Top Banner
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga dan berbagai macam sampah (kulit pisang, kol, sampah pasar gunung batu, sampah pasar laladon dan kulit nenas). Jerami telah didiamkan sekitar dua minggu setelah panen di areal persawahan. Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang diambil dari kandang sapi Fakultas Peternakan, IPB Darmaga. Pertimbangan penggunaan beberapa jenis bahan tersebut dikarenakan keberadaan bahan yang melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian tersebut biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian, diantaranya kulit pisang yang merupakan limbah hasil industri keripik dan sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri buah kaleng dan selai nenas, sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional demikian juga jerami yang mudah di peroleh di areal persawahan. Karakteristik biomassa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Jerami dan Berbagai Sampah Jenis Biomassa Kadar Air (%) Padatan Organik (% bb) (% bk) Jerami Kering 18.70 53.24 65.47 Kotoran Sapi 84.23 12.50 79.27 Campuran Jerami dan kotoran Sapi 77.63 14.83 66.28 Kulit Pisang 87.61 10.50 84.70 Kol 93.00 6.52 93.08 Sampah Pasar Gunung Batu 82.57 15.20 87.19 Sampah Pasar Laladon 94.05 5.12 85.96 Kulit Nenas 86.61 12.73 95.07 Hasil karakterisasi biomassa diperoleh informasi bahwa terdapat perbedaan mendasar antara jerami dan sampah. Jerami memiliki kadar air yang jauh lebih sedikit dibanding sampah. Jerami memiliki kadar air
28

Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

Aug 06, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang

diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB

Darmaga dan berbagai macam sampah (kulit pisang, kol, sampah pasar

gunung batu, sampah pasar laladon dan kulit nenas). Jerami telah

didiamkan sekitar dua minggu setelah panen di areal persawahan.

Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang diambil dari

kandang sapi Fakultas Peternakan, IPB Darmaga. Pertimbangan

penggunaan beberapa jenis bahan tersebut dikarenakan keberadaan bahan

yang melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian

tersebut biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian,

diantaranya kulit pisang yang merupakan limbah hasil industri keripik dan

sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri buah kaleng dan selai nenas,

sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional demikian

juga jerami yang mudah di peroleh di areal persawahan. Karakteristik

biomassa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik Jerami dan Berbagai Sampah

Jenis Biomassa Kadar

Air (%)

Padatan Organik

(% bb) (% bk)

Jerami Kering 18.70 53.24 65.47

Kotoran Sapi 84.23 12.50 79.27

Campuran Jerami dan kotoran Sapi 77.63 14.83 66.28

Kulit Pisang 87.61 10.50 84.70

Kol 93.00 6.52 93.08

Sampah Pasar Gunung Batu 82.57 15.20 87.19

Sampah Pasar Laladon 94.05 5.12 85.96

Kulit Nenas 86.61 12.73 95.07

Hasil karakterisasi biomassa diperoleh informasi bahwa terdapat

perbedaan mendasar antara jerami dan sampah. Jerami memiliki kadar air

yang jauh lebih sedikit dibanding sampah. Jerami memiliki kadar air

Page 2: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

34

18.70% sedang sampah berada pada kisaran 82.57 – 94.05%. Perbedaan

kadar air yang besar akan meningkatkan produksi biogas. Kadar air bahan

sangat penting dalam proses fermentasi produksi biogas. Jerami padi

memiliki rasio C dan N sebesar 70 (Haryati, 2006). Komposisi kimia

jerami padi sangat dipengaruhi oleh varietas padi, tempat tumbuh, serta

pupuk yang digunakan. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi

adalah 0.4% nitrogen, 0.02 % fosfor, 1.4% kalium, dan 5.6% silika dan

jerami padi mengandung 40-43% karbon (Makarim et al, 2007).

Guna mengoptimalkan produksi biogas pada penelitian ini

ditambahkan dengan kotoran sapi sebagai inokulum awal, karakteristik

kotoran sapi yang digunakan seperti tampak pada Tabel 9. Laju produksi

biogas dan kandungan CH4 maksimum dihasilkan pada biogas dengan

penambahan inokulum kotoran sapi dalam jerami dengan perbandingan

25% dan 75% (Hartono dan Kurniawan, 2009). Bobot kotoran sapi yang

ditambahkan pada bahan jerami adalah 1/3 dari bobot jerami. Penambahan

kotoran sapi untuk sampah didasarkan hasil penelitian Macias-Corral et al

(2008) yang menyatakan bahwa perbandingan terbaik untuk sampah dan

kotoran sapi adalah 9:1 atau setara dengan 277.7 g dari bahan awal 2500 g.

Penambahan inokulum kotoran sapi bertujuan untuk meningkatkan

kandungan nitrogen dalam bahan, yang akan digunakan untuk

pertumbuhan bakteri dalam proses fermentasi. Kotoran sapi segar

mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana. Hal inilah yang

menjadi dasar kenapa kotoran sapi banyak digunakan sebagai inokulum

fermentasi anaerobik.

Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa

elemen penting sesuai dengan kebutuhan hidup organisme seperti sumber

makanan dan kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob

mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding nitrogen.

Rasio optimum untuk reaktor anaerobik berkisar antara 20 - 30. Jika C/N

bahan terlalu tinggi, maka nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh

bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan

hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon, akibatnya gas yang dihasilnya

Page 3: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

35

menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N bahan baku rendah, nitrogen akan

dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang dapat

menyebabkan peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan

mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen,

sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor.

Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa kriteria untuk menilai

keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah

penurunan padatan volatil (VS), total produksi biogas dan menghasilkan

metana. Efek dari umpan yang berbeda pada biogas hasil dari limbah

makanan, dedaunan dan campurannya dikaji menggunakan batch reaktor

anaerobik. Padatan bahan organik dari hasil analisis sampah menunjukkan

nilai yang tinggi berkisar antara 84-95 persen (% bk) dibandingkan dengan

jerami yang hanya berkisar 65 persen. Nilai padatan bahan organik ini

sangat potensial untuk dikonversi menjadi sejumlah biogas hasil dari

proses fermentasi media padat.

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam fasa

padat dengan kadar air yang diharapkan sebesar 70 persen. Karena kadar

air sampah yang sudah cukup maka sampah organik tidak mengalami

pengenceran atau penambahan air. Wahyuni (2008) menjelaskan bahan

isian harus mengandung bahan kering (padatan total) sekitar 7-9%. Dari

hasil analisis yang dilakukan, bahan sampah yang digunakan mengandung

5.95-17.43% padatan total. Untuk mengatur kandungan padatan total

bahan, usaha yang biasanya dilakukan adalah dengan penambahan air atau

pengenceran. Bahan baku jerami yang memiliki kandungan air yang

sedikit perlu ditambahkan air dalam proses fermentasi. Data karakteristik

bahan baku disajikan pada Lampiran 2.

4. 2. UJI POTENSI PRODUKSI BIOGAS

Pada tahap ini dilakukan uji potensi biogas dari berbagai limbah

menggunakan reaktor berukuran 1.5 l. Pada fermentasi bahan organik

tahap pertama tidak dilakukan pengaturan suhu (suhu tidak terkendali).

Pada uji potensi biogas digunakan bahan baku berupa sampah (Pasar

Page 4: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

36

Gunung Batu, Pasar Laladon, kulit pisang, kol, kulit nenas) dan jerami

(baru dan busuk).

0

500

1000

1500

2000

2500

0 10 20 30 40

Vo

lum

e G

as (

ml)

Hari Ke-

Gambar 12. Akumulasi biogas pada penelitian uji potensi biogas

( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit pisang,

X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah

Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari

Dari hasil pengamatan selama 45 hari fermentasi diperoleh jumlah

biogas yang terbentuk pada awal proses fermentasi terbentuk dengan laju

yang tinggi dan kemudian semakin lama semakin menurun. Hal ini

disebabkan karena pada awal fermentasi tersedia lebih banyak bahan

organik yang mudah terdegradasi. Pada Gambar 12 terlihat bahwa

produksi biogas jerami baru dan jerami busuk menunjukkan hasil yang

signifikan. Hal ini disebabkan karena pada jerami busuk sebagian bahan

organik telah terdegradasi sebelum proses fermentasi. Pada jerami baru

produksi biogas mulai mengalami kondisi steady pada hari ke-21 dengan

jumlah sekitar 800 ml, sedang pada jerami busuk terjadi pada hari ke-41.

Sedangkan untuk bahan baku sampah, setelah proses fermentasi

selama 45 hari disimpulkan bahwa sampah pasar Gunung Batu

menghasilkan jumlah biogas terbanyak di antara jenis bahan lainnya yaitu

sebesar 2244.5 ml, sehingga untuk penelitian selanjutnya digunakan bahan

baku dari sampah pasar Gunung Batu ini. Sampah pasar Gunung Batu ini

memiliki komposisi sebagai berikut : daun pisang 7.5%, kulit jagung

24.2%, pare 14.8%, kol 19.9%, saisin 6.2%, kangkung 8.0%, sawi 8.0%,

dan wortel 11.5% (W:W). Jika dilihat dari komposisi sampah pasar

Gunung Batu yang digunakan termasuk ke dalam golongan sampah

Page 5: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

37

sayuran. Mikroorganisme sangat menyukai sayuran karena kandungan

airnya yang tinggi (68.5-96.1%) Dengan demikian media fermentasi

sampah pasar Gunung Batu ini merupakan media yang termasuk cocok

untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai.

Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 13,

menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan

bahan sampah pasar Gunung Batu (30.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan

yang lainnya, sedangkan jerami baru menunjukkan nilai produksi biogas

spesifik kumulatif yang lebih kecil (7.7 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik

produksi biogas spesifik kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi

biogas dari sampah pada sepuluh hari pertama lebih cepat dibandingkan

pada jerami. Hal ini dikarenakan jerami sulit terdegradasi dengan adanya

komponen selulosa, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan

perlakuan pendahuluan. Penanganan pendahuluan yang dapat dilakukan

adalah dengan cara menurunkan ukuran partikel, dengan cara

penghancuran secara mekanis. Cara lainnya adalah dengan mempercepat

proses hidrolisis bahan organik melalui penanganan awal terhadap substrat

baik secara biologis maupun fisiko-kimia.

0

5

10

15

20

25

30

35

0 10 20 30 40

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

s)

Hari Ke-

Gambar 13. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian uji

potensi biogas ( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit

pisang, X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah

Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari

Page 6: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

38

Penanganan awal biologis dapat dilakukan dengan pengayaan enzim

dan pengomposan aerobik. Enzim hidrolitik yang penting meliputi

protease dan peptidase, yang memecah protein menjadi peptide dan asam-

asam amino; lipase untuk memecah lemak menjadi gliserol dan asam-asam

lemak rantai panjang; dan campuran enzim endogluconase,

cellobiohydrolase dan β-glucosidase yang memecah selulosa menjadi

glukosa. Pengayaan enzim dapat dilakukan penambahan langsung enzim-

enzim tersebut di atas atau dengan penggunaan mikroorganisme hidrolitik.

Bakteri rumen memiliki aktivitas hirolitik yang sangat baik, sehingga pada

penilitian ini dilakukan penanganan awal dengan aerasi dan penambahan

bakteri rumen dari kotoran hewan.

Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat

berperan, yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis

bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini

memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya

dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi

tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti

temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna.

Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik.

Bakteri ini mempunyai beberapa sifat fisiologi yang umum, tetapi

mempunyai morfologi yang beragam seperti Methanomicrobium,

Methanosarcina, Metanococcu, dan Methanothrix (Haryati, 2006).

4. 3. KAJIAN PENGARUH SUHU REAKTOR

Hasil dari uji potensi biogas dilanjutkan dengan uji pengaruh suhu

reaktor. Pada tahapan proses fermentasi limbah pertanian yang kedua ini

dilakukan pengaturan suhu (suhu terkendali), pada selang suhu mesofilik

(32oC).

Page 7: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

39

0

200

400

600

800

1000

1200

0 5 10 15 20

Aku

mu

lasi

pro

du

ksi b

ioga

s (m

l)

Hari Ke-

Gambar 14. Akumulasi produksi biogas pada penelitian kajian

pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()

Berdasarkan grafik pada Gambar 12 dan 14, tampak bahwa laju

produksi biogas bahan jerami selama 17 hari pada suhu terkendali

(56.24 ml/hari) lebih besar dibandingkan dengan laju produksi biogas pada

suhu tidak terkendali (50.77 ml/hari). Menurut Romli (2010), bakteri

metanogen dalam keadaan tidak aktif pada suhu ekstrim tinggi ataupun

rendah. Produksi biogas yang baik adalah kisaran mesofilik, dengan suhu

optimum 350C. Suhu dalam proses anaerobik yang dikendalikan lebih

efektif, karena fluktuasi suhu dapat menyebabkan proses menjadi kurang

baik. Dari hasil pengamatan selama 17 hari diperoleh data bahwa

akumulasi biogas yang terbentuk adalah 956 ml untuk jerami dan 837 ml

sampah.

Page 8: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

40

0

10

20

30

40

50

60

0 5 10 15 20

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

s)

Hari Ke-

Gambar 15. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian kajian

pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()

Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 15,

menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan

bahan sampah (50.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan Jerami. Produksi

biogas spesifik kumulatif jerami menunjukkan nilai yang lebih kecil

(9.67 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik kumulatif

yang dilakukan pada pengaturan suhu (kondisi terkendali) dengan kondisi

tidak terkendali, bahwa nilai produksi biogas spesifik kumulatif kondisi

terkendali memberikan hasil yang lebih besar dibanding tidak terkendali.

Menurut Juanga (2005), bahwa produksi biogas yang memuaskan berada

pada daerah mesofilik. Sehingga, pada proses fermentasi bahan pada

penelitian utama menggunakan sistem suhu yang terkendali pada suhu

mesofilik.

Page 9: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

41

60

65

70

75

80

85

90

95

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Bah

an o

rgan

ik (

%)

Hari ke-

(a)

60

65

70

75

80

85

90

95

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Bah

an o

rgan

ik (

%)

Hari ke-

(b)

Gambar 16. Kurva penurunan bahan organik pada (a) jerami dan (b) sampah

Hasil penurunan bahan organik jerami maupun sampah selama 17

hari baru berkisar 5%. Penurunan bahan organik dapat dilihat pada

Gambar 16. Jika dilihat nilai VS (Volatile Solid) bahan sampah sebelum

difermentasi yaitu berkisar antara 91.9-93.8% (% bk) merupakan potensi

yang cukup besar untuk dikonversi menjadi biogas. Tetapi dari hasil

pengamatan menunjukkan bahwa hanya sedikit bahan organik yang

dikonversi menjadi biogas, hal ini berkaitan dengan keberadaan dan

jumlah mikroorganisme dalam reaktor sebagai pelaku pengurai bahan

Page 10: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

42

organik menjadi biogas. Jumlah dan keberadaan mikroorganisme

dipengaruhi oleh lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup. Jika

proses degradasi bahan optimum, harapannya adalah produksi biogas hasil

fermentasi anaerobik juga optimum hal ini ditandai dengan meningkatnya

produksi biogas.

Kotoran sapi ditambahkan ke dalam reaktor karena mengandung

bakteri biodegradatif yang dapat memulai dan menyokong produksi

biogas. Golongan bakteri selulolitik seperti actinomycetes dan dari

campuran spesies bakteri dapat meningkatkan produksi biogas dari

kotoran sapi sebanyak 8.4-44 persen (Yadvika et al, 2004).

Haryati (2006) menyatakan bahwa bakteri metanogenik tidak aktif

pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu

sekitar 35°C. Jika temperatur turun menjadi 10°C, produksi gas akan

terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik

yaitu antara 25 - 30°C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar

temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih

tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh

pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur

yang tidak terlalu lebar. Pada cuaca yang hangat, reaktor dapat

dioperasikan tanpa memerlukan pemanasan. Instalasi reaktor di bawah

tanah berfungsi sebagai proses insulasi sehingga akan memperkecil biaya

pemanasan.

4. 4. KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN AERASI

Pada tahapan ini dilakukan perlakuan pendahuluan dengan

penambahan oksigen ke dalam reaktor yang bertujuan untuk

menghancurkan struktur bahan organik kompleks menjadi molekul

sederhana sehingga mikroba lebih mudah mendegradasinya. Dengan

perlakuan pendahuluan ini diharapkan dapat menurunkan kandungan

bahan organik dan meningkatkan laju pembentukan biogas. Dengan

dilakukannya perlakuan perndahuluan terhadap substrat terlebih dahulu,

diharapkan hemiselulosa dan selulosa yang banyak terdapat pada substrat

Page 11: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

43

akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Terpecahnya

polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa tersebut dapat

mempercepat proses pembentukan biogas. Diharapkan dengan adanya

perlakuan pretreatment ini dapat mempercepat dan memperbanyak

produksi biogas dari jerami padi dan sampah pasar ini.

Jerami dan sampah pasar memiliki karakteristik yang khusus yaitu

berupa tingginya kandungan bahan organik lignoselulosa dan sedikit

bahan terlarut berupa karbohidrat, lemak dan protein. Dengan demikian

proses anaerobik dimulai dari degradasi enzimatis struktur padatan

substrat, karena polimer organik tidak dapat digunakan secara langsung

oleh mikroorganisme. Oleh karena itu salah satu cara memperbaiki kinerja

proses fermentasi adalah dengan melakukan perlakuan pendahuluan. Salah

satu perlakuan pendahuluan yang dapat dilakukan menurut Romli (2010)

adalah dengan penanganan awal secara biologis yang dapat dilakukan

dengan pengomposan aerobik. Pengaruh perlakuan pendahuluan aerasi

disajikan pada Gambar 17.

Romli (2010) dan Charles et al (2009) menyatakan bahwa proses

degradasi aerobik dapat digunakan sebagai metode penanganan awal

limbah padat, khususnya pada proses anaerobik tipe kering (bahan organik

dalam reaktor dipertahankan pada kandungan padatan berkisar antara 20-

40 persen). Tujuannya adalah untuk mendapatkan tingkat pre-degradasi

padatan menguap (VS) sehingga terhindar dari pengaruh inhibisi terhadap

bakteri metanogen yang disebabkan oleh akumulasi VFA. Tingkat

pre-degradasi disesuaikan dengan tujuan penanganan aerobik. Tingkat pre-

degradasi tinggi dapat dilakukan bila bertujuan untuk menurunkan

padatan, sebaliknya tingkat pre-degradasi rendah sesuai bila diinginkan

adalah produksi metana.

Page 12: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

44

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Kad

ar (

%)

Air Padatan volatil Abu

(a)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Kad

ar (

%)

Air Padatan Volatil Abu

(b)

Gambar 17. Pengaruh perlakuan aerasi (a) jerami dan (b) sampah

pada kondisi awal () aerasi () dan tanpa aerasi

()

Gambar 17 menyajikan pengaruh aerasi terhadap penurunan bahan

organik dari jerami dan sampah. Dari hasil uji statistik diperoleh informasi

bahwa penambahan aerasi pada bahan jerami dan sampah tidak

memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penurunan padatan

volatil. Hal ini bisa disebabkan karena lama waktu untuk aerasi terlalu

sebentar sehingga hidrolisis bahan kompleks belum sempurna.

Penambahan aerasi juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap

Page 13: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

45

peningkatan laju pembentukan biogas, karena setelah dilakukan fermentasi

selama 10 hari tidak dihasilkan biogas. Oksigen yang diberikan pada

proses aerasi dapat menghambat degradasi pada kondisi anaerobik

sehingga pembentukan biogas lambat. Untuk mengantisipasi hambatan

karena adanya oksigen dapat ditambahkan gas nitrogen sebelum

fermentasi. Kusch et al (2008) menyatakan bahwa aerasi pada pengolahan

pendahuluan fermentasi tidak berhasil dilakukan dan menghasilkan

rendemen biogas lebih rendah dibandingkan dengan tanpa aerasi. Oleh

karena itu pada penelitian selanjutnya pengolahan dengan aerasi tidak

dilakukan.

4. 5. PENGARUH PENAMBAHAN UMPAN PADA SISTEM

FERMENTASI MEDIA PADAT REAKTOR 10 L

4.5.1. Produksi Biogas

Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 18,

menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan

penambahan umpan 75% (Jerami: 41.86 l/kgVS; Sampah: 39.71 l/kgVS)

lebih besar dibandingkan penambahan umpan 50% (Jerami: 15.85 l/kgVS;

Sampah: 31.09 l/kgVS). Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik

kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi biogas dari jerami pada

sepuluh hari pertama pada perlakuan penambahan umpan 50% dan 75%

lebih cepat dibandingkan pada perlakuan awal atau kontrol. Hal ini bisa

dikarenakan bahwa proses dekomposisi senyawa organik lebih mudah

terjadi pada perlakuan penambahan umpan 50% dan 75 % karena

komposisi bahan pada kedua perlakuan ini sebagian adalah sisa hasil

fermentasi sebelumnya, sehingga senyawa-senyawa organik yang sulit

terdekomposisi lebih sedikit, berbeda dengan kontrol yang seluruhnya diisi

bahan jerami baru. Namun, setelah 10 hari produksi biogas pada perlakuan

penambahan umpan 50% menurun, sedangkan pada kontrol dan

penambahan umpan 75% menghasilkan biogas lebih banyak.

Page 14: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

46

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

s)

Hari Ke-

(a)

0

10

20

30

40

50

60

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

S)

Hari Ke-

(b)

Gambar 18. Produksi biogas spesifik kumulatif (a) jerami dan

(b) sampah pada perlakuan kontrol (--), umpan 50%

(--) dan umpan 75% (--)

Pada jerami dengan penambahan inokulum yang lebih besar (umpan

50%) akan menghasilkan produksi biogas yang paling sedikit, sedangkan

dengan penambahan inokulum sebesar 25 % akan menghasilkan produksi

biogas yang paling besar dibandingkan dengan kontrol. Hal ini bisa

berkaitan dengan pengaruh rasio penambahan bahan organik yang di

degradasi dengan jumlah inokulum yang ditambahkan. Berbeda dengan

sampah semakin besar inokulum yang ditambahkan maka produksi biogas

Page 15: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

47

yang dihasilkan akan semakin sedikit, hal ini berkaitan dengan jumlah

bahan organik yang didegradasi semakin sedikit dengan adanya

penambahan inokulum.

Menurut Makarim (2007), jerami sulit terdekomposisi sehingga

untuk mempercepat produksi biogas dari jerami perlu dilakukan

pengomposan terlebih dahulu. Menurut penelitian Kota (2009), produksi

biogas optimum dari bahan jerami padi berlangsung pada selang hari ke-7

hingga hari ke-21. Dari hasil pengamatan pada bahan sampah pasar

diketahui bahwa kontrol (100% bahan awal) memberikan produksi biogas

yang lebih besar dibandingkan yang lain, hal ini dikarenakan jumlah bahan

organik yang lebih banyak dibanding penambahan umpan 50% dan 75%.

Produksi biogas pada perlakuan kontrol menghasilkan 557 ml biogas/hari,

penambahan umpan 75% menghasilkan 413 ml/hari dan penambahan

umpan 50% menghasilkan 364 ml/hari. Alvarez dan Liden (2007)

melakukan fermentasi pada sampah sayur dan buah-buahan menghasilkan

316 ml biogas/hari.

Produksi biogas akan lebih optimum jika fermentasi anaerobik yang

dilakukan benar-benar pada kondisi tanpa oksigen (O2). Kondisi yang

memungkinkan masuknya oksigen pada reaktor adalah ketika

dilakukannya pengambilan sampel bahan padat dari dalam reaktor. Sampel

bahan padat diambil dari lubang sampel yang terdapat pada reaktor. Proses

resirkulasi air lindi juga memungkinkan oksigen masuk ke dalam reaktor.

Air lindi yang tertampung dalam tabung penampungan lindi dikeluarkan

dari tabung dan dimasukkan kembali ke dalam reaktor melalui lubang

penyaluran lindi. Proses lainnya yang berpotensi masuknya oksigen ke

dalam sistem fermentasi adalah pada saaat proses pemanenan digestat

diakhir fermentasi. Solusi yang mungkin bisa dilakukan adalah

memperbaiki desain sistem reaktor ketika pengambilan sampel agar

kemungkinan masuknya oksigen dikurangi, yaitu dengan sistem buka-

tutup otomatis pada lubang sampel. Pada proses resirkulasi lindi sebaiknya

digunakan pompa peristaltik untuk menghindari masuknya oksigen ke

dalam reaktor. Untuk menghindari masuknya oksigen pada bahan saat

Page 16: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

48

proses pemanenan digestat, sebaiknya dilakukan penyemprotan gas

nitrogen pada reaktor sebelum reaktor digunakan kembali.

4.5.2. Pengukuran pH Bahan dan Air Lindi

Pengukuran terhadap pH dilakukan setiap dua hari sekali dengan

mengambil sampel melalui lubang pengambilan sampel. Berdasarkan hasil

pengamatan, seperti tampak pada Gambar 19, menunjukkan bahwa nilai

pH awal yang diukur dari sampel jerami adalah 5.9. Dari hari pertama

hingga hari ke 18, nilai pH berselang antara 5.7-5.9. Pada hari ke 20

sampai 30 nilai pH naik menjadi 6.9-7.9 dan sedikit turun pada hari ke

30-40 menjadi nilai pH 7. Nilai pH awal lindi dari perlakuan ini pada hari

pertama hingga hari ke 12 berkisar 6.5-6.9 dan meningkat menjadi 7.5,

stabil sampai hari ke 22 dan naik menjadi 8.2 sampai hari ke 36, kemudian

turun pada kisaran pH 7.3-7.5. Hasil analisis pada sampel sampah pH

bahan menunjukkan pada pH asam yaitu sekitar 5.1 sama halnya dengan

Alvarez dan Liden (2007) yang melakukan percobaan fermentasi

anaerobik untuk menghasilkan biogas menggunakan bahan sampah

sayuran dan buah-buahan, pada karakteristik bahan awal menunjukkan

nilai pH 4.9. Kondisi ini yang mungkin membuat proses fermentasi

anaerobik tidak optimal mengingat bahwa bakteri metanogen optimal

hidup pada kondisi pH netral. Keasaman bertambah dengan terbentuknya

asam asetat selama proses fermentasi terjadi.

Gambar 19 menyajikan nilai pH sampah padat selama proses

fermentasi berlangsung. Hasil pengamatan menunjukkan pH sampah padat

awal (kontrol) berkisar antara 5.1-4.6, sementara itu untuk pH sampah

padat umpan 50% berkisar antara 4.2-7.9. Kemudian pada pH sampah

padat umpan 75% nilai pH menunjukkan kondisi asam yaitu berkisar

antara 2.5-4.2.

Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam reaktor biogas bisa

dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap

bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH

kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri

Page 17: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

49

metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik

yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi

pH yang lebih tinggi atau rendah.

0

2

4

6

8

10

12

14

0 2 4 6 8 10 12 14

Nila

i pH

Lin

di

Nilai pH Bahan

(a)

0

2

4

6

8

10

12

14

0 2 4 6 8 10 12 14

Nila

i pH

Lin

di

Nilai pH Bahan

(b)

Gambar 19. Nilai pH bahan dan air lindi (a) jerami serta

(b) sampah pada perlakuan kontrol (--), umpan 50%

(--) dan umpan 75% (--)

Kondisi pertumbuhan mikroorganisme optimal pada proses

fermentasi adalah pada pH netral, hanya beberapa mikroorganisme saja

yang hidup pada kondisi ekstrim. Nilai pH pada awal perlakuan pertama

menunjukkan proses pengasaman dan perombakan bahan organik. Hal ini

menunjukkan bahwa fermentasi masih berada dalam tahap asidifikasi,

Page 18: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

50

dimana bakteri asetogenik mendominasi proses dekomposisi bahan.

Pembentukan asam asetat oleh bakteri asetogenik penting untuk kelanjutan

produksi gas metana pada proses selanjutnya. Gambar 19 memperlihatkan

bahwa nilai pH bahan dan air lindi untuk jerami berada pada selang pH

netral yaitu 6-9, sedangkan pH untuk sampah berada pada kondisi asam

yaitu rentang 3-6. Apabila bakteri fermentasi tumbuh lebih cepat dari pada

metanogen, maka akan terjadi akumulasi asam. Ketika pH mulai turun

akibat akumulasi VFA (Volatile Fatty Acid), alkalinitas yang ada dalam

sistem akan menetralkan asam dan menghambat penurunan pH lebih

lanjut. Jika alkalinitas tidak cukup untuk menyangga pH perlu

ditambahkan bahan kimia untuk menjaga pH.

Sistem penanganan anaerobik memiliki kapasitas untuk menyangga

pH karena adanya alkalinitas yang dihasilkan oleh kesetimbangan karbon

dioksida dan ion karbonat dengan ion ammonium sebagai kation

utamanya. Dalam reaktor, karbon dioksida ada dalam kesetimbangan

dengan asam karbonat, yang terdisosiasi memberikan hidrogen dan ion

karbonat. Proses anaerobik juga mengandung sistem penyangga berbasis

asam-asam lemah lainnya, ammonia dan asam-asam ortofosfat serta asam-

asam mudah menguap, tetapi sistem asam karbonat adalah yang memiliki

peranan paling penting pada pH reaktor (Romli, 2010).

Alvarez dan Liden (2007) pada percobaanya menggunakan sampah

sayur dan buah-buahan, kondisi steady state reaktor dicapai pada kondisi

pH 4.4 dengan produksi biogas 0.3 l/hari. Total VFA pada hari ke-1

sampai hari ke-10 meningkat tajam dari 2.5-8.1 g/l dan meningkat secara

perlahan sampai hari ke-25. Kandungan VFA yang paling dominan adalah

asam asetat sekitar 50-70% dari total FVA dan sisanya adalah asam

propionat dan asam butirat. Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai pH

bahan padat berhubungan dengan nilai pH lindi, karena lindi merupakan

cairan rembesan hasil degradasi bahan padat. Jika nilai pH bahan padatnya

asam maka pH lindinya pun tidak jauh berbeda dengan nilai pH bahan

padatnya.

Page 19: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

51

4.5.3. Produksi Air Lindi

Selain dihasilkan biogas sebagai produk utama pada proses

fermentasi anaerobik, ada juga produk samping yang memiliki banyak

manfaat untuk kehidupan manusia, yaitu air lindi yang dapat digunakan

sebagai pupuk cair. Menurut Wahyuni (2009) limbah biogas merupakan

pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh

tanaman.

0

10

20

30

40

50

60

0 200 400 600 800

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

S)

Volume lindi kumulatif (ml)

(a)

0

10

20

30

40

50

60

0 200 400 600 800

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

S)

Volume lindi kumulatif (ml)

(b)

Gambar 20. Hubungan produksi biogas spesifik kumulatif dan

volume air lindi kumulatif (a) jerami serta (b) sampah

pada perlakuan kontrol (--), umpan 50% (--) dan

umpan 75% (--)

Page 20: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

52

Dari hasil pengamatan, volume lindi sampah awal (kontrol)

menghasilkan 337 ml lindi, 455 ml lindi pada fermentasi umpan 50% dan

335 ml pada fermentasi umpan 75%. Hubungan akumulasi lindi dan

produksi biogas disajikan pada Gambar 20. Dari Gambar 20 dapat dilihat

bahwa pembentukan biogas akan mengalami hubungan yang linear dengan

pembentukan lindi. Peningkatan produksi biogas akan diikuti oleh

peningkatan volume air lindi.

4.5.4. Karakteristik Digestat dan Air Lindi

Hasil analisis digestat menunjukkan bahwa kandungan bahan

organik (VS) relatif masih tinggi yaitu berkisar 91.7-92.6 persen (% bk),

dengan demikian bisa dipastikan bahwa digestat masih banyak

mengandung selulosa, lignin, karbohidrat, protein, dan lemak yang belum

terdegradasi dengan baik. Jika dilihat indikator lainnya seperti C/N baik

pada digestat fermentasi kontrol, umpan 50%, maupun umpan 75% masih

memiliki nilai C/N yang tinggi. Nilai C/N adalah faktor penting dalam

pendegradasian bahan organik. Mikroorganisme membutuhkan karbon

untuk pertumbuhannya sedangkan nitrogen untuk sintesis protein. Jika

C/N bahan yang digunakan tinggi maka proses pendegradasian

memerlukan waktu yang lama, sedangkan bila C/N bahan yang digunakan

rendah maka nitrogen akan dilepaskan sebagai ammonia sehingga akan

menghambat proses degradasi. Karakteristik digestat disajikan pada

Tabel 11, sedangkan karakteristik lindi disajikan pada Tabel 12.

Tabel 11. Karakteristik digestat hasil fermentasi

Bahan Perlakuan

Kadar

Air

(%)

Kadar

Abu

(%)

Kadar

VS

(%)

N

(%)

C

(%)

P

(%) pH

Jerami

Kontrol 76.9 8.1 64.9 0.7 36.3 0.2 7.0

Penambahan umpan 50 % 75.5 8.9 63.7 0.4 34.4 0.2 8.3

Penambahan umpan 75 % 78.0 8.3 62.3 1.1 21.6 0.5 8.3

Sampah

Kontrol 89.2 0.79 92.6 0.7 28.4 0.2 4.7

Penambahan umpan 50 % 88.0 0.99 91.7 1.2 49.1 0.4 4.3

Penambahan umpan 75 % 90.2 0.77 92.1 1.7 39.2 0.3 4.1

Page 21: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

53

Digestat yang dihasilkan pada proses anaerobik ini baru bisa

digunakan sebagai penutup landfill atau bioremediasi tanah, belum sebagai

kompos yang bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman dan

untuk memperbaiki stuktur hara tanah. Penggunaan digestat sebagai

penutup landfill jauh lebih baik daripada penggunaan landfill pada sampah

organik secara langsung. Hal ini karena sifat digestat yang sudah

mengalami penguraian pada proses fermentasi, berbeda dengan sampah

organik yang belum mengalami dekomposisi. Beban pencemaran juga

akan lebih tinggi pada sampah jika dibanding pada digestat.

Agar digestat dapat digunakan untuk keperluan kompos, digestat

harus mengalami proses dekomposisi lanjutan. Misalnya dengan

pemberian aerasi pada digestat yang dihasilkan. Proses dekomposisi

lanjutan ini tentunya tidak membutuhkan waktu yang sama dengan proses

dekomposisi bahan sampah segar. Waktu dekomposisi untuk digestat akan

lebih cepat jika dibandingkan dengan proses dekomposisi sampah pasar

organik segar. Salah satu parameter yang bisa digunakan dalam proses

dekomposisi digestat menjadi kompos ini adalah nisbah C/N. Jika setelah

dekomposisi nilai nisbah C/N digestat ada pada kisaran antara 10-20 maka

bisa dikatakan digestat tersebut telah menjadi kompos yang siap

digunakan untuk menyuburkan tanah.

Tabel 12. Karakteristik air lindi hasil fermentasi

Bahan Sampel N

(ppm)

C

(%) P (ppm) pH

Jerami

Kontrol 2700 0.23 67.7 7.3

Penambahan umpan 50 % 104 2.81 64.2 7.8

Penambahan umpan 75 % 98 0.28 68.5 7.6

Sampah

Kontrol 1700 0.46 84.6 4.5

Penambahan umpan 50 % 4500 3.07 47.1 4.4

Penambahan umpan 75 % 473 0.01 149.8 4.2

Page 22: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

54

Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lindi hasil fermentasi

sampah dan jerami masih memiliki unsur hara esensial yang berguna

untuk proses pertumbuhan tanaman. Unsur Nitrogen (N) misalnya terdapat

sekitar 98-4500 ppm. Jumlah yang cukup tinggi dan berguna untuk

pertumbuhan tanaman. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil,

bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak

cukup untuk membentuk protein dan klorofil. Selain nitrogen unsur lain

yang dibutuhkan oleh tanaman adalah fosfat (P). Fosfat termasuk unsur

hara esensial bagi tanaman dengan fungsi sebagai pemindah energi yang

tidak dapat diganti dengan hara lain. Ketidakcukupan pasokan P

menjadikan tanaman tidak tumbuh maksimal atau potensi hasilnya tidak

maksimal atau tidak mampu menyempurnakan proses reproduksi yang

normal. Peranan P dalam tanaman sebagai penyimpanan dan pemindahan

energi yang berpengaruh terhadap berbagai proses lain dalam tanaman.

Adanya P dibutuhkan untuk reaksi biokimiawi penting, seperti

pemindahan ion, kerja osmotik, reaksi fotosintesis dan glikolisis.

Berdasarkan PerMentan No.28/Permentan/SR.130/5/2009 tentang

pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah dapat dilihat persyaratan

teknis minimal pupuk organik. Peraturan tersebut memperlihatkan bahwa

standar pH untuk pupuk (baik padat maupun cair) sebesar 4-8, hal ini

menunjukkan bahwa hasil digestat dan air lindi sudah memenuhi standar.

Persyaratan untuk C-Organik adalah ≥ 12, sedangkan hasil digestat

menunjukkan nilai antara 21.6 – 41.9 persen. Bahan organik yang terdapat

dalam digestat sangat penting untuk memperbaiki kesuburan tanah, baik

fisika, kimia, maupun biologi tanah. Bahan organik merupakan perekat

butiran lepas atau bahan pemantap agregat, sebagai sumber hara tanaman

dan sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Bahan organik

juga menjadikan fluktuasi suhu tanah lebih kecil. Bahan organik dapat

membantu akar tanaman menembus tanah lebih dalam dan luas sehingga

tanaman lebih kokoh dan lebih mampu menyerap unsur hara dan air dalam

jumlah banyak.

Page 23: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

55

4. 6. KINETIKA PEMBENTUKAN BIOGAS

Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan Gompertz yang

sudah dimodifikasi (Budiyono et al, 2010 dan Nopharatana et al, 2007)

yaitu dimana P adalah produksi

biogas spesifik kumulatif (l/kg VS); A adalah produksi biogas potensial

(l/kg VS); Rmax adalah laju produksi biogas maksimum (l/kg VS.day);

adalah periode phase lag (waktu minimum untuk produksi biogas, hari)

diperoleh hasil seperti pada Tabel 13.

Tabel 13. Kinetika produksi biogas

Bahan Baku Perlakuan Rmax

(l/kg VS.hari)

A

(l/kg VS)

(hari)

Jerami

Kontrol 1.37 28.10 2.0

Umpan 50% 1.86 15.82 0.4

Umpan 75% 2.07 42.25 0.6

Sampah

Kontrol 3.55 51.84 1.2

Umpan 50% 1.58 31.09 0.2

Umpan 75% 2.07 39.71 0.8

Berdasarkan data pada Tabel 13, nilai Rmax tertinggi dihasilkan oleh

sampah pada kondisi kontrol (3.55 l/kg VS.hari), hal ini disebabkan karena

kandungan bahan organik di reaktor lebih besar dibandingkan yang

lainnya sehingga laju produksi biogas lebih besar. Nilai pada umpan

50% dihasilkan nilai yang lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin sedikit bahan yang di fermentasikan, maka

semakin cepat bahan organik akan mulai mengalami degradasi. Budiyono

et al (2010) melakukan penelitian terhadap produksi biogas dari kotoran

sapi pada suhu 38.5oC dihasilkan nilai parameter kinetika Rmax sebesar

9.49 ml/gVS.d, nilai A sebesar 418.26 ml/g.VS dan nilai sebesar

4.46 hari.

Page 24: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

56

Tabel 14. Nilai ARD produksi biogas

Bahan Baku Perlakuan

ARD Persamaan

Gompertz

(%)

ARD Persamaan

Logistic

(%)

Jerami

Kontrol 28.96 55.39

Umpan 50% 14.21 16.72

Umpan 75% 9.84 16.23

Sampah

Kontrol 3.58 7.87

Umpan 50% 5.26 10.24

Umpan 75% 9.55 16.48

Dari nilai produksi biogas spesifik kumulatif berdasarkan Tabel 13,

selanjutnya dihitung nilai ARD dengan membandingkan nilai persamaan

model dengan nilai hasil eksperimen. Nilai ARD dari persamaan model

modifikasi Gompertz dan model modifikasi Logistic disajikan pada Tabel

14. Nilai ARD model modifikasi Gompertz diperoleh nilai 3.58-28.96

persen, sedangkan model modifikasi Logistic dihasilkan nilai ARD kisaran

7.87-55.39 persen. Nilai ARD yang semakin kecil menunjukkan bahwa

nilai model tidak terlalu jauh berbeda dengan nilai eksperimen. Nilai ARD

model modifikasi Gompertz lebih kecil dibandingkan nilai model

modifikasi Logistic. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan model

modifikasi Gompertz lebih mendekati dengan hasil penelitian ini. Lei et al

(2010) melakukan penelitian dengan memproduksi metana dari jerami

padi diperoleh nilai ARD untuk ordo satu dengan 2 tahap antara 9.05-

20.35 persen, sedangkan untuk 1 tahap diperoleh nilai ARD sebesar 55.96-

107.66 persen.

Page 25: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

57

0

10

20

30

40

50

60

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

S)

Hari Ke-

(a)

0

10

20

30

40

50

60

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Pro

du

ksi b

ioga

s sp

esi

fik

kum

ula

tif

(l/k

g.V

S)

Hari Ke-

(b)

Gambar 21. Hubungan hasil pemodelan modifikasi Gompertz dengan

model modifikasi Logistic pada (a) jerami dan (b)

sampah pada Gompertz kontrol (--), Gompertz umpan

50% (--), Gompertz umpan 75% (--), Logistic

kontrol (----), Logistic umpan 50% (----) serta Logistic

umpan 75% (----)

Gambar 21 menunjukkan hubungan antara produksi biogas spesifik

kumulatif model modifikasi Gompertz dengan model modifikasi Logistic.

Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa persamaan model modifikasi

Gompertz memiliki kemiripan dengan persamaan model modifikasi

Logistic.

Page 26: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

58

4. 7. DESAIN TEKNOLOGI FERMENTASI MEDIA PADAT

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa jerami dan sampah pasar

dapat dikonversi menjadi salah satu sumber energi terbarukan, yaitu

berupa biogas. Pada aplikasi sistem ini, maka fermentasi pertama

dilakukan dengan menggunakan bahan baku limbah jerami atau sampah

pasar dan ditambahkan kotoran sapi segar sebagai inokulum. Pada

fermentasi selanjutya baru dilanjutkan dengan penggunaan kembali

digestat sebanyak 25 persen dan umpan baru berupa bahan organik (jerami

dan sampah pasar) sebanyak 75 persen. Potensi penerapan hasil penelitian

ini dalam sekala lebih besar sangat memungkinkan, karena produksi

jerami padi dan sampah yang sangat besar di Indonesia dan masih belum

banyak dimanfaatkan.

Desain teknologi fermentasi media padat digunakan untuk limbah

padatan seperti sayuran/hijauan, sampah pasar dan jerami. Desain yang

dibuat adalah sistem batch (curah), tidak perlu menggunakan pipa alir,

tangki tunggal merupakan desain yang paling baik untuk digunakan.

Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan

digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan

lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali. Tergantung

dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem batch akan

mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat, laju

peningkatan produksi menjadi lambat lalu menurun setelah satu bulan.

Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling

tidak ada yang beroperasi dengan baik. Menurut Romli (2010), sistem

batch memiliki kemampuan menghasilkan 50 sampai 100 kali lebih besar

laju produksi biogas karena dua hal. Pertama, lindi secara kontinu

dilakukan resirkulasi yang memungkinkan tersebarnya inokulan, nutrient

dan asam-asam, dan ini sebenarnya adalah efek pengadukan parsial.

Kedua, sistem curah berjalan dalam suhu yang relative lebih tinggi

daripada suhu umumnya landfill.

Page 27: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

59

Gambar 22. Rancangan reaktor biogas

Untuk aplikasi di lapangan, rancangan bioreaktor biogas yang

digunakan tentu berbeda dengan bioreaktor skala laboratorium. Untuk

skala penelitian mungkin cukup dengan kapasitas reaktor 10 liter, tetapi

untuk skala aplikasi di lapangan kapasitas tersebut tidak cukup. Dalam

rancangan bioreaktor skala lapangan, kapasitas reaktor dibuat dalam

satuan volume sekitar 4000 liter. Gambar 22 menujukkan desain reaktor

biogas untuk skala lapangan.

Reaktor terdiri dari tiga bagian utama, yaitu reaktor, penampung gas

dan penampung air lindi. Sistem fermentasi yang digunakan adalah

Keterangan :

A. Bagian penampung biogas

B. Reaktor utama

C. Penampung lindi dan pompa

untuk sirkulasi lindi

D. Pompa untuk sirkulasi lindi

E. Inlet umpan

F. Outlet digestat

Page 28: Bab IV Hasil Dan Pembahasan F11aya-6

60

fermentasi padat (solid state fermentation). Pada bagian reaktor terdiri dari

saluran inlet, outlet, dan tempat fermentasi. Pada penampung lindi

dilengkapi dengan pompa untuk mensirkulasi air lindi. Penampung gas

sendiri terbuat dari plastik tebal.

Bahan baku awal berupa jerami padi atau sampah pasar, air dan

kotoran sapi dimasukkan melalui saluran inlet. Reaktor juga dilengkapi

saluran outlet untuk mengeluarkan digestat, sehingga tidak perlu

membongkar semuanya. Bentuk umpan yang semi padat, membuat proses

pengeluaran digestat dengan cara mendorong dari bagian inlet. Bahan

untuk membuat reaktor dapat berupa stainless steel atapun beton.

Penampung gas terbuat dari plastik tebal yang ditempatkan dibagian atas

reaktor dengan kapasitas 6000 liter. Proses resirkulasi lindi dapat

dilakukan dengan menggunakan pompa atau juga bisa tanpa menggunakan

pompa dengan mengecilkan ukuran pipa resirkulasi dan memanfaatkan

tekanan cairan. Biogas dari penampung gas langsung bisa dialirkan ke

kompor untuk memasak.

Limbah biomassa mempunyai rasio C:N yang tinggi dibandingkan

limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen.

Limbah pertanian menghasilkan biogas delapan kali lebih banyak

dibandingkan limbah kotoran ternak (Haryati, 2006). Campuran dari

limbah kotoran ternak dan limbah sayuran merupakan campuran yang

ideal untuk menghasilkan biogas, dengan perbandingan jumlah limbah

sayuran yang lebih banyak.