Top Banner
26 BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN Setelah melakukan penelitian di lapangan, dalam bab ini peneliti akan menguraikan gambaran umum dan hasil penelitian yang meliputi penjelasan profil narasumber utama, profil narasumber pendukung berikutlatar belakang dari narasumber- narasumber yang dipilih, penjelasan profil Kecamatan Amarasi Barat serta data hasil penelitian yang telah direduksi. Narasumber utama adalah orang-orang yang pernah menjadi PMI ilegal, sedangkan narasumber pendukung terdiri dari para PMI legal sebagai pembanding data serta Camat Amarasi Barat selaku kepala daerah yang memahami kondisi masyarakat secara umum. Profil Kecamatan Amarasi Barat dipaparkan guna menunjukkan gambaran kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang ada dalam lingkup hidup para narasumber. PMI ilegal adalah mereka yang bekerja di luar negeri namun tidak mengikuti prosedur yang berlaku, yang umumnya di Kecamatan Amarasi Barat adalah tidak memiliki dokumen keberangkatan, perizinan/persetujuan dari keluarga, tidak mengikuti pelatihan, dan tidak direkrut oleh PJTKI resmi. Sedangkan PMI legal adalah mereka yang berangkat sesuai prosedur perundang-undangan dan direkrut oleh PJTKI resmi. Guna melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan narasumber yang berdomisili di Boibati Desa Teunbaun, Tofa Desa Merbaun, serta Naihenas Desa Niukbaun. PMI ilegal tersebut adalah perempuan-perempuan yang berasal dari pulau Timor, Sumba dan Flores yang tinggal di Kecamatan Amarasi Barat. Mereka direkrut oleh agen atau calo diluar PJTKI resmi dan mendapatkan informasi yang tidak sepenuhnya benar tentang pekerjaan yang akan mereka lakoni. Mereka juga tidak diberikan pengetahuan mengenai syarat-syarat menjadi PMI serta hak dan kewajiban apa yang harus mereka perhatikan sebelum bekerja ke luar negeri. Namun, berdasarkan kemauan pribadi, perintah orang tua dan faktor ekonomi, mereka akhirnya memutuskan
24

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Oct 22, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

26

BAB IV

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Setelah melakukan penelitian di lapangan, dalam bab ini peneliti akan

menguraikan gambaran umum dan hasil penelitian yang meliputi penjelasan profil

narasumber utama, profil narasumber pendukung berikutlatar belakang dari narasumber-

narasumber yang dipilih, penjelasan profil Kecamatan Amarasi Barat serta data hasil

penelitian yang telah direduksi. Narasumber utama adalah orang-orang yang pernah

menjadi PMI ilegal, sedangkan narasumber pendukung terdiri dari para PMI legal sebagai

pembanding data serta Camat Amarasi Barat selaku kepala daerah yang memahami

kondisi masyarakat secara umum. Profil Kecamatan Amarasi Barat dipaparkan guna

menunjukkan gambaran kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang ada dalam lingkup

hidup para narasumber. PMI ilegal adalah mereka yang bekerja di luar negeri namun

tidak mengikuti prosedur yang berlaku, yang umumnya di Kecamatan Amarasi Barat

adalah tidak memiliki dokumen keberangkatan, perizinan/persetujuan dari keluarga, tidak

mengikuti pelatihan, dan tidak direkrut oleh PJTKI resmi. Sedangkan PMI legal adalah

mereka yang berangkat sesuai prosedur perundang-undangan dan direkrut oleh PJTKI

resmi.

Guna melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan narasumber yang

berdomisili di Boibati – Desa Teunbaun, Tofa – Desa Merbaun, serta Naihenas – Desa

Niukbaun. PMI ilegal tersebut adalah perempuan-perempuan yang berasal dari pulau

Timor, Sumba dan Flores yang tinggal di Kecamatan Amarasi Barat. Mereka direkrut

oleh agen atau calo diluar PJTKI resmi dan mendapatkan informasi yang tidak

sepenuhnya benar tentang pekerjaan yang akan mereka lakoni. Mereka juga tidak

diberikan pengetahuan mengenai syarat-syarat menjadi PMI serta hak dan kewajiban apa

yang harus mereka perhatikan sebelum bekerja ke luar negeri. Namun, berdasarkan

kemauan pribadi, perintah orang tua dan faktor ekonomi, mereka akhirnya memutuskan

Page 2: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

27

dengan sadar (risiko) untuk menjadi PMI walaupun secara non-prosedural sekalipun.

Tiga perempuan PMI ilegal ini bekerja di Malaysia sebagai pemilah biji kelapa sawit di

perkebunan kelapa sawit dan juga di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga.

Peneliti mendapatkan informasi mengenai narasumber dari orang tua, masyarakat

sekitar serta penggiat dan perangkat desa yang dulunya bekerjasama dan menjalin relasi

dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah Perempuan yang bergerak dalam

bidang pendataan, pengawasan dan pendampingan terhadap korban human trafficking.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada orang tua,

mertua, serta suami dari para narasumber dan pihak-pihak tersebut menyetujui untuk

memberikan keterangan dan pengalamannya sewaktu menjadi PMI ilegal di Malaysia.

4.1 Profil Kecamatan Amarasi Barat

Kecamatan Amarasi Barat adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten

Kupang. Kecamatan Amarasi sendiri terdiri dari Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi

Timur, dan Amarasi Selatan. Jarak dari Amarasi Barat ke Kota Kupang terbilang cukup

dekat karena hanya berjarak sekitar 25 km dan dapat ditempuh dengan jalur darat selama

kurang lebih 45 menit. Meski hanya berjarak 45 menit, namun perbedaannya cukup

signifikan baik dari aspek pendidikan, keadaan sosial-ekonomi, akses kesehatan, akses

kepada teknologi dan juga pendapatan masyarakat.

Gambar 4.1 Peta Administratif Kota & Kabupaten Kupang

(Sumber Kompasiana.com)1

1 Pellokila, Jappy. 2017. Lintasan Sejarah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diunduh pada Kamis, 15 Agustus 2019 pukul

08.44 WIB dalam https://www.kompasiana.com/opajappy/597ecbe1b881b61c686a6962/lintasan-sejarah-kabupaten-kupang-nusa-tenggara-timur

Page 3: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

28

Amarasi Barat memiliki satu kelurahan yaitu kelurahan Teunbaun dan delapan

desa yaitu desa Niukbaun, Merbaun, Toobaun, Soba, Nekbaun, Erbaun, Tunbaun, dan

Teunbaun. Luas wilayah Amarasi Barat adalah 205,12 Km2

dengan jumlah penduduk

sebanyak 15.471 orang (presentase laki-laki sejumlah 7.906; presentase perempuan

sejumlah 7.565). Topografi Amarasi Barat adalah wilayah perbukitan dengan musim

panas yang berlangsung lebih lama dari musim penghujan. Oleh sebab itu pekerjaan

utama di wilayah ini adalah berkebun sayuran dan beternak. Mayoritas penduduknya

bekerja sebagai petani dan peternak, namun ada juga yang berprofesi sebagai PNS, TNI

dan Polri. Hasil kebun dan ternak biasanya akan dijual ketika hari pasar yang diadakan

seminggu sekali pada hari Sabtu. Sementara itu lapangan pekerjaan lain yang biasanya

dikerjakan oleh pemuda-pemudi adalah menjadi karyawan toko, koperasi, pelayanan

rumah makan, meubel, usaha pangkas rambut, pemasang tenda, supir kendaraan angkut,

tukang bangunan, dan merantau ke luar daerah seperti Jakarta dan Bali untuk menjadi

security maupun penarik hutang kredit motor.

Amarasi Barat memiliki akses yang cukup baik dalam hal pendidikan yaitu

dengan adanya fasilitas pendidikan berbagai tingkat mulai dari PAUD, TK, SD, SMP dan

SMA walaupun perguruan tinggi baru bisa ditemukan di Kota Kupang. Walau

keberadaan sarana pendidikan dikatakan cukup namun akses kepada sekolah cukup sulit

karena sulitnya akses jalan dan jauhnya jarak. Wilayah Amarasi Barat sendiri dihuni oleh

masyarakat dari berbagai daerah di seluruh NTT; hal ini dapat dilihat dari banyaknya

suku lain seperti suku Rote, Sabu, Flores, Alor, Sumba yang menetap di Amarasi Barat.

Meski dihuni banyak suku namun masyarakat Amarasi Barat tetap menjalani kehidupan

dengan damai, budaya gotong royong masih sangat kental yang dapat dilihat dari prosesi

adat saat perkawinan, gotong royong untuk membersihkan desa, membangun rabat jalan

ataupun saat ada upacara pemakaman.

Page 4: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

29

Tabel 4.1Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk menurut

Desa di Kecamatan Amarasi Barat, 2017

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut

Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Amarasi Barat, 2017

(Sumber: Data BPS 2018 Kecamatan Amarasi Barat dalam Angka)2

2 Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Amarasi Barat dalam Angka. Diunduh pada Kamis, 15 Agustus 2019 pukul 09.21 WIB dalam https://kupangkab.bps.go.id/publication/2018/09/26/d2b7d38dc019f232fe47a153/kecamatan-amarasi-barat-dalam-angka-2018.html

Page 5: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

30

Keadaan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani

sayur dan peternak membuat keadaan ekonomi dari mayoritas masyarakat berada pada

tingkat menengah dan menengah ke bawah. Dorongan untuk mencukupi kebutuhan

hidup, biaya pendidikan hingga biaya yang berkaitan dengan tradisi kebudayaan

(misalnya kumpul belis pada saat pernikahan) membuat beberapa orang memutuskan

untuk mencari pekerjaan di daerah Kota Kupang. Tak jarang pula yang memutuskan

untuk mencari pekerjaan hingga sampai ke luar pulau, paling banyak adalah ke daerah

ibukota Jakarta dan Bali. Terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih luas biasanya

menjadi alasan. Pilihan lainnya yang biasanya cukup digemari hingga saat ini adalah

menjadi tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri atau PMI. Malaysia menjadi tujuan

primadona. Disana mereka bisa bekerja di perkebunan kelapa sawit yang luas ataupun

menjadi pembantu rumah tangga. Corak pekerjaan yang tentu bisa dikerjakan oleh

mereka dengan pendidikan rendah dan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Pekerjaan

ini biasanya tidak jauh berbeda dengan ketika berada di kampung halaman sehingga lebih

mudah untuk beradaptasi, apalagi dengan iming-iming pendapatan yang bisa jauh lebih

besar karena nilai mata uang Malaysia pun lebih besar dari nilai mata uang Indonesia.

Keadaan ekonomi yang demikian seringkali menjadi celah yang digunakan oleh

pihak tak bertanggungjawab untuk kemudian mengumpan masyarakat agar mau bekerja

ke luar negeri. Diberikan kemudahan dengan tak perlu merasa diberatkan oleh

pengurusan banyak hal terkait administrasi migrasi juga menjadi cara pihak tak

bertanggungjawab untuk menarik minat masyarakat. Praktik-praktik mudah seperti inilah

yang membuat banyak masyarakat akhirnya menjadi kelompok pekerja yang tidak

mengikuti prosedur yang benar dan kemudian menjadi tenaga kerja ilegal. Terkait hal ini

penulis ingin menyoroti alasan dan faktor mengapa seseorang memutuskan untuk

menjadi tenaga kerja ilegal dilihat dari proses pembingkaian pesan oleh pihak tak

bertanggungjawab, penerimaan pesan dari masyarakat (tenaga kerja ilegal) sehingga

akhirnya melahirkan keputusan tersebut.

Page 6: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

31

4.2 Sumber Informasi

1. Santi Lastri Makasar (20 tahun)

Santi Makasar adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang memutuskan untuk

menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) illegal atau non-prosedural selepas

menyelesaikan studi di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amarasi Barat. Santi lahir di

Desa Merbaun, 23 Mei 1999 dan saat ini statusnya belum menikah. Santi bisa dibilang

tidak direkrut namun hanya mengikuti calon suaminya yang memutuskan untuk bekerja

di Malaysia. Calon suaminya sendiri direkrut oleh kerabat dekatnya yakni pamannya

yang telah lebih dulu bekerja di Malaysia. Santi masuk dalam kategori illegal karena

berangkat tidak sesuai prosedur yang berlaku sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan

tidak memenuhi kewajiban persyaratan dokumen.

Pada saat berangkat untuk bekerja, umurnya baru menginjak 18 tahun. Ayahnya

bekerja sebagai pegawai honor di Puskesmas Merbaun sementara ibunya adalah seorang

ibu rumah tangga. Selain itu, ayahnya juga merupakan aparat desa yang bertugas sebagai

Ketua rukun tetangga (RT). Santi mengaku, saat dirinya berangkat ia tidak mengantongi

izin dari orang tuanya. Meskipun begitu, hubungan degan orangtuanya masih terjalin erat.

Hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya rasa enggan atau malu ketika memberikan

infromasi kepada peneliti, bahwa putri mereka pernah menjadi seorang PMI Ilegal. Hal

tersebut juga didukung dengan keadaan lingkungan tempat tinggal mereka yang beberapa

masyarakatnya pun bekerja sebagai PMI ilegal di perkebunan kelapa sawit

Santi menjadi PMI yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Sabah,

Malaysia, sebagai pengumpul biji kelapa sawit. Santi bekerja selama kurang lebih dua

bulan, namun berada di Malaysia selama satu tahun. Alasannya hanya bekerja selama dua

bulan karena dirinya tengah mengandung dan akan melahirkan. Pendapatannya di

Malaysia ditentukan dari seberapa banyak tan kelapa sawit yang didapat per-harinya,

namun saat dimintai keterangan, Santi tidak dapat mengonfirmasi jumlah gajinya sendiri.

Page 7: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

32

Setelah melahirkan putrinya, Meylin, Santi dan suaminya memutuskan untuk

mengambil cuti kerja agar bisa pulang ke Indonesia. Jatah cuti yang seharusnya

digunakan hanya untuk berlibur dijadikannya alibi agar bisa pulang dan tidak lagi bekerja

di Malaysia. Kepulangan mereka ke tanah air melewati proses yang sangat menantang

karena harus membawa serta anak mereka yang baru berusia delapan bulan. Menghindari

polisi yang berpatroli serta menjaga perbatasan membuat Santi harus meringkuk di

bawah kursi mobil dan membayar 600 ringgit untuk biaya membayar pengurus yang

membantu mereka menyebrangi perbatasan. Saat ditanya apakah ia bersedia jika ada

kesempatan untuk bekerja lagi sebagai PMI, ia hanya tertawa sambil menggeleng.

Berdasarkan pengakuannya, Santi memutuskan untuk pulang karena kondisi

disana tidak sesuai untuk pertumbuhan putrinya. Putrinya, Meylin, kerap mengalami

gatal-gatal dan sakit-sakitan karena pengaruh air yang kondisinya memang tidak terlalu

baik disana. Sedangkan karena kondisinya yang tidak memiliki dokumen resmi apapun,

ia tidak bisa mengakses pengobatan, tentunya selain biaya pemeriksaan dan pengobatan

yang juga dianggapnya mahal. Sejak kepulangannya, Santi dan putrinya tinggal bersama

dengan keluarga calon suaminya di Desa Tofa, kecamatan Amarasi Barat. Kini, Santi

tidak lagi bekerja dan fokus mengurus anaknya sembari melakukan pekerjaan rumah

tangga membantu ibu mertuanya. Sedang suaminya berkebun dan melakukan pekerjaan

serabutan. Rencananya dalam waktu dekat, Santi dan calon suaminya akan mengadakan

pesta pernikahan.

2. Maria Octavia Ona Ru’u (22 tahun)

Maria Octavia Ona Ru‟u adalah seorang pemudi asal Maumere, Flores yang

menjadi PMI ilegal atau non-prosedural semenjak ia berumur 18 tahun. Ovi lahir di

Maumere, 15 Juni 1997 dan kini sudah menikah. Dirinya pergi ke Malaysia untuk bekerja

sebagai pemilih biji kelapa sawit di Sabah. Ovi pergi ke Malaysia untuk mengikuti ayah,

ibu, dan kakak pertamanya yang juga sudah bekerja lama di Malaysia. Mereka pun

bekerja di perkebunan kelapa sawit. Ovi adalah anak kedua dari empat bersaudara.

Sebelumnya, kedua orangtuanya bermatapencaharian sebagai penenun kain sarung di

Desa Lete Ba‟I, Flores. Selama kedua orangtuanya bekerja di Malaysia, Ovi tinggal

Page 8: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

33

bersama dengan neneknya di Maumere. Selepas menyelesaikan pendidikan SMA nya ia

pun berangkat ke Malaysia dengan bermodalkan surat permandian. Berdasarkan

pengakuannya, Ovi diminta oleh orangtuanya untuk berangkat ke Malaysia agar bisa

bekerja disana. Ovi pun berangkat dengan pamannya yang juga seorang TKI ke Malaysia.

Kebetulan, pamannya sedang pulang ke Maumere dan akan kembali lagi untuk bekerja di

Malaysia.

Ovi bekerja di Malaysia selama empat tahun mulai dari tahun 2016 hingga 2019.

Selama bekerja di daerah Lahad Datu, Sabah, ia bertemu dengan suaminya yang juga

sudah bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai penyabit. Setelah menikah dengan

suaminya, Ovi tinggal terpisah dengan orangtuanya dan mulai tinggal bersama suami.

Setiap harinya mereka bisa bekerja di lahan kelapa sawit yang luasnya 200 hektar. Ovi

bekerja mulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00 dan jika ingin lembur maka ia akan

bekerja hingga pukul 18.00.Dari pekerjaannya itu, Ovi mendapatkan upah kira-kira 300

ringgit setiap bulannya. Gajinya tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari ia bersama suami dan juga diberikan kepada orangtuanya. Setelah merasa cukup

bekerja, keduanya kemudian pulang ke Timor dan kini tinggal di rumah hasil kerja

mereka berdua. Ovi kini bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Berdasarkan pengakuannya, di desa tempatnya tinggal di Maumere banyak juga

masyarakat yang bekerja sebagai PMI baik lewat jalur resmi maupun non-prosedural.

Namun jika dibandingkan, kebanyakan masyarakat desa tempatnya tinggal bekerja

dengan cara non-prosedural. Ia juga berbagi informasi bahwa setiap satu tahun sekali

selalu ada agen atau calon yang datang dan menawarkan pekerjaan ke luar negeri. Ovi

secara pribadi merasa sedikit takut, namun karena keluarganya telah bekerja lama di

Malaysia, ia berangkat bersama pamannya, dan ternyata setelah berada di tempat kerja, ia

mendapatkan mandor yang juga berasal dari Flores, maka ia merasa nyaman dan senang.

Tetapi ketika ditanya apakah jika ada kesempatan ia masih mau bekerja sebagai PMI,

dirinya mengatakan tidak ingin lagi karena sudah berkeluarga dan nyaman tinggal

bersama dengan suaminya di Amarasi Barat.

Page 9: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

34

3. Carolina Kapitan (38 tahun)

Carolina Kapitan atau yang biasa dipanggil Lin adalah seorang PMI asal Sumba

yang bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Ia pergi untuk

bekerja di Malaysia pada tahun 2007. Saat itu usianya baru 20 tahun. Lin lahir di Sumba,

20 Oktober 1981 dan kini sudah menikah. Lin merupakan seorang PMI yang awalnya

berangkat sesuai prosedur, ia bahkan sempat menerima pelatihan di rumah penampungan

PMI yang ada di Kota Kupang selama satu bulan, sebelum akhirnya mendapat panggilan

untuk bekerja. Berdasarkan pengakuannya, ia diajak bekerja ke Malaysia oleh kerabatnya

yang juga seorang PMI. Kerabatnya adalah seorang janda yang bekerja untuk memenuhi

kebutuhan anaknya yang ada di Sumba. Lin berasal dari keluarga menengah ke bawah

yang bermatapencaharian sebagai petani. Ia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara.

Berdasarkan ceritanya, statusnya yang kemudian berubah menjadi PMI illegal

karena dirinya melarikan diri dari majikannya yang seorang Melayu-Cina karena tidak

cocok. Waktu itu Lin sudah bekerja selama kurang lebih satu setengah tahun. Selepas itu,

ia bekerja sebagai pegawai restoran. Lin sempat ditangkap oleh polisi setempat karena

tidak memiliki berkas dan dokumen ketenagakerjaan apapun dan dipenjara di Batam.

Namun selepas bebas, ia kemudian masuk kembali ke Malaysia dengan menggunakan

visa pelancong dengan tenggat waktu 3 bulan. Lin bekerja selama 6 tahun sebelum

akhirnya kembali ke Indonesia bersama calon suami yang ditemuinya di sana.

Kini Lin menetap di Naihenas, Desa Niukbaun kecamatan Amarasi Barat bersama

dengan suami dan kedua anaknya yang berusia 6 tahun dan 3 tahun. Kini anak

pertamanya sedang mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar. Lin dan suaminya bekerja

sebagai petani sayur di kebun yang lumayan dekat dengan rumahnya. Ia mengaku

bahagia dengan kehidupannya yang sekarang walaupun penghasilan yang didapatnya

lebih kecil dari waktu ia menjadi PMI di Malaysia. Pendapatan dari berkebun sayur per

bedengnya dihargai dengan Rp 50.000, jadi besarnya pendapatan Lin kini tergantung dari

seberapa banyak ia dan suaminya mampu menghasilkan bedeng. Berdasarkan

pengakuannya, dari hasil yang didapatkannya ketika bekerja di Malaysia, Lin bisa

Page 10: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

35

menyekolahkan keponakannya hingga Strata 1 dan membantu ibunya membangun rumah

di Sumba.

4.3 Narasumber Pendukung

1. John Tiran

John Tiran adalah seorang PMI yang bekerja di luar negeri secara prosedural.

Waktu itu dirinya direkrut langsung oleh Departemen Ketenagakerjaan (Depnaker) NTT.

John bersama 170 orang lainnya diberangkatkan ke Pahang, Malaysia untuk bekerja di

Boh Plantation SDN BHD yang merupakan perkebunan teh.John Tiran lahir di Niukbaun,

01 Januari 1966. Semenjak remaja ia menjalani kehidupan yang keras karena berada

dalam keluarga yang tidak terlalu perhatian. Harus membiayai sekolahnya sendiri sejak

dulu, membuat John belajar bekerja keras hingga bisa bersekolah hingga jenjang yang

setara dengan Sekolah Menengah Pertama, walaupun tak bisa menamatkan sekolahnya.

Bapak empat orang anak ini mulai bekerja sebagai PMI sejak tahun 2001 hingga 2006.

John menjadi narasumber untuk menunjukkan komparasi antara PMI ilegal dan legal

mulai dari aspek kesiapan saat berangkat, kemampuan kerja (kompatibel), pandangan

umum soal menjadi seorang PMI, dan keadaan kehidupan ketika seorang memutuskan

bekerja di luar negeri.

2. Meriyance Nepa

Meriyance Nepa adalah seorang warga Dusun 2 desa Niukbaun yang menjadi

PMI secara prosedural. Mery bekerja di Singapura sejak tahun 2012. Sebelum dirinya

bekerja ke Singapura, ia dulu bekerja di Jakarta sebagai seorang karyawan toko pakaian.

Gaji yang tak cukup membuatnya memilih untuk bekerja di luar negeri karena bisa

menerima gaji bersih dengan nominal yang lebih tinggi. Mery mengaku direkrut oleh PT

resmi yang waktu itu berlokasi di daerah Tangerang. Dirinya diperkenalkan oleh seorang

teman kala itu. Mery bekerja di Singapura sebagai seorang caregiver atau pengasuh

lansia, sebelumnya ia pernah beberapa kali berpindah tempat kerja karena merasa tidak

cocok. Setelah bekerja selama 7 tahun, Mery akhirnya akan pulang kembali ke Indonesia

di akhir tahun 2019. Merry harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan

anaknya serta membantu perekonomian keluarga. Merry adalah seorang janda.

Page 11: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

36

3. Seprianus Tinenti

Seprianus Tinenti adalah seorang camat yang memimpin Kecamatan Amarasi

Barat. Warga desa Riumata ini telah menjadi camat sejak tahun 2014 dan akan pensiun

dari jabatannya pada Oktober 2019. Seprianus atau yang akrab dipanggil Adibu ini

memiliki tugas untuk menyelenggarakan dan mengkoordinasikan pemerintahan yang

berada di tingkat kecamatan maupun desa. Seprianus menjadi narasumber untuk

memberikan gambaran mengenai keadaan dan kondisi sosial, ekonomi serta budaya yang

berlaku di wilayah Amarasi Barat. Dirinya juga memberikan keterangan mengenai

masyarakat yang bekerja sebagai PMI baik secara legal maupun ilegal. Perannya dalam

upaya memerangi perekrutan PMI ilegal adalah menjalin kerjasama dengan berbagai

LSM yang ada di Kupang serta menjalin kerjasama dengan Depnaker untuk memberikan

sosialiasi dan pembinaan kepada masyarakat. Seprianus pun bercerita mengenai

pengalamannya menghadapi berbagai masalah terkait perekrutan PMI ilegal yang terjadi

di Amarasi Barat, termasuk peran aparat pemerintahan desa dalam upaya pelolosan izin

berkas, semenjak ia menjadi seorang camat dan bagaimana pandangannya terhadap isu

sosial seperti ini.

4.4 Hasil Penelitian

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan para narasumber,penulis akan

menguraikan data yang di dapat guna menjawab pertanyaan dalam penelitian ini

mengenai mengapa perempuan memutuskan untuk menjadi seorang PMI dengan jalur

non-prosedural dan bagaimana peran komunitas atau masyarakat dalam membentuk

keputusan tersebut.

Dari tiga narasumber yang diwawancarai latar belakang mereka akhirnya

memutuskan untuk bekerja ke luar negeri adalah mengikuti ajakan atau saran dari kerabat

dekat mereka yang sedang bekerja di luar negeri. Lin diajak oleh kakaknya yang bekerja

sebagai PRT, Santi mengikuti calon suaminya yang diajak oleh pamannya, sedangkan

Ovi berangkat bersama dengan pamannya atas suruhan orang tua.Ajakan yang datang

secara terus menerus dari kerabat dekat lantas membuat mereka yakin dan berani untuk

mengambil keputusan, sekaligus merasa aman karena mengetahui mereka akan berada di

Page 12: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

37

lingkungan pekerjaan yang juga dipenuhi oleh orang-orang dengan asal daerah yang

sama. Seperti yang diceritakan oleh Lin, pada awalnya orang tua tidak memberikan izin

namun karena ajakan terus datang maka akhirnya ia berhasil meluluhkan hati orang tua

nya. Ovi dan Santi pun memberikan keterangan bahwa memang yang bekerja di

perkebunan kelapa sawit kebanyakan berasal dari Indonesia, bahkan mandor yang

mengawasi mereka berasal dari daerah asal mereka masing-masing.

“Saya sebenarnya orang tua tidak mendukung tapi karena ada kaka satu, dia pu laki

su meninggal, dia ajak saya bilang daripada saya tanganga (tidak tau mau berbuat

apa) di kampung dia ajak saya lebih baik ketong dua ke Malaysia saja. Setelah dia

sukses disana to makanya dia ajak saya. Akhirnya pas mo ijin keluarga, keluarga

tidak ada yang mau. Bilang ko mau pi kerja jau-jau sampe disana ko kira son ada

makan dirumah? Ma ini kaka ni dia datang terus bilang disana gaji bagus, mari

ketong dua pi. Nekat sa”(Orangtua saya sebenarnya tidak mendukung tetapi karena

ada satu kakak, suaminya sudah meninggal, dia mengajak saya daripada saya diam

saja di kampung dan tidak berbuat apa-apa lebih baik ke Malaysia saja. Setelah sukses

disana dia mengajak saya. Akhirnya waktu akan ijin ke keluarga, keluarga tidak ada

yang mau memberikan ijin. Katanya kenapa harus kerja jauh-jauh? Memangnya tidak

ada makanan di rumah ini? Tapi kakak ini datang terus-menerus katanya gaji disana

sangat bagus, mari pergi kesana, nekat saja.) (Wawancara dengan Carolina Kapitan

pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Kalau saya, saya ikut saya pu mama dong di Malaysia Disana yang kerja

masyarakat Indonesia semua. Mandornya ketong punya orang dari Flores. Orang

Flores terlalu banyak disana.”(Kalau saya, saya ikut mama saya di Malaysia sana.

Disana yang kerja masyarakat Indonesia semua. Mandornya orang kita dari Flores.

Banyak orang Flores disana.) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19

Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)

“Ee ada suami pu om deng dia ju su pernah pisana, pi sam-sama. Dia pu laki deng

dong pu om kan su pernah pi, jadi pas dong datang andia bawa dia pi” (Ada

pamannya suami dan dia juga yang sudah pernah kesana, mereka pergi sama-sama.

Suami dan pamannya kan sudah pernah kesana jadi waktu mereka pulang, mereka

bawa juga pergi kerja kesana.) (Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19

Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)

“Ko mandor dong dar ketong sini. Jadi kal ketong dar Timor nanti pilih mandor yang

daerah sama dar sini”(Mandornya berasal dari daerah asal kami. Jadi kalau yang

orang Timor nanti mandornya dari daerah yang sama juga disana.) (Wawancara

dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman

mertuanya – Tofa)

Page 13: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

38

Jika pada umumnya sang perekrut adalah orang-orang dari luar kalangan

masyarakat, maka kini nampaknya pola perekrutan telah berubah. Orang-orang yang

memutuskan bekerja sebagai PMI cenderung direkrut oleh kerabat dekat. Dapat

dikatakan pola perekrutan seperti ini lebih efektif karena lebih mudah dipercaya. Tidak

perlu lagi ada politik uang (Oko Mama) untuk menghaluskan rencana. Orang tua juga

lebih tenang karena mengetahui bahwa anaknya berada dalam tangan orang terdekat,

tanpa tahu bahwa nantinya mereka akan mempertanggungjawabkan hidup masing-

masing.

Selain mengikuti ajakan dari kerabat dekat yang telah sukses bekerja di luar

negeri, alasan mereka untuk bekerja di luar dibandingkan di dalam diantaranya adalah

perbandingan mata uang yang nilainya lebih tinggi.Santi dan Ovi yang bekerja sebagai

pemilah biji kelapa sawit dengan 7 jam kerja setiap harinya mendapatkan rata-rata 200-

300 ringgit (Rp 700.000 – Rp 1.050.000) per bulannya. Sedangkan, Lin mendapatkan 30

ringgit (Rp 100.000) setiap hari dengan jam kerja mulai pukul 07.00 – 16.00, jika

dihitung maka per bulannya ia mendapatkan Rp 3.000.000. Walaupun setelah dihitung-

hitung pengahasilannya tidak jauh berbeda jika bekerja di Ibukota. Namun, kesuksesan

pekerja luar negeri terlihat lebih mentereng dibandingkan dengan pekerjaan lainnya di

dalam negeri. Kebanyakan PMI yang bekerja di luar telah mampu membangun rumah

pribadi sendiri dan ada juga yang dapat menyekolahkan anak. Selain persoalan ekonomi,

alasan lainnya adalah tidak semua orang bisa bekerja di luar negeri layaknya mereka.

Pengalaman tinggal di negeri seberang tentu memberikan kesenangan dan kebanggan

tersendiri. Aspek lainnya yang menyenangkan jika bekerja di luar negeri adalah

menambah pengetahuan dan keterampilan bahasa asing seperti bahasa Melayu dan

bahasa Inggris. Santi, Ovi dan Lin masih mengingat dan dengan penuh semangat

membagikan pengetahuan mereka mengenai istilah-istilah asing yang mereka tahu seperti

toke atau bos, ukuran tan yang merujuk pada ton, company atau perusahaan, barintik atau

rambut keriting dan juga cerita-cerita tentang tempat-tempat di Malaysia.

“Iya, pakai bangun rumah. Saya kasih sekolah anak satu sampe kuliah, itu kaka pu

anak.”( Iya dipakai untuk membangun rumah. Saya menyekolahkan satu anak kakak

Page 14: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

39

saya sampai kuliah) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,

pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Macam sa pu kaka, 12 tahun dia di itu tempat yang sama, majikan tidak mau kasih

dia pulang. Mau kasih panjang dia pu permit biar nanti kerja lagi. Tapi karena

majikan masih mau dia, ini nanti Desember dia pulang untuk cuti supaya sekalian

urus kasih dia permit yang baru lagi. Dia pu gaji itu sudah 4 juta lebih, ada sambil

kas kuliah anak dua di Malang juga.” (Seperti kakak saya, 12 tahun dia di tempat

yang sama, majikannya tidak mau membiarkan dia pulang. Permitnya akan

diperpanjang biar nanti bisa kerja lagi. Majikan masih mau dengan dia, desember ini

dia cuti untuk pulang supaya sekalian mengurusi permit yang baru. Gajinya sudah 4

juta lebih, dia bekerja sambil menguliahkan dua anaknya di Malang.) (Wawancara

dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di

kediamannya - Naihenas)

“Iya senang karena sudah pernah ke Malaysia. Iya, makam Bung Karno mereka

(yang lain) belum tau, itu kebun apel dong ju mereka belum pernah liat. Kalo

sekarang kami fokus cari uang saja untuk anak, karena kami sudah pernah keliling

dua negara to, Indonesia-Malaysia.”( Iya senang karena sudah pernah ke Malaysia.

Iya, makam Bung Karno mereka –yang lain- belum tahu, itu kebun apel juga mereka

belum pernah lihat. Kalau sekarang kami fokus mencari uang saja untuk anak, karena

kami sudah pernah keliling dua negara kan, Indonesia dan Malaysia.) (Wawancara

dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di

kediamannya - Naihenas)

“kenapa rambutmu tidak barintik? (kenapa rambutmu tidak keriting?)” saya bilang

sa iya rambut saya memang tidak keriting(Wawancara dengan Carolina Kapitan

pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“di sana kalo bos bilang toke”( Di sana bos dipanggil dengan istilah toke)

(Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di

kediaman mertuanya – Tofa)

Jam kerja yang tergolong fleksibel juga menjadi salah satu alasan mengapa

bekerja di luar negeri, khususnya pada perkebunan kelapa sawit, masih menjadi

primadona. Pada umumnya jam bekerja adalah mulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00

dan setelah itu akan dihitung sebagai lembur dan mendapat bayaran tambahan. Namun,

karena waktu bekerja menjadi tanggung jawab pekerja itu sendiri maka mereka bebas jika

ingin pergi lebih siang atau pulang lebih awal. Tidak ada keharusan untuk mengambil

lembur namun jika mengambil lembur tentunya pendapatan semakin bertambah.

Sedangkan bagi para pekerja yang legal mereka cenderung bekerja sesuai dengan

Page 15: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

40

perjanjian kerja dan waktu yang ditetapkan. Bahkan untuk PRT terkadang mereka bekerja

dari pagi hingga tengah malam namun dengan gaji yang tidak dihitung lembur. Bisa kita

lihat bahwa taktik seperti inilah yang akhirnya membuat banyaknya kasus overtime yang

dialami oleh PMI ilegal. Namun disisi lain, mereka menganggap bahwa justru itulah

untungnya jika menjadi PMI ilegal. Semakin banyak lembur semakin banyak

mendapatkan uang. Bahkan gaji yang mereka dapatkan sebagai PMI ilegal juga ternyata

lebih memuaskan.

“Kerja legal itu hari-hari harus kerja tapi gaji tidak sama dengan yang illegal.

Kalo yang illegal terserah kita. Kita mo kerja ya kerja, tidak kerja juga ya

bisa.”(Kalau kerja legal tiap hari kita harus bekerja, tetapi gajinya tidak sama dengan

yang kerja ilegal. Kalau yang ilegal terserah kita. Kita mau kerja ya kerja, tidak mau

kerja juga ya bisa) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,

pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Lebih puas yang waktu illegal. Dapat gaji lebih bagus”(Lebih puas waktu kerja

secara ilegal. Dapat gaji lebih baik) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada

Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Kadang dari jam 6 sampe jam 2. Kadang berangkat dari rumah jam 7 pagi pulang

jam 6. Kalau jam kerja harian itu kan sampai jam 2, setelah itu su itung lembur yang

sampai jam 6 itu”(Kadang dari pukul 6 pagi sampai 2 siang. Kadang berangkat dari

rumah pukul 7 pagi lalu pulang pukul 6 sore. Kalau jam kerja setiap harinya itu hanya

sampai pukul 2 siang saja, setelah itu sudah dihitung lembur, yang sampai jam 6 sore

itu.) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA

di kediaman mertuanya – Boibati)

“Dari ketong sa kalau mau kerja begitu, kadang dari pagi sampai sore begitu, jam

tujuh pagi sampai jam tiga ka empat. Tapi kalo mo pulang siang juga sonde apa-apa,

dar ketong sa.”( Dari kita saja kalau mau bekerja begitu, kadang dari pagi sampai

sore,pukul 7 pagi sampai pukul 3 atau 4 sore. Tapi kalai mau pulang siang juga tidak

apa-apa, terserah kita saja.) (Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19

Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)

Pola perekrutan yang lebih efektif dengan memanfaatkan testimoni dari kerabat

dan juga keberhasilan para pekerja migran lainnya tentunya didukung oleh pola

komunikasi yang baik antara perekrut dengan calon pekerja. Perekrut biasanya memiliki

rentan waktu untuk datang dan membujuk calon pekerja yaitu minimal satu tahun sekali

atau ketika mereka sedang mendapat cuti untuk liburan ke kampung halaman. Pesan atau

Page 16: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

41

informasi akan dibingkai sedemikian rupa agar bisa menarik perhatian. Dimulai dari

iming-iming gaji yang bagus, (bagi PRT) rumah yang kecil dan nyaman sehingga

pekerjaan yang dikerjakan tidak terlalu menyusahkan dan melelahkan, bisa bekerja dan

menikmati luar negeri, hingga penipuan kotor dengan memperlihatkan gambar pohon

kelapa sawit yang pendek dan kecil sehingga tidak akan sulit untuk dikerjakan.

Informasi-informasi tersebut lahir dari pengalaman pribadi dan tentunya menjadi sangat

mudah dipercaya karena yang menyebarkannya adalah orang yang sudah berpengalaman

bekerja dalam bidang yang sama.

“Orang kal dong mau cari TKI itu nanti dong foto ini pohon kelapa sawit yang kecil-

kecil dong itu baru dong kasih tau di kita bilang disana pohon kecil-kecil, padahal

tinggi-tinggi.”( Biasanya mereka yang mau merekrut seseorang untuk jadi TKI, akan

mengambil foto pohon kelapa sawit yang kecil-kecil lalu mereka memberitahu kita

kalau disana pohonnya kecil-kecil, padahal pohonnya tinggi-tinggi) (Wawancara

dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman

mertuanya – Boibati)

“Dorang kasih tau kita bilang disana kerja enak padahal susah.”(Mereka

memberitahu kita kalau disana pekerjaannya mudah padahal susah) (Wawancara

dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman

mertuanya – Boibati)

“Iya gaji bagus, rumah kecil saja jadi tidak terlalu setengah mati disana.”(Iya gajinya

bagus, rumahnya kecil jadi tidak terlalu susah jika bekerja disana) (Wawancara

dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di

kediamannya - Naihenas)

Daratan Amarasi dengan kontur tanah yang gersang dan berbukit tentunya jauh

lebih sulit untuk dikerjakan daripada di daratan Sabah atau Malaysia yang subur dengan

perkebunan kelapa sawit beratus-ratus hektar. Jika rumah-rumah di Amarasi Barat hanya

beralaskan tanah, didinginkan angin, jika mau mencuci pun harus pergi ke kali, memasak

harus menggunakan tungku maka akan menjadi mudah sekali jika bekerja di rumah-

rumah Malaysia yang berkeramik, memiliki pendingin ruangan, mesin cuci dan kompor

gas yang tinggal diputar dengan satu jari. Ironisnya pesan-pesan seperti itu ditanggapi

dengan baik dan hanya dibalas dengan pertanyaan-pertanyaan seperti jumlah gaji dan

waktu libur.

Page 17: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

42

Kekhawatiran akan hal-hal krusial seperti dokumen keberangkatan, syarat-syarat

menjadi PMI, hak dan kewajiban yang mengikutinya serta prosedur-prosedur penting

seperti perjanjian kerja, keabsahan penawaran kerja, perlindungan dan jaminan atas

kehidupan para pekerja dan risiko-risiko yang mungkin muncul jika berangkat tidak

sesuai dengan prosedur tidak pernah disinggung. Hal iu menyebabkan banyak dari para

calon pekerja yang tidak mengetahui peraturan dan prosedur yang tepat jika ingin bekerja

lintas negara. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka dikategorikan sebagai tenaga kerja

wanita (TKW) atau PMI. Dalam pandangan Santi dan Ovi ketika diwawancarai, mereka

yakin bahwa yang bisa disebut sebagai TKW adalah perempuan yang bekerja sebagai

PRT atau yang menjadi TKI, dan karena mereka bekerja sebagai pekerja di perkebunan

kelapa sawit maka mereka bukanlah TKW. Mereka menyebut pekerjaan itu sebagai

„kerja‟. Ironi seperti ini sungguh terjadi terutama bagi para calon pekerja yang baru saja

lepas dari masa sekolah.

“Kalau yang resmi kan TKI dong”(Kalau yang resmi kan mereka yang TKI

saja)(Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA

di kediaman mertuanya – Boibati)

“Iya tapi itu beta bukan jadi TKW hanya pi kerja saja disana, kalau TKW kan macam

kayak PRT dong”(Iya tapi kalau saya bukan jadi TKW, saya hanya pergi bekerja saja

disana, kalau TKW kan mereka yang bekerja sebagai PRT begitu) (Wawancara

dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman

mertuanya – Tofa)

Dapat kita lihat bahwa pengetahuan para calon pekerja terhadap pekerjaan mereka

sangatlah terbatas meskipun menurut aparat pemerintahan sosialisasi dan diseminasi

informasi mengenai prosedur menjadi PMI sudah gencar dilakukan oleh Depnaker

bahkan pemerintah sudah menyediakan fasilitas yang memuat segala informasi mengenai

prosedur ketenagakerjaan. Aparat membenarkan jika masyarakat tidak mengetahui alur

dan prosedur yang berlaku karena pengaruh „calo‟ yang selalu datang membujuk para

calon pekerja secara sepihak. Namun , aparat juga menilai “sangat salah” jika masyarakat

tidak mengetahui informasi terkait ketenagakerjaan karena sudah sering diadakan

sosialisasi bahkan pelatihan dan pemberdayaan terkait hal itu.

Page 18: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

43

“Dari 24 kecamatan di Kabupaten Kupang, Amarasi Barat ini salah satu penyumbang

terbesar TKW/TKI ilegal, karena itu setiap tahunnya, hampir 3-4 kali dari

Depnakertrans selalu datang kesini dan kasih sosialisasi. Salah kalau masyarakat

tidak tahu informasi itu. Saya sudah 5 tahun menjabat dan hampir setiap tahunnya itu

saya yang buka acara-acara seperti itu.” (Wawancara dengan Camat Amarasi

Barat Seprianus Tinenti pada Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di Kantor

Camat Amarasi Barat)

Persoalan calo pun kian menjadi momok mengerikan sebab mereka terus

berimprovisasi dan inovatif. Bukan hanya berasal dari kalangan luar masyarakat, kini

calo berasal dari dalam lingkaran sosial masyarakat bahkan dari pihak keluarga. Aparat

pemerintah pun terkadang melenggangkan praktik calo. Salah satu contohnya adalah

yang berkaitan dengan pengurusan surat domisili atau kartu keluarga, juga surat izin dari

pemerintah. Aparat yang seharusnya dapat meminimalisir praktik-praktik seperti ini

justru kurang berhasil menanganinya. Pemberian tanda tangan yang terhitung legalitasnya

menjadikan para calon PMI dapat berangkat dengan dokumen palsu atau asal-asalan.

Aparat pemerintah yang seharusnya paham birokrasi dan pentingnya hal-hal prosedural

malah seakan-akan menutup mata akan hal ini. Padahal jika dilihat risiko yang akan

menimpa masyarakatnya akan menjadi tanggungan pemerintah juga. Bagaimana jika ada

yang menghilang karena tidak pernah terdaftar dalam pendataan Depnaker atau BP2TKI?

Bagaimana jika ada yang pulang tanpa nama? Bagaimana jika ada yang disiksa hingga

tewas atau gila? Risiko-risiko yang besar dan mengerikan seperti ini harusnya sudah

cukup meningkakan kewaspadaan dan kesiapan pemerintah dalam mengantisipasi

terjeratnya masyarakat lugu dari calo-calo tidak bertanggungjawab.

Di balik gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, jam kerja yang fleksibel,

pengalaman bekerja di luar negeri dan segala gengsi yang ditawarkannya, bekerja sebagai

PMI ilegal memberikan banyak sekali cerita menegangkan. Salah satunya cerita keluar

masuknya para PMI ilegal. Risiko yang akan dihadapi oleh para PMI ilegal adalah

tenggelam, ditangkap, diadili dan dijebloskan ke dalam penjara. Sebelum sampai di

Malaysia, para PMI harus menempuh perjalan selama satu minggu menggunakan kapal

laut untuk sampai ke Nunukan yang berbatasan dengan wilayah Malaysia. Di Nunukan

mereka akan „diurusi‟ oleh para pengurus agar bisa menyebrang ke Malaysia

Page 19: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

44

menggunakan speedboat. Speedboat yang harusnya berkapasitas 10 orang dipakai untuk

menampung sekitar 32 orang dengan risiko akan tenggelam jika ada arus kencang. Belum

lagi untuk menghindari kecurigaan, mereka harus merunduk dan saling menindih agar

bisa ditutupi. Begitupun jika menggunakan mobil untuk menyebrang. Jika tertangkap,

seseorang harus membayar sesuai dengan keinginan polisi, biasanya sekitar 600 ringgit

atau lebih. Jika ditangkap dan diadili melalui mahkamah, maka para PMI ilegal akan

dijebloskan ke dalam penjara yang ada di Batam dan berakhir di kamp pengungsian

untuk PMI ilegal. Jika memiliki cukup uang, mereka bisa membayar mulai dari 300 -

2.500 ringgit agar bisa keluar. Kemudian, memiliki dua pilihan antara kembali ke daerah

asal atau membuat paspor melalui calo untuk masuk lagi ke Malaysia Jika tidak memiliki

uang maka mereka harus bekerja untuk mendapatkan tiket kembali ke daerah masing-

masing atau terlunta-lunta di kamp penampungan. Jika seorang PMI ilegal di tangkap itu

akan menjadi risiko sendiri, perusahaan tidak bertanggung jawab atas masalah itu karena

seringkali harus mengerluarkan biaya yang cukup mahal untuk menebus.

“macam kal lewat polisi begitu nanti dong kas sembunyi ketong dolo baru lewat.

Itu kayak oto pribadi dong begitu, jadi nanti ketong tidor sa dibawah, sembunyi di

bawah jok dong supaya keliatan kosong.”(Kalau melewati polisi biasanya mereka

akan sembunyikan kita dulu baru berani lewat. Iya pakai mobil pribadi, jadi nanti kita

tidur saja dibawah, sembunyi di bawah jok supaya jika dilihat kelihatan kosong)

(Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di

kediaman mertuanya – Tofa)

“Kita naik speedboat itu 32 orang di dalam padahal sebenarnya harusnya tidak

sampai 10. Jadi kita bakutendes sa di dalam.”(Kita naik speedboat dengan 32 orang

lainnya di dalam, padahal sebenarnya speedboat hanya muat tidak lebih dari 10

penumpang. Jadi kita berdesak-desakan di dalam) (Wawancara dengan Maria

Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya –

Boibati)

“Iya kami juga sama, harus sembunyi-sembunyi juga. Waktu mau naik oto saja dong

suruh cepat-cepat. Ada itu kami jalan untuk naik kapal itu di atas jembatan papan-

papan yang kalau jalan diatas nanti goyang-goyang. Itu kalau injak salah brarti

langsung jatuh di sungai di bawah.”(Iya kami juga sama, harus bersembunyi juga.

Waktu akan naik mobil saja mereka menyuruh kita untuk cepat-cepat. Kami harus

berjalan diatas jembatan papan yang bergoyang-goyang ketika dipijak untuk naik ke

kapal. Kalau kita salah menginjak berarti akan langsung jatuh ke

Page 20: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

45

bawah)(Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00

WITA di kediaman mertuanya – Boibati)

“Ee ko saya kan pernah dapat tangkap polisi ju, karena su kosong na. Saya masuk

satu bulan, buang kembali di Batam trus saya masuk lagi.”(Kalau saya kan pernah

ditangkap oleh polisi juga. Saya masuk penjara satu bulan, dibuang di Batam lalu saya

masuk ke Malaysia lagi) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26

Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Sonde takut, saya sa masuk lagi. Banyak soalnya, bukan cuma saya sendiri saja.

Dibuang itu bisa sampe beribu-ribu orang. Nanti keluar kami ke imigrasi di Batam

untuk cari calo buat kasih kita paspor melancong baru kita masuk lagi ke

Malaysia.”(Tidak takut, saya saja masuk lagi. Banyak soalnya, bukan hanya saya

sendiri saja. Yang dibuang bisa sampai ribuan orang. Kalau sudah keluar kami ke

imigrasi di Batam untuk mencari calo agar dibuatkan paspor melancong, setelahnya

baru kita bisa masuk lagi ke Malaysia) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada

Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Nah sampe di Batam itu yang kita usaha sendiri, kita kal mau keluar dari

penampunganTKI illegal itu tinggal bayar kas dong 500 ringgit ko ketong keluar trus

pi cari orang ko buat paspor. Itu hari ketong sampe 1.000 lebih orang yang begitu.

Kalo yang punya uang masih bae tapi kalo yang tidak ada uang itu yang kasihan

sekali. Terlantar disitu.”(Sampai di Batam kita harus usaha sendiri, kalau mau keluar

dari penampungan TKI ilegal itu kita hanya perlu membayar 500 ringgit untuk mereka

lalu kita bisa keluar dan mencari orang untuk membuatkan kita paspor. Waktu itu

sampai ada sekitar 1000 orang. Kalau ada yang punya uang beruntung, tapi kalau yang

tidak punya uang kasihan sekali. Mereka terlantar disitu)(Wawancara dengan

Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya -

Naihenas)

Walaupun risiko yang dihadapi seperti itu, salah satu narasumber mengaku tetap

berani saja untuk menjadi seorang TKW ilegal. Alasan terbesarnya karena ada banyak

juga orang lain yang menjadi PMI secara ilegal. Walaupun ditangkap, ada banyak PMI

ilegal juga yang ditangkap. Apabila dibuang, ada banyak juga PMI ilegal yang dibuang.

Pada dasarnya, narasumber pun sadar jika risiko menjadi PMI ilegal bukan hanya itu saja,

masih ada kemungkinan besar mereka akan menerima kekerasan baik secara fisik

maupun mental. Sejauh ini para narasumber sadar dan pernah mendengar kasus-kasus

Page 21: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

46

kekerasan yang dialami oleh rekan-rekan sekerja mereka. Namun, narasumber percaya

jika mengalami kekerasan atau tidak adalah persoalan nasib dan nasib tiap orang berbeda-

beda. Salah satu narasumber pendukung pun menyatakan bahwa seorang PMI yang

mengalami kekerasan biasanya memang atas kesalahan sendiri. Ketidaksiapan,

kurangnya kapabilitas dan pengetahuan serta tidak efektif nya komunikasi menjadi

beberapa penyebab majikan melakukan kekerasan. Berdasarkan penuturan narasumber,

sejauh ini mereka tidak pernah mengalami kekerasan secara fisik. Diteriaki atau dimarahi

adalah hal-hal yang kadang mereka terima.

“Mandornya pernah marah ju *tertawa*”(Mandornya pernah marah juga kok

*tertawa*) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00

WITA di kediaman mertuanya – Boibati)

“Ya, berani saja *tertawa* karena bukan hanya saya saja, ada banyak.

Malah lebih banyak yang illegal daripada yang legal.”(Ya berani saja *tertawa*

karena bukan hanya saya saja, ada banyak yang lainnya. Malah lebih banyak yang

ilegal daripada yang legal) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26

Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“masalahnya kalau dia su mabok ini nanti dia batreak ketong sonde ada dia pu ujung.

Dia ada tasalah disana nanti kita di rumah ini ju ikut jadi salah. Tapi dia masalah

makan minum bagus, pakian bagus ju. Hanya tasalah di mabok sa ini, kalo mabok dia

marah-marah.”(Masalahnya ketika dia mabuk maka dia akan berteriak kepada kita

terus-menerus. Jika ada yang salah disana nanti kita yang dirumah juga akan

disalahkan. Tapi dia untuk urusan makan dan minum bagus, pakaian juga bagus.

Hanya masalahnya di mabuknya saja, kalau mabuk suka marah-marah) (Wawancara

dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di

kediamannya - Naihenas)

“Saya tau, saya sadar juga tapi saya percaya nasib semua orang tidak sama.

Saya pu nasib tidak sama dengan mereka, saya punya nasib sendiri. Tapi memang

ada banyak yang begitu. Pernah ada yang melompat sampai lantai tiga,

waktu saya mau pulang gereja ko pas saya mo minta pindah majikan itu, saya dapat

satu anak yg se-agen dengan saya juga, dia pu tangan *menunjuk lengan atas tangan

sebelah kanan dan sebelah kiri* Bangka, mata ju bangka semua.”(saya tahu dan sadar

tapi saya percaya jika nasib semua orang tidak sama. Nasib saya tidak sama dengan

mereka. Saya punya nasib sendiri. Tapi memang ada banyak yang begitu, pernah ada

yang melompat sampai lantai 3 waktu saya pulang gereja dan hendak meminta pindah

ke majikan, saya melihat satu anak yang seagen dengan saya juga, tangan dan matanya

Page 22: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

47

semua bengkak) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,

pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

Menariknya, para narasumber memutuskan untuk pulang karena ingin fokus pada

keluarga. Dua dari tiga narasumber bertemu dengan pasangannya ketika sedang bekerja

di Malaysia. Mereka pun memutuskan untuk pulang dan menikah. Santi, narasumber

yang sudah lebih dulu memiliki pasangan, memutuskan untuk pulang agar bisa

memberikan lingkungan hidup yang lebih sehat bagi anaknya. Setelah sampai di

Indonesia, mereka akhirnya membangun rumah dan bekerja sebagai petani maupun

pekerja bangunan. Para narasumber juga memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai

PMI walaupun masih ada sedikit keinginan. Pada saat wawancara, hambatan untuk pergi

adalah dari pihak keluarga, baik dari suami, mertua maupun anak.

“*tertawa* Tidak mengijinkan lagi, karena sudah ada anak, sedang sekolah lagi.

Kalo ada keinginan ya ada tapi tidak sampai lagi. Su ada kebun juga.”(Wawancara

dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di

kediamannya - Naihenas)

“*tertawa* Disini saja sudah”(Disini saja) (Wawancara dengan Maria Octavia

pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)

“Dong pi sana ko susah na ketong orangtua disini ju stengah mati, biar sa.”(Kalau

mereka kesana tapi jadi susah seperti itu, kita orangtua disini juga merasa susah sekali,

jadi biar saja) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul

20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)

“Sonde tau *tertawa*”(Tidak tahu) (Wawancara dengan Santi Makasar pada

Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)

Jika dilihat dari pandangan masyarakat mengenai PMI, masyarakat sebenarnya

berterima saja dengan status pekerjaan ini, entah itu sesuai prosedural atau tidak. Resmi

atau tidak resminya proses menjadi PMI tidak terlalu diperhatikan karena masyarakat

menilai pekerjaan dengan jalur yang berbeda ini berada pada tingkat yang sama. Apalagi

kesuksesan antara keduanya dianggap sama saja, yang resmi atau tak resmi sama-sama

bisa membangun rumah, menyekolahkan anak maupun membantu ekonomi keluarga.

Bahkan, masyarakat pun terkesan tidak canggung saat membicarakan perihal PMI karena

cukup banyak orang yang terjun dalam pekerjaan tersebut. Menjadi PMI menjadi suatu

Page 23: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

48

ajang pembuktikan akan rasa keberanian dan perwujudan tidak takut mengambil risiko

yang menjadi watak atau ciri khas masyarakat Amarasi Barat. Berdasarkan penuturan

sumber informasi, masyarakat juga menilai positif pekerjaan sebagai PMI, ada pula yang

merasa bangga jika melihat sesama anggota masyarakat berhasil dalam pekerjaannya

entah itu dilihat dari berhasil dibangunnya rumah atau berhasil membantu perekonomian

keluarga. Berdasarkan penuturan narasumber pendukung, masyarakat Timor khususnya

yang berada di Amarasi Barat, juga memiliki kebanggaan dan gengsi tersendiri jika

berhasil memiliki pekerjaan di luar desa, apalagi di luar pulau dan luar negeri. dapat

dilihat bahwa pekerjaan menjadi seorang PMI dinilai cukup berhasil dalam sisi ekonomis.

Orang tua pun ada yang senang ketika mendengar bahwa anaknya ditahan untuk pulang

dengan alasan anaknya bekerja dengan rajin dan disenangi oleh mandornya disana.

“Dia ini paling rajin disana jadi dia pu mandor itu sebenarnya tidak mau kasih dia

pulang. Pake bermacam-macam alasan baru akhirnya bisa pulang.”(Dia ini yang

paling rajin disana jadi mandornya tidak membiarkan dia pulang. Harus dengan

bermacam-macam alasan hingga dia bisa pulang kembali kesini) (Wawancara

dengan Maria Octavia dan keluarga pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di

kediaman mertuanya – Boibati)

“*mengangguk* apalagi kalau kita misalnya tiap bulan kirim kasih mama, itu kan

dong jadi bangga. Dong kayak “ee dia pi kerja tapi dia ingat dia pu orang tua”.

Orang tua bangga, tetangga ju bangga.”(Apalagi jika kita setiap bulannya mengirim

uang ke mama, mereka jadi bangga jika melihat itu. Mereka seperti berpikir bahwa

kita pergi bekerja keluar tapi tetap mengingat orangtua di kampung. Orangtua bangga,

tetangga juga bangga) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,

pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)

“Masyarakat Amarasi Barat itu beda dari yang lain, sangat berani dan tidak takut

untuk ambil risiko to.Mereka berani saja,walau tahu ada yang pernah jadi TKI

datang ko cerita soal buruk-buruknya dan susahnya jadi TKI tapi begitu calo datang

bujuk, hilang sudah semua. Mereka berani sekali.”(Masyarakat Amarasi Barat itu

beda dari yang lain, sangat berani dan tidak takut untuk mengambil resiko. Mereka

berani saja walau tahu ada yang pernah jadi TKI datang lalu menceritakan cerita yang

buruk-buruk dan susahnya menjadi TKI, tapi begitu calo datang dan membujuk,

hilang sudah semua ketakutan. Mereka berani sekali) (Wawancara dengan Camat

Amarasi Barat Seprianus Tinenti pada Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di

Kantor Camat Amarasi Barat)

Page 24: BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

49

“Iya pasti masyarakat juga punya persepsi seperti itu. Dong kalau ada yang kerja di

Jakarta saja pulang datang bangganya minta ampun. Padahal kerja di Jakarta yang

sesak begitu, macet dimana-mana. Apalagi kalau mereka sudah ke luar negeri. betul

itu memang.”(Wawancara dengan Camat Amarasi Barat Seprianus Tinenti pada

Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di Kantor Camat Amarasi Barat)