4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga dan berbagai macam sampah (kulit pisang, kol, sampah pasar gunung batu, sampah pasar laladon dan kulit nenas). Jerami telah didiamkan sekitar dua minggu setelah panen di areal persawahan. Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang diambil dari kandang sapi Fakultas Peternakan, IPB Darmaga. Pertimbangan penggunaan beberapa jenis bahan tersebut dikarenakan keberadaan bahan yang melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian tersebut biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian, diantaranya kulit pisang yang merupakan limbah hasil industri keripik dan sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri buah kaleng dan selai nenas, sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional demikian juga jerami yang mudah di peroleh di areal persawahan. Karakteristik biomassa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Jerami dan Berbagai Sampah Jenis Biomassa Kadar Air (%) Padatan Organik (% bb) (% bk) Jerami Kering 18.70 53.24 65.47 Kotoran Sapi 84.23 12.50 79.27 Campuran Jerami dan kotoran Sapi 77.63 14.83 66.28 Kulit Pisang 87.61 10.50 84.70 Kol 93.00 6.52 93.08 Sampah Pasar Gunung Batu 82.57 15.20 87.19 Sampah Pasar Laladon 94.05 5.12 85.96 Kulit Nenas 86.61 12.73 95.07 Hasil karakterisasi biomassa diperoleh informasi bahwa terdapat perbedaan mendasar antara jerami dan sampah. Jerami memiliki kadar air yang jauh lebih sedikit dibanding sampah. Jerami memiliki kadar air
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. KARAKTERISTIK BAHAN AWAL
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang
diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB
Darmaga dan berbagai macam sampah (kulit pisang, kol, sampah pasar
gunung batu, sampah pasar laladon dan kulit nenas). Jerami telah
didiamkan sekitar dua minggu setelah panen di areal persawahan.
Inokulum yang digunakan adalah kotoran sapi segar yang diambil dari
kandang sapi Fakultas Peternakan, IPB Darmaga. Pertimbangan
penggunaan beberapa jenis bahan tersebut dikarenakan keberadaan bahan
yang melimpah dalam bentuk sampah dan beberapa komoditas pertanian
tersebut biasa digunakan dalam industri pengolahan hasil pertanian,
diantaranya kulit pisang yang merupakan limbah hasil industri keripik dan
sale pisang, kulit nenas limbah hasil industri buah kaleng dan selai nenas,
sampah pasar yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional demikian
juga jerami yang mudah di peroleh di areal persawahan. Karakteristik
biomassa yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Jerami dan Berbagai Sampah
Jenis Biomassa Kadar
Air (%)
Padatan Organik
(% bb) (% bk)
Jerami Kering 18.70 53.24 65.47
Kotoran Sapi 84.23 12.50 79.27
Campuran Jerami dan kotoran Sapi 77.63 14.83 66.28
Kulit Pisang 87.61 10.50 84.70
Kol 93.00 6.52 93.08
Sampah Pasar Gunung Batu 82.57 15.20 87.19
Sampah Pasar Laladon 94.05 5.12 85.96
Kulit Nenas 86.61 12.73 95.07
Hasil karakterisasi biomassa diperoleh informasi bahwa terdapat
perbedaan mendasar antara jerami dan sampah. Jerami memiliki kadar air
yang jauh lebih sedikit dibanding sampah. Jerami memiliki kadar air
34
18.70% sedang sampah berada pada kisaran 82.57 – 94.05%. Perbedaan
kadar air yang besar akan meningkatkan produksi biogas. Kadar air bahan
sangat penting dalam proses fermentasi produksi biogas. Jerami padi
memiliki rasio C dan N sebesar 70 (Haryati, 2006). Komposisi kimia
jerami padi sangat dipengaruhi oleh varietas padi, tempat tumbuh, serta
pupuk yang digunakan. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi
adalah 0.4% nitrogen, 0.02 % fosfor, 1.4% kalium, dan 5.6% silika dan
jerami padi mengandung 40-43% karbon (Makarim et al, 2007).
Guna mengoptimalkan produksi biogas pada penelitian ini
ditambahkan dengan kotoran sapi sebagai inokulum awal, karakteristik
kotoran sapi yang digunakan seperti tampak pada Tabel 9. Laju produksi
biogas dan kandungan CH4 maksimum dihasilkan pada biogas dengan
penambahan inokulum kotoran sapi dalam jerami dengan perbandingan
25% dan 75% (Hartono dan Kurniawan, 2009). Bobot kotoran sapi yang
ditambahkan pada bahan jerami adalah 1/3 dari bobot jerami. Penambahan
kotoran sapi untuk sampah didasarkan hasil penelitian Macias-Corral et al
(2008) yang menyatakan bahwa perbandingan terbaik untuk sampah dan
kotoran sapi adalah 9:1 atau setara dengan 277.7 g dari bahan awal 2500 g.
Penambahan inokulum kotoran sapi bertujuan untuk meningkatkan
kandungan nitrogen dalam bahan, yang akan digunakan untuk
pertumbuhan bakteri dalam proses fermentasi. Kotoran sapi segar
mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana. Hal inilah yang
menjadi dasar kenapa kotoran sapi banyak digunakan sebagai inokulum
fermentasi anaerobik.
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa
elemen penting sesuai dengan kebutuhan hidup organisme seperti sumber
makanan dan kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob
mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding nitrogen.
Rasio optimum untuk reaktor anaerobik berkisar antara 20 - 30. Jika C/N
bahan terlalu tinggi, maka nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh
bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan
hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon, akibatnya gas yang dihasilnya
35
menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N bahan baku rendah, nitrogen akan
dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang dapat
menyebabkan peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 akan
mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen,
sehingga akan mempengaruhi laju pembentukan biogas dalam reaktor.
Misi dan Forster (2001) menyatakan bahwa kriteria untuk menilai
keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah
penurunan padatan volatil (VS), total produksi biogas dan menghasilkan
metana. Efek dari umpan yang berbeda pada biogas hasil dari limbah
makanan, dedaunan dan campurannya dikaji menggunakan batch reaktor
anaerobik. Padatan bahan organik dari hasil analisis sampah menunjukkan
nilai yang tinggi berkisar antara 84-95 persen (% bk) dibandingkan dengan
jerami yang hanya berkisar 65 persen. Nilai padatan bahan organik ini
sangat potensial untuk dikonversi menjadi sejumlah biogas hasil dari
proses fermentasi media padat.
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam fasa
padat dengan kadar air yang diharapkan sebesar 70 persen. Karena kadar
air sampah yang sudah cukup maka sampah organik tidak mengalami
pengenceran atau penambahan air. Wahyuni (2008) menjelaskan bahan
isian harus mengandung bahan kering (padatan total) sekitar 7-9%. Dari
hasil analisis yang dilakukan, bahan sampah yang digunakan mengandung
5.95-17.43% padatan total. Untuk mengatur kandungan padatan total
bahan, usaha yang biasanya dilakukan adalah dengan penambahan air atau
pengenceran. Bahan baku jerami yang memiliki kandungan air yang
sedikit perlu ditambahkan air dalam proses fermentasi. Data karakteristik
bahan baku disajikan pada Lampiran 2.
4. 2. UJI POTENSI PRODUKSI BIOGAS
Pada tahap ini dilakukan uji potensi biogas dari berbagai limbah
menggunakan reaktor berukuran 1.5 l. Pada fermentasi bahan organik
tahap pertama tidak dilakukan pengaturan suhu (suhu tidak terkendali).
Pada uji potensi biogas digunakan bahan baku berupa sampah (Pasar
36
Gunung Batu, Pasar Laladon, kulit pisang, kol, kulit nenas) dan jerami
(baru dan busuk).
0
500
1000
1500
2000
2500
0 10 20 30 40
Vo
lum
e G
as (
ml)
Hari Ke-
Gambar 12. Akumulasi biogas pada penelitian uji potensi biogas
( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit pisang,
X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah
Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari
Dari hasil pengamatan selama 45 hari fermentasi diperoleh jumlah
biogas yang terbentuk pada awal proses fermentasi terbentuk dengan laju
yang tinggi dan kemudian semakin lama semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena pada awal fermentasi tersedia lebih banyak bahan
organik yang mudah terdegradasi. Pada Gambar 12 terlihat bahwa
produksi biogas jerami baru dan jerami busuk menunjukkan hasil yang
signifikan. Hal ini disebabkan karena pada jerami busuk sebagian bahan
organik telah terdegradasi sebelum proses fermentasi. Pada jerami baru
produksi biogas mulai mengalami kondisi steady pada hari ke-21 dengan
jumlah sekitar 800 ml, sedang pada jerami busuk terjadi pada hari ke-41.
Sedangkan untuk bahan baku sampah, setelah proses fermentasi
selama 45 hari disimpulkan bahwa sampah pasar Gunung Batu
menghasilkan jumlah biogas terbanyak di antara jenis bahan lainnya yaitu
sebesar 2244.5 ml, sehingga untuk penelitian selanjutnya digunakan bahan
baku dari sampah pasar Gunung Batu ini. Sampah pasar Gunung Batu ini
memiliki komposisi sebagai berikut : daun pisang 7.5%, kulit jagung
24.2%, pare 14.8%, kol 19.9%, saisin 6.2%, kangkung 8.0%, sawi 8.0%,
dan wortel 11.5% (W:W). Jika dilihat dari komposisi sampah pasar
Gunung Batu yang digunakan termasuk ke dalam golongan sampah
37
sayuran. Mikroorganisme sangat menyukai sayuran karena kandungan
airnya yang tinggi (68.5-96.1%) Dengan demikian media fermentasi
sampah pasar Gunung Batu ini merupakan media yang termasuk cocok
untuk pertumbuhan mikroorganisme pengurai.
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 13,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan
bahan sampah pasar Gunung Batu (30.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan
yang lainnya, sedangkan jerami baru menunjukkan nilai produksi biogas
spesifik kumulatif yang lebih kecil (7.7 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik
produksi biogas spesifik kumulatif, tampak bahwa kecepatan produksi
biogas dari sampah pada sepuluh hari pertama lebih cepat dibandingkan
pada jerami. Hal ini dikarenakan jerami sulit terdegradasi dengan adanya
komponen selulosa, oleh karena itu perlu terlebih dahulu dilakukan
perlakuan pendahuluan. Penanganan pendahuluan yang dapat dilakukan
adalah dengan cara menurunkan ukuran partikel, dengan cara
penghancuran secara mekanis. Cara lainnya adalah dengan mempercepat
proses hidrolisis bahan organik melalui penanganan awal terhadap substrat
baik secara biologis maupun fisiko-kimia.
0
5
10
15
20
25
30
35
0 10 20 30 40
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
s)
Hari Ke-
Gambar 13. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian uji
potensi biogas ( Jerami baru, Jerami busuk, Kulit
pisang, X kol, Sampah pasar Gunung Batu, Sampah
Pasar Laladon, kulit nenas) selama 45 hari
38
Penanganan awal biologis dapat dilakukan dengan pengayaan enzim
dan pengomposan aerobik. Enzim hidrolitik yang penting meliputi
protease dan peptidase, yang memecah protein menjadi peptide dan asam-
asam amino; lipase untuk memecah lemak menjadi gliserol dan asam-asam
lemak rantai panjang; dan campuran enzim endogluconase,
cellobiohydrolase dan β-glucosidase yang memecah selulosa menjadi
glukosa. Pengayaan enzim dapat dilakukan penambahan langsung enzim-
enzim tersebut di atas atau dengan penggunaan mikroorganisme hidrolitik.
Bakteri rumen memiliki aktivitas hirolitik yang sangat baik, sehingga pada
penilitian ini dilakukan penanganan awal dengan aerasi dan penambahan
bakteri rumen dari kotoran hewan.
Di dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat
berperan, yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis
bakteri ini perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini
memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya
dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi
tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti
temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna.
Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik.
Bakteri ini mempunyai beberapa sifat fisiologi yang umum, tetapi
mempunyai morfologi yang beragam seperti Methanomicrobium,
Methanosarcina, Metanococcu, dan Methanothrix (Haryati, 2006).
4. 3. KAJIAN PENGARUH SUHU REAKTOR
Hasil dari uji potensi biogas dilanjutkan dengan uji pengaruh suhu
reaktor. Pada tahapan proses fermentasi limbah pertanian yang kedua ini
dilakukan pengaturan suhu (suhu terkendali), pada selang suhu mesofilik
(32oC).
39
0
200
400
600
800
1000
1200
0 5 10 15 20
Aku
mu
lasi
pro
du
ksi b
ioga
s (m
l)
Hari Ke-
Gambar 14. Akumulasi produksi biogas pada penelitian kajian
pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()
Berdasarkan grafik pada Gambar 12 dan 14, tampak bahwa laju
produksi biogas bahan jerami selama 17 hari pada suhu terkendali
(56.24 ml/hari) lebih besar dibandingkan dengan laju produksi biogas pada
suhu tidak terkendali (50.77 ml/hari). Menurut Romli (2010), bakteri
metanogen dalam keadaan tidak aktif pada suhu ekstrim tinggi ataupun
rendah. Produksi biogas yang baik adalah kisaran mesofilik, dengan suhu
optimum 350C. Suhu dalam proses anaerobik yang dikendalikan lebih
efektif, karena fluktuasi suhu dapat menyebabkan proses menjadi kurang
baik. Dari hasil pengamatan selama 17 hari diperoleh data bahwa
akumulasi biogas yang terbentuk adalah 956 ml untuk jerami dan 837 ml
sampah.
40
0
10
20
30
40
50
60
0 5 10 15 20
Pro
du
ksi b
ioga
s sp
esi
fik
kum
ula
tif
(l/k
g.V
s)
Hari Ke-
Gambar 15. Produksi biogas spesifik kumulatif pada penelitian kajian
pengaruh suhu dari Jerami () dan sampah ()
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 15,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan
bahan sampah (50.7 l/kgVs) lebih besar dibandingkan Jerami. Produksi
biogas spesifik kumulatif jerami menunjukkan nilai yang lebih kecil
(9.67 l/kgVs). Jika dilihat dari grafik produksi biogas spesifik kumulatif
yang dilakukan pada pengaturan suhu (kondisi terkendali) dengan kondisi
tidak terkendali, bahwa nilai produksi biogas spesifik kumulatif kondisi
terkendali memberikan hasil yang lebih besar dibanding tidak terkendali.
Menurut Juanga (2005), bahwa produksi biogas yang memuaskan berada
pada daerah mesofilik. Sehingga, pada proses fermentasi bahan pada
penelitian utama menggunakan sistem suhu yang terkendali pada suhu
mesofilik.
41
60
65
70
75
80
85
90
95
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Bah
an o
rgan
ik (
%)
Hari ke-
(a)
60
65
70
75
80
85
90
95
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Bah
an o
rgan
ik (
%)
Hari ke-
(b)
Gambar 16. Kurva penurunan bahan organik pada (a) jerami dan (b) sampah
Hasil penurunan bahan organik jerami maupun sampah selama 17
hari baru berkisar 5%. Penurunan bahan organik dapat dilihat pada
Gambar 16. Jika dilihat nilai VS (Volatile Solid) bahan sampah sebelum
difermentasi yaitu berkisar antara 91.9-93.8% (% bk) merupakan potensi
yang cukup besar untuk dikonversi menjadi biogas. Tetapi dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa hanya sedikit bahan organik yang
dikonversi menjadi biogas, hal ini berkaitan dengan keberadaan dan
jumlah mikroorganisme dalam reaktor sebagai pelaku pengurai bahan
42
organik menjadi biogas. Jumlah dan keberadaan mikroorganisme
dipengaruhi oleh lingkungan tempat mikroorganisme tersebut hidup. Jika
proses degradasi bahan optimum, harapannya adalah produksi biogas hasil
fermentasi anaerobik juga optimum hal ini ditandai dengan meningkatnya
produksi biogas.
Kotoran sapi ditambahkan ke dalam reaktor karena mengandung
bakteri biodegradatif yang dapat memulai dan menyokong produksi
biogas. Golongan bakteri selulolitik seperti actinomycetes dan dari
campuran spesies bakteri dapat meningkatkan produksi biogas dari
kotoran sapi sebanyak 8.4-44 persen (Yadvika et al, 2004).
Haryati (2006) menyatakan bahwa bakteri metanogenik tidak aktif
pada temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu
sekitar 35°C. Jika temperatur turun menjadi 10°C, produksi gas akan
terhenti. Produksi gas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik
yaitu antara 25 - 30°C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih
tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh
pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur
yang tidak terlalu lebar. Pada cuaca yang hangat, reaktor dapat
dioperasikan tanpa memerlukan pemanasan. Instalasi reaktor di bawah
tanah berfungsi sebagai proses insulasi sehingga akan memperkecil biaya
pemanasan.
4. 4. KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN AERASI
Pada tahapan ini dilakukan perlakuan pendahuluan dengan
penambahan oksigen ke dalam reaktor yang bertujuan untuk
menghancurkan struktur bahan organik kompleks menjadi molekul
sederhana sehingga mikroba lebih mudah mendegradasinya. Dengan
perlakuan pendahuluan ini diharapkan dapat menurunkan kandungan
bahan organik dan meningkatkan laju pembentukan biogas. Dengan
dilakukannya perlakuan perndahuluan terhadap substrat terlebih dahulu,
diharapkan hemiselulosa dan selulosa yang banyak terdapat pada substrat
43
akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana. Terpecahnya
polisakarida menjadi monomer-monomer glukosa tersebut dapat
mempercepat proses pembentukan biogas. Diharapkan dengan adanya
perlakuan pretreatment ini dapat mempercepat dan memperbanyak
produksi biogas dari jerami padi dan sampah pasar ini.
Jerami dan sampah pasar memiliki karakteristik yang khusus yaitu
berupa tingginya kandungan bahan organik lignoselulosa dan sedikit
bahan terlarut berupa karbohidrat, lemak dan protein. Dengan demikian
proses anaerobik dimulai dari degradasi enzimatis struktur padatan
substrat, karena polimer organik tidak dapat digunakan secara langsung
oleh mikroorganisme. Oleh karena itu salah satu cara memperbaiki kinerja
proses fermentasi adalah dengan melakukan perlakuan pendahuluan. Salah
satu perlakuan pendahuluan yang dapat dilakukan menurut Romli (2010)
adalah dengan penanganan awal secara biologis yang dapat dilakukan
dengan pengomposan aerobik. Pengaruh perlakuan pendahuluan aerasi
disajikan pada Gambar 17.
Romli (2010) dan Charles et al (2009) menyatakan bahwa proses
degradasi aerobik dapat digunakan sebagai metode penanganan awal
limbah padat, khususnya pada proses anaerobik tipe kering (bahan organik
dalam reaktor dipertahankan pada kandungan padatan berkisar antara 20-
40 persen). Tujuannya adalah untuk mendapatkan tingkat pre-degradasi
padatan menguap (VS) sehingga terhindar dari pengaruh inhibisi terhadap
bakteri metanogen yang disebabkan oleh akumulasi VFA. Tingkat
pre-degradasi disesuaikan dengan tujuan penanganan aerobik. Tingkat pre-
degradasi tinggi dapat dilakukan bila bertujuan untuk menurunkan
padatan, sebaliknya tingkat pre-degradasi rendah sesuai bila diinginkan
adalah produksi metana.
44
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kad
ar (
%)
Air Padatan volatil Abu
(a)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kad
ar (
%)
Air Padatan Volatil Abu
(b)
Gambar 17. Pengaruh perlakuan aerasi (a) jerami dan (b) sampah
pada kondisi awal () aerasi () dan tanpa aerasi
()
Gambar 17 menyajikan pengaruh aerasi terhadap penurunan bahan
organik dari jerami dan sampah. Dari hasil uji statistik diperoleh informasi
bahwa penambahan aerasi pada bahan jerami dan sampah tidak
memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap penurunan padatan
volatil. Hal ini bisa disebabkan karena lama waktu untuk aerasi terlalu
sebentar sehingga hidrolisis bahan kompleks belum sempurna.
Penambahan aerasi juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
45
peningkatan laju pembentukan biogas, karena setelah dilakukan fermentasi
selama 10 hari tidak dihasilkan biogas. Oksigen yang diberikan pada
proses aerasi dapat menghambat degradasi pada kondisi anaerobik
sehingga pembentukan biogas lambat. Untuk mengantisipasi hambatan
karena adanya oksigen dapat ditambahkan gas nitrogen sebelum
fermentasi. Kusch et al (2008) menyatakan bahwa aerasi pada pengolahan
pendahuluan fermentasi tidak berhasil dilakukan dan menghasilkan
rendemen biogas lebih rendah dibandingkan dengan tanpa aerasi. Oleh
karena itu pada penelitian selanjutnya pengolahan dengan aerasi tidak
dilakukan.
4. 5. PENGARUH PENAMBAHAN UMPAN PADA SISTEM
FERMENTASI MEDIA PADAT REAKTOR 10 L
4.5.1. Produksi Biogas
Berdasarkan hasil pengamatan, seperti tampak pada Gambar 18,
menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik kumulatif pada perlakuan