33 BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Letak Geografis Kabupaten Banyumas adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan barat. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km 2 atau setara dengan 132.759,56 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah provinsi Jawa Tengah. Topografi Kabupaten Banyumas adalah daratan dan pegunungan dengan struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng Gunung Slamet sebelah selatan. Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak (Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2015) .
66
Embed
BAB IV ANALISIS DATA 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4 ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
33
BAB IV
ANALISIS DATA
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis
Kabupaten Banyumas adalah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan
Purwokerto sebagai Ibukotanya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Brebes di utara, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Kebumen di timur, serta Kabupaten Cilacap di sebelah selatan dan
barat. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.327,60 km2
atau setara dengan 132.759,56 ha, sekitar 4,08 persen dari luas wilayah provinsi
Jawa Tengah.
Topografi Kabupaten Banyumas adalah daratan dan pegunungan dengan
struktur pegunungan terdiri dari sebagian lembah Sungai Serayu untuk tanah
pertanian, sebagian dataran tinggi untuk pemukiman dan pekarangan, dan
sebagian pegunungan untuk perkebunan dan hutan tropis terletak di lereng
Gunung Slamet sebelah selatan.
Keadaan cuaca dan iklim di Kabupaten Banyumas memiliki iklim tropis
basah. Karena terletak di antara lereng pegunungan jauh dari pesisir pantai
maka pengaruh angin laut tidak begitu tampak (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Banyumas, 2015) .
34
Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 kecamatan yang dibagi lagi atas
sejumlah 301 desa dan 30 kelurahan. Kecamatan Cilongok menjadi kecamatan
paling luas dengan luas 10.534 Ha.
4.1.2. Kependudukan
Berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas
(2015), penduduk Kabupaten Banyumas pada akhir tahun 2014 berjumlah
1.620.918 orang yang terdiri dari 809.984 laki-laki dan 810.934 perempuan.
Tiga kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Cilongok (114.508
jiwa) atau 30.760 rumah tangga yang tersebar di 20 desa, Ajibarang (93.415
jiwa), dan Sokaraja (81.972 jiwa).
Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyumas Tahun 2014
adalah sebanyak 1.221 orang per kilometer persegi. Kecamatan yang paling
tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Purwokerto Barat yakini
sebanyak 6.942 orang per kilometer persegi, sedangkan yang paling rendah
adalah Kecamatan Lumbir dengan kepadatan sebanyak 429 orang per kilometer
persegi. Kepadatan penduduk di Kecamatan Cilongok sendiri adalah sebanyak
1.087 orang per kilometer persegi.
Sex ratio Kabupaten Banyumas adalah sebesar 99,88 persen yang berarti
terdapat 99 jiwa penduduk laki-laki di setiap 100 jiwa penduduk perempuan.
Sementara berdasarkan jenis kegiatannya, sebanyak 1.213.250 jiwa penduduk
usia kerja (15 tahun ke atas) di Kabupaten Banyumas, sekitar 64,27 persen
merupakan penduduk angkatan kerja (60,82 persen bekerja dan 3,45 persen
35
pengangguran). Sedangkan 35,73 persen penduduk bukan angkatan kerja (7,98
persen sekolah, 22,78 persen mengurus rumah tangga, dan 4,97 persen lainnya).
Indikasi penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok
pengangguran dapat dilihat dari angkat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
TPT Kabupaten Banyumas tercatat sebesar 5,37 persen yang berarti bahwa dari
100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 5 orang yang menganggur. Sementara
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Kabupaten Banyumas adalah
sebesar 64,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari 100 orang penduduk
usia kerja, sekitar 65 orang termasuk angkatan kerja. Sebagian besar penduduk
Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 sendiri bekerja di bidang perdagangan,
disusul pertanian kemudian industri.
4.1.3. Gambaran Umum Ekonomi Makro Kabupaten Banyumas
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas,
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyumas tahun 2014
atas dasar harga berlaku sebesar 34,42 trilyun rupiah dan atas dasar harga
konstan 2010 sebesar 29,09 trilyun rupiah (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Dilihat dari kontribusinya, selama tiga tahun terakhir kontribusi terbesar
adalah sektor industri pengolahan, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan
dan sektor pertanian. Sektor tersebut masing-masing menyumbang 23,38
persen, 16,61 persen dan 13,63 persen (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Namun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas tahun 2014 lebih
lambat dari tahun sebelumnya sebesar 6,89 persen menjadi 4,78 persen.
36
4.1.4. Keadaan Industri Gula Kelapa Skala Rumah Tangga
Perusahaan industri di Kabupaten Banyumas pada tahun 2014 tercatat
38.712 perusahaan berjalan dan mampu menyerap tenaga kerja sejumlah
102.069 orang (BPS Kab. Banyumas, 2015). Dibandingkan Industri Kimia
Anorganik (IKA) dan Industri Logam, Mesin dan Elektronika (ILME), jumlah
perusahaan industri terbanyak adalah Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan
(IHPK) yang tercatat berjumlah 34.226 perusahaan dan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 87.714 jiwa (BPS Kab. Banyumas, 2015).
Usaha industri gula semut sendiri termasuk dalam kategori IHPK.
Didalamnya terdapat industri kecil menengah yang merupakan produsen gula
kelapa sebanyak 31.500 (Anugrah, 2015). Potensi industri ini juga didorong
dengan luas lahan yang ditanami pohon kelapa di Kabupaten Banyumas
mencapai sekitar 18.000 hektar (Andrianto, 2013). Dalam setahun sebanyak
3.000 ton gula semut asal Kabupaten Banyumas diekspor ke berbagai negara
seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang sementara salah satu daerah lainnya
yang juga mengekspor gula semut yaitu Kulonprogo hanya mengekspor 2.500
per tahun (Anugrah, 2015). Dari total ekspor gula semut tersebut, 20 persennya
(50 ton) disumbangkan oleh gula semut dari Koperasi Nira Satria (Sidik, 2016).
4.2. Profil Responden Produsen Gula Semut
4.2.1. Usia, Tingkat Pendidikan, dan Pengusaan Teknologi Produksi
Menjadi seorang penderes atau produsen gula semut tidaklah mudah
tanpa adanya kemampuan fisik dan tenaga yang kuat. Dalam hal ini, umur
37
sangat berhubungan dengan kemampuan fisik atau tenaga produsen dalam
melakukan kegiatan produksi gula semut. Jika dilihat pada Tabel 4.1 dari
kelompok umur pencari kerja produktif pada kelompok umur 15-63 tahun
(Mantra,2003) 94 persen responden gula semut Kecamatan Cilongok sudah
termasuk didalamnya. Dengan umur produktif tersebut responden akan lebih
mudah menerima informasi dan inovasi baru serta lebih cepat mengambil
keputusan dalam penerapan teknologi baru sehingga masih ada harapan untuk
meningkatkan produktivitas kerja mereka dengan lebih efisien sebagai peluang
meningkatkan penerimaan usahanya.
Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur
(Tahun)
Jumlah
Produsen %
24 - 31 7 15
32 - 39 8 17
40 - 47 12 25
48 - 55 13 27
56 - 63 5 10
64 - 71 3 6
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Inovasi sendiri muncul sebagai solusi dari berbagai kesulitan. Meski
semua orang mengalami kesulitan yang sama, biasanya hanya satu orang yang
mampu berinovasi, dan sisanya sebagai penikmat inovasi.
38
Sebagai orang „lama‟ dalam industri gula kelapa hingga di usianya ke 61,
seorang responden produsen gula semut yang juga wakil ketua kelompok tani di
Desa Rancamaya, Aziz Irwan telah menghasilkan berbagai inovasi peralatan
memasak gula semut. Alat penggerus gula merupakan salah satu inovasinya
yang dijual sebesar Rp. 10.000 karena hanya terbuat dari batok kelapa dan
didesain sedemikian rupa tanpa bahan-bahan modern sedikitpun. Dengan alat
tersebut, pak Irwan telah menciptakan solusi menghancur gula dengan lebih
efisien dan yang terpenting alat ini lebih aman karena sengaja didesain untuk
keamanan tangan produsen dari gula kelapa yang panas.
Inovasi dan penguasaan teknologi produksi memang tidak lahir dari
orang-orang berpendidikan tinggi. Seperti halnya Pak Irwan yang hanya lulusan
SD, responden hampir tanpa pengecualian tidak membutuhkan pendidikan yang
tinggi. Sebab pengalaman lebih banyak mengajarkan mereka ketimbang
pendidikan formal di sekolah. Pada Tabel 4.2 terlihat bahwa pendidikan formal
yang rendah masih dominan di kebanyakan responden. Selain karena alasan
biaya, orang tua mereka dulu menganggap sekolah sama dengan membuang
waktu. Sukirah (50) seorang responden pengolah gula semut di Desa Kasegeran
sama sekali tidak mendapatkan pendidikan karena orang tuanya mengatakan
nasib seorang perempuan yang pasti adalah di dapur. Begitu juga responden
perempuan lainnya yang mengaku tidak melanjutkan sekolah dan memilih
dinikahkan dengan laki-laki desa dan menjadi istri penderes.
39
Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah
Produsen %
Tidak sekolah 2 4
Tidak tamat SD 17 35
Tamat SD 23 48
Tamat SMP 5 10
Tamat SMA 1 2
Jumlah 48 100
Sumber : Diolah dari data primer (2015)
Meski pernyataan bahwa pendidikan formal tidak mengajarkan
bagaimana mencari penghasilan dari industri gula kelapa itu benar, namun
seharusnya dengan sekolah produsen diharapkan akan lebih mampu
mengembangkan usahanya dengan memahami keadaan pasar dan memilih pola
saluran pemasaran yang paling menguntungkan.
Sama seperti industri rumah tangga pada umumnya dimana pembelajaran
untuk bertahan hidup di desa diperoleh secara turun temurun, begitu juga
dengan yang terjadi di Kecamatan Cilongok. Para responden mengaku telah
mempelajari seluk beluk gula kelapa sejak kecil. Dalam Tabel 4.3 dapat
diketahui bahwa kebanyakan responden memulai usahanya di usia remaja.
Bahkan saat anak-anak di usia tersebut seharusnya bersekolah, terdapat 29
persen diantaranya sudah memulai usaha gula kelapa. Sebanyak 79 persen
diantaranya adalah perempuan sementara laki-laki hanya 21 persen. Perempuan
diberatkan dengan keputusan menikah dini sementara laki-laki tidak memiliki
pilihan pekerjaan setelah tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah.
40
Tabel 4.3 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Produsen Saat Memulai
Memproduksi Gula Kelapa dan Jenis Kelamin
Usia produsen
saat memulai
memproduksi
gula kelapa
jumlah
responden %
Berdasarkan jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
Jumlah
Laki-
laki
% Jumlah
perempuan %
10 - 16 14 29 3 21 11 79
17 - 22 16 33 7 44 9 56
23 - 29 11 23 5 45 6 55
30 - 36 6 13 3 50 3 50
37 - 42 0 0 0 0 0 0
43 - 49 1 2 0 0 1 100
Jumlah 48 100 18 100 30 100
Sumber : Diolah dari data Primer (2015)
4.2.2. Status usaha
Sebagian besar responden produsen gula semut menjadikan usaha gula
semut sebagai usaha utama mereka. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.4, hanya
6 persen responden yang memiliki usaha utama selain gula semut. Mereka
adalah pengusaha kayu, buruh, dan pemilik warung. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak atau tidaknya pohon kelapa yang disadap. Berdasarkan data di
lapangan, rata-rata pohon kelapa yang disadap oleh responden yang menjadikan
gula semut sebagai usaha utama adalah sebanyak 22 pohon. Jumlah ini lebih
besar dibandingkan rata-rata jumlah pohon yang disadap responden yang
menjadikan usaha gula semut sebagai usaha sampingan yaitu sebanyak 15
pohon kelapa. Dengan demikian benar bahwa semakin banyak pohon kelapa
41
yang disadap, semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan responden oleh
karena semakin banyak gula semut yang akan diproduksi (Kameo, 1999).
Tabel 4.4 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Status Usaha
Status Usaha
Jumlah Produsen % total
produsen sub
total total
Utama tanpa usaha sampingan 21 44
Utama dengan usaha sampingan : 24 50
a. Beternak 5 (21)a
b. Petani padi 2 (8) a
c. Non pertanian 17 (71) a
Usaha sampingan dengan usaha
utama : 3 6
- Non pertanian 3
(100) a
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
a) Persentase dari sub total
Bagi 50 persen responden produsen gula semut, kehidupan mereka akan
lebih tenteram jika kebutuhannya terpenuhi. Oleh karena itu mereka mencari
uang dengan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan. Begitulah yang
dikatakan oleh Yuliyah (50) seorang produsen gula semut sekaligus ketua
kelompok tani di Desa Sokawera. Ia termasuk kedalam 71 persen responden
produsen yang memiliki usaha non pertanian seperti membuka warung juga
menjadi reseller baju dan peralatan rumah tangga. Hal serupa juga dialami oleh
anggota kelompok Yuliyah, yaitu Wartini (40) yang mengatakan akan menjual
apapun yang ia temui di kebun sekitar rumahnya. “Rumput-rumput untuk
42
kambing, pete, kayu bakar, apa aja lah yang kira-kira bisa dijual, manfaatin
alam,” katanya.
4.2.3. Ketenagakerjaan
Produksi gula semut pada umumnya merupakan usaha rumah tangga yang
dikerjakan oleh suami sebagai penderes dan istri sebagai pengolah. Tabel 4.5
menunjukkan bahwa 83 persen responden produsen hanya menggunakan tenaga
kerja keluarga. Sementara 17 persen sisanya, harus dibantu oleh 1 orang tenaga
kerja non keluarga karena hanya memiliki satu tenaga kerja keluarga yang
semuanya adalah janda 50 tahunan atau istri yang ditinggal suaminya bekerja di
luar desa. Oleh karena itu, mereka membutuhkan tenaga kerja penderes pohon
kelapanya agar dapat memproduksi gula setiap hari.
Tabel 4.5 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Sistem Penggunaan Tenaga Kerja yang Terlibat Dalam
Pembuatan Gula Semut
Sistem penggunaan tenaga kerja
Jumlah
Produsen %
Tenaga
kerja
keluarga
Tenaga kerja non
keluarga
total
tenaga
kerja
2 0 2 40 83
1 1 2 8 17
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Penggunaan tenaga kerja ini berpengaruh terhadap biaya tenaga kerja
yang harus dikeluarkan oleh produsen baik yang menggunakan tenaga kerja
keluarga maupun non keluarga.
43
4.2.4. Status Kepemilikan dan Sistem Sewa Pohon Kelapa yang Disadap
Jumlah pohon kelapa yang disadap responden berpengaruh pada besar
kecilnya volume produksi. Responden rata-rata menyadap 22 pohon dengan
jumlah minimal 5 pohon dan maksimal 70 pohon seperti yang terlihat pada
Tabel 4.6. Semakin banyak jumlah pohon yang disadap, diharapkan semakin
banyak juga nira yang didapat.
Tabel 4.6 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut Berdasarkan Jumlah Pohon Kelapa yang
Disadap
Jumlah pohon kelapa
yang disadap Jumlah Produsen %
5 - 15 14 29
16 - 26 20 42
27 - 37 10 21
38 - 48 2 4
49 - 59 1 2
60 - 70 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Itulah mengapa Tabel 4.7 menunjukkan bahwa selain memperoleh nira
dari pohonnya sendiri, 25 persen responden produsen berusaha menambah
niranya dengan menyewa pohon kelapa, sementara 17 persen lainnya tidak
memiliki pohon kelapa sama sekali sehingga harus menyewa.
44
Berdasarkan hasil survey di lapangan, paling tidak terdapat 4 jenis sistem
sewa yang sering digunakan oleh responden di Kecamatan Cilongok seperti
yang disajikan pada Tabel 4.8. Namun sebagian besar responden produsen gula
semut lebih menyukai sistem sewa dibayar dengan nira dan gula kelapa (cetak
atau semut) dibanding dengan uang tunai dan sistem gadai. Sistem sewa dengan
nira di Kecamatan Cilongok dikenal dengan sebutan Maro atau dalam bahasa
Indonesia berarti „berbagi separuh-separuh‟ (hasil niranya).
Tabel 4.7 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon Kelapa yang disadap
Status Kepemilikan Pohon
Kelapa yang Disadap Jumlah Responden %
Milik Sendiri 28 58
Sewa 8 17
Milik sendiri & sewa 12 25
Jumlah 48 100
Sumber : Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.8. Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut yang Menyewa Pohon Kelapa Berdasarkan Sistem
Sewa
Sistem Sewa Jumlah
Responden %
Membayar dengan uang tunai 1 5
Membayar dengan nira
kelapa 9 45
Membayar dengan gula
kelapa 9 45
Sistem gadai 1 5
Jumlah 20 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
45
Sesuai dengan arti kata Maro, penyewa harus berbagi nira hasil
sadapannya kepada pemilik pohon kelapa dengan selingan 5 hari. Artinya, 5
hari pertama untuk responden, 5 hari berikutnya untuk pemilik pohon dan
begitu seterusnya.
Sebelumnya, pada Tabel 4.5 dijelaskan bahwa terdapat 17 persen
responden yang menggunakan tenaga kerja non keluarga sehingga mereka
harus membayar tenaga kerjanya. Dalam kasus ini, semua responden tanpa
pengecualian, membayar tenaga kerjanya bukan dengan uang tunai melainkan
dengan sistem Maro.
Berbeda dengan sistem Maro, sistem sewa dengan menggunakan gula
kelapa mengharuskan penyewa membayar dengan 1 kg gula kelapa per pohon
per bulan. Sementara satu responden yang menggunakan sistem sewa
membayar uang tunai di Desa Rancamaya menjelaskan bahwa ia harus
membayar Rp. 100.000 per bulan untuk biaya sewa atau rata-rata Rp. 3.300 per
hari untuk berapapun nira yang didapat dalam sehari menderes.
Selanjutnya, satu responden lainnya dari desa Rancamaya menggunakan
sistem gadai untuk menambah niranya yaitu dengan memanfaatkan pohon
kelapa yang digadai oleh orang yang berhutang kepada responden. Dengan
demikian tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk tambahan nira
yang didapat.
46
4.2.5. Kualitas Gula Semut
Gula semut yang dapat menembus pasar ekspor perlu terjamin mutunya
sehingga harus memenuhi standar kualitas tertentu. Salah satu standar kualitas
yang dipenuhi oleh para produsen gula semut (anggota Koperasi Nira Satria)
adalah produk organik. Kriteria organik yang diterapkan atau disyaratkan oleh
Koperasi Nira Satria adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh menggunakan bibit, pupuk, ramuan hama dan bahan
pengemas yang terbuat dari bahan kimia
2. Dapur produksi harus dijaga dari bahan-bahan kimia.
3. Laru (bahan penolong) tidak boleh menggunakan natrium bisulfat
atau bahan pengawet yang tidak jelas kandungannya
4. Tempat laru tidak boleh menggunakan kaleng bekas cat dll
5. Alat produksi harus higienis dan aman dari bahan kimia
6. Pongkor penyadap harus menggunakan pongkor bambu
7. Tungku produksi yang harus bercerobong keluar dinding
8. Diatas tungku tidak boleh ada para atau tempat kayu bakar
9. Dapur tidak boleh untuk tempat hewan ternak dan termasuk dapur
sehat berlantai keramik.
Hanya saja dari hasil observasi ditemukan beberapa responden dalam
penelitian ini masih mengabaikan kualitas dan kebersihan dapur produksi
seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Sebanyak 75 persen dapur responden
masih berupa dapur tradisional yang berlantai tanah. Bahkan pemandangan ini
47
juga terlihat di dapur milik salah satu ketua kelompok tani yang seharusnya
dapat menjadi contoh bagi anggotanya.
Tidak hanya itu, entah secara sadar atau tidak, beberapa responden
produsen masih meletakkan kayu bakar atau diangin-anginkan tepat diatas
tungku tempat dimana gula semut diolah. Apabila terdapat kotoran yang
terbawa angin dan masuk ke wajan, tentu saja hal tersebut dapat merusak
kualitas kebersihan gula semut. Hal ini menggambarkan pentingnya
pendampingan yang terus menerus dalam jangka waktu panjang yang harus
dilakukan oleh koperasi, pemerintah atau kelembagaan terkait.
Berdasarkan jenis tungku, seperti yang disajikan dalam Gambar 4.2,
terlihat bahwa hampir 50 persen responden telah menggunakan tungku hemat
energi dan memiliki cerobong asap yang dipasang keluar dapur. Tungku
tersebut dikatakan hemat energi karena terbuat dari semen dan hanya memiliki
Dapur bersih berlantai keramik
4%
Dapur bersih berlantai
semen 21%
Dapur tradisional berlantai
tanah 75%
Gambar 4.1. Jenis Fasilitas Dapur Responden
Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
48
satu lubang untuk memasukkan kayu bakar sehingga panasnya terkonsentrasi
pada satu ruang. Cerobong asap yang digunakan pada umumnya terbuat dari
tanah liat atau seng.
4.3. Gambaran Struktur Produksi
4.3.1 Bahan baku dalam proses produksi gula semut
Untuk memproduksi gula semut, bahan baku (utama) yang dibutuhkan
oleh produsen skala rumah tangga ini adalah nira kelapa dan bahan penolong
berupa cangkang manggis, daun selatri dan kapur sirih sebagai bahan pengawet,
plastik untuk kemasan dan bahan bakar.
Seperti yang digambarkan pada Tabel 4.8, bahan baku nira diperoleh
responden tidak hanya dari pohonnya sendiri namun juga sewa. Penderes yang
menjadi responden dalam penelitian ini semua tanpa pengecualian
Tradisional tanpa cerobong
asap 31%
Tradisional dengan
cerobong asap 6% Hemat energi
tanpa cerobong asap 15%
Hemat energi dengan
cerobong asap 46%
Kompor masak 2%
Gambar 4.2. Jenis Tungku Produksi Responden
Produsen Gula Semut Kecamatan Cilongok
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
49
menggunakan pongkor (wadah pengampung nira) yaang terbuat dari bambu.
Hal ini menjadi salah satu syarat produk organik gula semut yang mereka
produksi. Selain itu dalam pengadaan bahan baku, penderes melakukan dua kali
penyadapan yaitu pagi dan sore hari begitu juga dengan waktu produksi.
Biasanya penderes akan memulai kegiatannya pada pukul 6 pagi selama kurang
lebih 3 jam untuk mengambil nira hasil penyadapan sore hari sebelumnya dan
melakukan penyadapan untuk dikumpulkan pada sore hari sekitar pukul 3 sore
hingga pukul 6 sore atau maghrib.
Jumlah nira yang diperoleh produsen gula kelapa sangat dipengaruhi oleh
musim. Berdasarkan pengalaman para responden, saat musim hujan tiba,
mereka akan mendapatkan jumlah nira sampai dua kali lipat dibandingkan
dengan musim kemarau. Hal ini dikarenakan pada musim penghujan akar
tanaman kelapa tumbuh dengan pesat sehingga mengakibatkan jumlah nira
yang dihasilkan lebih banyak (Praditya, 2010). Oleh karena pengambilan data
ini dilakukan pada bulan November dengan musim penghujan yang rutin setiap
hari, maka rata-rata dalam sehari produsen memperoleh 4 liter nira per pohon.
Dengan jumlah pohon yang dimiliki para responden, rata-rata mereka mampu
menyadap sebanyak 88 liter nira per hari dengan nilai minimum 20 liter dan
maksimum 280 liter per hari seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Meskipun begitu, bukan berarti musim hujan adalah saat paling
menguntungkan bagi produsen sebab nira tersebut mengandung kadar air yang
lebih tinggi dan mengakibatkan rendahnya mutu atau kadar gula dalam nira.
50
Dengan kondisi nira tersebut, tanggapan responden pada umumnya adalah
bahwa sangat kecil kemungkinannya nira dapat diolah menjadi gula semut atau
kuantitasnya menjadi lebih sedikit dibandingkan saat musim kemarau.
Tabel 4.9 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut Berdasarkan Jumlah Nira Per Liter Per Hari
Jumlah Nira
(L/Hari) Jumlah produsen %
20 - 60 14 29
61 - 100 20 42
101 - 141 10 21
142 - 182 2 4
183 - 223 1 2
224 - 263 0 0
264 - 304 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Jika sebelumnya telah dibahas nira sebagai bahan baku dari pembuatan
gula semut, selanjutnya untuk mencegah atau memperlambat agar nira tidak
cepat rusak (asam/berbuih), produsen perlu menambahkan bahan pengawet ke
dalam pongkor bambu berisi nira karena jika terjadi kerusakan pada nira, maka
pada saat pemasakan nira tidak akan dapat mengental secara baik dan
mengakibatkan gula semut yang dihasilkan menjadi berkurang mutunya.
Berdasarkan hasil survey, terdapat tiga jenis bahan pengawet yang
digunakan responden yaitu kapur sirih, cangkang manggis (Garcinia
mangostana L) dan daun selatri (Calophyllum soulattri). Masing-masing
51
responden produsen memiliki kebiasaan penggunaan bahan pengawet yang
berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula Semut
Berdasarkan Jenis Bahan Pengawet yang Digunakan
Jenis Bahan Penolong
dalam penderesan nira
Jumlah
Responden %
Kapur sirih 6 13
Kapur sirih dan cangkang manggis 22 46
Kapur sirih dan daun selatri 1 2
Cangkang manggis 11 23
Cangkang manggis dan daun selatri 5 10
Kapur sirih, cangkang manggis dan daun selatri 3 6
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Sebagian besar responden memperoleh bahan pengawet dengan membeli
pada sesama produsen yang memiliki pohon manggis ataupun daun selatri atau
juga yang disediakan oleh Koperasi Nira Satria. Sementara kapur sirih biasa
diperoleh dari pasar tradisional.
Dalam hal pengemasan gula semut, responden menggunakan plastik
ukuran 12 kg yang dibeli dari Koperasi Nira Satria seharga Rp.1000 per buah
untuk satu kali pemasaran (5 hari produksi). Dalam satu kali pemasaran
tersebut, rata-rata mereka hanya membutuhkan dua buah plastik.
Input lainnya yang dibutuhkan responden adalah bahan bakar berupa
kayu bakar dan serbuk kayu yang merupakan limbah dari usaha penggergajian
kayu yang di kenal dengan istilah serbuk gergaji. Berbeda dengan serbuk
gergaji yang hanya bisa dibeli dari pengusaha penggergajian kayu, untuk
52
memperoleh kayu bakar responden dapat mencari di sekitar pekarangan atau
kebun mereka. Responden dengan volume produksi besar biasanya membeli
kayu bakar dengan kualitas baik seperti kayu jati, kayu sengon atau kayu jenis
kalbas agar lebih tahan lama untuk persediaan selama satu bulan. pada
umumnya kayu tersebut merupakan limbah atau sisa dari usaha penggergajian
kayu.
Tabel 4.11 Jumlah dan Persentase Responden Produsen Gula
Semut Berdasarkan Jenis Bahan Bakar
Jenis Bahan Bakar Jumlah Responden %
Kayu bakar 35 73
Serbuk gergaji 13 27
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.2. Volume Produksi, Biaya Input, Nilai Tambah dan Biaya Tenaga
Kerja
4.3.2.1. Volume Produksi
Jumlah gula semut yang diproduksi responden di Kecamatan
Cilongok bervariasi antara 1 sampai 15 kg per hari, namun 77 persen
responden memproduksi 4-9 kg per hari dengan rata-rata 5,7 kg.
Jika dilihat berdasarkan status usaha responden produsen gula
semut seperti yang telah dibahas sebelumnya pada butir 4.2.3, ternyata
benar bahwa responden yang menjadikan gula semut sebagai pekerjaan
utama memiliki rata-rata volume produksi gula semut lebih besar
53
dibandingkan dengan responden yang menjadikan gula semut sebagai
usaha sampingan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.13.
Tabel 4.12 Jumlah dan Persentase Responden Produsen
Gula Semut Berdasarkan Volume Gula Semut yang
Dihasilkan Per Hari
Volume produksi
gula semut per hari
(kg)
Jumlah produsen %
1 - 3 8 17
4 - 6 23 48
7 - 9 14 29
10 - 12 2 4
13 - 15 1 2
Jumlah 48 100
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Tabel 4.13 Rata-Rata Volume Produksi Gula Semut Per Hari
Berdasarkan Status Usaha
Status Usaha Jumlah
produsen %
Rata-rata
volume produksi
gula semut
(kg/hari)
Utama 45 94 5,7
Sampingan 3 6 5
Jumlah 48 100 5,7
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
Selanjutnya pada Tabel 4.14, berdasarkan status kepemilikan pohon
kelapa yang disadap, responden yang menambah nira dengan menyewa
pohon kelapa menghasilkan rata-rata volume produksi tertinggi
dibandingkan dengan yang hanya menyadap pohon milik sendiri atau
sewa.
54
Tabel 4.14 Rata-Rata Jumlah Pohon Kelapa yang Disadap dan Volume
Produksi Gula Semut Per Hari Berdasarkan Status Kepemilikan Pohon
Status kepemilikan
pohon kelapa yang
disadap
Jumlah
produsen %
Rata-rata
jumlah
pohon
kelapa
yang
disadap
Rata-rata
volume
produksi
gula semut
(kg/hari)
Milik sendiri 28 58 19 5,2
Sewa 8 17 23 5,6
Sewa dan milik sendiri 12 25 28 6,7
Jumlah 48 100 22 5,7
Sumber: Diolah dari data primer (2015)
4.3.2.2. Biaya Input
Biaya input adalah nilai yang dikorbankan dalam proses produksi
yang terdiri dari biaya bahan baku, bahan penolong yang terdiri dari
bahan pengawet dan plastik untuk kemasan serta bahan bakar. Rata-rata
setiap responden gula semut mengeluarkan biaya input Rp. 22.191 per
hari atau Rp. 4.392 per kg seperti yang disajikan pada Tabel 4.15. Dari
keseluruhan biaya tersebut, biaya terbesar dihabiskan untuk membeli
kayu bakar atau serbuk gergaji sebagai bahan bakar. Jika dibandingkan
kayu bakar, sebenarnya biaya menggunakan serbuk gergaji jauh lebih
murah. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan kayu
bakar adalah Rp. 11.401 per hari sementara jika menggunakan serbuk
gergaji produsen hanya mengeluarkan biaya Rp. 8.808 per hari. Pada
pembahasan sebelumnya, terdapat 73 persen produsen lebih memilih
menggunakan kayu bakar dibandingkan serbuk gergaji. Namun biaya
55
kayu bakar ini tidak secara nyata dikeluarkan produsen karena beberapa
responden dapat memperoleh kayu bakar dari kebunnya. Rata-rata
produsen yang menggunakan kayu bakar ini hanya untuk memasak nira,
sementara bahan bakar untuk memasak kebutuhan rumah tangga biasanya
menggunakan kompor minyak atau gas.
Selanjutnya biaya bahan baku nira menempati proporsi terbesar
kedua. Biaya ini tidak secara nyata dikeluarkan oleh responden karena
setidaknya terdapat 58 persen responden memiliki pohon kelapa sendiri.
Itulah mengapa di lokasi penelitian tidak mengenal adanya penetapan
harga nira kelapa.
Untuk mengukur harga satu liter nira digunakan biaya menyewa
pohon kelapa sebagai proxi dan diperoleh harga sebesar Rp. 113 per liter
nira. Ketika menyewa pohon kelapa, responden membayar 1 kg gula
semut untuk setiap pohon yang disewa setiap bulan dimana setiap 1 kg
gula semut setara dengan Rp 13.552. Oleh karena setiap pohon
menghasilkan 4 liter nira, maka dalam sebulan produsen memperoleh 120
liter nira per pohon. Sehingga jika Rp. 13.552 dibagi dengan 120 liter nira
diperoleh harga Rp. 113 per liter nira. Perlu diketahui berdasarkan
pernyataan responden, pada musim kemarau setiap 1 kg gula semut
dihasilkan dari 6 liter nira, namun musim hujan menyebabkan kuantitas
nira menjadi lebih banyak dari biasanya sementara kualitasnya buruk.
Maka berdasarkan penelitian lapangan, diketahui bahwa rata-rata setiap 1
56
kg gula semut dihasilkan dari 16 liter nira. Dengan demikian biaya bahan
baku nira per kg gula semut adalah sebesar Rp. 1.828 per kg atau Rp.