BAB IV ANALISIS KINEMATIK Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta 36 BAB IV ANALISIS KINEMATIK 4.1 Data Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong – Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya runtuhan batuan (Gambar 4.1). Gambar 4.1 Lereng yang dijadikan objek penelitian Seperti yang telah disebutkan dalam dasar teori bahwa kestabilan lereng di alam sangat dipengaruhi oleh diskontinuitas yang terdapat dalam massa batuan. Diskontinuitas-diskontinuitas tersebut dapat terbentuk baik secara primer (bidang perlapisan) maupun secara sekunder (rekahan).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
36
BAB IV
ANALISIS KINEMATIK
4.1 Data
Lereng yang dijadikan objek penelitian terletak di pinggir jalan raya Ponjong –
Bedoyo. Pada lereng tersebut terdapat banyak diskontinuitas yang dikhawatirkan
akan menyebabkan terjadinya runtuhan batuan (Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Lereng yang dijadikan objek penelitian
Seperti yang telah disebutkan dalam dasar teori bahwa kestabilan lereng di alam
sangat dipengaruhi oleh diskontinuitas yang terdapat dalam massa batuan.
Diskontinuitas-diskontinuitas tersebut dapat terbentuk baik secara primer (bidang
perlapisan) maupun secara sekunder (rekahan).
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
37
4.1.1 Teknik Pengambilan Data
Dalam penelitian ini digunakan metode scanline sampling. Metode ini dapat
digunakan untuk mengetahui orientasi bidang diskontinuitas pada permukaan yang
dianggap mewakili orientasi bidang diskontinuitas batuan secara keseluruhan.
Peralatan yang dipakai berupa tali, kompas, clip board, dan penggaris.
Cara pengambilan data dengan metode scanline sampling adalah dengan mencatat
semua karakteristik bidang diskontinuitas yang memotong tali yang dibentangkan di
sepanjang permukaan batuan dengan batasan 30 centimeter ke atas dan 30 centimeter
ke bawah dari garis pengamatan. Arah dari scanline ini harus dicatat. Sedapat
mungkin arah dari scanline sama di semua segmen untuk mengurangi bias
pengukuran. Batas toleransi perbedaan arah scanline adalah 20°, sehingga perbedaan
tersebut masih dapat diabaikan.
Data-data yang diambil dalam penelitian ini, yang selanjutnya akan digunakan dalam
analisis kinematik dan klasifikasi massa batuan, berupa data diskontinuitas (lihat
Lampiran B) baik yang terbentuk secara primer maupun secara sekunder, JRC, SHV,
dan kondisi keairan.
Secara sistematik, teknik pengambilan data dalam penelitian in meliputi :
• Pengukuran panjang, arah kemiringan dan kemiringan scanline
• Pengukuran arah dan kemiringan lereng
• Pengukuran atribut diskontinuitas, yang terdiri dari orientasi diskontinuitas,
panjang diskontinuitas, jarak/spasi diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan
lebar bukaan diskontinuitas
• Penentuan kondisi umum keairan
• Penilaian koefisien kekasaran permukaan diskontinuitas (JRC)
• Pengujian Schmidt hammer untuk menentukan Schmidt Hammer Value (SHV)
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
38
4.1.2 Teknik Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data diskontinuitas dengan metode scanline
sampling, maka langkah selanjutnya adalah melihat penyebaran orientasi bidang
diskontinuitas pada bidang stereonet. Untuk mempermudah prosesnya digunakan
program aplikasi Stereonet dan Dips. Tujuan pengeplotan orientasi bidang
diskontinuitas pada stereonet adalah mendapatkan arah umum dari orientasinya. Dari
hasil pengeplotan didapatkan bahwa orientasi umum diskontinuitas terutama rekahan
sangat dipengaruhi oleh arah tegasan utama utara – selatan. Rekahan-rekahan
tersebut memiliki arah umum utara – selatan, baratlaut – tenggara, dan timurlaut –
baratdaya. Berdasarkan arah dari rekahan yang dikaitkan dengan arah tegasan utama,
maka rekahan-rekahan yang berarah utara – selatan dikelompokkan pada extension
joints dan pasangan kekar berarah baratlaut – tenggara dan timurlaut – baratdaya
merupakan shear joints.
Langkah berikutnya adalah membuat set diskontinuitas dari contour plot tersebut.
Penentuan kelompok diskontinuitas dilakukan berdasarkan penyebaran orientasi
bidang diskontinuitas pada bidang stereonet. Bidang-bidang diskontinuitas yang
membentuk satu kelompok dapat dikelompokkan dalam satu set diskontinuitas.
Selanjutnya adalah pengujian sifat keteknikan dari batugamping (lihat Lampiran C).
Pengujian tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kohesi residual, sudut geser
dalam residual, kekuatan batuan rata-rata dan densitas kering batugamping. Dari
pengujian, didapatkan hasil kohesi residual sebesar 2,059 MPa, sudut geser dalam
residual sebesar 8,43°, kekuatan batuan rata-rata sebesar 25 MPa, dan densitas kering
sebesar 22,5 kN/m3. Setelah didapatkan hasil kohesi residual, sudut geser dalam
residual, JRC (lihat Lampiran D), dan JCS (lihat Lampiran E), maka akan dapat
diketahui nilai sudut geser dalam efektif (lihat Lampiran F).
Berikutnya adalah pengeplotan kedudukan-kedudukan set diskontinuitas, muka
lereng dan sudut geser dalam efektif masing-masing scanline pada stereonet. Setelah
itu didapatkan potensi keruntuhan lereng batuan pada masing-masing scanline dari
model pengeplotan tersebut.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
39
Lereng di lokasi penelitian dibagi menjadi lima segmen scanline berdasarkan
perubahan arah dan sudut kemiringan dari lereng. Kelima segmen scanline tersebut
akan dijabarkan dan dianalisis secara kinematik dalam subbab-subbab di bawah ini.
4.2 Scanline I
Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :
• Kedudukan lereng : 63° , N 212° E
• Arah garis pengukuran : N 152° E
• Panjang lereng : 8 meter
• Ketinggian lereng rata-rata : ± 15 meter
Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline I berupa rekahan dan bidang
perlapisan. Pada lereng scanline I ditemukan 32 rekahan dan 6 bidang perlapisan,
dimana hanya 1 bidang perlapisan yang berada pada jarak 30 cm ke atas dan 30 cm
ke bawah dari garis pengamatan (Gambar 4.2). Jarak bentangan tali pada scanline ini
adalah 8 meter.
Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline,
namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan
mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline I (lihat Gambar 4.2).
Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129° E / 9° SW.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
40
Gambar 4.2 Scanline I dan kedudukan diskontinuitas utamanya
Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan,
maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari
proses pengelompokan diskontinuitas yang berupa rekahan dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Stereonet dan Dips, didapatkan dua set diskontinuitas untuk
scanline I, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.3). Kedudukan umum untuk JS1 adalah
N 73° E / 52° SE, sedangkan kedudukan umum untuk JS2 adalah N 157° E / 44° SW.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
41
Gambar 4.3 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline I
Berdasarkan pola set diskontinuitas yang berupa rekahan dan kedudukan lereng yang
telah diplot di Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.4).
Runtuhan ini dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut
penunjaman yang dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge
intersection) Ψi sebesar 34º dengan sudut geser dalam efektif (Φi) sebesar 16,06º
(lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψf) adalah 63º. Berdasarkan syarat
kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φi < Ψi < Ψf, dapat dikatakan bahwa
keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline I karena syarat-syarat kinematik
terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi.
Jadi keruntuhan pada lereng scanline I sangat dipengaruhi oleh kehadiran
diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang perlapisan. Hal ini dapat
dilihat dari bentuk lereng pada scanline I yang seakan-akan menggantung (lihat
Gambar 4.2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa lereng tersebut telah mengalami
keruntuhan sebelumnya yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahannya dan
dipicu juga oleh orientasi bidang perlapisannya. Selanjutnya setelah terjadi gempa
pada tanggal 29 Mei 2006 diperkirakan terjadi pula rekahan-rekahan baru, dimana
rekahan-rekahan baru dan yang telah ada sebelumnya membentuk potensi
keruntuhan baji, sedangkan bidang perlapisan yang ada akan memicu potensi
keruntuhan baji tersebut.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
42
Gambar 4.4 Analisis kinematik pada scanline I
4.3 Scanline II
Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :
• Kedudukan lereng : 67° , N 204° E
• Arah garis pengukuran : N 154° E
• Panjang lereng : 14,8 meter
• Ketinggian lereng rata-rata : ± 20 meter
Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline II hanya berupa data rekahan dan
bidang perlapisan. Pada lereng scanline II ditemukan 14 rekahan dengan jarak
bentangan tali 14,8 meter (Gambar 4.5). Di lereng ini juga terdapat 9 bidang
perlapisan, dengan kedudukan N 129° E / 9° SW. Namun hanya 1 bidang perlapisan
yang terletak pada batas 30 cm ke atas dari garis pengamatan.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
43
Gambar 4.5 Scanline II dan kedudukan diskontinuitas utamanya
Dari proses pengelompokan diskontinuitas, didapatkan dua set diskontinuitas untuk
scanline II, yakni JS1 dan JS2 (Gambar 4.6). Kedudukan umum untuk JS1 adalah
N 7° E / 58° SE, sedangkan kedudukan umum untuk JS2 adalah N 186° E / 68° NW .
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
44
Gambar 4.6 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline II
Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng yang telah diplot di
Stereonet, menunjukkan adanya model runtuhan baji (Gambar 4.7). Runtuhan ini
dibentuk oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang
dibentuk oleh perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψi sebesar 2º
dengan sudut geser dalam efektif (Φi) sebesar 13,22º (lihat Lampiran F) dan
kemiringan lereng (Ψf) adalah 67º. Namun besarnya sudut penunjaman tidak
memenuhi syarat kinematik untuk keruntuhan baji, yakni Φi < Ψi < Ψf. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji tidak dapat terjadi pada scanline II karena
besarnya sudut penunjaman masih jauh lebih kecil daripada sudut geser dalam
efektif.
Dari analisis kinematik di atas terlihat fenomena tipe keruntuhan yang seakan
cenderung tidak beraturan (raveling failure), terutama membentuk mekanisme
jatuhan batuan (rock fall), dan umumnya dijumpai pada batuan yang telah
mengalami proses pelapukan (weathered rocks). Selain pelapukan, mekanisme
keruntuhan ini juga sangat dikontrol oleh diskontinuitas batuan baik berupa rekahan
maupun bidang perlapisan. Indikasi ini tampak dari adanya jejak-jejak rekahan
(fracture traces) dan bidang perlapisan pada batuan, meskipun telah mengalami
lapuk kuat hingga lapuk sempurna (highly – completely weathered rocks).
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
45
Gambar 4.7 Analisis kinematik pada scanline II
4.4 Scanline III
Dari pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :
• Kedudukan lereng : 47° , N 210° E
• Arah garis pengukuran : N 170° E
• Panjang lereng : 8,7 meter
• Ketinggian lereng rata-rata : ± 23 meter
Diskontinuitas yang ada pada lereng scanline III berupa rekahan dan bidang
perlapisan. Pada lereng scanline III ditemukan 34 rekahan dengan jarak bentangan
tali 8,7 meter (Gambar 4.8). Pada lereng ini terdapat 8 bidang perlapisan, namun
hanya 2 bidang perlapisan yang terletak di 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari
garis pengamatan.
Data diskontinuitas yang berupa bidang perlapisan tidak memotong garis scanline,
namun data tersebut akan tetap diperhitungkan karena diperkirakan akan
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
46
mempengaruhi kestabilan lereng batuan yang ada pada scanline III (lihat Gambar
4.8). Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129° E / 9° SW.
Gambar 4.8 Scanline III dan kedudukan diskontinuitas utamanya
Karena hanya diskontinuitas yang berupa rekahan yang melewati garis pengamatan,
maka untuk pengeplotan set diskontinuitas hanya akan digunakan data rekahan. Dari
proses pengelompokan rekahan, didapatkan tiga set diskontinuitas untuk scanline III,
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
47
yakni JS1, JS2 dan JS3 (Gambar 4.9). Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 22° E /
64° SE, JS2 adalah N 171° E / 63° SW dan JS3 adalah N 129° E / 66° SW.
Gambar 4.9 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline III
Berdasarkan pola-pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng menunjukkan adanya
model keruntuhan baji dan planar (Gambar 4.10). Model keruntuhan baji dibentuk
oleh set diskontinuitas JS1 dan JS2, memiliki sudut penunjaman yang dibentuk oleh
perpotongan kedua bidang tersebut (plunge intersection) Ψi sebesar 23º dengan sudut
geser dalam efektif (Φi) sebesar 15,2º (lihat Lampiran F) dan kemiringan lereng (Ψf)
adalah 47º. Berdasarkan syarat kinematik untuk tipe keruntuhan baji, yaitu Φi < Ψi <
Ψf, dapat dikatakan bahwa keruntuhan baji dapat terjadi pada scanline III karena
syarat-syarat kinematik terjadinya keruntuhan tersebut telah terpenuhi.
Selanjutnya untuk tipe keruntuhan planar, dengan bidang gelincir JS3 dan arah
kemiringan (αc) sebesar N 219º E. Sedangkan kemiringan lereng (αf) memiliki arah
sebesar N 210º E. Maka lereng tersebut memiliki perbedaan sebesar 9º dengan arah
kemiringan lereng. Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψf) sebesar 47º. Sedangkan
bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψc) sebesar 66º. Berdasarkan syarat
kinematik yang ditetapkan, yaitu Φi < Ψc < Ψf, dapat dikatakan bahwa keruntuhan
planar tidak dapat terjadi karena syarat kinematik tidak terpenuhi.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
48
Gambar 4.10 Analisis kinematik pada scanline III
Dari Gambar 4.8 terlihat bahwa beberapa bentuk lereng seakan-akan menggantung.
Sehingga disimpulkan bahwa lereng ini telah mengalami keruntuhan sebelumnya
yang diakibatkan oleh orientasi rekahan-rekahan dan dipicu juga oleh orientasi
bidang perlapisannya. Jadi keruntuhan batuan pada lereng scanline III sangat
dipengaruhi oleh kehadiran diskontinuitasnya baik berupa rekahan maupun bidang
perlapisan. Kehadiran rekahan-rekahan tersebut membentuk potensi keruntuhan baji,
sedangkan bidang perlapisan yang ada dapat memicu terjadi keruntuhan baji pada
lereng scanline III.
4.5 Scanline IV
Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :
• Kedudukan lereng : 51° , N 219° E
• Arah garis pengukuran : N 172° E
• Panjang lereng : 2,9 meter
• Ketinggian lereng rata-rata : ± 4,3 meter
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
49
Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline IV berupa data rekahan dan
bidang perlapisan. Pada lereng scanline IV ditemukan 14 rekahan dengan jarak
bentangan tali 2,9 meter (Gambar 4.11). Terdapat 4 bidang perlapisan pada lereng
ini, sengan kedudukan N 129° E / 9° SW. Namun kesemua bidang perlapisan tersebut
tidak terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke bawah dari garis pengamatan,
sehingga tidak diplot pada gambar.
Gambar 4.11 Scanline IV dan kedudukan diskontinuitas utamanya
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
50
Karena hanya data rekahan yang melewati garis pengamatan, maka untuk
pengelompokan diskontinuitas hanya digunakan data rekahan. Dari proses
pengelompokan diskontinuitas, hanya didapatkan satu set diskontinuitas untuk
scanline IV, yakni JS1 (Gambar 4.12). Kedudukan umum untuk JS1 adalah
N 150° E / 45° SW.
Gambar 4.12 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline IV
Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet terlihat
adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.13), dimana set diskontinuitas yang
terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak sebagai bidang gelincir
dengan arah kemiringan (αp) sebesar N 240º E, memiliki perbedaan sebesar 20º
dengan arah kemiringan lereng (αf). Lereng tersebut memiliki kemiringan (Ψf)
sebesar 51º dan arah kemiringan sebesar N 220º E. Sedangkan bidang gelincirnya
memiliki kemiringan (Ψp) sebesar 45º dengan sudut geser dalam efektifnya (Φi)
sebesar 17,1º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang ditetapkan,
yaitu Φi < Ψp < Ψf, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat terjadi
karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi.
Bidang perlapisan yang ada akan ikut memicu terjadinya keruntuhan planar pada
lereng di scanline IV. Jadi keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline IV
sangat dikontrol oleh bidang diskontinuitas baik berupa rekahan maupun bidang
perlapisan.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
51
Gambar 4.13 Analisis kinematik pada scanline IV
4.6 Scanline V
Dari hasil pengamatan dan pengukuran, didapatkan data :
• Kedudukan lereng : 55° , N 212° E
• Arah garis pengukuran : N 168° E
• Panjang lereng : 4,5 meter
• Ketinggian lereng rata-rata : ± 5,1 meter
Data diskontinuitas yang ada pada lereng scanline V berupa data rekahan dan bidang
perlapisan. Pada lereng scanline V ditemukan 19 diskontinuitas dengan jarak
bentangan tali 4,5 meter (Gambar 4.14). Pada lereng ini juga ditemukan 3 bidang
pelapisan, namun tidak ada yang terletak pada batas 30 cm ke atas dan 30 cm ke
bawah dari garis pengamatan. Kedudukan bidang perlapisan tersebut adalah N 129°
E / 9° SW.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
52
Gambar 4.14 Scanline V dan kedudukan diskontinuitas utamanya
Dari proses pengelompokkan diskontinuitas, sama halnya dengan scanline IV, hanya
didapatkan satu set diskontinuitas untuk scanline V, yakni JS1 (Gambar 4.15).
Kedudukan umum untuk JS1 adalah N 103° E / 46° SW.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
53
Gambar 4.15 Interpretasi set diskontinuitas pada scanline V
Berdasarkan pola set diskontinuitas dan kedudukan lereng pada stereonet
menunjukkan adanya model keruntuhan planar (Gambar 4.16), dimana set
diskontinuitas yang terlibat adalah JS1. Set diskontinuitas tersebut juga bertindak
sebagai bidang gelincir dengan arah kemiringan (αp) sebesar N 193º E, memiliki
perbedaan sebesar 20º dengan arah kemiringan lereng (αf). Lereng tersebut memiliki
kemiringan (Ψf) sebesar 55º dan arah kemiringan sebesar N 213º E. Sedangkan
bidang gelincirnya memiliki kemiringan (Ψp) sebesar 46º dengan sudut geser dalam
efektifnya (Φi) sebesar 14,04º (lihat Lampiran F). Berdasarkan syarat kinematik yang
ditetapkan, yaitu Φi < Ψp < Ψf, maka dapat dikatakan bahwa keruntuhan planar dapat
terjadi karena syarat kinematik untuk terjadinya keruntuhan tersebut terpenuhi.
Data diskontinuitas berupa bidang perlapisan juga ikut berpengaruh pada terjadinya
keruntuhan batuan yang ada pada lereng scanline V. Bidang perlapisan tersebut akan
memicu terjadinya keruntuhan planar pada lereng ini.
BAB IV ANALISIS KINEMATIK
Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
54
Gambar 4.16 Analisis kinematik pada scanline V
Berikut disajikan data rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen
scanline (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Rekapitulasi hasil analisis kinematik di seluruh segmen scanline
Scanline Potensi Keruntuhan Set Diskontinuitas Terlibat