51 BAB IV DATA DAN ANALISISNYA 4.1 Data 4.1.1 Sekilas Biografi Kartini Kartono Kartini Kartono, lahir tahun 1929 di Surabaya. Dosen tetap di IKIP Bandung. Sejak 1970 merangkap mengajar psikologi umum dan psikologi sosial di FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Kesarjanaannya di bidang pedagogik/ilmu pendidikan, alumnus IKIP Sanata Dharma Yogyakarta 1964. Tahun 1972 melengkapi studi post graduate, 18 bulan di Vrije Universiteit Amsterdam, untuk: Politjeke ontwikkeling, veranderings-processen, modemisatie en sociologie van Indonesia. Di samping itu menamatkan studi untuk sociaal werk/sociale arbeid selama 2 tahun pada Protestantse Voortgezette Opleiding voor Sociale Arbeid di Amsterdam, Nederland (dipl. M.Sw.). Meraih gelar Doktor, April 1986. Karier kerjanya dimulai sebagai: kopral TNI-AD (Brigade XVII TRIP Jawa Timur 1945-1950), wartawan surat kabar harian Suara Rakyat Surabaya; guru SD, SMP, SMA, SMEA, SGKP/SKKA. Juga menulis macam-macam artikel di surat kabar dan majalah. Buku-buku lain, antara lain: (http://media.isnet.bng/Kartini//Kartono,psikolog//.html , diakses tanggal 30 Juli 2006) 1. Psikologi Abnormal. 2. Teori Kepribadian dan Mental Higyene.
36
Embed
BAB IV budilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/29/jtptiain... · 2013. 1. 16. · 51 BAB IV DATA DAN ANALISISNYA 4.1 Data 4.1.1 Sekilas Biografi Kartini Kartono Kartini Kartono,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
51
BAB IV
DATA DAN ANALISISNYA 4.1 Data
4.1.1 Sekilas Biografi Kartini Kartono
Kartini Kartono, lahir tahun 1929 di Surabaya. Dosen tetap di
IKIP Bandung. Sejak 1970 merangkap mengajar psikologi umum dan
psikologi sosial di FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Kesarjanaannya di bidang pedagogik/ilmu pendidikan, alumnus IKIP
Sanata Dharma Yogyakarta 1964. Tahun 1972 melengkapi studi post
graduate, 18 bulan di Vrije Universiteit Amsterdam, untuk: Politjeke
ontwikkeling, veranderings-processen, modemisatie en sociologie van
Indonesia. Di samping itu menamatkan studi untuk sociaal werk/sociale
arbeid selama 2 tahun pada Protestantse Voortgezette Opleiding voor
Sociale Arbeid di Amsterdam, Nederland (dipl. M.Sw.). Meraih gelar
Doktor, April 1986. Karier kerjanya dimulai sebagai: kopral TNI-AD
(Brigade XVII TRIP Jawa Timur 1945-1950), wartawan surat kabar
harian Suara Rakyat Surabaya; guru SD, SMP, SMA, SMEA,
SGKP/SKKA. Juga menulis macam-macam artikel di surat kabar dan
majalah. Buku-buku lain, antara lain:
(http://media.isnet.bng/Kartini//Kartono,psikolog//.html, diakses tanggal
30 Juli 2006)
1. Psikologi Abnormal.
2. Teori Kepribadian dan Mental Higyene.
52
3. Pengantar Metodologi Riset Sosial.
4. Psikologi Umum.
5. Psikologi Wanita I : Gadis dan Wanita Dewasa.
6. Psikologi Wanita II: Ibu dan Nenek.
7. Teori Kepribadian.
8. Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri.
9. Pemimpin dan Kepemimpinan.
10. Patologi sosial 1.
11. Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja.
12. Patologi Sosial 3, Gangiguan-gangguan Kejiwaan,
13. Psikologi Abnormal.
14. Hygiene Mental.
15. Pendidikan Politik.
16. Mencari Jati Diri Lewat pendidikan.
17. Wawasan Politik Mengenai Pendidikan.
4.1.2 Pemikiran Kartini Kartono dalam Menanggulangi Anak Mental
Disorder
Menurut Kartono (1981: 257), mental disorder adalah bentuk
gangguan dan kekacauan fungsi mental (kesehatan mental), disebabkan
oleh ketegangan-ketegangan, dan ketidak mampuan menyesuaikan diri
sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur pada satu
bagian, satu organ, atau sistem kejiwaan. Gangguan mental itu bisa
53
bersifat sederhana atau ringan dan dapat juga bersifat berat dalam
mengatasinya. Gangguan ini merupakan totalitas kesatuan daripada
ekspresi mental yang patologis terhadap stimuli sosial, dikombinasikan
dengan faktor-faktor penyebab sekunder lainnya. Seperti halnya rasa-
rasa pusing, sesak nafas, demam panas dan nyeri-nyeri pada lambung
sebagai pertanda permulaan daripada penyakit jasmaniah, maka mental
disorder itu mempunyai pertanda awal, antara lain ialah: cemas-cemas,
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah uswatun hasanah bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Ahzab (33): 21)
71
Kedua, orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan.
Menurut Daradjat (1979: 122 – 123) apabila pendidikan dan perlakuan
yang diterima oleh si anak sejak kecil merupakan sebab-sebab pokok
dari kekalutan mental anak , maka setiap orang tua haruslah mengetahui
betul-betul dasar-dasar pengetahuan yang minimal tentang jiwa si anak
dan pokok-pokok pendidikan yang harus dilakukan dalam menghadapi
bermacam-macam sifat si anak. Untuk membekali orang tua dalam
menghadapi persoalan anak-anaknya, orang tua perlu pengertian
sederhana tentang ciri dan perkembangan anak.
Ketiga, pengisian waktu luang dengan teratur. Dalam
memikirkan cara pengisian waktu terluang, kita jangan membiarkan si
anak mencari jalan sendiri. Anak-anak terutama yang sedang tumbuh,
sedang sibuk dengan dirinya sendiri, karena mereka sedang menghadapi
perubahan yang bermacam-macam dan menemui banyak sekali
problema-problema pribadi. Apabila mereka tidak pandai mengisi waktu
terluang mungkin mereka akan tenggelam dalam memikirkan diri
sendiri, akan menjadi pengelamun, jauh dari kenyataan.
Keempat, membentuk markas-markas bimbingan dan
penyuluhan. Untuk mengurangi kegelisahan dan kebingungan dalam
menghadapi kesusahan dan problema hidup perlu adanya biro konsultasi
atau badan yang dapat memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Persoalan hidup, baik yang oleh orang secara pribadi maupun
berkelompok, jika tidak segera diselesaikan, dapat bertambah berat dan
72
menimbulkan komplikasi jiwa karena kadang-kadang orang tidak
mampu memahami persoalan yang dihadapinya tidak mengerti apa yang
harus dikerjakannya Daradjat (1979: 123 - 124).
Kelima, menanamkan pengertian dan pengamalan ajaran agama.
Apabila seseorang beragama mengerti ajaran-ajaran yang terkandung
dalam agama tersebut, maka timbul keinginan menghayati dan
mengamalkan ajaran agama tersebut. Untuk itu anak harus diberi
pengertian agama dengan titik berat pemahaman dan bukan sekedar
hafalan.
Keenam, penyaringan buku-buku cerita, komik, film dan
sebagainya.Hendaknya setiap cerita akhirnya yang dibaca, dilihat atau
didengar oleh anak-anak mempunyai mutu dan nilai-nilai paedagogis,
agar jangan sampai mereka menemukan teladan-teladan yang tidak baik
dalam cerita-cerita tersebut Daradjat (1979: 125).
4.2 Analisisnya
4.2.1 Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Zakiah Daradjat dan Kartini
Kartono dalam Menanggulangi Anak Mental Disorder
Menurut Daradjat, alangkah banyaknya orang tua yang tidak
mengerti bagaimana cara mendidik anak. Mereka menyangka bahwa
apabila telah memberikan makanan, pakaian dan perawatan kesehatan
yang cukup kepada si anak, telah selesai tugas mereka. Ada pula yang
menyangka bahwa mendidik anak dengan keras, akan menjadikannya
orang baik dan sebagainya. Maka banyak di antara anak-anak yang
73
menjadi nakal itu, akibat dari perasaan tertekan karena tidak adanya
perhatian orang tua maka kenakalannya dalam hal ini, sebagai hukuman
atau pembalasan bagi orang tua.
Dalam konteksnya dengan didikan agama, tampaknya Daradjat,
menaruh perhatian yang besar terhadap peran didikan agama, mengingat
agama adalah suatu sistemacredo (ketata keyakinan) atas adanya yang
mutlak di luar manusia atau sistemaritus (tata peribadatan) manusia
kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu, serta satu sistemanorma
(tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia
dan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan kata keimanan dan
tata peribadatan termaksud.
Pemikiran Daradjat memiliki persamaan dengan Kartono,
persamaannya yaitu pertama, kedua tokoh tersebut sangat menyadari
bahwa orang tua dan agama merupakan bagian yang penting dalam
menanggulangi anak mental disorder. Kedua, Persamaan lainnya bahwa
kedua tokoh itu melakukan pendekatan psikologi. Ketiga, kedua tokoh
ini melihat masalah dalam konteks yang luas tanpa mengabaikan aspek
sosiologis. Kesamaan ini terlihat yaitu menurut Kartono, untuk
menanggulangi anak mental disorder dapat dilakukan saran-saran
bimbingan sebagai berikut: pertama, berusaha memahami pribadi
individu; kedua, mencari sebab-sebab timbulnya frustrasi; ketiga,
memberikan cinta-kasih dan simpati secukupnya; keempat,
menanamkan nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai keagamaan.
74
Adapun menurut Daradjat, untuk menanggulangi anak mental
disorder sebagai berikut: pertama, peningkatan pendidikan agama;
kedua, orang tua harus mengerti dasar-dasar pendidikan; ketiga,
pengisian waktu luang dengan teratur; keempat, membentuk markas-
markas bimbingan dan penyuluhan; kelima, menanamkan pengertian
dan pengamalan ajaran agama; keenam, penyaringan buku-buku cerita,
komik, film dan sebagainya.
Akan tetapi kedua tokoh ini dalam pemikirannya tentang
penanggulangan anak mental disorder memiliki perbedaan sebagai
berikut: pertama, Kartono lebih mengedepankan atau menitik beratkan
perspektif psikologi, sedangkan Daradjat mengkombinasikan secara
seimbang antara pendekatan psikologi dan agama. Kedua, Kartono,
tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan menanamkan agama,
sedangkan Daradjat lebih rinci dan jelas mengenai ajaran agama yang
harus ditanamkan pada anak yaitu bukan hanya aspek ritualitas yang
bersifat normatif melainkan juga hikmah-hikmah yang terkandung dari
ajaran agama itu, sehingga konsep Daradjat tentang agama tidak terlihat
sebagai sebuah pemaksaan.
Jika dibandingkan teori Daradjat dengan Kartono, maka teori
Daradjat masih lebih unggul karena pendekatan agama dan psikologi
menjadi prioritas, sementara pendapat Kartono hanya lebih melihat pada
aspek psikologi secara umum dan hanya berpijak pada aspek refresif
dengan pendekatan normative. Sedangkan yang menjadi sebab utama
75
anak mental disorder adalah karena kurangnnya perhatian orang tua,
kurangnya pendidikan agama dan kondisi lingkungan sosial yang kurang
mendukung.
Jika dikaji pendapat kedua tokoh di atas, maka penulis
menganalisis, bahwa sebagian besar anak dibesarkan oleh keluarga, di
samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keluargalah anak
mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertama kali. Pada
dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling
kecil, akan tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di
dalam mendidik anak terutama bagi anak-anak yang belum memasuki
bangku sekolah. Dengan demikian berarti seluk beluk kehidupan
keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan
anak dan dalam menghindari terjadinya mental disorder.
Sigmund Freud dari mazhab psikoanalitik dengan konsepsi
psikologiko-psikokiatrik dan W.A. Bonger yang bermazhab ekonomi
berpendapat sebagai berikut:
"Sigmund Freud: sebab utama dari perkembangan tidak sehat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kriminalitas anak dan remaja adalah konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai, bebas memperlihatkan kepribadian dan lain-lain". W.A. Bonger: penyebab diviasi/penyimpangan pada perkembangan anak dan remaja adalah kemiskinan di rumah, ketidaksamaan sosial dan keadaan-keadaan ekonomi lain yang merugikan dan bertentangan" (Ny. Lamya-Moeljatno, 986: 103)
Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya
anak mental disorder. Kondisi tersebut dapat terjadi karena kelahiran
76
anak di luar perkawinan yang sah menurut hukum atau agama. Di
samping itu, keadaan keluarga yang tidak normal; yang mencakup
"broken home", dan "quasi broken home" atau broken home semu.
"Dalam broken home semu sebenarnya struktur keluarga masih
lengkap artinya kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-
masing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan sehingga
orang tua tidak sempat untuk memberikan perhatiannya terhadap
pendidikan anak-anaknya, maka tidak jarang orang tua tidak dapat
bertemu dengan anak-anaknya. Coba bayangkan orang tua kembali dari
kerja anak-anak sudah pergi bermain di luar, anak pulang orang tua
sudah pergi lagi, orang tua datang anak sudah tidur dan seterusnya.
Keadaan yang semacam ini jelas tidak menguntungkan perkembangan
anak. Dalam situasi keluarga yang demikian anak mudah mengalami
frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini
juga dapat mudah mendorong anak menjadi mental disorder.
Dewasa ini timbul anggapan bahwa kebutuhan pokok anak-anak
adalah yang bersifat fisik atau biologis saja. Padahal secara rohaniyah
anak-anak membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua. Kasih
sayang tidak akan dirasakan oleh anak, jika di dalam hidupnya
mengalami hal-hal, seperti: toleransi orang tua yang berlebih-lebihan,
orang tua terlalu keras, sikap orang tua yang terlalu ambisius di dalam
mendidik, kedua orang tua memiliki sikap yang berlawanan di dalam
mengarahkan anak, kehilangan pemeliharaan ibu dan kurang disayangi
77
atau tidak diperhatikan. Kehidupan anak di rumah memerlukan
perlakuan dasar yang menuntut peranan sesungguhnya dari kedua orang
tua.
"Di dalam lingkungan keluarga, keluarga perlu mengetahui
tentang kebutuhan anak-anaknya. Di samping anak-anak membutuhkan
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat biologis, misalnya makan, minum,
pakaian dan sebagainya anak juga membutuhkan kecintaan dari orang
lain, terutama dari orang tuanya, mereka membutuhkan rasa aman dalam
keluarga, mereka membutuhkan perasaan keadilan dan sebagainya.
Karenanya salah bila ada orang tua berpendapat bahwa hanya kebutuhan
biologis saja yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Asal sudah makan
baik, pakaian baik dan sebagainya adalah telah cukup."
Bagi umat Islam, sebagai umat yang "Theosentris", pembinaan
anak di dalam keluarga dapat dilakukan dengan cara memberikan
contoh dan membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Cara ini akan lebih memudahkan
baik bagi anak di dalam menerima maupun bagi orang tua di dalam
memberikan.
4.2.2 Pemikiran Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono dalam
Menanggulangi Anak Mental Disorder dan Relevansinya dengan
Bimbingan Konseling Islam
Teori Kartono dan Daradjat tentang anak mental disorder masih
relevan dengan faktor-faktor terjadinya anak mental disorder. Bahkan
78
upaya penanggulangan yang ditawarkan Kartono dan Daradjat masih
dapat menjangkau konteks mental disorder yang makin kompleks.
Artinya bahwa pelaku yang mengalami mental disorder secara kualitas
pada dasarnya makin meningkat dan upaya yang disarankan Kartono
dan Daradjat masih tepat digunakan.
Dengan mengkaji penanggulangan mental disorder menurut
Kartono dan Daradjat, penulis menyimpulkan, tidak sedikit para ahli
menaruh perhatian besar terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya
mental disorder. Meskipun tampak perbedaan pendapat, namun
esensinya sama bahwa keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan
pendidikan (sekolah), pergaulan dan agama, merupakan faktor-faktor
yang sangat mewarnai eksistensi mental anak. Dari keseluruhan faktor
tersebut, peran agama dan orang tua menjadi bagian paling fundamental
dalam mewarnai perilaku anak baik dalam aspek preventif maupun
kuratif. Kenyataan inilah yang kerap kali luput dari pengamatan orang
tua, para pendidik bahkan pemerintah.
Orang tua yang seharusnya dapat memberikan contoh yang baik
pada anak, saat ini tengah menjadi barang langka atau sulit dicari.
Padahal keluarga atau orang tua sangat besar pengaruhnya dalam
membentuk karakter anak. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu
peranan agama, khususnya pembinaan akhlakulkarimah tidak jarang
luput dari pengamatan orang tua. Padahal menurut ajaran Islam
berdasarkan praktek Rasulullah SAW, pendidikan akhlakulkarimah
79
adalah faktor penting dalam membina anak. Sebagai kita ketahui,
Rasulullah SAW diutus ke muka bumi yang utama adalah
menyempurnakan akhlak manusia.
Oleh karena itu program utama dan perjuangan pokok orang tua
dalam membina anak ialah membina akhlak mulia. Ia harus ditanamkan
kepada anak mulai dari kecil hingga dewasa. Akan tetapi manakala
keluarga atau orang tua, para pendidik, pemerintah dan masyarakat,
memberikan contoh-contoh yang buruk, maka akan berlakulah pepatah:
“kalau guru kencing berdiri murid akan kencing berlari. Andaikata
terjadi justru guru kencing berlari, niscaya murid-murid pasti kencing
menari-nari”.
Berbicara soal peran orang tua berarti berbicara hubungan atau
jalinan kerja sama antara seorang suami dengan isterinya atau antara
ayah dengan ibu. Kerjasama yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu
hubungan kerja sama antara suami isteri dalam membina anaknya guna
menanggulangi atau mencegah terjadinya mental disorder. Masalah
mental disorder keadaannya saat ini sangat mengkhawatirkan karena
bukan saja masalah orang tua tapi sudah menyangkut masalah nasional.
Dalam realitasnya tidak banyak ditemukan suatu keluarga yang
dibangun di atas landasan kerjasama suami dan isteri dalam membina
anak. Yang terjadi dalam membina anak antara metode ayah dan ibu
merupakan suatu dikhotomi, sehingga anak menjadi tidak mengerti
harus mengikuti pandangan siapa atau harus berpegang kepada siapa,
80
apakah kepada ayah ataukah ibu. Ini dilatar belakangi oleh sikap egoistis
dari seorang suami atau boleh jadi seorang isteri. Padahal adanya
perspektif yang sama dan persepsi yang tidak berbeda antara suami dan
isteri maka akan sangat mudah membangun pribadi seorang anak.
sebaliknya seorang anak yang dibangun dari persepsi yang berbeda
antara kedua orang tua itu, maka pembinaan yang demikian tidak akan
berjalan efektif, melainkan akan berakibat fatal yaitu anak akan
mengambil jalan sendiri.
Jalan yang ditempuh oleh anak tersebut, kalau pilihannya benar
barang kali itu bukan masalah. Namun jika pilihannya salah apalagi
hanya mengadopsi dari pergaulan atau dari kawan-kawannya yang
berkelakuan buruk, akan sangat cepat anak itu melakukan proses
peniruan. Oleh sebab itu kerja sama antara suami dan isteri sangat
diperlukan dalam mencegah dan menanggulangi mental disorder.
Di tengah-tengah persaingan hidup yang makin tajam
memunculkan individu-individu yang gelisah dan penuh kecemasan.
Kegelisahan dan kecemasan itu sering kali tampak mewarnai kehidupan
sebuah keluarga. Suatu keluarga yang dikungkung oleh rasa gelisah dan
kecemasan yang berkepanjangan adalah sebagai akibat kurangnya
pengamalan dan penghayatan agama. Suatu keluarga yang tidak didasari
oleh kendali agama maka didikan yang akan dikembangkan kepada
anaknyapun sudah dapat dibayangkan yaitu akan lahir anak-anak yang
sekuler dan menjauhi kaidah-kaidah agama. Ketika seorang anak telah
81
berani merusak sebagian atau seluruh kaidah-kaidah agama tentunya
akan mewujudkan perilaku-perilku yang menyimpang dan merugikan
bagi orang lain atau masyarakat bahkan bangsa. Atas dasar itu
kerjasama yang baik ayah dan ibu dalam membina anak harus
dilandaskan kepada pengamalan dan penghayatan agama menuju pada
insan yang beriman dan bertaqwa.
Sebuah keluarga yang dibangun di atas landasan iman dan taqwa
kemudian dipancarkan keimanan dan taqwa itu kepada anak-anaknya,
maka bukan mustahil akan menghasilkan anak-anak yang sesuai dengan
harapan bangsa dan negara. Dari jalan pikirannya Kartono dan Daradjat,
maka konsepnya sesuai dengan asas fitrah bimbingan dan konseling
Islam. Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien
atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya,
sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan
fitrahnya tersebut. Manusia, menurut Islam dilahirkan dalam atau
dengan membawa fitrah, yaitu berbagai kemampuan potensial bawaan
dan kecenderungan sebagai Muslim atau beragama Islam. Bimbingan
dan konseling membantu klien konseli untuk mengenal dan memahami
fitrahnya itu, atau mengenal kembali fitrahnya tersebut manakala pemah
tersesat, serta menghayatinya sehingga dengan demikian akan mampu
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat karena bertingkah
laku sesuai dengan fitrahnya itu.
82
Pemikiran Kartono dan Daradjat sesuai pula asas-asas bimbingan
dan konseling Islam seperti:
1. Asas-asas kebahagiaan di dunia dan akhirat
Pemikiran Kartono dan Daradjat bertujuan untuk membantu
klien, atau konseli, yakni orang yang dibimbing, mencapai
kebahagiaan hidup yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim.
Bimbingan dan konseling Islam merupakan bantuan kepada klien
atau konseli untuk mengenal, memahami dan menghayati fitrahnya,
sehingga segala gerak tingkah laku dan tindakannya sejalan dengan
fitrahnya tersebut.
Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 201 sebagai berikut:
: البقرة (أُولَـئِك لَهم نصِيب مما كَسبواْ واللّه سرِيع الْحِسابِ202(
Artinya: Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.( QS. al-Baqarah: 201)
2. Asas “lillahi ta’ala
Bimbingan dan konseling Islam diselenggarakan semata-
mata karena Allah. Konsekuensi dari asas ini berarti pembimbing
melakukan tugasnya dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih,
sementara yang dibimbing pun menerima atau meminta bimbingan
dan atau konseling pun dengan ikhlas dan rela, karena semua pihak
merasa bahwa semua yang dilakukan adalah karena dan untuk
83
pengabdian kepada Allah semata, sesuai dengan fungsi dan tugasnya
sebagai mahkluk Allah yang harus senantiasa mengabdi pada-Nya.