Top Banner
61 BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN A. Otoritas Doktrin Pada masa lalu doktrin memegang peranannya sendiri. Bahkan peranan yuris di masa lalu sangat berperan penting bagi perkembangan hukum di masanya mengingat maxim communis opinio doctorum. Bukan tidak mungkin juga peranan yuris terdahulu melalui doktrin-doktrinnya membawa pengaruh besar bagi dunia intelektual hukum sekarang ini. Menurut lintasan sejarah, paling menonjol terlihat pada masa Kekaisaran Romawi. Bahkan pada abad Pertengahan di Eropa sangat dipengaruhi oleh otoritas “communis opinio doctorum”. Pembahasan mengenai hak asasi manusia (HAM) saat ini juga tidak lepas dari peranan doktrin pada abad ke-18 sebagaimana dilakukan oleh mazhab hukum alam (natural law). Lihat saja gambaran singkat lintas sejarah pengaruh doktrin di masa lalu yang diungkapkan Pattaro di bawah ini. The importance of legal doctrine varies in different countries and historical periods. In Rome, Augustus granted to certain prominent jurists the right to answer questions of law by authority of the Emperor: Ius publicae respondendi ex auctoritate principis. The so- called citation-statute of A.D. 426 accorded a binding force to the books of Papinian, Paulus, Ulpian, Gaius, and Modestinus and regulated in detail these jurists’ authority. Medieval Europe was under the dominating influence of the legal communis opinio doctorum, based on Roman sources and embraced by the majority of celebrated
17

BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

Jun 09, 2019

Download

Documents

phamliem
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

61

BAB IV

KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN

A. Otoritas Doktrin

Pada masa lalu doktrin memegang peranannya sendiri. Bahkan peranan

yuris di masa lalu sangat berperan penting bagi perkembangan hukum di

masanya mengingat maxim communis opinio doctorum. Bukan tidak

mungkin juga peranan yuris terdahulu melalui doktrin-doktrinnya membawa

pengaruh besar bagi dunia intelektual hukum sekarang ini. Menurut lintasan

sejarah, paling menonjol terlihat pada masa Kekaisaran Romawi. Bahkan

pada abad Pertengahan di Eropa sangat dipengaruhi oleh otoritas “communis

opinio doctorum”. Pembahasan mengenai hak asasi manusia (HAM) saat ini

juga tidak lepas dari peranan doktrin pada abad ke-18 sebagaimana

dilakukan oleh mazhab hukum alam (natural law). Lihat saja gambaran

singkat lintas sejarah pengaruh doktrin di masa lalu yang diungkapkan

Pattaro di bawah ini.

“The importance of legal doctrine varies in different countries and

historical periods. In Rome, Augustus granted to certain prominent

jurists the right to answer questions of law by authority of the

Emperor: Ius publicae respondendi ex auctoritate principis. The so-

called citation-statute of A.D. 426 accorded a binding force to the

books of Papinian, Paulus, Ulpian, Gaius, and Modestinus and

regulated in detail these jurists’ authority. Medieval Europe was under

the dominating influence of the legal communis opinio doctorum,

based on Roman sources and embraced by the majority of celebrated

Page 2: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

62

legal writers, mostly French and Italian. In a monumental work, Lars

Björne summarizes the subsequent evolution as follows. In 18th-

century aristocratic society, the role of legal doctrine was confined to

description and to piecemeal, technical refinement of the law. In the

19th century, its role expanded to include innovative claims and

pioneering work, exerting a great influence on the law. In the 20th

century, its influence ebbed again. The democratic establishment of the

present time needs jurists as little as did the aristocratic establishment

of the 18th century. Moreover, human rights now overshadow the

normative work of legal doctrine, just as 18th-century natural law

did.”1

Namun ternyata, dalam perjalanan sejarah otoritas doktrin mengalami

penurunan terutama ketika pada sistem monarki yang tersentralisasi.

Sebagaimana diungkap catatan dari Peczenik, bahwa:

“The authority of doctrine underwent a decline in centralised

monarchies, more and more emphasising the role of legislation; e.g. a

draft of the Prussian Landrecht of 1794 thus prohibited writing any

comments to this code. Also some ideas of the division of power

preserved lawmaking as an exclusive domain of the lawmaker. Later,

however, one noticed that all laws need interpretation. In Germany,

one also needed the gemeines Recht, common to the plurality of small

centralised states. Doctrine thus made a comeback in the 19th century.

Great scholars, such as C. F. von Savigny, influenced the German

legal development of this period. The German Pandektenwissenschaft,

based on sophistication of Roman law, achieved a uniquely high level,

influenced the final codification of civil law (BGB of 1896) and was

highly influential even outside the boundaries of Germany.”2

1 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence

Vol.4, Op.cit, h.6.

2 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.296.

Page 3: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

63

Lepas dari naik turunnya andil pada lintas sejarah, doktrin pada

dasarnya mempunyai posisi yang tinggi. Dalam praktek mungkin saja

doktrin seringkali tidak mengambil peran, tetapi otoritasnya melekat di

dalamnya. Peczenik melanjutkan dengan menunjukkan faktor yang bisa

meningkatkan kemungkinan posisi doktrin lebih tinggi.

1. The greater respect the decision-makers have for rational

reasoning, the greater is the role of doctrine.

2. The lower the speed of legislative change, the greater is the chance

that jurists have sufficient time to elaborate commentaries,

handbooks and other auxiliary means for statutory construction.

3. The more numerous statutory provisions, precedents,

pronouncements in travaux préparatoires and other sources of the

law are, the greater is the need of their systematisation and

interpretation in legal writing.

4. The lower the degree of fixity and coherence of other sources of the

law, the greater the need to look for help in the literature.3

Betapa doktrin itu dalam dirinya memiliki pengaruh dan peran yang

besar bagi dunia hukum pada umumnya dan bagi hakim dalam pengadilan

pada khususnya. Oleh sebab itu, doktrin pun tak bisa disangkal otoritasnya.

Seperti dikatakan Sheceira, doktrin merefleksikan legal scholar itu sendiri

dan tentu sebagai sumber dari artikulasi norma yang sejati. Nampak dari

kutipan berikut bahwasanya, “... the reflections of legal scholars can be, and

indeed in many jurisdictions are, a genuine source of the norms therein

articulated. Legal scholarship can and sometimes does itself serve to

3 Ibid, h.297.

Page 4: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

64

establish law. It does not merely describe, criticize, or recommend changes

to law established elsewhere.”4 Harus pula diingat bahwa legal scholar

adalah notabene sebagai produsen dari doktrin. Doktrin merupakan sumber

hukum yang penting. Sehubungan dengan pentingnya doktrin sebagai

sumber hukum, oleh karena sebagai produsen, otoritas doktrin yang terletak

pada pembuat atau penulisnya. Pengakuan tersebut dikemukakan oleh

Peczenik,

“The doctrine constitutes also an important source of the law. In other

words, one pays attention to theses developed in legal writing not only

because of the quality of reasons there proffered but also due to the

authoritative position legal writers occupy. It is a well-known

phenomenon that a doctoral dissertation gains more authority as soon

as the author becomes a professor or law. This is, of course, a result of

the expectation of fixity of the law. When the law-givers and the courts

fail to make the law sufficiently fixed, one looks for other fixed sources

of the law.”5

Oleh sebab itu, tentunya doktrin pantas menjadi pedoman interpretasi

sebagai dasar intelektual bagi putusan pengadilan. Doktrin memperluas

kekuatan interpretasi dari pengadilan itu sendiri. Putusan pengadilan secara

normatif akan kurang relevan kecuali dibangun berdasarkan konstruksi

doktrinal. Sebagaimana Watt menjelaskan,

4 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.

5 Aleksander Peczenik, On Law and Reason, Op,Cit, h.296.

Page 5: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

65

“Self-proclaimed, self-legitimising, ‘la doctrine’ thus used la

jurisprudence as a means to wield interpretative power. Mere judicial

statements lacked real normative relevance unless they were made to

fit within a doctrinal construction. In other words, law had come to be

seen as legal science (or at least, was perceived to correspond to a

certain prevailing idea of ‘science’); cases, dealing with mere facts,

were in need of the intermediation of ‘la doctrine’ before they could be

considered a ‘source’ of law – to be offered in turn to the courts as the

intellectual basis of their future decisions.”6

Doktrin sebagai sumber hukum yang otoritatif. Dalam arti doktrin

sebagai sumber hukum otoritatif perlu dipahami bukan berarti mengikat

(binding) tetapi dalam arti otoritas (authority). Sebelumnya telah

dikemukakan sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

bahwa salah satu eksistensi doktrin yaitu sebagai sumber hukum tambahan.

Dikatakan sumber hukum tambahan oleh karena disandingkan dengan

sumber hukum mengikat lainnya (misalnya undang-undang ataupun putusan

pengadilan). Namun, harus diingat bahwa doktrin merupakan otoritas yang

setara dengan sumber hukum mengikat lainnya. Oleh karenanya, seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam hal makna dari doktrin itu sendiri,

lebih dari itu menurut Pattaro dalam kewibawaannya memiliki sifat otoritatif.

“... The answer is, because of the quality of argumentation it typically

produces. Legal doctrine delivers rational arguments; hence the

6 Horatia Muir Watt, The Epistemological Function of ‘la Doctrine’, disunting

oleh Mark Van Hoecke, Methodologies of Legal Research, Which Kind of Method for, What

Kind of discipline?, European Academy of Legal Theory Monograph Series, Hart

Publishing, Oxford and Portland, Oregon, 2011, h.127.

Page 6: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

66

presumption that it should be regarded as authoritative. A more profound

answer is that it gains authority because pro tanto well in-formed, coherent,

and just. Thus, legal doctrine converts reason into authority.”7 Sangat

disayangkan ketika dalam menemukan suatu kaidah hanya terpaku pada satu

atau dua sumber hukum yang katanya “otoritatif”. Lagipula doktrin telah

menjadi sumber hukum penting sepanjang perjalanan sejarah. Doktrin lebih

dari sekedar sumber hukum, karena di dalamnya terkandung makna

sebenarnya apa itu hukum dan representasi dari hukum itu sendiri.

Klasifikasi-klasifikasi mengenai kekuatan dari setiap sumber hukum

menurut Penulis memiliki beban berdebat yang tak kunjung habis. Pada

intinya di antara semua sumber hukum itu harus dinilai mana yang paling

tepat digunakan sehingga cita-cita keadilan pun tercapai. Sama halnya

dengan pemikiran Pattaro mengenai pengklasifikasian sumber hukum yang

pembahasannya merupakan sebuah idealisasi. Kita dapat bekerja di luar

klasifikasi sumber hukum yang semakin kompleks.

“The classification discussed is an idealization. We can work out

increasingly complex classifications of the sources of law. Moreover,

only vague definitions of “must-sources,” “should-sources,” and

“may-sources” of law are universally acceptable. The precise

interpretation of these concepts varies from one legal order to another,

7 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence, Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of

Law, Op.Cit, h.17.

Page 7: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

67

from one part of a legal order to another, and from one period to

another. Different people will suggest different precise interpretations

serving different purposes.

... If we assign priority to a less important legal source over a more

important one, we will have the burden of arguing this priority.”8

Perlu juga untuk diingat bahwa doktrin yaitu scientia juris

sebagaimana karakternya yang merupakan produk dari ilmu hukum itu

merupakan cerminan dari para yuris/ legal scholars. Ketika doktrin

merupakan karya atau dari para yuris tentu tidak perlu diragukan lagi. Tidak

perlu diragukan ialah dalam arti yuris yang sebenarnya tidak akan mungkin

menyimpang dari ilmu hukum yang notabene self-evident. Secara filosofi

doktrin itu self-evident. Oleh sebab itu, sudah tentu karena merupakan

produk ilmu hukum yang self-evident itu, doktrin otoritatif. Mengikat karena

itulah yang diharuskan hukum. Pendapat mengenai karakter filosofis dari

doktrin dikemukakan juga oleh Pattaro:

“What is more, self-reflection on the part of legal scholars often

results in a philosophical melange. Some philosophical positions are

suited for one fragment of juristic work; others are suited for another

fragment. Thus, the philosophical assumptions of legal doctrine are

often presented as descriptive and even as self-evident.”9

Oleh sebab itu, ketika doktrin digunakan hakim dikala ia membuat

suatu putusan itu sah-sah saja bahkan dibenarkan secara hukum. Suatu

8 Ibid, h.16.

9 Ibid, h.78.

Page 8: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

68

pemahaman yang keliru ketika mengatakan kekuatan suatu sumber hukum

hanya dilihat dari sejauh mana sumber hukum itu memiliki kekuatan

mengikat (binding) atau daya eksekutorial (enforcable) seperti halnya

undang-undang ataupun putusan pengadilan. Akan tetapi sumber hukum juga

dapat dilihat dari sumber otoritas (authority) yang lain. Selain otoritas

(authority) yang mengikat ada pula yang tidak mengikat seperti dalam hal ini

doktrin. Seperti yang diungkapkan Peczenik,

“To be sure, one can imagine a legal system in which only one

category of the sources of the law exists. For example, it may consist

solely of binding statutes. But it would be unreasonable to forbid

lawyers to quote precedents or legal literature. Consequently, the

latter materials would sooner or later gain some authority, albeit they

are not binding.”10

Tidak bisa dibayangkan ketika dalam sebuah sistem hukum hanya

memiliki satu kategori sumber hukum yakni dalam hal ini yang mengikat

tanpa adanya otoritas yang lain. Masih oleh Peczenik, dikatakan,“some

sources of the law, though not binding, have a particular authority, not much

lesser than statutes. They are guiding the legal practice.”11 Doktrin sebagai

otoritas di samping otoritas mengikat lain, keberadaanya sangat penting dan

diperlukan. Selain memberi pengertian sebenarnya tentang apa itu hukum,

tetapi juga memberi bimbingan terhadap praktek hukum. Memang dalam

10 Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.262

11 Ibid, h.262.

Page 9: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

69

batasan tertentu doktrin pada akhirnya agar memiliki daya eksekutorial harus

masuk dalam putusan pengadilan, akan tetapi dalam menilai harus dilihat

apakah doktrin sebagai otoritas (authority) memenuhi prinsip-prinsip

rasional, koherensi, moral, dan keadilan.

Doktrin diproduksi dari kualitas argumentasi yang mana produsennya

ialah para legal scholar itu sendiri sehingga menjadikannya otoritatif.

Dengan demikian, menurut Penulis pada dasarnya sumber otoritas doktrin

terletak pada kekuatan otak orang yang memproduksi atau yang

membuatnya. Berbeda dengan mandatory authority layaknya undang-undang

ataupun putusan pengadilan yang mana sumber otoritasnya adalah

kekuasaan. Seperti yang dikatakan Scholten, sebagaimana dikutip Titon,

Bahwa masyarakat mengikutinya dan menerimanya tanpa ragu-ragu.

Siapa yang tidak mempunyai bakat atau waktu untuk mengkajinya,

mengopernya (mengambil alihnya).12

Makna tersirat yang bisa diambil dari pendapat tersebut ialah hakim

dalam menangani suatu perkara seyogyanya memperhatikan serta

menggunakan doktrin sebagai pedoman interpretasi maupun sebagai sumber

hukum. Hakim tidak selalu memahami suatu hal dan tidak selalu mempunyai

waktu untuk mengkaji suatu hal. Oleh karenanya, hakim bisa meminjam

12 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Op.Cit, h.138.

Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda,

h.130.

Page 10: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

70

kekuatan otak dari para legal scholar melalui doktrin untuk membuat

putusan yang justifiable. Sebab, jika tidak, seperti Scholten melanjutkan:

“Siapa yang berusaha melepaskan diri daripadanya akan tersisih

sebagai orang yang berlagak pandai dan berlagak tahu, berdiri di luar

perkembangan jiwa-jiwa.”13

Ketika hakim berusaha mengabaikan doktrin untuk memutus maka

sebenarnya seperti dikatakan Scholten ia telah tersisih sebagai orang yang

berlagak pandai dan berlagak tahu. Ia telah mengabaikan kekuatan otak yang

menjadikan doktrin otoritatif, tanpa tahu barangkali kekuatan otaknya sendiri

(dalam hal ini knowledge) adalah sangat terbatas.

A. Doktrin sebagai Sumber Hukum Tambahan

Doktrin memiliki otoritasnya sendiri. Namun, sifatnya yang otoritatif

tersebut terbatas ketika disandingkan dengan sumber hukum mengikat

lainnya seperti undang-undang atau putusan pengadilan. Sifat doktrin

memang sekunder dilihat dari perannya yang bukan menetapkan hukum

secara langsung tetapi mengklarifikasi ketentuan hukum. Shecaira juga

mengatakan hal yang sama terkait keberadaan doktrin dalam kaitannya

dengan sumber hukum mengikat lain bahwa, “should be used and enforced

in a sense of 'should' that is fairly strong but not strong enough to count as

13 Ibid., h.139. Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari

Hukum Perdata Belanda, h.131.

Page 11: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

71

authoritative"—as is the case with mandatory sources.”14 Sebelum melihat

lebih dalam mengenai posisi doktrin dalam sumber hukum, ada baiknya

dilihat kategori-kategori sumber hukum menurut Peczenik yaitu konsep

sumber must-, should-, dan may-. Lebih lanjut ia menjelaskan dari konsep

tersebut sebagai berikut.

The following comments elucidate the complex meaning of “must”,

“should” and “may”.

1. The “must-sources” are more important than the “should-sources”

which are more important than the “may-sources”.

One way to make this hierarchy of importance precise is, what follows.

a. The more important sources are stronger reasons than the less

important ones.

b. Reasons strong enough to justify disregarding a less important

source may be weaker than those required to justify disregarding a

more important one.

c. If a more important source is incompatible with a less important

one, e.g. if a statute is incompatible with a view expressed in

legislative preparatory materials, the former has a prima facie

priority. One thus ought to apply the more important source, not the

less important one, unless sufficiently strong reasons support the

opposite conclusion.

d. Many cumulated weak reasons often take priority over fewer strong

ones.

e. Whoever wishes to reverse the priority order, has a burden of

reasoning.

14 Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.

Page 12: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

72

2. If one only considers judicial reasoning, one may add, what follows.

The courts have a strong duty to apply the “must-sources”. They have

a weak duty to apply the “should-sources”.This distinction is,

however, difficult to state precisely. One way is to point out that the

consequences of disregarding the “should-sources” are usually

milder.15

Kurang lebih ketika melihat penjelasan di atas, kategori-kategori

tersebut dirumuskan dengan konsep yang hirarkis. Sumber hukum yang

paling kuat menurut pengkategorian tersebut adalah must-sources. Must-

sources dikatakan adalah sumber hukum yang lebih penting dari should-

sources dan keduanya itu lebih penting dari may-sources. Namun dalam

hirarki yang dijelaskan ini dimungkinkan sumber hukum yang lebih ‘lemah’

bisa mengenyampingkan yang lebih ‘kuat’. Membalik urutan prioritas

tersebut memiliki beban penalaran. Pengadilan tentu memiliki kewajiban

yang kuat untuk menggunakan must-sources, karena must-sources

merupakan mandatory authority. Pengadilan dalam membuat putusan tidak

terikat dengan should-sources dan bisa mengabaikannya.

Doktrin atau scientia juris menurut Penulis berada pada kategori

should-souces. Doktrin dalam posisinya yang otoritatif tidak memiliki

kekuatan mengikat (binding) seperti halnya sumber hukum yang dikatakan

must-sources atau misalnya secara konkrit undang-undang. Doktrin tidak

memiliki kekuatan mengikat tetapi lebih ke sifatnya yang membimbing atau

15 Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.263.

Page 13: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

73

menuntun (guiding). Tetapi doktrin tidak juga termasuk dalam may-sources

karena otoritasnya sebagai doktrin—scientia juris. Doktrin mungkin saja

termasuk dalam may-sources, tetapi dalam konteks doktrin yang lebih luas

bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris. Oleh

karena itulah, ketika masuk dalam kategori should-sources, doktrin

merupakan sumber hukum tambahan. Tetapi harus diingat pula bahwa tidak

menutup kemungkinan sumber hukum yang lebih ‘penting’ dikesampingkan

oleh kategori di bawahnya. Dengan demikian scientia juris dalam posisi

mengikat (binding) hakim ketika memutus berada pada sumber hukum

tambahan.

B. Eksistensi Doktrin terhadap Hukum Positif

Hukum positif yang dimaksud di sini adalah produk dari badan atau

lembaga otoritatif pada waktu dan tempat tertentu (misalnya: undang-

undang). Hukum positif merupakan mandatory authority yang pada

hakekatnya mengikat. Di lain sisi, doktrin berada pada posisi otoritatif

(authoritative) yang membimbing (guiding), tetapi bukan mengikat

(binding). Lebih jelasnya, menurut Peczenik yang mana doktrin memainkan

peran di Swedia, “Some sources of the law, though not binding, have a

particular authority, not much lesser than statutes. They are guiding the

legal practice. Precedents, legislative preparatory materials and some other

Page 14: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

74

sources play precisely this role in Sweden.”16 Bahasan kutipan inilah

bermaksud untuk menjelaskan posisi doktrin. Doktrin memiliki posisi yang

sekunder dalam sumber hukum tetapi memiliki pengaruh yang kuat terhadap

pengadilan. Lantas, seperti apa eksistensi bahkan pengaruh dari doktrin

terhadap hukum positif. Doktrin sebetulnya sudah mempunyai tempatnya

sendiri pada dunia hukum termasuk pada hukum positif. Doktrin memiliki

peran dalam membuat dan menciptakan hukum positif, termasuk misalnya

dalam proses legislasi. Pattaro mengemukakan:

In general, legal doctrine exerts a significant influence in creating law.

For example, in many countries legal researchers join legislative

committees. Moreover, in international relations, model law (a kind of

soft law) is often made by bodies of professors, sometimes having a

tenuous authorization (as from the U.N.) and recognized as

authoritative.17

Para legal scholar memberikan pengaruhnya pada pembuatan

pengaturan-pengaturan hukum tertentu. Di balik perannya yang penting bagi

perkembangan hukum, kaitannya dengan hukum positif doktrin sering

disalahgunakan. Seperti diungkap Pattaro ketika doktrin dalam proses

politik. Ia memberikan analogi ketika doktrin tidak digunakan sebagaimana

mestinya. Analoginya seperti orang mabuk yang menggunakan tiang lampu

16 Ibid, h.262

17 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence

Vol.4, Op.cit, h.7.

Page 15: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

75

(lampu jalan). Orang mabuk menggunakan tiang lampu untuk bersandar

bukan dalam rangka untuk mendapatkan penerangan dari lampu.

“An important question in this context is whether legal experts exert a

real influence on political solutions or only on political rhetoric.

Politicians often use legal doctrine as a drunkard uses a lamppost: To

get support rather than to get light. But whatever intentions they have,

they need to be alert to the possibility of criticism from jurists and—

more important—from voters, who often demand consistency,

coherence, legal certainty, predictability, and, not least, justice and

objectivity.”18

Situasi demikian terjadi akibat kurang atau lemahnya pengembangan

teori-teori mengenai hukum yang mengarah pada communis opinio doctorum

sehingga berakibat dimanfaatkan oleh para politikus. Doktrin seharusnya

melalui para legal scholar supaya bisa reaktif ketika tekanan untuk suatu

perubahan bertentangan dengan ekspektasi moral. Seperti Pattaro

menambahkan,

“Legal doctrine can be used in the service of politics: Politicians

establish goals and values; legal scholars help convert these into draft

law. This is the only option when juristic theories are weakly

developed and do not lead to any extensive communis opinio doctorum.

This may also be justifiable in the face of strong social pressure for

change. But there is also a limit. If the pressure for change conflicts

too much with the moral expectations of the members of society, legal

doctrine should rather act in a reactionary manner, aiming to slow

down the pace of change.”19

18 Ibid.

19 Ibid., h.8.

Page 16: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

76

Dalam proses legislasi, kita tahu bahwa peranan legal scholar itu

sangat penting dalam membangun suatu kerangka hukum. Tetapi, di sisi lain

hal tersebut dimanfaatkan para politikus untuk memasukkan kepentingan

tertentu. Akibatnya prinsip-prinsip hukum tertentu dianulir dengan

pengaturan-pengaturan yang mengarah pada diakomodirnya kepentingan

para politikus.

“On the other hand, politics is conducted within the frame of the law:

Politicians initiate legislation within the framework constructed by

legal scholars. Thus, legal doctrine may produce exceptions to

statutory rules. A more interesting phenomenon is that it may produce

“subsidiary” general norms (principles and rules) to which the

statutory rules are exceptions. For example, scholars of civil law have

developed such norms as the negligence principle and pacta sunt

servanda. They also have developed clusters of norms specific to such

general theories as the theory of adequate causation in torts and the

theory of assumptions in contracts (which see Chapter 2 below).

Particular legislation has introduced specific rules that may be

regarded as exceptions to such norms.”20

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa doktrin dalam

eksistensinya terhadap hukum positif hanya pada posisi otoritatif

(authoritative) yang memimbing (guiding) bukan mengikat (binding)

sebagaimana hukum positif itu sendiri. Akan tetapi, walaupun sebagai

mandatory authority hukum positif mengikat, tetapi sudah diintrodusir oleh

kepentingan-kepentingan politik yang notabene bukan hakekat dari peranan

20 Enrico Pattaro et.al., A Treatise of Legal Philosophy and General

Jurisprudence Vol.4, Op.Cit, h.8.

Page 17: BAB IV KEKUATAN MENGIKAT DARI DOKTRIN - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11657/4/T2_322014015_BAB IV.pdf · sumber hukum mengikat ... disayangkan ketika dalam menemukan

77

doktrin itu sendiri. Doktrin memiliki peranan yang lebih penting dari sekedar

menjadi perantara kepentingan politik. Sebagaimana awalnya dikemukakan

bahwa doktrin membantu praktek hukum termasuk di dalamnya ketika

pembuatan naskah akademik/legislative preparatory material atau bahkan

yang lebih penting pengaruhnya yang signifikan terhadap creating the law.