BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Materi pengajaran merupakan salah satu komponen yang penting dalam pembelajaran bahasa Inggris. Bahasa adalah milik suatu budaya, oleh karena itu pembelajaran bahasa juga harus disertai pembelajaran akan budaya. Budaya yang ada di sekeliling siswa sangat bermacam- macam, oleh karena itu agar bisa berhubungan dan berinteraksi dengan baik dengan orang dari berbagai budaya maka siswa perlu dibekali wawasan yang memadai tentang keberagaman budaya yang ada di sekitar mereka. Wawasan multikultur ini bisa diinsersikan di dalam pembelajan formal di sekolah di beberpa mata pelajaran yang relevan termasuk bahasa Inggris. Oleh karena itu bahan ajar bahasa Inggris yang didalamnya terdapat muatan multikultur diperlukan karena keberadaannya bisa menjadi salah satu alat bantu guru dalam praktik pembelajaran. Pengetahuan dan wawasan tentang nilai 1
181
Embed
BAB III - Welcome to Lumbung Pustaka UNY - Lumbung ...eprints.uny.ac.id/26413/1/laporan penelitian unggulan... · Web viewyang berbeda-beda. Budaya lokal kedaerahan itu membentuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Materi pengajaran merupakan salah satu komponen yang penting dalam
pembelajaran bahasa Inggris. Bahasa adalah milik suatu budaya, oleh karena itu
pembelajaran bahasa juga harus disertai pembelajaran akan budaya. Budaya yang
ada di sekeliling siswa sangat bermacam-macam, oleh karena itu agar bisa
berhubungan dan berinteraksi dengan baik dengan orang dari berbagai budaya
maka siswa perlu dibekali wawasan yang memadai tentang keberagaman budaya
yang ada di sekitar mereka. Wawasan multikultur ini bisa diinsersikan di dalam
pembelajan formal di sekolah di beberpa mata pelajaran yang relevan termasuk
bahasa Inggris. Oleh karena itu bahan ajar bahasa Inggris yang didalamnya
terdapat muatan multikultur diperlukan karena keberadaannya bisa menjadi salah
satu alat bantu guru dalam praktik pembelajaran. Pengetahuan dan wawasan
tentang nilai multikultur ini sendiri penting untuk dimiliki oleh guru dan siswa
karena hal ini berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa secara umum.
Dengan adanya pemahaman yang baik tentang multikultur ini, peristiwa negatif
yang disebabkan tidak adanya pengertian atau karena munculnya salah faham
tentang budaya yang berbeda dengan budaya peserta didik diharapkan bisa
diminimalisir dan akan lahir manusia Indonesia yang dewasa dalam menyikapi
perbedaan.
Kemajemukan budaya bukan saja terjadi di tingkat dunia namun terjadi
pula di tingkat nasional (Indonesia) karena negara kita terdiri dari berbagai budaya
1
2
yang berbeda-beda. Budaya lokal kedaerahan itu membentuk budaya nasional.
Melalu mata pelajaran bahasa Inggris, para pelajar bisa diarahkan untuk mulai
mengetahui (knowing), memahami (understanding) dan merasakan bahwa
perbedaan adalah sesuatu yang sangat alami dan karenanya harus dihormati dan
disikapi secara arif. Sayangnya, budaya lokal Indonesia yang adiluhung dirasa
makin tergerus oleh zaman. Banyak nilai budaya lokal yang kehilangan pamornya
dan tidak pernah dimunculkan di dalam mata pelajarn digantikan dengan budaya
asing yang tengah populer. Pendapat bahawa pelajaran harus menyesuaikan
zaman dan konteks di sekitar peserta didik adalah benar namun itu tidak berarti
aspek buday adi luhung tidak diinformasikan kepada siswa. Dengan
diinsersikannya budaya bangsa sendiri secara positif makan akan tumbuh
kebanggaan pada diri siswa sebagai bangsa Indonesia.
Salah satu fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta
didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas). Sejalan dengan cita-cita luhur itu, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), yang merupakan kurikulum terbaru di Indonesia, mendorong
sekolah untuk mengangkat budaya lokal dan mengintegrasikannya di dalam
kurikulum sekolah. KTSP merupakan peluang yang sangat baik bagi para praktisi
pendidikan yang peduli dengan masalah penjagaan dan pengembangan budaya
3
lokal. Upaya untuk melestarikan dan menjadikan generasi muda bangga dan dapat
mempromosikan budaya lokal kepada dunia wajib dilaksanakan. Salah satu cara
yang dapat dilakukan adalah dengan mengintegrasikan aspek budaya atau kearifan
lokal ke dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Dalam hal ini budaya dan
kearifan lokal dapat dikembangkan menjadi bahan ajar bahasa Inggris di sekolah,
termasuk di SMP, dan digunakan dalam proses pembelajaran.
Pemerintah sudah mewacanakan pentingnya insersi budaya lokal sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran multikultur melalui materi
pembelajaran bahasa. Dalam menindaklanjuti hal ini para penulis buku dan
pengembang bahan ajar dihimbau untuk menginsesikan local wisdom ke dalam
produk mereka. Sejauh ini belum banyak studi yang mengungkap bagaimana
sebenarnya komponen budaya, termasuk diantaranya budaya lokal Indonesia ini,
diinsersikan. Aspek budaya apa saja yang selama ini diinformasikan kepada
peserta didik dan dengan cara bagaimana mereka diinsersikan menjadi pertanyaan
penting yang harus dijawab. Selain itu, penting juga untuk mengungkap sejauh
mana peran guru dalam membentuj pemahaman budaya para siswa. Untuk dapat
mengambil peran yang positif, guru tentu saja harus memiliki wawasan dan
pandangan yang bijak tentang budaya dengan segala aspek dan peranannya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Selama ini masih sedikit buku ajar yang digunakan para guru
memperhatikan aspek multikultur secara khusus. Kandungan kebudayaan
Indonesia dan kebudayaan asing dalam buku ajar seringkali masih timpang/tidak
4
berimbang dan bias. Sikap rendah diri (inferior) sebagai dampak kolonialisme
masih sering tercermin dalam tulis, termasuk buku ajar. Misalnya, penggambaran
budaya lokal dikesankan sebagai inferior dibandingkan budaya luar, khususnya
budaya barat; atau, budaya barat dicitrakan sebagai lebih baik dan modern
dibanding budaya lokal.
Budaya merupakan hal yang luas, tidak sekedar berupa produk benda tapi
juga adat istiadat dan perilaku manusia dalam sebuah masyarakat. Sesungguhnya
setiap budaya adalah istimewa dan unik oleh karena itu pengemasan pengajaran
budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris harus dirancang sedemikian rupa agar
siswa dapat memetik banyak manfaat diantaranya mempelajari bahasa Inggris,
mempelajari dan menilai budaya secara objektif, dan mampu menghargai budaya
lokal Indonesia.
Penelitian ini menitikberatkan pada upaya untuk menghasilkan materi
pengajaran bahasa Inggris yang mencakup aspek multikultur di dalamnya. Pada
tahun pertama ini penelitian dibatasi pada identifikasi buku ajar bahasa Inggris
yang saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta;
identifikasi tingkat pemahaman para guru tentang insersi budaya asing dalam
pembelajaran bahasa asing yang terefleksi dalam buku ajar bahasa Inggris;
identifikasi tanggapan para guru tentang insersi budaya asing dalam buku-buku
ajar bahasa Inggris SMP tersebut, dan identifikasi aspek-aspek multikultur dan
pola insersi budaya asing yang ada dalam buku-buku.
5
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan buku ajar bahasa
Inggris berbasis multikultur sebagai upaya pemertahanan budaya lokal untuk
siswa SMP. Untuk mencapai tujuan tresebut, maka penelitian ini dibagi menjadi
2 tahap yaitu tahun pertama dan kedua yang masing-masing memiliki tujuan yang
berbeda.
Tujuan penelitian tahun pertama: (1) mengidentifikasi buku ajar bahasa
Inggris yang saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta; (2) mengidentifikasi tingkat pemahaman para guru tentang insersi
budaya asing dalam pembelajaran bahasa asing yang terefleksi dalam buku ajar
bahasa Inggris; (3) mengidentifikasi tanggapan para guru tentang insersi budaya
asing dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP tersebut, dan (4) identifikasi
aspek-aspek multikultur dan pola insersi budaya asing yang ada dalam buku-buku
ajar bahasa Inggris SMP tersebut.
Sedangkan tujuan penelitian tahun kedua adalah: (1) menyusun draf awal
model buku ajar yang diharapkan dapat membangkitkan kesadaran para guru
akan pentingnya insersi budaya lokal/ nasional pada buku ajar bahasa Inggris
SMP; (2) merumuskan tujuan pengembangan buku ajar Bahasa Inggris; (3)
meminta pendapat ahli/ pakar pengajaran bahasa Inggris; (4) melakukan uji coba
model buku ajar secara terbatas; (5) melakukan uji keterbacaan model buku ajar
dan revisi; (6) melakukan uji coba model buku ajar secara luas; dan (6) diseminasi
dan implementasi buku ajar secara lebih luas.
6
D. Signifikansi Penelitian
Penelitian tahap pertama ini memberi beberapa manfaat umum sebagai
berikut:
1. Dengan diketahuinya aspek budaya apa saja yang ada di dalam buku
maka jenis budaya dan komposisi budaya yang diinformasikan kepada
anak didik menjadi lebih jelas terlihat. Hal ini menjadi informasi
penting bagi para pendidik dan pemegang kebijakan lainnya untuk
menentukan apakah buku tersebut bisa dipakai atau tidak dalam
pembelajaran, juga menentukan tambahan atau penekanan seperti apa
saja yang perlu dilakukan di kelas.
2. Pendapat guru tentang budaya dan insesinya dalam pembelajaran
bahasa Inggris memberi tambahan informasi bagi fihak yang
berwenang untuk mengevaluasi pengajaran bahasa Inggris secar
keseluruhan, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk
mempertahankan jati diri dan budaya bangsa.
3. Salah satu implikasi penelitian ini adalah pentingnya penjelasan dan
bimbingan lanjut di kelas oleh para guru tentang budaya yang muncul
dalam pembelajaran bahasa Inggris. Aspek budaya yang diinsersikan
secara implisit terutama melalui gambar bisa menimbulkan mutitafsir
oleh karena itu guru harus memberi bimbingan agar tafsiran siswa
mejadi terarah dan positif. Oleh karena itu guru harus memiliki
cultural awareness.
7
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Buku Ajar
Buku ajar merupakan paket belajar yang berkenaan dengan suatu unit
materi belajar. Perwujudan buku ajar dapat berupa bahan cetak untuk dibaca
subjek belajar dan bahan cetak ditambah tugas. Pada dasarnya buku ajar diartikan
sebagai buku acuan yang digunakan sebagai pedoman kegiatan belajar mengajar
di kelas. Dalam kamus Merriam-Webster, textbook didefinisikan sebagai “a book
about a particular subject that is used in the study of that subject especially in a
school.” Buku ajar sejatinya adalah buku yang dibuat untuk siswa dan guru di
kelas atau sekolah, yang menyajikan serangkaian materi pembelajaran dalam satu
mata pelajaran atau mata pelajaran-mata pelajaran yang terkait erat (Tiwari,
2008). Hal ini ditegaskan oleh Richards and Schmidt (2002: 550) yang
mendefinisikan buku ajar atau text book sebagai:
A book on a specific subject used as a teaching learning guide, especially in a school or college. Textbooks for foreign language learning are often part of a graded series covering multiple skills (listening, reading, writing, speaking, grammar) or deal with a single skill (e.g. reading).
Sementara itu, Kaiser (2005: 223) membagi dua definisi textbooks, untuk
bisa membedakannnya dengan teks populer, yaitu berdasarkan kegunaan dan
tujuannya. Berdasar kegunaanya, textbook adalah “every text practically used as a
didactic instrument in teaching institutions.” Sedangkan berdasar tujuannya,
textbook adalah “every text especially and explicitly designed to be used as a
didactic instrument in teaching institutions.”
8
Buku ajar menjadi tali pengikat keseluruhan proses pembelajaran,
menjadikan proses pembelajaran sebagai sebuah sistem dan “checks unnecessary
repetition and ommission” (Choudhury, 1998: 154). Selain itu, buku ajar
merupakan instrumen untuk mencapai tujuan pembelajaran, membantu guru
dalam mempersiapkan pembelajaran, tugas, dan mengelola kelas, serta
membimbing siswa belajar, baik di rumah atau di kelas (Tiwari, 2005). Lebih
lanjut Richards and Schmidt (2002: 339) juga menyatakan bahwa “the use of
modules is said to allow for flexible organization of a course and can give
learners a sense of achievement because objectives are more immediate and
specific”.
B. Pemahaman tentang Pendidikan Multikultur
Pengertian dan definisi pendidikan berbasis multikultur telah banyak
dikemukakan oleh para ahli. Sinagatullin (2003: 83) misalnya mendefinisikan
pendidikan multikultur sebagai: “an idea stating that all students, regardless of
their gender, ethnicity, race, culture, social class, religion, or exceptionality,
should have an equal opportunity to learn at school”. Menilik definisi
pendidikan multikultur yang dikemukakan Sinagatulin tersebut, tidaklah
berlebihan bila pendidikan multikultur dipandang sebagai sebentuk reformasi
dalam dunia pendidikan yang hakikatnya adalah untuk memberikan porsi
kesempatan yang sama pada semua siswa, apapun keadaannya dan dari suku
apapun dan juga yang memiliki bahasa yang berbeda untuk mendapatkan
pendidikan. Banks and Banks (2009: 1) menyatakan,
9
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process whose major goals is to change the structure of educational institution so that male and female students, exceptional students who are members of diverse racial, ethnic, language, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school.
Lebih lanjut Sinagatullin (2003: 114) menyatakan salah satu tujuan
pendidikan multikultur adalah “to help students acquire attitudes, knowledge, and
skills needed to successfully function within their own micro-culture, mainstream
culture, and the global community”. Dalam pendidikan multikultur, secara umum
para siswa akan belajar memahami budaya asing yang berbeda dengan budayanya
sendiri dan mempelajarinya namun tanpa mengurangi pemahaman dan kecintaan
para siswa akan budayanya sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Banks and
Banks (2009: 43) bahwa, Teaching about the cultural practices of other people
without stereotyping or misinterpreting them and teaching about one’s own
cultural practices without invidiously characterizing the practices of other people
should be the aims of multicultural education
Berdasarkan definisi dan tujuan pendidikan multikultur tersebut, dengan
jelas tampak bahwa konsep pendidikan ini, sejalan dengan definisi pendidikan
nasional kita, yakni pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan zaman (Pasal 1 ayat 2 UU No 2 tahun 2003 tentang Sisdiknas).
Pendidikan berbasis multikultur ini pada dasarnya merupakan sarana untuk
meningkatkan ‘cultural awareness’ atau kepekaan budaya dalam praktek
pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Tanaka (2006: 37) mengenai pentingnya cultural awareness dalam
10
konteks pembelajaran bahwa “the concept of ‘cultural awareness’—
understanding of different cultures—has been emphasized as an essential part of
English learning and teaching”. Pemahaman mengenai cultural awareness ini
juga merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan budaya asal para siswa
mengingat tidak semua aspek budaya yang menyertai pembelajaran bahasa asing
dinyatakan secara eksplisit dalam pembelajaran Banks and Banks (2009: 37)
menyatakan bahwa, some aspects of culture are explicit, and others are implicit
learned, and shared outside conscious awareness. Our moods and desires as well
as our thoughts are culturally constructed.
Oleh karena itu, keberadaan pendidikan berbasis multikultur ini menjadi
penting, terutama dalam menjembatani perbedaan budaya yang juga merupakan
permasalahan dasar dalam pembelajaran bahasa asing. Brown dalam Richards and
Renandya (2002: 12) menyatakan “whenever you teach a language, you also
teach a complex system of cultural customs, values, and ways of thinking, feeling,
and acting”.
Konsep pendidikan berbasis multikultur ini tidak mungkin akan dapat
diterapkan dengan efektif manakala tidak melibatkan semua komponen yang
terkait dengan proses pembelajaran, termasuk kurikulum, para praktisi
pembelajaran, para siswa, dan juga aspek-aspek pembelajaran lainnya, seperti
materi pembelajaran dan metode pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Banks and Banks (2001: xii) dalam bukunya yang berjudul Handbook of Research
on Multicultural Education yang mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai
…. a field of study designed to increase educational equity for all students that incorporates, for this purpose, content, concepts, principles, theories,
11
and paradigms from history, the social and behavioral sciences, and particularly from ethnic studies and women studies.
Dimensi multikultur yang dikembangkan oleh Banks and Banks ini
menyatakan adanya suatu kerangka konseptual pendidikan multikultural yang
melibatkan beberapa unsur, yakni: “content integration, the knowledge
construction process, prejudice reduction, an equity pedagogy, and an
empowering school culture and social structure”.
C. Konsep tentang Bahasa dan Budaya Lokal
Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Foley
(2001:19) menyatakan,
Language is often treated theoretically as a sub system of culture within cognitive anthropology but in practice and structure of language as revealed by modern linguistics has generally served as the paradigm for analyzing other aspects of culture.
Sementara itu Linton (1945 dalam Mesthrie, et al., 2009: 28) menyatakan
budaya sebagai ‘the way of life of its members; the collection of ideas and habits
which they learn, share and transmit from generation to generation’. Hal ini
berarti bahwa budaya dapat diartikan sebagai ‘design for living’, yang memberi
makna pada cara dan bentuk kebiasaan yang dianggap pantas dan berterima dari
suatu kelompok masyarakat tertentu, sedangkan bahasa diperlakukan sebagai a
cultural activity and, at the same time, an instrument for organizing other cultural
domains (Sharifian & Palmer, 2007: 1). Sementara itu, Taylor (dalam Peoples &
Bailey, 2009: 22) mendefinisikan budaya sebagai “complex whole which includes
12
knowledge, belief, art, morals, law, customs, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society.” Dengan kata lain, pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai bagian dari masyarakat merupakan komponen budaya. Budaya
membuat seseorang menjadi lengkap sekaligus menimbulkan adanya perbedaan di
tingkat kelompok, sehingga menjadi pembeda antar satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lainnya. Banks and Banks (2009: 8) menyatakan
bahwa
Culture consists of the shared beliefs, symbols, and interpretations within a
human group. Most social scientists today view culture as consisting
primarily of the symbolic, ideational, and intangible aspects of human
societies. The essence of a culture is not its artifacts, tools, or other tangible
cultural elements but how the members of the group interpret, use, and
perceive them. People in a culture usually interpret the meanings of
symbols, artifacts, and behaviors in the same or in similar ways.
Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Budaya
dapat diartikan sebagai kesamaan pemaknaan terhadap aspek-aspek kehidupan
manusia dan makna tersebut diekspresikan dengan menggunakan bahasa.
Maureen Guirdham, M ( 2005: 46) menyatakan bahwa
Culture is about ‘shared meanings’. Meanings are produced and exchanged
through language, which is the medium through which we ‘make sense’ of
13
things. Meanings can only be shared through language. Thus, ‘to say that
two people belong to the same culture is to say that they interpret the world
in roughly the same ways and can express themselves, their thoughts and
feelings about the world, in ways which will be understood by each other’.
Selain sistem religi dan upacara adat, sistem organisasi sosial dan
kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, kesenian, sistem ekonomi dan mata
pencaharian, serta sistem alat dan teknologi, sebagai salah satu sub sistem budaya,
bahasa merupakan unsur budaya yang mencerminkan budaya masyarakat dan
menjadi pembeda dari masyarakat yang lain. Ketujuh unsur tersebut akan selalu
ditemukan di masyarakat manapun dengan berbagai variasinya (Koentjaraningrat,
1996, dalam Simanjuntak, 2011).
Perbedaan budaya merupakan permasalahan utama dalam pendidikan
lintas budaya. Oleh karenanya dalam konteks pendidikan perlu
mempertimbangkan perbedaan budaya. Grant dan Lei (2001: 10-11) lebih lanjut
menyarankan empat komponen utama pendidikan yang mempertimbangkan
perbedaan sosiokultural dan bahasa, yakni:
1)Subjective and objective support of the identity of socio-cultural and
linguistic minority students; 2) Constructing curriculum contents implying
and reflecting the positive value of the plurality of cultures and languages;
3) Building communicative, action-oriented skills; and 4) Accepting socio-
cultural diversity and the plurality of ideas as a challenge for democracy.
14
Dalam konteks pemeblajaran bahasa asing, seperti bahasa Inggris, tidak
dapat dipungkiri dalam praktek pembelajarannya tidak dapat dilaksanakan secara
efektif tanpa disertai pemahaman budaya masyarakat penuturnya. Para praktisi
pengajaran bahasa Inggris tentu saja dituntut untuk tidak hanya mengajarkan
bahasa namun juga menghadirkan konteks budaya di tempat bahasa itu digunakan.
Sementara itu para siswa pun harus mempelajari budaya masyarakat pengguna
bahasa yang tengah mereka pelajari. Hal ini merupakan fenomena yang umum
dalam pembelajaran bahasa asing karena untuk dapat berkomunikasi secara efektif
menggunakan bahasa asing, seorang penutur dituntut tidak hanya memiliki
kemampuan berbahasa asing tetapi juga memiliki pemahaman budaya di tempat
bahasa asing tersebut digunakan.
Apabila hal ini tidak disadari dari awal oleh para praktisi pengajaran bahasa
asing, pemahaman budaya asing ini dapat mengarahkan pada penurunan
pemahaman para siswa akan budaya mereka sendiri. Apabila hal ini terus
berlanjut, tanpa diimbangi dengan langkah-langkah atau upaya pemertahanan
budaya lokal, dapat berakibat perubahan perilaku anak didik kita sebagai wujud
internalisasi nilai-nilai budaya asing yang telah mereka pelajari, dan pada
gilirannya dapat menyebabkan hilangnya pemahaman terhadap budaya lokal dan
nasional yang adiluhung. Hal ini akan sangat merugikan kelangsungan budaya
bangsa ini. Oleh karenanya, pemahaman akan budaya lokal dan juga kepekaan
akan muatan budaya asing amat diperlukan dalam konteks pembelajaran bahasa
asing, khususnya bahasa Inggris yang saat ini telah menjadi salah satu bahasa
asing terpenting yang harus dipelajari oleh anak didik kita, dari tingkat pendidikan
15
dasar dan bahkan dari tingkat pendidikan yang paling rendah, yakni pada
pendidikan anak-anak usia dini.
Berdasarkan kenyataan ini, pengenalan dan pemahaman akan budaya lokal
perlu ditanamkan sejak dini. Istilah budaya lokal seringkali dikaitkan dengan
istilah tradisi yang secara tekstual berarti “adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, yang berangkat dari
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling
baik dan benar” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1208). Istilah ini
membuahkan kata turunan yakni tradisional, yang maknanya juga hampir sama,
yakni sebagai sebentuk sikap atau cara berpikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun.
Dengan demikian terminologi dari konsep tradisi itu maknanya dekat dengan
konsep dan khazanah lokalitas.
Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal kerap
diistilahkan sebagai ‘local genius’ (Koentjaraningrat, 1986: 80), yang dalam kata-
kata Wales (dalam Poespowardojo, 1986: 30) diberikan pengertian, “the sum of
the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as
a result of their experience in early life”. Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam
setiap budaya bangsa, atau yang biasa disebut sebagai ‘pribumi’ itulah yang oleh
Wales diistilahkan ‘local genius’, yang di dalamnya terkandung makna sebagai
‘basic personality of each culture’, atau dalam pemaknaan Anderson (2002: 6)
disebut sebagai ‘cultural artefacts of a particular kind’. Dengan demikian, local
genius merupakan manifestasi dari kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam
16
orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam
persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta
sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai
perikehidupannya.
Adapun wilayah yang menjadi ruang tempat meng-`ada’-nya nilai-nilai
local genius itu, seluas pemaknaan hakikat kebudayaan manusia itu sendiri, yang
secara substantif, sebagaimana dikemukakan antropolog, Honingmann (dalam
Koentjaraningrat, 1990:186-187), menyangkut tiga kategori besar, yakni sistem:
ideas, activities, dan artifacts. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2005, dalam
Bhaswara, 2008) menggolongkan 4 wujud kebudayaan sebagai perluasan dari
kategori tersebut, yaitu kebudayaan sebagai (1) nilai ideologis, (2) sistem gagasan,
(3) sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, dan (4) benda fisik (artifak).
Hubungan antara kategori budaya dari Honingmann dan Koentjaraningrat dapat
dilihat melalui gambar berikut.
Gb. 1. Kerangka Konsentris Kebudayaan (Koentjaraningrat 2005, dalam
Bhaswara, 2008)
17
Diagram kerangka konsentris kebudayaan tersebut dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut (Koentjaraningrat, 1996, dalam Simanjuntak, 2011: 15).
1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau
benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia
yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan,
peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk
konkret ini adalah kebudayaan fisik
2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia.
Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film.
Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu. Merupakan
pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola
tingakah laku manusia disebut sistem sosial.
3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan
tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam
wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami
setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara
intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan
dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu
yang disebut sistem budaya.
4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan gagasan-
gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak
usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-
unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain
18
adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran,
cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.
Tiga kategori dari Honingmann, yaitu gagasan, tindakan dan artefak,
dijadikan landasan/pedoman kategorisasi buku ajar Bahasa Inggris SMP dalam
penelitian ini dengan didukung oleh kategorisasi dari Koentjaraningrat.
19
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sejalan dengan topik dan tujuan penelitian ini, maka jenis pendekatan yang
digunakan adalah research and development (R&D). Alasan penggunaan metode
R&D dalam penelitin ini adalah untuk mengatasi adanya kesenjangan antara hasil-
hasil penelitian dasar yang bersifat teoritis dengan penelitian terapan yang bersifat
praktis. Seperti dikatakan oleh Gall, Gall dan Borg (2003: 570-573), R & D
adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi
produk pendidikan yang meliputi materi, prosedur dan proses. Langkah-langkah
yang akan dilakukan mengikuti tahapan umum dalam penelitian R &D yaitu
pengembangan, uji coba, revisi, uji coba kembali dan diseminasi.
Produk yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki karakteristik-
karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut merupakan perpaduan dari sejumlah
konsep, prinsip, asumsi, hipotesis, prosedur berkenaan dengan sesuatu hal yang
telah ditemukan atau dihasilkan dari penelitian dasar. Menurut Sukmadinata
(2005: 166), penelitian tentang fenomena-fenomena yang bersifat fundamental
sosial humaniora dilakukan melalui penelitian dasar (basic research), sedang
penelitian tentang praktik sosial humaniora dilakukan melalui penelitian terapan
(applied research). Sering dihadapi adanya kesenjangan antara hasil-hasil
penelitian dasar yang bersifat teoritis dengan penelitian terapan yang bersifat
20
praktis. Kesenjangan ini dapat dijembatani dengan adanya penelitian dan
pengembangan (R&D).
B. Partisipan dalam Penelitian
Objek penelitian ini adalah buku-buku ajar Bahasa Inggris yang digunakan
di SMP. Penelitian ini melibatkan 30 guru Bahasa Inggris SMP untuk
mendapatkan data mengenai persepsi mereka tentang pendidikan multikultur
dalam pengajaran dan buku ajar, serta pendapat tentang cara insersinya dalam
praktek pembelajaran di kelas. Berdasarkan angket yang disebarkan kepada guru-
guru Bahasa Inggris SMP, baik peserta FGD maupun guru Bahasa Inggris
lainnya, buku yang diteliti adalah 7 buku ajar Bahasa Inggris SMP kelas VII (2
buku BSE, 2 buku dari penerbit Erlangga, 2 buku dari penerbit Yudistira, dan 1
buku dari Tiga Serangkai). Sedangkan guru yang terlibat dalam FGD adalah para
guru Bahasa Inggris SMP dari 5 kabupaten se-propinsi DIY (dengan wakil setiap
kabupaten, 2 atau 3 sekolah, masing-masing 2-3 guru Bahasa Inggris), dan 10
guru SMP Bahasa Inggris se-Kalimantan Selatan yang sedang menempuh
pendidikan S2 di Pascasarjana UNY. Penelitian ini juga melibatkan pakar budaya
yang merupaka staf pengajar di FBS UNY.
C. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan R&D ini ada beberapa metode yang digunakan, yaitu:
deskriptif dan evaluatif. Metode penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian
awal untuk menghimpun data tentang kondisi yang ada. Metode penelitian
21
evaluatif digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba pengembangan suatu
produk. Metode penelitian eksperimen digunakan untuk menguji keampuhan dari
produk yang dihasilkan. Pada tahap deseminasi, model pengembangan modul
pembelajaran bahasa Inggris untuk SMP berbasis multikultur diimplementasikan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan FGD (Focus Group Discussion)
untuk mengetahui teknik, saran, pengalaman dan pendapat guru tentang penerapan
muatan budaya lokal dalam pembelajaran Bahasa Inggris di SMP dari para guru
pengampu Bahasa Inggris. Selain itu, data utama tentang pola insersi budaya
asing didapatkan dengan menganalisis muatan (content analysis) buku-buku ajar
Bahasa Inggris yang banyak digunakan di SMP. Instrumen yang digunakan adalah
pedoman FGD dan pedoman dokumentasi data, serta foto dan rekaman sebagai
pendukung. Bentuk data utama yang dihasilkan adalah transkrip FGD dan kutipan
kata/deskripsi dari materi (content) buku ajar dalam bentuk tabel.
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh lebih bersifat kualitatif, berwujud kata-kata. Data dari
FGD dianalisis dengan mengambil pokok-pokok pendapat/saran/pengalaman dan
penerapan budaya dalam pengajaran Bahasa Inggris dan membandingkannya satu
sama lain.
Sedangkan data dari buku-buku ajar Bahasa Inggris SMP dianalisis
dengan mengumpulkan dan mengkategorisasi data, mereduksi, menginterpretasi
Need analysis
Goals and Objectives
Syllabus Design
Methodology/ Material
Testing and Evaluation
22
dan menentukan pola dan kemudian membandingkan hasil tersebut melalui
diskusi antar peneliti.
F. Validitas dan Reliabilitas Data
Dalam penelitian ini, validitas dan reliabilitas data diperoleh dengan
beberapa metode, yaitu, (1) metode pengumpulan data ganda, mencakup FGD,
dokumentasi dan angket; (2) sumber data ganda, meliputi data lisan, tulisan, dan
audiovisual; (3) ketekunan dan kecermatan penelitian, dan (4) diskusi antar
peneliti, yaitu keempat peneliti menganalisis seluruh buku ajar yang diteliti, dan
kemudian membandingkan dan mendiskusikan hasil temuannya.
G. Langkah-langkah Penelitian
Studi ini mengikuti teori pngembangan materi dan langkah umum dalam R & D.
Sebagai dasar pengembangan peneliti mengunakan teori Dublin dan Olstain
tentang course design process seperti dicantumkan dalam Masuhara melalui
Tomlinson (1998: 247). Model tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
23
Diagram 1. Course Design Model (Masuhara in Tomlinson, 1998: 247)
Peneliti juga mempertimbangkan tahapan utama R & D yang diusulkan
oleh Gall, Gall, and Borg (2003: 570-573) sebagai berikut:
1. Research and information collecting (mengumpulkan informasi dan
penelitian)
2. Planning (membuat perencanaan)
3. Develop preliminary form of product (mengembangkan produk
pendahuluan)
4. Preliminary field testing (uji coba produk pendahuluan)
5. Main product revision (revisi produk utama)
6. Main field testing (Uji coba utama)
7. Operational product revision (revisi produk operasional)
8. Operational field testing (uji coba operasional)
9. Final product revision (revisi produk akhir)
10. Dissemination and implementation (diseminasi dan penerapan)
Dengan mempertimbangkan 2 model R & D, peneliti mengkombinasikan
dan menyederhanakan model. Oleh karena itu prosedur dalam penelitian ini
adalah:
1. conducting a needs analysis ( melakukan analisis kebutuhan)
24
2. writing the course grid ( merancang course grid)
3. developing the first draft (mengembangkan draft pertama)
4. evaluating the first draft (mengevaluasi draft pertama)
5. developing the second draft ( mengembangkan draft kedua)
6. trying-outs (uji coba 1)
7. evaluating the second draft; (mengevaluasi draft kedua)
8. developing third draft (mengembangkan draft ke tiga)
9. Trying outs (uji coba 2)
10. Developing the final draft (mengembangkan draft terakhir)
11. Diseminasi dan implementasi
Tahapan dalam penelitian ini selengkapnya adalah sebagai berikut.
1. conducting a needs analysis ( melakukan analisa kebutuhan)
Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap studi pendahuluan. Dalam tahap
ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah melakukan studi pustaka dan survei
di lapangan guna mendapatkan: (a) identifikasi buku ajar bahasa Inggris yang
saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta; (b)
identifikasi tingkat pemahaman dan tanggapan para guru tentang insersi budaya
asing dalam buku-bukuajar bahasa Inggris SMP tersebut; (c) identifikasi aspek-
aspek multikultur dan pola insersi budaya asing dalam buku-buku ajar bahasa
Inggris SMP tersebut.
25
Untuk mendapat informasi tentang aspek budaya yang sebaiknya
diketahui siswa peneliti melakukan analisis buku teks dan FGD dengan para guru
Bahasa Inggris SMP. Untuk mengetahui tentang kebutuhan dalam proses
pembelajaran peneliti juga melakukan observasi kelas.
2. writing the course grid ( merancang course grid)
Setelah studi pendahuluan dilakukan, langkah berikutnya adalah merancang
course grid. Setelah mendapatkan hasil dari analisis kebutuhan, peneliti
menggunakan hasil itu sebagai pedoman untuk menyusun course grid yang
meliputi unsur pengetahuan tentang budaya dan bahasa yang harus dipelajari
siswa. Course grid ini merupakan pedoman dalam pengembangan materi. Course
grid ini terdiri dari: aspek budaya, topik tujuan pembelajaran, unsur kebahasaan,
contoh ekspresi, kosakata kunci, input teks, media dan aktivitas pembelajaran.
3. developing the first draft (mengembangkan draft pertama)
Tahap ini merupakan tahap perancangan silabus dan penyusunan draft awal buku
ajar bahasa Inggris SMP yang akan dikembangkan, termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana yang diperlukan untuk uji coba dan validasi silabus, alat evaluasi
dan lain-lain. Proses perancangan awal ini menjadikan Course grid sebagai
acuan.
4. evaluating the first draft (mengevaluasi draft pertama)
26
Langkah ini penting untuk dilakukan untuk menjamin bahwa draft awal yang
dikembangkan telah mempertimbangkan kelayakan aspek materi maupun aspek
pembelajaran. Kajian dan evaluasi terhadap draft awal ini dilakukan oleh ahli
materi dan ahli pembelajaran (expert judgment). Langkah ini dimaksudkan untuk
memperoleh masukan dari ahli materi dan ahli pembelajaran tentang draft awal
yang telah dikembangkan. Dengan demikian diharapkan secara prinsip teoretis,
rancangan (draft) awal telah memenuhi syarat.
5. developing the second draft ( mengembangkan draft kedua)
Berbagai saran dan masukan dari ahli materi dan pembelajaran akan digunakan
sebagai pedooman untuk merevisi draft pertama.
6. trying-outs (uji coba)
Tujuan dari tahap ini adalah memperoleh deskripsi latar (setting) penerapan atau
kelayakan suatu model buku ajar dengan meminta pendapat para praktisi
pengajaran bahasa Ingris di SMP dan juga para pakar jika produk tersebut benar-
benar layak dikembangkan menjadi buku ajar bahasa Inggris di SMP. Uji coba
pendahuluan ini bersifat terbatas. Hasil uji coba terbatas ini dipakai sebagai bahan
untuk melakukan revisi terhadap draf buku ajar yang akan dikembangkan.
7. evaluating the second draft; (mengevaluasi draft kedua)
Evaluasi terhadap draft dilakukan berdasarkan hasil dan informasi yang didapat
selama uji coba. Di tahapan ini meliputi pula interview terhadap siswa SMP.
8. developing the third draft (mengembangkan draft ketiga)
Infomasi yang diperoleh dari tahapan sebelumnya diguankan untuk memperbaiki
draft dan mengembangkan draft terakhir.
27
9. (trying-outs ) uji coba lanjut
Tahap ini biasanya disebut sebagai uji coba utama dengan jangkauan yang lebih
luas. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menentukan apakah draf buku ajar yang
baru saja dikembangkan itu benar-benar siap dipakai di sekolah tanpa melibatkan
kehadiran peneliti atau pengembang produk. Pada umumnya, tahap ini disebut
sebagai tahap uji validasi model.
10. Developing the final draft
Tahap ini meliputi pengembangan draft terakhir berdasarkan masukan dan
informasi yang diperoleh pada tahapan sebelumnnya.
11. Diseminasi dan Implementasi
Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian.
Adapun keseluruhan tahapan-tahapan penelitian ini secara lengkap, dapat
dilihat pada diagram berikut.
PENGEMBANGAN BUKU AJAR BAHASA INGGRIS SMP BERBASIS MULTI KULTURAL SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL
TAHUN IStudi Pendahuluan, Perencanaan,
Pengembangan, dan Validasi.
Identifikasi Buku Ajar Bahasa Inggris yang digunakan di SMP di DIYIdentifikasi Aspek-aspek Budaya yang ada pada Buku Ajar Bahasa Inggris SMP
Identifikasi Tanggapan para Guru, Siswa dan Orang tua SiswaIdentifikasi Pemahaman Guru dan Siswa serta Orang Tua Siswa tentang Insersi Nilai-Nilai Budaya pada Pembelajaran Bahasa Asing (Analisis Kebutuhan di Lapangan)
Pola/Bentuk Insersi Budaya pada Buku Ajar Bahasa Inggris SMP
Penyusunan Silabus dan draf awal Buku Ajar Bahasa Inggris SMP berbasis Multikultural.Perumusan Tujuan Pengembangan Buku Ajar Bahasa InggrisValidasi oleh Ahli Materi (expert judgment)
TAHUN IIPengembangan Buku Ajar
Bahasa Inggris SMP
Uji Coba Keterbacaan Buku Ajar di Lapangan Terbatas.
Uji Coba Keterbacaan Buku Ajar di Lapangan Luas.
Evaluasi dan Revisi
Model Buku Ajar
Sosialisasi/Desiminasi dan PublikasiModel Buku Ajar
28
29
E. Hasil/Sasaran yang Direncanakan
Penelitian ini merupakan penelitian multitahun tahun pertama. Hasil yang
diharapkan untuk tahun pertama adalah, pertama, identifikasi buku-buku ajar
bahasa Inggris yang banyak digunakan di SMP di DIY. Kedua, identifikasi
tanggapan dan tingkat pemahaman para guru tentang pola-pola insersi budaya
pada pembelajaran bahasa asing. Ketiga, identifikasi aspek-aspek multikultur dan
pola insersi budaya asing yang ada di dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP
yang banyak digunakan di wilayah DIY. Keempat, menyusun pola-pola insersi
multikultur pada buku ajar bahasa Inggris SMP.
Pada tahun kedua, hasil yang diharapkan adalah pengembangan buku ajar
bahasa Inggris SMP berbasis multikultur dengan memasukkan aspek-aspek
budaya lokal atau budaya bangsa Indonesia sendiri.
30
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAAN
Pada bab ini disajikan hasil penelitian yang telah dilakukan beserta
pembahasannya. Secara umum bab ini dibagi menjadi dua sub bagian yakni:
deskripsi umum hasil penelitian, dan pembahasan tentang pola insersi budaya
pada buku ajar bahasa Inggris SMP.
A. Deskripsi Umum Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan awal dan komunikasi informal dengan
guru-guru di sekolah, dan mahasiswa prodi Pendidikan bahasa Inggris yang
sedang melakukan KKN-PPL di sekolah pada semester khusus Tahun Akademik
2010/2011 teridentifikasi tujuh judul buku ajar Bahas Inggris yang dipakai
sebagai sumber bahan belajar di SMP utamanya kelas VII di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Ketujuh buku ajar inilah yang kemudian dijadikan sampel
penelitian ini. Ketujuh buku tersebut adalah sebagai berikut.
1. Real Time ( Erlangga)
2. English on Sky (Erlangga)
3. Interactive English (Yudhistira)
4. The Bridge to English Competence (Yudistira)
5. English in Focus (BSE)
6. Passport to the World (Platinum Tiga Serangkai)
7. Scaffolding (BSE)
31
Sementara itu berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang
dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2011 di Ruang Cine Club FBS UNY dan
melibatkan 20 orang guru Bahasa Inggris SMP yang mengajar di Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta dan juga 10 orang guru bahasa Inggris SMP yang mengajar
di propinsi Kalimantan Selatan yang sedang menempuh S2 di Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta diperoleh informasi tentang tingkat
pemahaman guru mengenai insersi budaya asing pada praktik pembelajaran
bahasa asing khususnya bahasa Inggris, dan juga tanggapan mereka akan perlunya
melakukan insersi budaya lokal dan aspek budaya yang diajarkan serta cara
mengintegrasikannya di dalam proses pembelajaran.
Secara umum sebagian besar peserta FGD menyatakan telah
menginsersikan budaya Indonesia dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Komponen
budaya yang dimaksud secara umum dibagi menjadi tiga komponen umum
kebudayaan yakni, cultural knowledge, patterns of behaviours dan cultural
representation. Hasil FGD selengkapnya terdokumentasi dalam notulensi FGD
yang ada pada bagian lampiran laporan ini.
Selain ditujukan untuk mengidenfikasi tingkat pemahaman dan pendapat
guru tentang insersi budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek multikultur dan pola insersi
budaya asing yang ada dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP tersebut.
Berdasarkan pembacaan pada ketujuh buku ajar Bahasa Inggris yang
dijadikan sampel penelitian ini berhasil teridentifikasi aspek-aspek multikultur
dan juga komponen-komponen budaya yang diinsersikan pada materi
32
pembelajaran bahasa Inggris, baik yang berupa budaya Indonesia maupun budaya
barat, yang utamanya diwakili oleh budaya Amerika.
Berbicara mengenai aspek-aspek multikultur, dalam ketujuh buku yang
dijadikan sampel penelitian ini ditemukan beberapa aspek multikultur, utamanya
yang terkait dengan aspek gender, ethnicity, race, dan culture. Aspek gender
(perbedaan jenis kelamin) ditunjukkan dengan adanya pemakaian model gambar
untuk ilustrasi maupun nama-nama orang yang digunakan dalam teks bacaan yang
mewakili kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan wanita. Sementara itu, aspek
ethnicity dan race ditunjukkan misalnya dengan: 1) penggunaan nama-nama orang
yang berasal dari suku bangsa yang berbeda, baik yang ada di Indonesia maupun
yang ada di luar Indonesia, seperti dari India, Jepang, Jerman, dan Indonesia
(misalnya penggunaan nama Hans, Butet, Made, Wisnu, Alice, dan sebagainya);
dan 2) teks dan gambar tentang makanan khas satu negara (seperti, pasta, pizza,
fried rice (yang dikenal sebagai nasi goreng dalam budaya Indonesia).
Dari keempat aspek multi kultur tersebut aspek budaya (culture) lah yang
paling dominan. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat sampel penelitian ini
adalah buku ajar bahasa (yang dalam hal ini buku ajar bahasa Inggris SMP).
Ketika berbicara mengenai bahasa tentu tidak bisa dilepaskan dengan
perbincangan mengenai budaya, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya
seperti halnya pernyataan Foley (2001:19) bahwa, “ Language is often treated
theoretically as a sub system of culture… . Oleh karenanya mengajarkan bahasa
tidaklah mungkin dilakukan tanpa disertai dengan mengajarkan budaya
masyarakat penuturnya seperti halnya ungkapan Brown dalam Richards and
33
Renandya (2002: 12) bahwa “whenever you teach a language, you also teach a
complex system of cultural customs, values, and ways of thinking, feeling, and
acting”. Oleh karena itu aspek multikultur yang berupa aspek budaya (culture) lah
yang kemudian menjadi fokus pembahasan dalam bab ini. Berikut adalah 2 tabel
yang menunjukkan gambaran umum aspek budaya yang teridentifikasi dari
ketujuh buku ajar bahasa Inggris tersebut, yang secara umum dapat dikategorikan
menjadi tiga komponen utama budaya yakni cultural knowledge/belief, patterns of
behaviour, dan cultural representations.
Tabel 1. Insersi Budaya Barat pada Buku Ajar SMP
Wujud InsersiKomponen Budaya
Keterangan HalamanCultural Knowle
dge (CK)
Patterns of
Behaviors (PoB)
Cultural Representations
(CR)
1. Real Timea. Gambar 2 12 10 CK=19
PB=1,3,8,16,19,30,70,72,8 6,116,123
CR=0,16,38,40,59,100,109,112, 115
b. Tulisan 4 17 12 CK=14,68,17,19,52,115PB=2,17,23,25,33,46,52,63,87,88,89,98,106,115,125,1
26CR=2,16,19,40,41,56,59,6,
77,88,1131492. English on
Skya. Gambar 0 10 4 CK=0
PB=24,29,47,95,100,104,1 12,14
CR=112,120,142,148b. Tulisan 2 27 19 CK=24,81
PB=22…183,15,2,24,26,28,60,78,81,
83,86
34
CR=22…83,26,783. The Bridge of
English Competence for SMP grade VIIa. Gambar 11 21 32 CK=23,22, 24
yang biasa dipakai untuk menamai orang barat (pada halaman:
2,16,19,40,41,56,59,63,77,88, 113), kebiasaan yang dilakukan ketika
liburan (pada halaman: 23), konsep tentang public dan private school
(pada halaman 25), konsep tentang slumber party (halaman 46),
46
kebiasaan membaacakan cerita pada anak sebelum tidur (halaman 52),
satuan yang digunakan untuk melakukan pengukuran berat (halaman
87), kebiasaan makan di luar ruangan (barbeque) (halaman 89), alat
transportasi yang umum digunakan orang Amerika untuk bepergian
(halaman 106), makanan dan minuman khas Amerika (halaman 112),
dan kebiasaan makan dan tata cara makan di restoran Amerika (125).
(3) Cultural Representation
Komponen budaya yang berupa cultural representation yang
ditemukandalam buku ini diantaranya berupa: nama-nama orang barat
(2,16,19,40,41,56,59,63,77,88, 113), postur orang barat (halaman 16,
38, 40, dan 49), gambar poster film barat (halaman 59), gambar tempat-
tempat umum di Amerika, seperti stasiun kereta, bandar udara, dan lain
sebagainya (halaman 100), makanan dan minuman khas Amerika
(halaman 109, dan 112)
b. Budaya Indonesia
(1) Cultural Knowledge
Tidak ditemukan data mengenai komponen budaya ini yang sesuai
dengan konsep budaya Indonesia.
(2) Patterns of Behaviours
Komponen budaya ini ditunjukkan diantaranya dengan: gambar
petamni yang sedang membajak sawahnya dengan kerbau (halaman
12), kebisaan menyeberang jalan yang dilakukan anak-anak sekolah
47
(halaman 21), dan teks tentang menu makanan Indonesia (halaman
114).
(3) Cultural Representations
Komponen budaya yang berupa cultural represenations paling banyak
ditunjukkan dalam bentuk nama-nama tempat dan orang Indonesia yang
digunakan dalam buku ini (pada halaman 2,3,4,16,17,
23,29,32,44,51,,53,99, dan 112).
Buku 2
Identitas Buku
Judul : English on Sky 1 for Junior High Scool Year VII
Pengarang : Dr. Mukarto, M.Sc., Sujatmiko B.S., S.Pd.,
Josephine Sri Murwani, S.Pd., Widya Kiswara, S.Pd.
Penerbit : Erlangga
Tempat/tahun
terbit
: Jakarta, 2007
1. Deskripsi Umum
Buku ini terdiri dari 202 halaman yang terbagi menjadi tujuh unit.
Setiap unit diberi nama atau judul/ topik tersediri dan dibagi atas tiga bagian
48
utama. Bagian pertama setiap unit disebut dengan On Air, yang berisi kegiatan
Warming Up atau pengenalan topik. Bagian kedua merupakan bagian kegiatan
utama yang dibagi menjadi dua kegiatan utama, yakni Let’s Listen and Talk
yang berisi aktivitas-aktvitas atau latihan yang terkait peningkatan kemampuan
mendengarkan dan berbicara, dan Let’s Read and Write, yang secara umum
berisi empat kegiatan utama, yakni: Let’s build the Field, Let’s Learn the
Model, Let’s Learn to Construct Texts, dan Let’s Construct Texts. Yang
menarik dari buku ini pada bagian/kegiatan utama yakni Let’s Listen and Talk
dan Let’s Read and Write seringkali terdapat sub-bagian tambahan yakni
Grammar Pit Stop, yang berisi penjelasan item grammar yang digunakan pada
seb bagian sebelumnya. Sedangkan bagian terakhir setiap unit ada semacam
kegiatan untuk pengayaan yang diberi judul berbeda-beda sesui dengan topik
unit yang diacu.
2. Pola Insersi dan Media Insersi Budaya
Secara umum buku ini tidak kalah menarik dengan buku yang pertama.
Namun ada satu perbedaan mendasar antara buku ini dengan buku yang
pertama, terutama dalam hal cara menginsersikan aspek budaya baik budaya
barat maupun budaya indonesia. Kalau dalam buku yang pertama terdapat ada
dua cara insersi yakni dengan cara eksplisit dan implisit, dalam buku ini
banyak digunakan cara implisit dengan cara menyisipkan konsep-konsep
budaya barat dalam gambar maupun teks yang digunakan.
3. Komponen Budaya yang Disisipkan (diinsersikan)
49
Adapun konsep-konsep budaya yang dikenalkan utamanya berwujud
cultural behavors yang ada di kedua sistem budaya, yakni budaya Barat dan
Indonesia. Konsep-konsep budaya tersebut diantaranya ditunjukkan dengan:
cara mengenalkan diri (halaman 15, 20), waktu kegiatan baik menurut budaya
barat maupun budaya Indonesia (halaman 60,61-62), kebiasaan berpakaian
(misalnya pada halaman 5,13,20,148), pesta (163).
Dalam buku ini secara implisit menunjukkan konsep/ide dan praktek
budaya yang biasa dilakukan untuk melalui gambar ataupun teks. Untuk
konsep tentang mengenalkan diri, misalnya dalam buku ini ditunjukkan dengan
melalui teks percakapan yang disertai ilustrasi dan inti percakapan adalah
tentang mengenalkan diri. Pada halaman 15 digunakan gambar kartun yang
menunjukkan dua orang tengah berkomunikasi dan ada teks pendek yang berisi
ungkapan/ekspresi yang diucapkan untuk mengenalkan diri. Adapun pada
halaman 20 berupa percakapan dua orang yang yang disertai ilustrasi foto
seorang murid perempuan yang sedang mewawancarai seorang murid laki-laki.
Percakapan dan gambar pada halaman 20 ini selain menunjukkan ekpresi yang
lazimnya digunakan orang barat menanyakan nama juga disertai dengan
pengenalan kebiasaan orang barat yang suka mengeja namanya, mskipun
dalam percakapan ini yang melakukan adalah siswa Indonesia. Kebiasaan
mengeja nama memang hal yang bisa dalam konteks budaya barat, meskipun
harusnya konteks percakapan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Adapun mengenai konsep waktu, dalam buku ini ditunjukan kebiasaan
orang barat yang memulai aktifitas di sekolah pada pukul 9 dan juga
50
dikenalkan konsep waktu dalam konteks budaya Indonesia dimana umumnya
orang bangun pagi kira-kira pukul 5 dan aktifitas sekolah umumnya dimulai
pada pukul tujuh pagi. Sama halnya dengan konsep pengenalan diri dan konsep
waktu, untuk konsep tentang cara penulis buku ini juga menunjukkan adanya
kebiasaan berpakain pada konteks kedua sistem budaya. Namun, untuk konsep
tentang pesta, buku ini hanya menunjukan contoh suasana pesta yang lazimnya
ada di konteks budaya barat dan bukan budaya Indonesia.
Selain memuat pesan, tentang konsep dan pola kebiasaan berbudaya
tersebut, ternyat dalam buku ini juga tersirat adanya superiorty pada salah satu
budaya tertentu. Superiority pada budaya barat misalnya ditunjukkan dengan
adanya perbandingan yang tidak seimbang dalam hal jumlah gambar maupun
substansi dari gambar. Hal ini misalnya dapat dilihat pada contoh kegiatan
pada halaman 86 yang menunjukkan kegiatan yang bertemakan Talking about
Jobs. Berikut adalah gambar yang digunakan sebagai input teks pada kegiatan
latihan tersebut.
51
Gambar 5. Gambar yang menunjukkan dominasi budaya barat.
(Mukarto, dkk. 2007: 86)
Gambar tersebut menunjukkan dominasi barat terhadap Indonesia, hal itu
ditunjukkan dengan jumlah gambar yang lebih banyak diwakili oleh model barat
yakni berjumlah 14 sedangkan model yang berpostur Indonesia hanya dua dan itu
pun digunakan untuk model pada profesi anggota polisi dan yang satunya adalah
petani.
52
Superiority barat juga dapat dilihat pada halaman 120-121. Pada kedua
halaman ini ditampilkan gambar-gambar yang digunakan untk memberi ilustrasi
pada aktifitas terkait pengucapan vokal (æ) dalam bahasa Inggris. Diantara
gambar-gambar tersebut ada gambar foto artis Indonesia yang berpostur gemuk
yang digunakan untuk menunjukkan kata fat sedangkan untuk kata happy
digunakan model yang berasal dari barat. Kedua hal ini menunjukkan masih
adanya kesan superiority budaya barat yang diwakili oleh Amerika atas budaya
timur, yang dalam hal ini diwakili oleh Indonesia.
Melampaui semua deskripsi tersebut buku ini cukup memberikan porsi
yang cukup adil akan munculnya aspek-aspek budaya Indonesia yang mencoba
untuk disandingkan dengan aspek-aspek budaya barat yang ditampilkan.
Buku 3
Identitas Buku
Judul : The Bridge English Competence for SMP Grade VIIPengarang : Kistono, Ismukoco, Albert Tupan, Esti Tri AndayaniPenerbit : YudhistiraTempat Terbit : IndonesiaTahun Terbit : Juli, 2006
1. Deskripsi Umum
Judul lengkap buku ini adalah The bridge English Competence for SMP
Grade VII, ditulis oleh Kistono, Ismukoco, Albert Tupan, Esti Tri Andayani,
diterbitkan oleh Yudhistira tahun 2006 di Indonesia. Buku ini terdiri dari 7 unit
yang masing-masing mengusung tema tertentu yaitu: Personal Life (1), School
Life (2), Family Life (3), Professions (4), Hobbies (5), Things Around Us (6),
53
Shopping (7). Di awal setiap unit terdapat bagian introduction dan learning
objectives beserta kerangka umum unit tersebut. Di setiap bab, 4 keterampilan
utama mendapat porsi tersendiri dengan urutan: listening, speaking, reading dan
writing. Chat Room adalah sebuah bagian dari unit buku yang lebih fokus pada
latihan komunikasi sedangkan Grammar Help adalah untuk untuk penjelasan
grammar. Ekspresi yang dicakup dalam buku ini adalah : How to greet and
introduce someone, How to give command, How to say sorry, Expression of
agreement and disagreement, How to thank people, Asking time, Asking and
giving factual information, How to express of politeness, Asking and giving facts,
Asking for clarification, Expression of like and islike, Asking and giving opinion,
Asking and offering a favor, dan How to offer something. Selain ini, buku ini
dilengkapi pula dengan petunjuk penggunakan (How to use this book). Total
jumlah halaman adalah 152. Buku ini juga memiliki unsur pelengkap seperti
What’s up, Rrivial quiz, Note, Quizz on personal life yang muncul di setiap unit.
2. Pola insersi dan Media Insersi Budaya
a. Pola Insersi
Secara umum pola insersi budaya yang ada di dalam buku ini disampaikan
secara implisit melalui tulisan dan gambar. Budaya Indonesia dan asing yang sam-
sama dimunculkan di dalam buku ini. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut
tentang kedua media insersi tersebut.
b. Media insersi
1) Budaya Barat
a) Gambar
54
(1) Cultural Knowledge
Salah satu aspek CK yang diinsersikan adalah aturan sekolah
(halaman 23,22, 24) sebanyak 11 item. Aturan ini berisi perintah dan
larangan yang sekaligus bisa dikatakan sebagai norma yang berlaku di
lingkungan sekolah. Contohnya adalah larangan merokok disekolah,
larangan memakai kaos, larangan memakai sendal jepit, anjuran
membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan lingkungan,
dan menempatkan buku di rak buku.
(2) Pattern of Behaviour
(a) Makan di luar ruangan (pesta kebun)
Di halaman 27 terdapat gambar 2 keluarga Inggris yang tengah
menikmati makan di luar ruangan. Mungkin pula itu adalah sebuah
moment pesta kebun sederhana. Pesta kebun atau garden party sering
dilakukan di budaya Inggris pada momen-momen tertentu dimana
mereka membawa meja makan ke luar ruangan untuk digunakan
untuk tempat menghidangkan makanan.
(b) Tegur sapa dan perkenalan (menjabat tangan)
Tegur sapa (greeting) adalah salah satu budaya unik di Inggris. Begitu
pula dengan perkenalan. Untuk 2 momen ini ada aturan budaya
tertentu yang berlaku dan berbeda dengan budaya lainnya. Misalnya
wajib bagi orang yang disapa untuk menjawab sapaan juga membalas
perkenalan karena jika tidak bisa dianggap tidak sopan atau kasar.
Dua momen sosial ini juga sering disertai momentum berjabat tangan.
55
Di dalam buku ini terdapat gambar orang saling berjabat tangan dalam
konteks perkenalan.
(c) Belanja di mall/departement store
Buku ini memperlihatkan bagaimana 2 wanita berpostur dan
penampilan asli Eropa berbelanja di mall. Kebiasaan untuk berbelanja
di mall sebenarnya bukan saja milik kebudayaan Inggris.
(d) Hobi
Setiap manusia kebanyakan memiliki kegemaran atau hobi. Buku ini
di halaman 74 memuat gambar aktivitas beberapa orang berpostur
Eropa (Inggris) tengah melakukan hobi mereka, misalnya bermain
musik, berenang,berkebun, bermain game dan lainnya. Disamping
gambar bagian ini juga dilengkapi tulisan. Perihal hobi ini juga
merupakan fenomena sosial dalam sebuah kebudayaan.
(3) Cultural Representation
(a) Bangunan dan ruangan
Pada halaman sampul, buku ini memuat gambar rumah dan jembatan
dengan pepohonan yang meranggas di sekitarnya. Gambaran pohon
yang gugur selurih daunnya ini seperti menunjukan kondisi
lingkungan pedesaan di Eropa begitu pula model jembatan yang
ada. Di halaman 47 terdapat wanita Eropa tengah duduk di ruang
kerjanya, seorang guru mengajar beberapa siswa si ruang kelas, juga
pegawai pos yang berpose di depan sebuah gedung. Pada halaman 29
terdapat bagian-bagian rumah yang mirip nuansa Eropa, akan tetapi
56
ini tidak bisa dipastikan mengingat di era globalisasi ini amat
mungkin orang dari berbagai belahan dunia memiliki desain rumah
yang lazim ada di budaya lain termasuk Eropa.
(b)Perkakas dan Alat
Meliputi alat masak (halaman 31,34,33,51,111,112,117,121,120),
alat transportasi (33, 67,55,82,83,84,93), alat komunikasi,
komputer/IT (halaman 51), alat tulis (halaman 17), perlengkapan
mandi ( halaman 32), alat makan (34,109), alat olahraga (73), alat
kedokteran (halaman 51), alat pertukangan (halaman 51), alat musik
(70,75,82).
(c)Pakaian dan aksesoris
Pakaian dan aksesoris muncul di halaman (11,13,85,89,90,13)
sebanyak 47 kali.
b) Tulisan
(1)Cultural Knowledge
(a) Pepatah
Pepatah atau wise words ini terdapat di bagian akhir unit tertentu
(halaman14,26,63,82, 115) dan muncul sebanyak sebanyak 15
kali.Contoh peribahasa tersebut adalah: Thinking is the hardest
work, many hands make light work, always be smarter than the
people who hire you, travel broadens the mind. Travel is the best
teacher. You win a few; you loose a few, buyer needs a hundred
57
eyes, the seller needs only one, money often cost too much. Jenis
pepatah ini menyesuaikan topik yang ada, misalnya jika topik yang
tengah disajikan adalah shopping maka pepatah yang dipilih adalah
pepatah terkait uang atau belanja itu sendiri. Pepatah merupakan
hal yang ada dalam hampir setiap kebudayaan termasuk Inggris.
Pepatah ini mucul sejak lama dan diwariskan turun temurun dan
sering menjadi keyakinan serta bahan perimbangan seseorang
dalam beraktivitas sehari-hari.
(b) Karakter baik dan buruk
Konsep karakter baik dan buruk ini muncul di halaman halaman
19 dan 20. Contoh karakter yang baik adalah friendly, kind, patient,
dan discipline, sedang karakter buruk misalnya adalah egois,lazy,
ignored dan careless. Karakter baik dan buruk yang dipilih ini
adalah berdasarkan konsep nilai yang berlaku secara universal.
(c) Kesopanan berbahasa
Pada halaman 57 terdapat bagian khusus semacam kolom yang
memuat informasi tentang asek sopan santun dalam berbahasa
Inggris yaitu tentang penggunaan kata please dan modals seperti
could, should dan may.
(2)Pattern of Behaviour
(a) Tegur sapa dan perkenalan (unit 1)
Tegur sapa dan perkenalan adalah 2 peristiwa sosial yang
mendapat perhatian lebih dalam budaya Inggris. Ada semacam
58
aturan bahwa misalnya jika seseorang tidak membalas sapaan maka
akan dikesankan tidak sopan. Dua hal ini menjadi satu unit
tersendiri dan nampaknya mendapat porsi cukup besar mengingat
ini adalah 2 keterampilan sosial yang jadi bekal penting dalam
komunikasi.
(b) Ulang tahun
Kata birthday atau ulang tahun muncul di halaman 8 dan 87.
Birthday ini menjadi salah satu momen penting dalam budaya
Inggris yang seringkali dirayakan dengan pesta tertentu.Tentu saja
cara merayakan hari ulang than di setiap budaya tidak sama.
(c) Pramuka
Kata scouting atau di Indonesia Pramuka, muncul di halaman 21.
Ini merupakan aktivitas yang biasa dilakukan remaja usia sekolah.
(d) Penamaan dan nama keluarga
Penamaan disini termasuk pemilihan nama dalam budaya Inggris
juga cara memanggil sesorang dalam budaya Inggris. Nama
panggilan seperti Mr. Smith, Miss Linda (halaman 6), Margareth,
Anne Frank, (halaman 26) dan banyak lainnya menunjukan
kebiasaan jenis nama yang ada di kebudayaan Inggris. Selain itu,
konsep nama keluarga juga muncul dalam buku ini misalnya The
Taylor family (halaman 33 dan 34).
(3) Cultural Representation
(a) Nama kota
59
Kota Seattle muncul di halaman 10 mewakili informasi geografis
di Amerika.
(b) Mata uang (euro)
Di halaman halaman 113 terdapat ungkapan tentang mata uang
Euro, merepresentasikan mata uang yang berlaku di negara
anggota Uni Eropa.
2) Budaya Indonesia
a) Gambar
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data
(2) Patterns of Behaviours
Selain gambar-gambar karya budaya, buku ini juga menghadirkan
gambar yang merupakan representasi kebiasaan manusia. Hal ini
terlihat pada beberapa gambar yang ada di buku ini.
(a) Fashion
Gambar seorang wanita dengan baju jenis tank top. Tata cara
berpakaan seperti ini kurang sesuai dengan beberapa budaya
lokal Indonesia yang terutama berbasis agama tertentu, namun
hal ini diterima dalam budaya populer Indonesia yang diusung
selebritis. Buku ini secara tidak langsung mengekspos tata cara
berbusana di depan umum yang kemungkinan kurang berterima
di kalangan masyarakat tertentu. Baju batik muncul dalam
konteks seragam sekolah.
60
(b) Berbelanja di toko/mall
Kondisi gambar yang bersetting Indonesia (ada tulisan expo
salon) menunjukan wajah ibu-ibu yang kurang ceria, susunan
barang obralan yang berantakan. Ini kontras dengan gambar 2
wanita asing (bule dan Afro) di halaman sebaliknya yang
berbelanja di mal dengan membawa tas belanja yang sangat
rapi dan indah dan mereka tersenyum lebar.
(c) Kebiasaan sehari-hari khas pelajar Indonesia
Halaman 66 memuat 8 aktifitas yang dilakukan seorang pelajar
Indonesia dan menjadi kebiasaan pelajar Indonesia secara
umum. Aktifitas tersebut disertai pula dengan jam. Disana
terlihat pelajar Indonesia memulai aktifitas lebih pagi
dibanding remaja di negara yang mengadopsi budaya Inggris,
salah satunya.
(d) Bertani/bercocok tanam
Indonesia adalah negara agraris oleh karena itu contoh aktifitas
keagrarisan juga muncul di buku ini sebagai bentuk kebiasaan
orang Indonesia (halaman 76 dan 117).
(3) Cultural Representation
(a) Perkakas dan Alat
Meliputi alat masak (halaman
31,34,33,51,111,112,117,121,120), alat transportasi (33,
67,55,82,83,84,93), alat komunikasi, komputer/IT (halaman
61
51), alat tulis (halaman 17), perlengkapan mandi ( halaman
32), alat makan (34,109), alat olahraga (73), alat kedokteran
(halaman 51), alat pertukangan (halaman 51), alat musik
(70,75,82). Contoh budaya Indonesia yang muncul dalam
bentuk gambar adalah alat memasak pada halaman 34 dan 8.
Salah satu dari gambar itu adalah tungku atau kompor yang
lazim dikenal sebagai kompor minyak tanah dengan sebuah
panci di atasnya. Secara tidak langsung gambar ini
menggambarkan sebuah budaya pengolahan
makanan/minuman di Indonesia. Kompor sejenis ini dipakai
secara masal oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, namun
khususnya di pulau Jawa terutama daerah kota kompor sejenis
ini sudah ditinggalkan masyarakat seiring diberlakukannya
konversi minyak tanah ke gas. Siswa, terutama yang
lingkungan sosialnya sudah menerapkan konversi ini, akan
lebih menjumpai kompor gas dibanding minyak tanah. Gambar
kompor ini menjadi menarik jika dihubungkan dengan
masalah keterwakilan sebuah konsep oleh gambar Pertama
bisa dikatakan bahwa konsep kompor (stove) memunculkan
gambaran yang berbeda bagi beberapa orang. Saat mendengar
kata stove di benak siswa bisa muncul gambar kompor minyak
tanah atau kompor gas. Bahkan sangat mungkin di masyarakat
Inggris, konsep kompor/stove direperesentasikan dengan
62
bentuk sebuah tungku kotak berukuran cukup besar yang bisa
berbakar gas ataupun listrik yang dilengkapi dengam
pemangang/oven. Di Indonesia, khususnya masyarakat umum,
kompor dan oven/pemanggang adalah 2 konsep yang berbeda.
(b) Bangunan dan ruang
Bagunan dan runag yang mewakili Indonesia muncul di
halaman 28,33, 29.
(c) Furniture
Pada halaman 23,24,29,31,32 terdapat gambar furniture
sebanyak 13 jenis.
(d) Pakaian dan aksesoris (11,13,85,89,90,13) sebanyak 47 kali.
b) Tulisan
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of Behaviors
(a) Kekerabatan
Nama keluarga Indonesia dipakai di dalam buku ini, dan bukan
nama keluarga Eropa. Misalnya keluarga Andi Nugroho dan
Lisa Nugroho (halaman 32-33)
(b) Gelar akademik Indonesia (Sarjana Ekonomi, halaman 48)
(c) Kebiasaan sehari-hari pelajar indonesia41.42, 66
(d) Nama koran Indonesia; Jawa pos (halaman 55)
63
Fenomena yang cukup menarik yang berhasil ditemukan di
dalam buku ini diantaranya adalah dijadikannya budaya Indonesia
sebagai konteks atau framework bagi siswa/penulis untuk
memutuskan jawaban benar atau salah terhadap sebuah aktivitas
pemecahan masalah/latihan. Contoh di di dalam buku The Bridge
English Competence halaman 116 terdapat instruksi dan tabel
berikut:
Task 2 In small groups, complete the table using the correct words of
your own.
Profession Color of uniform
Place of work
Kinds of Work
1 ……….. Grey or brown
….. Teach….
2 policeman …….. In streets Direct…3 …………. White …… Cure…4 Soldier ……. Battle field ….enemies.5 ………. Colourful ………. Serve passengers
in the plane6 Postman ………. From house
to houseDeliver………
7 ……. White and blue
Offices, schools, banks
………
Latihan ini bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk insersi budaya
Indonesia di dalam buku teks. Letak insersinya terlihat dari
petunjuk (clue) untuk jawaban benar. Contoh untuk soal nomor
satu, wana abu-abu dan atau coklat adalah baju khas atau baju
wajib bagi guru di Indonesia, sementara di negara lain, dalam hal
ini English speaking countries, para guru tidak harus berpakaian
64
dengan kedua warna tersebut. Juga pada soal nomor 7, jawaban
yang mungkin diminta dari soal tersebut adalah satpam (security).
Dan seperti diketahui bersama, tidak semua petugas keamanan
berpakaian dengan warna putih dan biru. Jadi dalam mengerjakan
Task 2 ini siswa akan berfikir dengan menggunakan framework
Indonesia. Task ini tidak memberi petunjuk tentang konteks
budaya mana yang harus dipakai untuk melengkapi bagian kosong
tersebut. Bisa saja terjadi nanti siswa memiliki perbedaan jawaban
karena mereka menggunakan seting budaya yang berbeda,
misalnya satu siswa berfikir tentang bagaimana polisi berseragam
di Indonesia (coklat) dan Australia/ Inggris (biru tua dan biru
muda).
(3) Cultural Representation
Tidak ada data.
Buku 4
Identitas Buku
Judul Interactive English Junior High School Grade VII)Pengarang/Penyusun Emalia Iragila S, Iswahyuni, farida ulfa,Maria
Tulisan sebagai media insersi budaya Indonesia tidak banyak dipakai
dalam buku ini. Komponen budaya yang muncul dalam tulisan hanya berupa
cultural knowledge berupa budaya sapaan, dimana kata “Mrs”, yang sebenarnya
merupakan budaya barat digunakan dengan nama panggilan/nama depan, yang
merepresentasikan budaya Indonesia. Namun, insersi ini tidak disertai penjelasan
dan perbandingan budaya barat-Indonesia sehingga berpotensi menimbulkan salah
paham.
120
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian sebagaimana telah disajikan pada Bab
IV, dan juga sejalan dengan fokus atau rumusan masalah yang telah ditetapkan,
maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Dalam praktek pembelajaran bahasa Inggris di SMP di wilayah
Yogyakarta dan sebagian wilayah Kalimantan Selatan, para guru menyatakan
kalau selain mengajarkan bahasa mereka juga mengajarkan budaya baik budaya
barat maupun budaya Indonesia walaupun tidak mencakup semua aspek atau
komponen budaya.
Setelah melakukan pembacaan yang mendalam pada ketujuh buku ajar
Bahasa Inggris yang dijadikan sampel penelitian, diperoleh gambaran umum
aspek multikultur dan komponen budaya yang diinsersikan, cara yang dilakukan
penulis atau penyusun buku untuk menginsersikan komponen-komponen budaya
tersebut, serta media yang digunakan.
Aspek multikultur yang ditemukan, utamanya yang terkait dengan aspek
gender, ethnicity, race, dan culture. Aspek gender (perbedaan jenis kelamin)
ditunjukkan dengan adanya pemakaian model gambar untuk ilustrasi maupun
nama-nama orang yang digunakan dalam teks bacaan yang mewakili kedua jenis
kelamin, yakni laki-laki dan wanita. Sementara itu, aspek ethnicity dan race
ditunjukkan misalnya dengan: 1) penggunaan nama-nama orang yang berasal dari
suku bangsa yang berbeda, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar
Indonesia, seperti dari India, Jepang, Jerman, dan Indonesia (misalnya
121
penggunaan nama Hans, Butet, Made, Wisnu, Alice, dan sebagainya); dan 2) teks
dan gambar tentang makanan khas satu negara (seperti, pasta, pizza, fried rice
(yang dikenal sebagai nasi goreng dalam budaya Indonesia).
Adapun mengenai aspek budaya yang diinsersikan, secara umum aspek
budaya ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga komponen utama budaya yakni
yang berupa: cultural knowledge, patterns of behavior, dan cultural
representation. Pada sebagian besar buku tersebut, penulis lebih cenderung
melakukan insersi dengan cara implisit, yakni dengan mengintegrasikannya
dengan materi kebahasaan adapun sebagian yang lain melakukan insersi dengan
cara eksplisit yakni dengan menampilkan unsur budaya pada salah satu bagian
tertentu dalam setiap unit dalam buku yang mereka susun, yang khusus membahas
tentang budaya atu memberi catatan khusus setiap kali ada komponen budaya
asing yang menyertai materi kebahasaannya. Adapun media yang digunakan para
penulis untuk menginsersikan komponen-komponen budaya tersebut umumnya
adalah media gambar dan teks atau tulisan.
B. Saran
Hasil pembacaan pada buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di Daerah
Istimewa Yogyakarta tersebut menunjukkan fakta bahwa selalu ada komponen
budaya yang diinsersikan dalamnya. Oleh karena itu, diharapkan para guru
ataupun praktisi pembelajaran bahasa Inggris hendaknya menaruh perhatian pada
hal itu. Hal ini berarti, para guru diharapkan memiliki apa yang disebut sebagai
cultural awareness, yaitu kepekaan akan komponen budaya apa yang terinsersi
pada materi yang akan mereka ajarkan dan sekaligus diharapkan bisa memberikan
122
tambahan penjelasan pada para siswanya manakala komponen budaya yang
diinsersikan berbeda ataupun bahkan bertentangan dengan budaya Indonesia.
Sementara itu, bagi para pembelajar bahasa asing pada umumnya,
hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa mempelajari bahasa tidak mungkin
terlepas dari budaya masyarakat penuturnya. Hal ini berarti bahwa ketika mereka
mempelajari bahasa asing tentu saja mereka juga mempelajari budaya asing.
Mereka hendaknya menyadari hal itu, dan juga harus mempunyai pemahaman
yang komprehensif tentang budaya mereka sendiri, sehingga tidak terlarut dengan
budaya asing dan melupakan budaya mereka sendiri karena belum tentu budaya
asing tersebut dapat berterima dalam konteks budaya mereka.
123
Daftar Pustaka
Anderson, B. 2002. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Banks, J. A & Banks, C. A. M. (Eds.). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education. San Francisco: Jossey-Bass.
Banks, James A & Banks, Cherry A. McGee (2009). Multicultural Education: Issues and Perspectives. 111 River Street, Holoken, NJ USA: John Waley and Sons, Inc.
Bhaswara, R. 2008. “Ideologi, gagasan, tindakan, artefak: proses berarsitektur dalam telaah antropologis”. Jurnal Teori dan Desain Arsitektur Vol. 2 No. 2
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy, 2nd Edition. San Francisco: Longman A Pearson Education Company.
Choudhury, N.R. 1998. Teaching English in Indian Schools. New Delhi: APH Pub. Corp.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Foley, W. A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Inc.
Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, R. B. 2003. Educational Research: An Introduction. New York: Allyn and Bacon.
Grant, C. A. & Lei, J. L. (eds). 2001. Global Constructions Of Multicultural Education: Theories And Realities. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Guirdham, Maureen. (2005). Communicating Across Cultures at Work Second Edition. New York: Palgrave. Macmillan.
Kaiser, D. 2005. Pedagogy and the Practice of Science: Historical and Contemporary Perspectives. Massachusetts: MIT
Koentjaraningrat. 1986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
__________.1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Rineka Cipta.
Mesthrie, R., J. Swann, A. Deumer & W. L. Leap. (2009). Introducing Sociolinguistics. Edinburgh: Edinburg University Press.
Peoples, J., & Bailey, G. 2009. Humanity: an Introduction to Cultural Anthropology. Wadsworth: Wadsworth, Cengage Learning
Poespowardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Richards, J. C. & Renandya, W. (eds). 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Richard, J. C. & Schmidt, R. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics 3rd Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited.
Sharifian, F. & Palmer, G. B. 2007. Applied Cultural Linguistics Implications for Second Language Learning and Intercultural Communication. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Simanjuntak, H.A. 2011. “Budaya Politik Masyarakat Perkebunan (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)”. diambil dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23973
Sinagatullin, I. M. 2003. Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. London: The Scarecrow Press, Inc.
Tanaka, S. 2006. “English and Multiculturalism—from the Language User’s Perspective “, in RELC Journal (2006; 37), 47
Tiwari, S.R. 2008. Teaching of English. New Delhi: APH Pub. Corp.Tomlinson, Brian. (1989). Material development in Language teaching.