi, khusus pada moment-moment perayaan hari
6 Van Peursen, Fakta, Nilai dan Peristiwa. (Terj) (Jakarta: Gramedia, 1990,),viii
118
besar keagamaan masing-masing. Dengan demikian maka, interaksi Pela
Batumerah-Passo memiliki dampak yang luas terhadap hubungan antar agama. di
dalam relasi komunitas berPela, semua orang (warga) yang berbeda keyakinan,
tanpa membedakan latar budaya, suku, asal usulnya mengalami dinamika
hubungan layaknya orang basudara (bersaudara) yang saling tolong-menolong
atau membantu dalam memenuhi kebutuhan fisik (individual), dan spiritual
(komunal).
Dinamika hubungan antar agama dalam pengalaman Islam-Kristen di Kota
Ambon menyiratkan kedudukan dan peran Pela Batumerah-Passo dengan
kandungan nilai persaudaraan orang Maluku, khususnya di Kota Ambon sangat
tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Coley7 tentang fungsi sosial Pela.
Dikatakan sejalan karena secara sosiologis adat Pela menghubungkan anak negeri
Maluku dengan anak negeri yang lain sebagai satu persekutuan masyarakat adat.
Pada titik ini, nilai dasar Pela Gandong: persaudaraan seperti yang telah
diungkapkan Ruhulessin8 terimplementasi secara praksis dalam aktivitas-aktivitas
kerjasama lintas masyarakat berPela, lintas masyarakat agama, Islam-Kristen
membawa kesejahteraan bersama. Praksis tersebut tidak saja berguna bagi
hubungan berpela tetapi bagi masyarakat Islam-Kristen secara keseluruhan.
Dengan demikian maka, kajian terhadap dampak hubungan Pela Islam-
Kristen Batumerah-Passo melahirkan satu pemahaman akan adanya dimensi
pemberdayaan yang mewujud dalam dinamika relasional mutual lintas masyarakat
dan agama di Ambon.
B. Hubungan Pela Gandong Pada Saat Konflik
1. Faktor Pemicu, Penyebab dan dampak Konflik Islam Kristen di Ambon
Hubungan Islam-Kristen pada negeri Batumerah-Passo sebelum pecahnya
konflik secara internal sangat rukun, tetapi pada sisi lain terdapat fenomena
konflik antar warga (individual) desa tetangga seperti yang terjadi antar pemuda
Batumerah (Islam) - Mardika (Kristen), dan konflik antar penduduk asli (Islam-
Kristen) dengan para pendatang. Konflik (di luar hubungan Pela Gandong atau
bukan konflik antar warga berpela) komunal terjadi karena faktor kecemburuan
Prayitno & Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling…, (1999), 175-176
132
Kekerabatan Pela Gandong: semua orang mengaggap orang lain sebagai
sama-sama orang basudara merupakan suatu kedekatan emosional yang sangat
mendalam. Hal tersebut telah terbukti dalam pengalaman konflik yang dihadapi
bersama, orang Ambon sadar bahwa sebagai pihak kawan maupun lawan, entah
Islam-Kristen tidak lain adalah keluarganya sendiri. Karena itu, peperangan dan
perlawanan Islam-Kristen di Ambon adalah perlawanan dan peperangan antar
orang basudara. Kesadaran tersebut pada akhirnya juga menggerakan individu-
komunitas (masyarakat Ambon) untuk membangun hubungan kerjasama bagi
upaya penyelesaian konflik. Faktanya, hubungan Pela Gandong telah menjadi
sebuah pendekatan berbasis kultural resolusi konflik antar Islam-Kristen di
Ambon.
Kajian diatas hendak memberikan pemamahaman tentang nilai guna hubungan
Pela Gandong yang tidak hanya sebatas sebagai resolusi konflik: individu-
komunitas berPela Gandong sebagai agen perdamaian konflik Islam-Kristen di
AMbon namun sekaligus juga dapat dikembangkan sebagai sebuah pendekatan
konseling lintas agama dan budaya (berbasis nilai-nilai spiritual).
E. RANGKUMAN
Keseluruhan isi kajian yang telah terpaparkan pada Bab ini menjelaskan
tentang peranan Pela Gandong dalam proses konflik Islam-Kristen di Ambon
sebagai Resolusi konflik (Agen Perdamaian) dan sebagai pendekatan konseling
lintas agama dan budaya, yang dapat digambarkan dalam bangan dibawah ini:
133
BAGAN I PROSES KONFLIK ISLAM-KRISTEN DAN HUBUNGAN PELA GANDONG
SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK (AGEN PERDAMAIAN) SERTA PENDEKATAN KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA
Fase Laten:
- Perkelahian antar
warga (pemuda)
anggota komunitas
Muslim dan Kristen
(Batumerah-Mardika).
- Perkelahian antar
warga asli dan
pendatang di wilayah
pasar
Fase Pemicu :
- Perkelahian antar individu dari suku pendatang dan asli Maluku
- Merebaknya isu & simbolissi agama yang membentuk kognisi masyarakat untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama
- Keterlibatan TNI yang tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan komunitas Islam-Kristen
Penyebab Konflik:
- Kecemburuan sosial:
- Pihak Islam merasa
dinomorduakan dalam
masyarakat dengan
adanya ketidakseimbangan
keterwakIlan Islam dalam
posisi struktural
masyarakat.
- Masyarakat asli tidak ingin
dikuasai oleh warga
pendatang dibidang
prekonomin: perdagangan
Eskalasi konflik:
- Polarisasi agama: Islam vs
Kristen: individu-
kelompok Islam-Kristen
tergerak untuk terlibat
berkonflik satu dengan
yang lain.
- Konflik antar individu
berevolusi pada konflik
antar kelompok (individu-
komunitas Islam-Kristen)
Fase Resolusi Konflik:
I. Hubungan Pela-Gandong (Batumerah-
Passo),rekonsiliasi dan pendekatan
konseling orang basudara:
- Saling menjaga perdamaian,
menciptakan iklim bermasyarakat yang
kondusif, serta terjalin komunikasi dan
kompromi membangun perdamaian
sebagai orang basudara
II. Keterlibatab tokoh-tokoh Adat dan
tukoh agama Batumerah-Passo dalam
mediasi Malino 2.
- Meningkatnya kerjasama antar warga
masyarakat berPela Gandong.
Fase Krisis : - Kekerasan langsung antar kedua
komunitas: agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan gedung ibadah.
- Pihak-pihak yang berkonflik: pemeluk Islam-Kristen ditambah dengan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil: Pasukan Jihad dan Agas bersekongkol, bekerjasama merebut wilayah-wilayah atau kantong-kantong komunitas lawan konflik.
Fase Pasca Konflik : - Hubungan antar pemeluk agama
rukun dan harmonis kembali melalui serangkaian kegiatan keagamaan yang digagas dan dilaksanakan bersama.
- Gejolak-gejolak konflik dalam hubungan antar warga dikelola dan diminimalisir dengan kerjasama orang basudara.
- Saling bersilaturahmi, berbagai, dan bekerjasama memenuhi kebutuhan psikis, fisik, ekonomi, dan spiritual
Hubungan Islam-Kristen
(Batumerah-Passo)
sebelum konflik
- Harmonis: saling
berdampingan, rukun,
toleransi,dan saling
berbagi
- Fenomena konflik internal
hubungan Pela-Gandong
Batumerah-Passo dan
penyelesaian
berpendekatan kultur
(upacara panas pela)
Pendekatan
konseling Lintas
Agama dan
Budaya
Falsafah
Pela
Gandong:
Orang
Basudara
Nilai –nilai Spiritual:
- Saling menghargai
- Saling menerima
- Saling berbagi
- Saling melengkapi
- Saling memberdayakan
134
Bagan diatas menggambarkan keterkaitan proses konflik Islam-Kristen dan hubungan Pela
Gandong sebagai resolusi konflik (Agen Perdamaian) yang membentuk lingkaran.
Pertama, hubungan Islam-Kristen (Batumerah-Passo) sebelum konflik,yang mana
menunjukan dua kenyataan yang kontra. Pada satu sisi terbangun harmonisasi dalam
interaksi sosial mutual: saling berdampingan, saling toleran, dan saling berbagi antar
individu-komunitas (masyarakat) yang lintas agama dan etnis. Sementara pada sisi yang
lain ada juga pengalamaan konflik internal yang melibatkan sesama masyarakat berpela
Gandong. Akan tetapi, konflik tersebut dapat terselesaikan secara Adatis, dalam hal ini
termediasi melalui pertemuan dan negosiasi para tokoh Adat, dan akta ritual panas pela
antar kedua masyarakat; kedua, penyebab konflik,khusus menyorotikondisi objektif yang
melatarbelakangi terjadinya konflik antar agama 1999 dalam konteks komunitas
Batumerah-Passo, yakni: fenomena kecemburuan sosial, pada wilayah publik: posisi
politis, yang mana pihak Islam merasa dinomorduakan dalam kebersamaan masyarakat.
Pihak Islam menilai adanya ketidakseimbangan keterwakilan umat Islam dalam posisi
struktural masyarakat, sebelum konflik hanya orang-orang Kristen yang mendominasi
dalam kursi kepemimpinan di instansi-instansi birokratif dan akademisi. Karena itu, dalam
proses penyelesaian konflik, pihak Islam yang dilibatkan mengusung satu point
persetujuan yang disepakati bersama terkait dengan hal tersebut. Selain itu, pada bidang
ekonomi, ketika masyarakat asli tidak ingin dikuasai oleh warga pendatang dari suku
bugis, yang mendominasi pasar. Para pendatang sendiri telah mengembangkan
perserekitan-perserikatan yang sukuisme.
Ketiga, Fase Laten atau konflik tidak terlihat, yakni: terdapat perkelahian antar warga
pemuda anggota komunitas Muslim dan Kristen (Batumerah-Mardika) dan perkelahian
antar warga asli dan pendatang di wilayah pasar, antara sesama Islam dan juga antar suku.
Bagi keduabelah pihak, hal ini adalah fenomena yang biasa dan dianggap tidak memiliki
kaitan dengan konflik. Keempat, Fase pemicu, yakni: konflik berawal dari perseteruan
antar individu masing-masing dari pihak Muslim, pemuda makasar (Sulawesi).
Sedangkan, dari pihak Kristen, pemuda Aboru (Maluku Tenggah); kemudian berkembang
dengan merebaknya isu-isu dan simbolisasi agama yang membentuk kognisi masyarakat
untuk memahami konflik sebagai konflik antar agama; ada juga keterlibatan TNI yang
tidak netral, bahkan menjadi aktor kekerasan: penyerangan, pembunuhan warga dan
komunitas Islam-Kristen. Kelima, Fase Eskalasi. Pada fase ini terjadi polarisasi agama:
Islam vs Kristen: individu-kelompok Islam-Kristen tergerak untuk terlibat berkonflik satu
135
dengan yang lain; konflik yang awalnya perseteruan antar individu berevolusi menjadi
konflik antar kelompok (komunitas Islam-Kristen).
Keenam, Fase Krisis. Pada fase ini, kedua komunitas terlibat dalam kekerasan
langsung, agresi, saling menyerang, membunuh dan merusak bahkan membakar rumah dan
gedung ibadah; ditambah dengan keterlibatan TNI dan kelompok-kelompok milisi sipil:
“orang luar” pasukan Jihad dan Agas, “yang bermain” merebut wilayah-wilayah atau
kantong-kantong Islam maupun Kristen; ketujuh, Fase Resolusi. Pada fase ini konflik
kekerasan dapat diminimalisir melalui serangkaian tindakan rekonsiliatif -peacekeeping
dan peacemaking- antar komunitas Batumerah-Passo sebagai upaya penyelesaian konflik
melalui relasi kerjasama, komunikasi: membatasi eskalasi kekerasan dan memciptakan
iklim bermasyarakat yang kondusif; mediasi Malino 2 yang diupayakan oleh pemerintah –
intervensi pihak ketiga- melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama Batumerah-Passodalam
rangkamembangun perdamaian: peacebuilding sebagai orang basudara.
Kedelapan, Fase Pasca Konflik, pada fase ini hubungan antar pemeluk agama rukun
dan harmonis kembali melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang digagas dan diatur
bersama; konflik dikelola dan diminimalisir dalam kerjasama sebagai orang basudara;
meski demikian, saling bersilaturahmi dan bekerjasama menjawab kebutuhan masing-
masing; kesembilan, pendekatan konseling lintas agama dan budaya, merupakan sebuah
pendekatan yang berbasis pada filosofis Pela Gandong: sebagai “orang basudara” dengan
kandungan nilai-nilai spiritual, yakni: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi,