-
P a g e | 36
BAB III
SUKU SANGIHE DAN RITUAL TULUDE
Suku Sangihe terletak di beberapa kepulauan daerah Propinsi
Sulawesi Utara,
sekarang telah menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan
Talaud,
Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Kepulauan SITARO.1
Pada abad ke
XVIII, Talaud dan Sangihe menjadi satu bagian dalam struktur
organsisasinya, dan
secara resmi pada tahun 1825 dimasukkan dalam keresidenan
Manado.2 Pada
perkembangan berikutnya, Talaud dan Sangihe menjadi satu
kabupaten yang disebut
Kabupaten Sangihe Talaud. Pada tahun 2002, berdasarkan UU No. 5
Tahun 2002,
Talaud dimekarkan dari kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud,
menjadi Kabupaten
sendiri yaitu Kabupaten Kepualaun Talaud. Pada tahun 2007,
berdasarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007, maka pada
tanggal 23
Mei 2007, dari Kabupaten Kepulauan Sangihe mekar lagi satu
kabupaten yaitu
Kabupaten Kepulaun Siau, Tagulandang, Biaro (SITARO).
Berdasarkan kepentingan penelitian dalam tulisan ini, maka
penulis
menggunakan dua lokasi kabupaten di atas untuk melihat bagaimana
ritual Tulude
dalam mempengaruhi keberagaman identitas yang ada, sehingga
terjadi perubahan
identitas. Hal ini dilakukan dengan cara menetapkan ketua adat
kabupaten dan Petua
adat di beberapa desa atau kecamatan sebagai informan kunci
untuk mendapatkan
data penelitian.
Dengan demikian, maka pemaparan data dari hasil penelitian
berikut akan
dibuat dalam bentuk klasifikasi dan sub tema untuk mempermudah
memahaminya.
1 SITARO adalah singkatan dari Siau, Tagulandang, Biaro. Itu
adalah nama-nama pulau yang terhimpun
dalam territorial Kabupaten SITARO. 2Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud (Tahuna:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), 19.
https://id.wikipedia.org/wiki/2_Januarihttps://id.wikipedia.org/wiki/2007https://id.wikipedia.org/wiki/23_Meihttps://id.wikipedia.org/wiki/23_Mei
-
P a g e | 37
Pemaparan itu dimulai dari gambaran umum suku Sangihe, sampai
pada bagaimana
ritual Tulude itu dilaksanakan dalam kehidupan mereka.
3.1. GAMBARAN UMUM SUKU SANGIHE
Pada bagian ini kita akan melihat uraian tentang gambaran umum
suku Sangihe.
Kepentingan dari uraian ini tidak lain merupakan landasan
pengantar untuk
menunjukkan kalau beberapa kebiasaan yang terdapat dalam
kehidupan suku Sangihe
menyatu dalam praktek ritual Tulude. Pada sisi yang lain juga
terdapatnya beberapa
tindakan yang dilakukan oleh suku Sangihe yang melatarbelakangi
praktek ritual
Tulude.
3.1.1. Asal Manusia di Suku Sangihe.
Latar belakang manusia yang hidup di suku Sangihe dapat
ditemukan
dari teks narasi yang diceritakan turun temurun dalam bentuk
legenda dan mitos.
Berikut adalah kisah tentang asal manusia yang hidup di suku
Sangihe.
3.1.1.1.Suku Apapuhang.
Suku Apapuhang adalah manusia pertama dalam legenda suku
Sangihe yang pernah hidup di pulau Sangihe. Tempat tinggal
mereka di
cabang pohon. Lokasi tempat tinggal tersebut ada di antara
daerah
Mangaese dan Bowongkaleng, di sebuah lembah yang dikenal
dengan
sebutan Nambalang Apapuhang kecamatan Tabukan Utara. Bentuk
fisik
mereka tubuhnya pendek dan kerdil. Mereka memiliki kerajaan
yang
terletak di bawah bumi, dan letak jalan untuk menuju ke kerajaan
itu
berada di belakang air terjun Apapuhang di kampung
Lenganeng.
Menurut legendanya bahwa semua benda di kerajaan Apapuhang
terbuat
dari emas.
-
P a g e | 38
Suku Apapuhang terbagi atas beberapa kelompok yaitu: Deduhe
Batang (kelompok yang bertempat tinggal di bawah lindungan
batang-
batang kayu besar yang tumbang); Dalige Kalinsu (kelompok
yang
bertempat tinggal di tengah-tengah akar papan dari pohon-pohon
kayu
yang besar); Tanak (kelompok yang lebih rendah dan
mengembara
dengan tidak menentu tempat tinggalnya) dan Nane (kelompok
yang
disebut demikian menurut tempat kediamannya).3 Mereka hidup
mengembara di hutan-hutan, dan makan buah-buahan, umbi-umbian,
dan
daging dari hasil buruan. Mereka menggunakan bahasa sendiri,
yang
sebagiannya sudah bercampur dengan bahasa yang dibawa dari
Mindanao Selatan, yang merupakan bahasa Sangihe. Bahkan
Brilman
mengatakan, penduduk Sangihe termasuk suku-suku Indonesia
dari
induk bangsa Melayu Polinesia atau Austronesia.4
3.1.1.2.Suku Pêmpanggo
Suku ini tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka adalah
manusia yang memiliki tubuh yang tinggi, melebihi manusia
normal,
tetapi badannya tidak terlalu besar. Letak dimana mereka hidup
tidak
diketahui.
3.1.1.3.Suku Angsuang.
Suku Angsuang adalah manusia berbadan tinggi dan besar
(raksasa). Cerita tentang manusia ini menjadi legenda di
kampung-
kampung yang berada di kaki gunung Awu. Angsuang adalah
tokoh
dalam legenda Gunung Awu (nama gunung merapi), yang
menceritakan proses terjadinya letusan gunung berapi.
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 20. 4 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending
Kita (SULUT: Yayasan Frater Andreas Manado 1986), 25-26.
-
P a g e | 39
Ada juga cerita-cerita atau legenda yang mengatakan bahwa
masyarakat Sangihe merupakan keturunan bidadari dan
keturunan
raksasa yang pernah mendiami kepulauan ini. Ada juga yang
mengatakan bahwa suku Sangihe berasal dari keturunan
Mindanao
(Philipina), keturunan suku Ternate dan Bolaang Mongondow.5
3.1.2. Arti Nama Sangihe.
Kata “Sangihe” dalam sejarah lisan suku Sangihe memiliki
beberapa
pengertian dan sumber dari kata itu sendiri, yaitu: pertama,
kata “Sangihe”
berasal dari bahasa Cina “Sang” (tiga) dan I (sarang burung).
Menurut cerita
para orang tua, dahulu ada pelaut Cina yang menemukan sarang
burung6 ditiga
tempat, yaitu Tabukan, Kalama (Tamako) dan Mahoro (Siau). Kata
Sang-I
kemudian menjadi Sangir yang berarti “tiga sarang burung”.
Kedua, menurut legenda kata “Sangihe” mula-mula berasal dari
kata
“Sang-Hiyang”, karena Medellu dan Mekila yang dipandang sebagai
manusia
yang pertama mendiami pulau Sangihe adalah orang khayangan. Jadi
kata
Sangihe berarti “orang khayangan”.7
Ketiga, “Sangihe” berasal dari kata “Sangi” artinya
menangis,
kemudian mendapat tambahan “he” yang memberi penekanan suatu
keadaan
dengan pengertian terisak-isak. Maka, kata Sangihe berarti
”menangis terisak-
isak”.8
5 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk.
Semuel Ketua Adat SITARO. 6 Sangkar burung yang dimaksud ialah
sangkar burung wallet. 7 Meddelu adalah raja pertama suku Sangihe,
sedangkan Mekila adalah permaisurinya. 8 Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 19.
-
P a g e | 40
3.1.3. Keadaan Wilayah.
Sangihe merupakan daerah maritim atau bahari dengan luas
lautnya
sekitar 25.000 km2. Sangihe juga merupakan daerah kepulauan,
dimana terdapat
112 pulau, yang terdiri dari 30 pulau (26,79%) berpenduduk dan
82 pulau
(73,21%) tidak atau belum berpenduduk. Secara geografis
kepulauan Sangihe
terletak antara 4o 13” – 4o44’22” Lintang Utara dan 125o9’57”
Bujur Timur.
Dengan batas-batas wilayah: Sebelah Utara berbatasan dengan
Republik
Philipina; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa;
Sebelah
Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi; Sebelah Timur berbatasan
dengan
Kabupaten Kepulauan Talaud.9
3.1.4. Bentuk Pemerintahan.
Pada awal abad XV, tepatnya tahun 1425, di kepulauan Sangihe
telah
lahir sebuah kerajaan bernama Tampunganglawo. Sistem
pemerintahan diatur
oleh raja, atau biasa disebut “datu”, sebagai pemimpin. Tidaklah
mengherankan
kalau di Sangihe muncul banyak kerajaan, seperti kerajaan
Kendahe, kerajaan
Manganitu, kerajaaan Tagulandang, kerajaan Siau dan lain
sebagainya.
Datu atau raja yang memimpin adalah Gumansalangi (yang lebih
dikenal dengan nama Medellu) dan istrinya Kondaasa (Sangiang
Mekila).
Gumansalangi yang mendirikan kerajaan Tampunganglawo.
Wilayah
pemerintahannya meliputi Sangihe Talaud dan Philipina Selatan.
Ketika
Medellu meninggal, ia digantikan oleh anaknya bernama
Melintangnusa.
Setelah Melintangnusa meninggal, Kerajaan Tabukan terbagi dua,
yaitu :
Kedatuan Sahabe di sebelah Utara, berpusat di Sahabe dan
Kedatuan Salurang
9 Dokument Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Sangihe dan
Talaud, 3.
-
P a g e | 41
di sebelah Selatan, berpusat di Salurang. Dalam perkembangannya
kedua
kedatuan ini, dipersatukan oleh seorang pangeran yang bernama
Makaampo,
dialah cucu Melintangnusa. Wilayah pemerintahannya ialah Sahabe,
Tabukan,
Lapango, Kuma, Manalu dan Salurang.
Dalam menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh dua bentuk
organisasi kerajaan pembantu raja yaitu: Bobato’n delahe, dan
Bobaton’n bale.
Orgnasisasi pertama dikepalai oleh seorang “Mayore” atau “Mayore
labo”.
Bertugas menangani masalah sosial dalam masyarakat. Sedangkan
“Bobato’n
bale” dikepalai oleh Kapitalaung atau Kapten Laut, yang
menangani masalah-
masalah khusus pemerintahan. Kapitalaung sebagai aparat
pelaksana
pemerintahan di bawah Raja.10
Pada pemerintahan raja-raja, Sangihe telah dijajah oleh bangsa
Portugis
dan Belanda. Kedudukan atau pemerintahan Raja-raja ini, sempat
diganti pada
waktu penjajahan Jepang, namun karena kekalahannya (Jepang),
bangsa
Belanda dengan NICA kembali ke Sangihe, yang merasa mendapat
kesempatan
untuk menerima kembali bekas jajahannya. Pada waktu itulah,
kedudukan raja-
raja di daerah Sangihe dikembalikan seperti dulu, dan berjalan
sampai
terbentuknya NIT (Negara Indonesia Timur), tahun 1947.11
Sejak tahun 1947, sistem pemerintahan mulai berubah, dan
dipimpin
oleh Kepala Daerah, namun kedudukan raja-raja masih tetap,
sehingga dapat
dikatakan bahwa Kepala Daerah ini hanya sebagai pengontrol pada
waktu
pemerintahan Hindia-Belanda. Tahun 1950, terjadi perubahan,
dengan
10 Wawancara (via telephone) tanggal 4 September 2017, Bpk.
Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi
Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 32.
-
P a g e | 42
terbentuknya Federasi Raja-raja. Dengan demikian, daerah
Raja-raja diganti
menjadi daerah Swapraja dengan Kepala Swapraja sebagai
pemimpinnya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemerintahan di
Sangihe,
terbentuklah Dewan Pemerintahan Daerah, pada tanggal 24 Agustus
1951.12
3.1.5. Kehidupan Sosial.
Keberadaan dari kerajaan-kerajaan di Sangihe, membuat atau
telah
menciptakan strarifikasi sosial yang menonjol dalam beberapa
lapisan atau
tingkatan, yaitu: Lapisan pertama, kaum bangsawan di lingkungan
Istana;
lapisan kedua, kaum bangsawan yang statusnya sebagai
pembantu-pembantu
Raja; lapisan ketiga, para pemimpin tingkat bawah, seperti
kepala-kepala desa
atau Kapitalaung dan warga biasa; dan lapisan keempat, kaum abdi
yang
merupakan kaum pekerja.13
Kerukunan hidup kekeluargaan di Kepulauan Sangihe sangat erat.
Salah
satu faktor yang mendukung kekeluargaan tersebut adalah sikap
gotong-royong
antara satu dengan yang lainnya. Tatanan kehidupan sosial dalam
masyarakat
Sangihe, tercermin dari nilai dan pola kehidupan masyarakat,
dalam bentuk
organisasi sosial, yaitu Mapalus.14
3.1.6. Agama dan Kepercayaan.
Sebelum agama Kristen, Islam, Hindu dan Budha masuk di
Kepulauan
Sangihe, kira-kira abad I – XV, masyarakat Sangihe sudah
memiliki keyakinan
dan kepercayaan yang merupakan warisan nenek moyang, yaitu
suatu
kepercayaan adanya makhluk halus, roh-roh halus, kekuatan gaib,
benda-benda
12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 32. 13 Wawancara (via telephone) tanggal
4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi
Daerah Kabupaten Sangihe Talaud, 35-36.
-
P a g e | 43
sakti, arwah orang yang sudah meninggal dan lain sebagainya.
Mereka meyakini
bahwa hal itu membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan. Sebab
makhluk
halus dan sebagainya ada yang mendatangkan kebaikan dan ada pula
yang
mendatangkan malapetaka bagi mereka.15
Mereka berusaha untuk mendekatkan diri kepada roh-roh yang
memberikan kesejahteraan, menjaga dan melindungi kehidupan. Akan
tetapi,
mereka menjauhkan diri dari roh-roh yang membuat mereka
menderita dan
mendatangkan malapetaka dalam kehidupan mereka. Berbagai macam
sesajian
diberikan apabila mereka mengadakan penyembahan. Tempat-tempat
yang
dianggap suci dan keramat adalah puncak bukit, puncak gunung,
tanjung-
tanjung, pohon besar dan tempat keramat lainnya, kadangkala
tempat itu
dijadikan sebagai tempat pelaksanaan ritual tradisional.
Masyarakat juga
percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal tersebut,
dapat
memberikan perlindungan, kesehatan, kekebalan tubuh, memberi
hasil panen
yang melimpah, dan hasil laut yang banyak.16
Selain kepercayaan terhadap roh-roh halus, arwah orang mati,
benda-
benda sakti, kekuatan-kekuaran gaib, mereka juga mempunyai satu
kepercayaan,
bahwa ada suatu kekuatan yang lebih besar, yang berkuasa
melebihi segala
kuasa yang ada di bumi. Kuasa inilah yang disebut Ghenggona
Langi Duata
Saluruang, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam
semesta”.
15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 77. 16 Wawancara (via telephone) tanggal
4 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe.
-
P a g e | 44
Ghenggona Langi diyakini dan dipercayai sebagai sesuatu yang
suci dan
memberikan keselamatan bagi manusia.17
Mereka tidak sembarangan menyebut Ghenggona Langi. Itulah
sebabnya
mereka menyebut Ghenggona Langi dengan Mawu Ruata atau Mawu
Duata.
Sebutan Ghenggona Langi hanya dapat dijumpai dalam kata-kata
permohonan
doa, yang terungkap pada pelaksanaan ritual, termasuk ritual
Tulude.
Ghenggona Langi-lah yang disembah dan dipuji. Itulah sebabnya
Ghenggona
Langi sering dikatakan “I Ghenggona Langi Duata Saluruang
Manireda
Bihingang”, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam
semesta
melindungi kita semua”.18
Pada sekitar abad XV, masuk suatu aliran kepercayaan Islam,
yang
menamakan dirinya “Islam Tua”.19 Sistem pengajarannya diberikan
secara lisan
oleh pemimpin yang sifatnya turun-temurun. Agama Kristen
(Protestan dan
Katolik) masuk di Kepulauan Sangihe, pada abad XVI dan XVII,
dibawa oleh
para Pastor bangsa Portugis dan Spanyol, dan para Pendeta bangsa
Belanda
yang ikut serta dengan VOC. Mereka menyebarkan dan mengajarkan
ajaran atau
agama Katholik dan Protestan, yang oleh penduduk disambut baik.
Tahun 1683,
Ds. Corneles de Leuw, seorang Pendeta yang berasal dari
Belanda,
memperkenalkan agama Kristen, sampai ke pelosok desa. Dialah
Pendeta
pertama yang berkhotbah dalam bahasa Sangihe.20 Kemudian
pekerjaan
penginjilan itu dilanjutkan oleh suatu Badan penginjil dari
Belanda yaitu NZG.21
17 Wawancara (via telephone) tanggal 12 September 2017, Bpk.
Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 18 E. Tatimu, Sejarah Gereja Maranatha Tahuna 1924-1996
(Tahuna : GMIST Maranatha, 2000), 3. 19 Kepercayaan ini sampai
sekarang masih ada, dan tersebebar dibeberap daerah di Sangihe. 20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah Kabupaten
Sangihe Talaud, 41. 21 Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita,
143.
-
P a g e | 45
Kemudian pada abad XIX, masuk agama Islam di Kepulauan
Sangihe.
Agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Ternate. Sistem
pengajarannya
sama dengan sistem pengajaran agama Islam di seluruh
Indonesia.
3.1.7. Hukum Adat.
Dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sangihe, terdapat
larangan-
larangan yang bersifat mengatur, sesuai dengan fungsinya
mempererat
hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Pada zaman dahulu,
apabila ada
anggota masyarakat yang kedapatan berbuat dosa, apalagi
menyangkut perkara
nedosa,22 maka para Petua adat setempat mengadakan sidang
untuk
menjatuhkan hukuman berupa sanksi. Ada tiga bentuk perkara
Sumbang yaitu:
Sumbang Berat, Sumbang Ringan dan Sumbang Enteng.
Sumbang Berat adalah dosa yang diakibatkan oleh karena
adanya
tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang ayah dengan
anak
perempuannya (anak kandung), persetubuhan yang dilakukan oleh
laki-laki dan
perempuan yang bersaudara kandung, persetubuhan seorang ibu
dengan anak
laki-lakinya (anak kandung). Sumbang Biasa adalah dosa yang
dilakukan karena
adanya persetubuhan seorang ayah dengan anak tiri perempuan, ibu
dengan anak
tiri laki-laki, persetubuhan antara suadara yang berada pada
posisi keturunan ke-
empat, laki-laki yang beristri bersetubuh dengan kaka atau adik
perempuan dari
istrinya (saudara ipar) atau sebaliknya, seorang laki-laki yang
bersetubuh
dengan dua orang perempuan yang bersaudara kandung, walaupun
laki-laki itu
tidak menikah dengan salah satu diantaranya. Sumbang Enteng
adalah dosa yang
22 Nedosa adalah perkara sumbang atau persetubuhan sedarah
kandung.
-
P a g e | 46
dilakukan karena adanya persetubuhan laki-laki dan perempuan
yang bersaudara
pada keturunan ke-enam.23
Perkara nedosa atau sumbang dapat menimbulkan malapetaka,
seperti:
hujan lebat, tanah longsor, gempa bumi, banjir besar, wabah
penyakit dan lain
sebagainya. Apabila terjadi peristiwa alam tersebut, para orang
tua berjalan
berkeliling mencari penyebabnya, dengan bertanya kepada
orang-orang sampai
diketahui. Jika telah terungkap, dimana ada masyarakat yang
melakukan perkara
nedosa atau kesalahan lainnya, maka alam pun mulai tenang
kembali seperti
keadaan semula. Kemudian berkumpulah para orang tua dan Petua
adat
mengadakan musyawarah dan merencanakan untuk mengadakan
ritual
pentahiran. Kadangkala orang tersebut akan dijatuhi sanksi,
seperti: Salahoko
(memberi denda kepada pelanggar adat tersebut), Iwembang
(diasingkan dari
tengah-tengah masyarakat umum), Memohang (plakat, bagi mereka
yang
mencuri). Hukum adat yang masih berlaku sampai sekarang adalah
menyangkut
perkawinan sampai pada tingkat ketujuh.24
3.1.8. Kesenian Daerah.
Kesenian masyarakat Sangihe pada umumnya sama, baik mereka
yang
ada di pulau Sangihe, Siau, Tagulandang dan pulau-pulau lainnya
di Sangihe.
Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau minat masyarakat semakin
berkurang,
banyak kesenian daerah yang sudah tidak digunakan lagi, bahkan
beberapa
diantaranya sudah hilang sama sekali. Adapun kesenian daerah
Sangihe, yaitu:25
23 Keduanya masih dapat dinikahkan apabila mendapat persetujuan
dari keluarga kedua belah pihak. 24 Wawancara (via telephone)
tanggal 9 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 25 Wawancara (via telephone) tanggal 6 September 2017,
Bpk. Muntiaha Petua Adat SITARO
Kecamatan Siau Barat (Ondong).
-
P a g e | 47
3.1.8.1.Seni Vokal.
Suku Sangihe mengenal beberapa bentuk seni vokal yaitu:
Sasambo merupakan ungkapan syukur, pujian dan doa, yang
berupa puisi, syair, peribahasa atau perumpamaan yang dilagukan.
Selain
itu, sasambo juga merupakan ungkapan hati yang memiliki arti
yang
mendalam dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi ritual adat
yang
digelar saat itu. Sasambo dengan pukulan tagonggong dikenal
sebagai
pengiring tari Gunde. Dinyanyikan dalam bentuk solo dan koor,
oleh
pria maupun wanita, dengan bahasa sastra.
Kakumbaede merupakan nyanyian permintaan doa, yang
dilakukan dalam ritual adat termasuk ritual adat Tulude.
Diucapkan
dalam bahasa sastra dan dibawakan dalam bentuk solo atau koor
secara
bergantian. Lagu dan syairnya berubah-ubah mengikuti maksud
dan
tujuan pelaksanaannya.
Kakalumpang merupakan nyanyian dalam bentuk grup, yang
dinyanyikan sementara mencukur kelapa. Kakalumpang
menggambarkan suatu kehidupan berdasarkan asas gotong
royong.
Mebawalase adalah bentuk bernyanyi secara bergantian atau
berbalasan syair lagu. Dalam perkembangannya disebut Masamper
atau
Samper yang dinyanyikan dalam bentuk koor atau secara
bersama-sama.
3.1.8.2.Seni Musik.
Ada juga beberapa model seni musik sebagai berikut:
Musik Bambu; merupakan alat musik yang terbuat dari bambu,
tanpa dicampur dengan bahan lainnya. Memiliki bermacam ukuran
mulai
dari yang kecil sampai besar, yang membawakan lagu dalam
berbagai
-
P a g e | 48
irama. Menurut jenis dan fungsinya, musik bambu terdiri atas:
Seruling
(kecil dan besar), sebagai melodi atau pembawa lagu;
Terompet,
Saxafon, Trombon dan Klarinet, sebagai pengantar atau
pembantu
melodi (Improvisasi); Korno dan Bambu Tengah, sebagai
pengiring
arsis; Bas, sebagai pengiring thesis; Tambur, sebagai ritmis.
Musik ini
dimanfaatkan sebagai alat hiburan, yang juga dipakai dalam
ritual adat.
Musik Oli, merupakan musik tradisi yang dipakai dalam ritual
adat, seperti ritual adat Tulude. Merupakan alat pemujaan yang
hanya
dimainkan dalam empat nada. Musik ini sudah mulai punah dan
hanya
terdapat di daerah Manumpitaeng (Manganitu).
Tagonggong, sejenis tambur yang berbentuk silinder, pada
salah
satu ujungnya ditutup dengan kulit kambing. Digunakan untuk
mengiringi lagu Sasambo, tari-tarian dan dibunyikan sebagai
tanda
dimulainya ritual adat Tulude.
Nanaungang (sejenis gong, tapi berukuran besar) terbuat dari
kuningan, dipakai sebagai pembuka ritual adat, termasuk ritual
adat
Tulude (dibunyikan tiga kali).
3.1.8.3.Seni Tari.
Terdapat enam jenis tari dalam kehidupan suku Sangihe yaitu:
Pertama, Tari Gunde. Merupakan tarian yang dipakai dalam
ritual adat menyembah Ghenggona Langi Duata Saluruang.
Merupakan
satu tarian penyembahan, yang penarinya adalah kaum
perempuan.
Gerak tari Gunde menggambarkan kehalusan budi dan ketinggian
watak
perempuan Sangihe.
-
P a g e | 49
Kedua, Tari Salo. Merupakan tarian perang yang
menggambarkan kekesatriaan dan kepahlawanan, serta kejujuran,
demi
keadilan menyerahkan tubuh dan jiwa sampai titik darah terakhir,
setia
membela pemerintah, bangsa dan negara. Tari Salo merupakan
induk
dari tari yang ada di daerah Sangihe.
Ketiga, Tari Upase. Merupakan tari pengawal atau tarian
pengawal terdepan. Tari Upase menerima dan mengawal para
tamu,
pemimpin tokoh adat, dan mengawal kue adat Tamo Banua.
Keempat, Tari Alabadiri. Merupakan tarian perang, yang
menggambarkan diri sebagai pengawal istana. Dalam tarian
ini,
terkandung nilai budaya yang mendalam tentang hakekat atau
citra
pemerintah dan rakyat yang tercermin dalam setiap gerakannya.
Alat
yang digunakan adalah: Kalubalang/Kaliau (Perisai), Toketing
(rotan
yang dibelah tiga), Sinsing (cincin yang terbuat dari kulit
kerang putih
yang diasah), dan Sondang (pisau bermata dua, terbuat dari
kuningan).
Kelima, Tari Bengko, merupakan tarian perang. Tarian ini
menggambarkan sikap rakyat yang membela bangsa dan tanah air.
Alat
yang digunakan adalah tombak.
Keenam, Tari Ransansahabe; merupakan tarian perang, yang
melambangkan kesiapan atau kesiagaan seorang prajurit
mempertahankan wilayahnya dan pengamanan pemerintahan. Alat
yang
digunakan adalah kelung dan bara.26
26 Kelung sesuatu yang berbentuk perisai, sedangkan bara adalah
sesuatu yang berbentuk pedang.
-
P a g e | 50
3.1.9. Ritual Adat.
Adapun ritual adat yang ada di Sangihe, sebagai berikut:27
Menulude atau Tulude, merupakan suatu ritaul doa pengucapan
syukur
kepada Tuhan, karena kasih-Nya yang dilimpahkan dalam setahun
yang silam.
Ritual ini juga dimaksudkan untuk memohon, kiranya hidup dimasa
mendatang
senantiasa mendapat perlindungan. Penjelasan lebih lanjut untuk
ritual ini akan
dibahas pada bagian berikut dalam bab ini.
Menahulending, merupakan ritual dalam bentuk doa rakyat
untuk
seseorang atau kelompok, yang dilakukan atas inisiatif rakyat,
tanpa diminta
oleh pihak yang hendak didoakan. Adat tersebut antara lain
diberikan kepada:
Pemimpin wilayah, pengantin, tokoh-rokoh masyarakat (tukang
pandai besi,
bidan desa), Petua adat dan pengantin.
Dumangeng Bale (naik rumah baru); merupakan ritual permohonan
doa
kepada Tuhan, kiranya rumah tersebut akan menjadi tempat tinggal
yang
mendatangkan kebahagiaan kepada pemiliknya.
Menahulending Mepapangentude (adat perkawinan); di Kepulauan
Sangihe, apabila dua insan pemuda dan pemudi dijodohkan atau
dinikahkan,
maka harus melalui tata cara adat sebagai berikut: Mengonong
(permulaan
peminangan), Metahi Awui ( menuturkan asal usul), dan
Mepapangentude (pesta
perkawinan).
27 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 66-67
-
P a g e | 51
Salimbangu Banua/Wanua; merupakan pesta rakyat masyarakat
Sangihe,
yang bertujuan mengakrabkan dan meningkatkan kerjasama,
persatuan dan
kesatuan.
3.1.10. Pakaian Adat.
Terdapat empat model pakaian adat suku Sangihe, yang terbuat
dari serat
kofo28 yang ditenun yaitu:29
Pertama, Laku Tepu: Model laku tepu ini panjang hingga menutupi
mata
kaki dan berlengan panjang serta bagian leher berbentuk bulat
polos, yang diberi
renda dibagian pinggir bawah pergelangan tangan dan melingkari
bagian leher.
Laku tepu tidak menggunakan kancing. Untuk pria, baju panjang
hingga
menutupi telapak kaki, dan lubang bagian lehernya berbentuk
setengah
lingkaran. Dan untuk wanita : Baju panjang hingga pertengahan
betis dan kain
sarung. Kedua, Baniang: Merupakan laku tepu yang dimodifikasi,
bentuk
lengannya panjang, potongan leher berbentuk bulat polos, tapi
panjang baju
hanya sampai sebatas pinggul, bagian depan terbelah dan memakai
kancing
baju. Sebagai pasangannya, dipakai celana panjang. Ketiga,
Kongkong:
Berbentuk celana yang panjangnya sampai pada bagian betis,
antara tumit dan
lutut. Keempat adalah Kingking: Sejenis kaos oblong masa kini,
hanya tanpa
lengan.
28Kofo adalah rajutan yang berasal dari tradisi Phlilina
(Manila) yang terbuat dari pisang hote, daun
nenas, daun pandan. Namun sampai sekarang, pakaian adat sudah
tidak dibuat dari serat kofo, melainkan dari kain modern seperti
kain Satin dan Bludu.
29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 76.
-
P a g e | 52
3.1.11. Atribut Yang Digunakan.
Adapun atribut yang digunakan adalah:30
3.1.11.1. Soho U Wanua (kalung panjang).
Atribut yang dipakai sebagai pelengkap dalam pakaian adat
untuk menghadiri ritual yang akan dilaksanakan. Atribut ini
biasanya
dipakai oleh pemimpin adat atau pelaksana ritual adat.
3.1.11.2. Paporong/Umbe (penutup kepala),
Merupakan bagian yang penting dalam kehidupan masyarakat
Sangihe. Paporong berbentuk segitiga, yang dilipat
berulang-ulang
sehingga menyisahkan sedikit tonjolan yang berbentuk segitiga
di
tengah. Ada dua jenis paporong, yakni: Paporong lingkaheng,
dipakai
oleh rakyat biasa dan paporong kawawantuge atau paporong
hiteng
datu, dipakai oleh kaum bangsawan atau keturunan raja. Ada
lima
bentuk Paporong/Umbe yaitu: pertama, Umbe Maratu,
melambangkan
beban dan tanggung jawab seorang raja atau pemimpin. Kedua,
Umbe
Alabadiri/Ransa, melambangkan rasa hormat dan kepatuhan.
Ketiga,
Umbe Upase, melambangkan sifat penurut. Keempat, Umbe Salo,
melambangkan kepeloporan dan keberanian. Kelima, Umbe Apang
Elo,
dipakai oleh orang tua setiap hari.
3.1.11.3. Salikuku/papehe (ikat pinggang).
Atribut yang dipakai dibagian pinggang dengan model
dilingkar dan diikat. Atribut ini juga dipakai oleh pemimpin
adat dan
pelaksana ritual adat.
30 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 76 - 77
-
P a g e | 53
3.1.11.4. Bawandang liku (selendang panjang).
Di letakkan di bahu kanan dengan kedua ujungnya
dipertemukan di pinggang sebelah kiri, ujungnya dibiarkan
terurai, dan
salah satu ujungnya dapat dipegang. Untuk pria menggunakan
atribut :
Soho u wanua, paporong, salikuku/ papehe. Dan untuk wanita
menggunakan atribut : Soho u wanua (tiga lapis mulai dari yang
pendek
sampai yang panjang), bawandang liku31 (untuk keturunan
bangsawan
memakai kaduku atau anumitung, yang bentuknya hampir
menyerupai
selendang, tetapi kedua ujungnya dijahit membentuk lingkaran),
gelang,
genop keemasan pada lengan baju sebanyak sembilan buah,
pusige
(konde tegak lurus di atas kepala).
3.1.12. Warna pakaian.
Warna yang digunakan adalah warna khas masyarakat Sangihe,
yaitu:32
Ledo (agak putih), merupakan warna asli kain kofo, yang
melambangkan
kesucian. Maririhe (Kuning tua), melambangkan keagungan,
dihormati dan
mendatangkan kebajikan. Kamumu (ungu), melambangkan
kesetiaan,
keteladanan, kasih sayang dan semangat yang tinggi. Mahamu
(merah),
melambangkan keberanian. Melong (hijau), melambangkan kesuburan
dan
kesejukkan. Biru (biruh), melambangkan masyarakat bahari.
3.1.13. Bahasa.
Bahasa Sangihe termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia atau
Melayu Polinesia, dan tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa di
Philipina.
Bahasa Sangihe dibedakan atas tiga dialek yang pengenalannya
antara lain pada
31 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Monografi Daerah
Kabupaten Sangihe Talaud, 76 - 77 32 Wawancara (via telephone)
tanggal 13 September 2017, Bpk. Semuel Kentua Adat SITARO.
-
P a g e | 54
vokal akhir kata, seperti : Dialek Sangihe Besar: memakai vokal
akhiran (-e),
dialek Siau: memakai vokal akhiran (-e) dan dialek Tagulandang:
memakai
vokal akhiran (-i).33
Masyarakat Kepulauan Sangihe, menggunakan bahasa Indonesia
sebagai
bahasa resmi. Sedangkan bahasa ibu (daerah) dipakai dalam
percakapan setiap
hari. Dalam pemakaian bahasa daerah Sangihe terdiri atas bahasa
umum dan
bahasa Sastra. Bahasa umum, merupakan bahasa Melayu yang dipakai
dalam
interaksi setiap hari. Bahasa Melayu adalah bahasa yang
digunakan dalam
pengajaran di sekolah atau dalam berkhotbah. Orang-orang tua
yang tidak
pernah sekolah tidak mengerti bahasa tersebut, walaupun demikian
mereka ahli
dalam bahasa sasahara atau bahasa rahasia, yang digunakan di
laut untuk
menipu setan-setan.34 Bahasa Sasahara (bahasa samaran) bahasa
daerah yang
kata-katanya sangat dalam, biasanya hanya dimengerti oleh
orang-orang tua.
Bahasa Sasahara terbagi atas dua, yakni: Bahasa Sasahara,
digunakan di laut,
dan Bahasa Sasaili, digunakan di darat.
3.1.14. Bahasa Sastra.
Bahasa adat atau bahasa yang banyak digunakan dalam ritual
adat.35
Beberapa contoh bahasa umum, sastra, dan sasahara sebagai
berikut:
Bahasa Umum Bahasa Sastra Bahasa Sasahara Bahasa Indonesia
Sakaeng
Pato/ dalukang
Malimbatangeng
Perahu
33 Wawancara (via telephone) tanggal 15 September 2017, Bpk.
Semuel Ketua Adat SITARO. 34 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending
Kita, 27. 35 Wawancara (via telephone) tanggal 13 September 2017,
Bpk. Semuel Kentua Adat SITARO.
-
P a g e | 55
Menurut Brilman, bahasa-bahasa ini kaya akan bentuk-bentuk,
mengandung banyak cerita, teka-teki, nyanyian kepahlawanan,
pesta, doa dan
mantera.36
3.1.15. Sistem Mata Pencaharian.
Masyarakat Sangihe pada umumnya mempunyai mata pencaharian
sebagai petani. Mereka menanam bahan-bahan makanan seperti: ubi
kayu, ubi
jalar, keladi/ talas, pisang, serta sagu, untuk memenehi
kebutuhan hidup sehari-
hari. Terkadang, hasil panen tanaman mereka jual di pasar
tradisional. Selain itu
mereka juga menanam tanaman tahunan sebagai tanaman produksi,
yaitu:
kelapa, cengkih, coklat, pala, dan lain sebagainya. Selain
petani, masyarakat
Sangihe juga bermata pencaharian sebagai nelayan.
Di Sangihe, terdapat juga industri kecil, yang menjadi sumber
kehidupan
masyarakat, seperti: Kerajinan bambu cina, mereka membuat tempat
duduk dan
meja; kerajinan tanah liat, mereka membuat papedang (tempat
memasak sagu);
kerajinan tikar dan tolu, mereka membuat tikar dari pohon nameng
(sejenis
pohon pinang) dan rotan, serta tolu dari daun pandan dan daun
sesa; kerajinan
pandai besi, masyarakat Sangihe juga membuat pedang, pisau dari
besi, yang
pengolahan dan pembuatannya masih secara tradisional.37 Ada juga
masyarakat
yang bermata pencaharian sebagai pedagang (pada umumnya orang
Gorontalo,
Arab dan masyarakat Tionghoa), Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI
Polri dan
buruh/tukang bangunan.
36 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 27. 37 D. Brilman,
Wilayah-Wilayah Zending Kita,51-54.
-
P a g e | 56
3.1.16. Sistem Ilmu Pengetahuan.
Walaupun daerah Sangihe merupakan daerah tertinggal baik
infrastruktur dan suprastruktur, tetapi mereka memiliki
pengetahuan yang
didapatkan dari nenek moyang tentang ilmu perbintangan, bulan,
mata angin,
pergantian musim, untuk dipakai ketika mereka menyusun strategi
bertahan
hidup dengan daerah mata pencaharian yaitu di laut dan di darat.
Di laut
pengetahuan itu dipakai untuk menentukan kapan ikan akan
didapatkan dengan
cukup melimpah, sedangkan di darat dipakai kapan musim yang
tepat untuk
bercocok tanam.38
Demikianlah selayang pandang daerah dan masyarakat Sangihe,
yang
menggambarkan kehidupan masyarakat Sangihe secara umum, untuk
diketahui.
Berikut ini kita akan membahas tentang ritual Tulude yang
memiliki beberapa
proses sehingga dinamakan ritual Tulude. Sebelum disebut ritual
Tulude, namanya
adalah Sundeng. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya
perubahan ritual
Sundeng ke Tulude. Oleh karena itu, terlebih dahulu kita
membahas tentang ritual
Sundeng, kemudian bagaimana sehingga dari ritual Sudeng menjadi
ritual Tulude.
3.2. RITUAL SUNDENG
Sundeng artinya pengorbanan besar. Meskipun belum ada data pasti
mengenai
keberadaan Sundeng di masa lalu, tetapi bukti keberadaan Sundeng
masih ada sampai
saat ini dalam bentuk tradisi lisan. Masyarakat Sangihe menyebut
tempat ritual
tersebut sebagai tampă atau tampă u pêngamałeng (menyembah dan
memuja).
Kegiatan utama dari mengamałě adalah mě hale.
38 A. Horohiung, Barangkalang Dalam Cerita,15-18.
-
P a g e | 57
Mě hale adalah prosesi ritual pemujaan yang dilakukan dengan
cara bernyanyi.
Lirik-lirik nyanyian mě hale adalah syair mantera. Jika para
pengikut Sundeng sedang
mě hale, kegiatan tersebut dinamakan mě kałantô yang berasal
dari akar kata kałantô
(nyanyian kematian). Proses “kałanto” dilakukan pada ritual
pengorbanan saat korban
sedang menghembuskan nafas-nafas terakhir. Mê kalantô dilakukan
dengan cara
berbalas atau “mě bawaļisě/mê bawaļasê” oleh pelaku mě kalantô
dengan cara
dinyanyikan. Lagu-lagu mêkalantô bernada pentatonis. Menyanyikan
lagu dengan
gaya mêkałanto disebut “mě ganding”.39
Selain kegiatan mě kalanto, dalam ritual Sundeng dilakukan juga
kegiatan
Sumalo atau (tari pengorbanan). Tarian ini hanya ditarikan oleh
Ampuang.40 Gerakan
tari Sumalo adalah berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat sambil
memegang Bară
(pedang). Konsep tari Sumalo adalah peperangan melawan roh jahat
yang
mengganggu jiwa korban saat akan terlepas dari raga.
Melakukan gerak Sumalo juga disebut sebagai mê salai (menari),
sedangkan
gerak tarinya dinamakan kengkeng (meledak, pincang) atau taha
(batang pohon.)
Dinamakan kengkeng karena salah satu gerakannya adalah
menghentak-hentakan kaki
di tanah menyerupai cara berjalan orang pincang, sehinga
menimbulkan bunyi yang
kuat. Dinamakan “taha”, karena para penari juga menghentakkan
kaki di batang
pohon. Tarian kengkeng memiliki kesamaan fungsi dengan tari lide
(tekan). Akan
tetapi yang membedakan tarian kengkeng dan lide adalah, tarian
kengkeng kaki dari
39 Pentatonik itu berasal dari kata penta (lima) dan
tonic(nada). Tangga nada pentatonik ini dibentuk
dengan mengurangkan nada ke-4 dan ke-7 dari struktur oktaf 8
nada. Sehingga dia nadanya menjadi 1,2,3,5,6 (do, re, mi, sol, la).
Pentatonik sebenarnya kebanyakan digunakan untuk musik modern
maupun tradisional di berbagai negara di dunia ini, seperti Cina,
Jepang, dan Indonesia.
40 Sebagai pemimpin tertinggi yang juga bertugas memimpin ritual
pengorbanan. Kata ampuang memiliki pengertian yang serupa dengan
kata pu, êmpu yang berarti priester (Mr.K.G.F. Steller en
Ds.W.E.Aebersold, Sangirees –Nederlands woordenboek, halaman 8 ).
Priester memiliki pengertian sebagai Pendeta, Padri atau Biksu di
masa kolonial Belanda. Kata êmpu adalah kata dasar dari kata
perempuan dengan afiksasi per + an yang diserap dari bahasa
Sansekerta yaitu pu artinya suci, bersih.
-
P a g e | 58
penari menyentuh tanah, tetapi lide tidak menyentuh tanah.
Ritual Sundeng dilakukan
jika terjadi bencana alam yang mengganggu kesejahteraan hidup
manusia dan
lingkungannya. Kemudian adanya suatu pelanggaran dari sikap
hidup manusia yang
bertentangan dengan hukum adat yang mengakibatkan bencana alam
termasuk wabah
penyakit.
Suku Sangihe sangat meyakini bahwa ketiga hal di atas adalah
representasi dari
kutukan yang Ilahi atas pelanggaran manusia dalam kehidupan
bersama. Untuk
menghilangkan kutukan tersebut, harus melalui ritual pengorbanan
manusia yang
dilaksanakan dalam ritual Sundeng. Dalam ritual pengorbanan itu
yang dikorbankan
adalah seorang perempuan yang masih perawan.
Pada tahun 1674-1676 penginjil protestan dari Belanda tiba
pertama kali di
Sangihe, dan menjelang 1700 hasil dari pengajaran itu melahirkan
pandangan baru
tentang korban yang biasa dipakai dalam ritual Sundeng. Mereka
melarang
menggunakan manusia sebagai korban dan menggantikannya dengan
hewan yaitu
babi. Kriteria dari hewan babi ini sebagai korban ialah gemuk,
berbulu seluruh
tubuhnya dan berkulit hitam.
Di pertengahan tahun 1800, badan penginjilan Belanda (NZG)
mengirim utusan
dari Minahasa bernama S.D. van der Velde van Capellen ke pulau
Sangihe dan
membaptis 5033 orang menguatkan pemahaman bahwa sejak saat itu
semakin
berkurangnya penganut Sundeng. Kedatangan S.D. van der Velde van
Capellen
sampai masuknya utusan injil dari Zendeling Werklieden tahun
1857, berdampak
kepada penganut Sundeng yang selanjutnya menemukan jalan
simpang. Sebagian
-
P a g e | 59
penganut, tetap menjalankan kałanto sebagai warisan tradisi
Sundeng dan sebagian
lagi menemukan tradisi baru yaitu medarorô.41
Seiring dengan masuknya agama Kristen di kepulauan Sangihe,
maka
mêkałantô, mě hale, dan mêdarorô dalam ritual Sundeng, tidak
lagi diterima oleh
sebagian besar masyarakat Sangihe yang sudah beragama. Kemudian
lahirlah sebuah
tradisi baru yang dinamakan Tuludê. Rentang waktu berakhirnya
tradisi sundeng ke
tradisi Tułudê diperkirakan pertengahan tahun 1800, karena agama
moderen masuk
direntang waktu tersebut.42
3.3. RITUAL TULUDE
Ritual Tulude adalah tradisi nenek moyang tentang makan bersama
yang telah
dilaksanakan dalam kurun waktu ratusan tahun oleh suku Sangihe.
Ritual Tulude ini
juga dipahami sebagai suatu proses penolak bala atau menolak
segala sesuatu yang
mendatangkan malapetaka dalam kehidupan masyarakat.43
3.3.1. Asal Kata.
Pada halaman empat dalam tulisan di bab I, telah diuraikan
sedikit
tentang pengertian kata Tulude. Penguraian itu ialah ritual
Tulude merupakan
ritual penolakan terhadap suatu kejadian buruk yang akan terjadi
dalam
kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah dari mana asal kata
Tulude? Kata ini
berasal dari nama bulan dalam bahasa Sangihe. Bulan tersebut
ditetapkan dalam
perhitungan bintang Fajar yang letaknya 90o tegak lurus dengan
ubun-ubun.
Bintang Fajar itu disebut (Kadademahe Daluhe), sedangkan nama
bulannya
41 Medarorô artinya memanggil arwah, dari kata dasar dorô yang
berarti hinggap atau kemasukan.
Arwah-arwah yang dipanggil adalah arwah leluhur atau arwah orang
sakti. Biasanya dalam setiap kegiatan medarorô, yang dilakukan
adalah meminta obat untuk menyembuhkan orang sakit yang sedang
sekarat, juga penyucian dan pembersihan diri atas penderitaan.
42 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 153. 43 Wawancara
(via telephone), tanggal 11 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat
Kabupaten SITARO.
-
P a g e | 60
disebut Tulude.44 (kecurigaan bahwa ritual Tulude adalah ritual
penyembahan
yang dilakukan 1 bulan sekali, bukan satu tahun sekali.
Kemungkinan itu adalah
ritual penyembahan bulan dilangit yang ke 8, 9, dan 10).- kapan
penanggalan
ritual ini? Apakah perhitungan bintang ini tidak dipengaruhi
oleh perhitungan
bintang dan bulan dalam kalender modern? Mengapa dia menjadi
satu tahun
sekali, bukan 1 bulan sekali? Jika memang 1 bulan sekali? Maka
yang harus
dicari adalah kebiasaan yang dilakukan setiap 1 bulan.
3.3.2. Arti Kata.
Ada beberapa pengertian dari kata Tulude yang dipahami oleh
suku
Sangihe. Mereka mengunakan kata “tulide” untuk memahami kata
Tulude.
Tulide terdapat dua pengertian yaitu; pertama, meluruskan
perjalanan kehidupan
di tahun yang baru. Kedua, cara meluruskan semua kesalahan yang
pernah
dilakukan oleh masyarakat di tahun yang berlalu. Kemudian arti
kata ini juga
dimengerti dari kata “menuhude” artinya mendorong cara hidup
manusia untuk
berjalan kedepan dengan penuh selamat.45
Pengertian yang lain tentang kata Tulude yaitu dipahami
sebagai
singkatan dari kata Tulung (penolong, menolong dan pertolongan),
Lukade
(penjaga atau menjaga),dan Dendingang (menyertai atau
penyertaan). Oleh
karena itu dalam hal ini Tulude diartikan sebagai ritual
permohonan kepada
Ghenggona Langi Duata Saluruang (Ilahi /Tuhan) untuk menolong,
menjaga
dan menyertai kehidupan seluruh suku Sangihe setiap saat.46
44 Wawancara (via Telephone), tanggal 11 April 2017, Bpk Semuel
Ketua adat Kabupaten SITARO. 45 Wawancara, tanggal 26 April 2017,
Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 46 Wawancara (via
telephon), tanggal 8 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow.
Tetua Adat
Sangihe.
-
P a g e | 61
3.3.3. Latar Belakang Pelaksanaan Ritual Tulude.
Pelaksanaan ritual Tulude ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal
yang
terjadi dalam kehidupan suku Sangihe yaitu; terdapatnya
pelanggaran hukum
adat yang dilakukan oleh suku Sangihe. Perbuatan itu mereka
sebut sebagai
“nedosa”. Misalnya, anak perempuan dan orang tua laki-laki
saling menyukai,
sesama saudara saling menyukai, pemerkosaan, dan sebagainya.
Kemudian,
ketika mereka tidak menghargai alam, seperti meludah dilaut
dengan
sembarangan, menebang pohon dengan sembarangan, menghancurkan
batu
besar dengan sembarangan. Pelanggaran itu akan memberi dampak
kepada para
petani, nelayan, alam dan kehidupan masyarkat.
Dampak bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman
mereka.
Dampak bagi nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan
cuaca dilaut
sangat rawan. Dampak bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah
penyakit
yang mengakibatkan kematian. Kemudian dampak bagi alam ialah
terjadinya
bencana alam, seperti jatuhnya angin puting beliung kedaerah
pemukiman
warga, terjadinya banjir karena badai hujan yang cukup lama,
tanah longsor, dan
gempa bumi. Maka dilaksanakanlah ritual mesundeng yang kemudian
disebut
sebagai ritual Tulude.47 Contoh bencana tersebut dapat dilihat
dalam beberapa
fenomena yang terjadi dalam kehidupan beberapa tahun lalu
seperti banjir
bandang yang pernah terjadi pada tanggal 11-12 Januari 2007,48
pada tanggal 8
Desember 2009,49 kemudian bencana 7 Januari 2017.50
47 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat
Kabupaten SITARO. 48
https://bencanasulut.wordpress.com/2007/01/16/bencana-banjir-bandang-dan-tanah-longsor-di-
kabupaten-kepulauan-sangihe/, (acced, 30 Oktober 2017). 49
http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/banjir-bandang-di-siau-tagulandang-biaro-sulawesi-
utara-18-06-2016, (acced, 30 Oktober 2017). 50
http://regional.kompas.com/read/2017/01/14/10065621/fenomena.ledakan.di.bawah.laut,
(acced,
30 Oktober 2017).
-
P a g e | 62
3.3.4. Tujuan Pelaksanaan Ritual Tulude.
Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah
bagian
dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia
atas dosa
yang telah dilakukan. Sehingga ritual Tulude adalah bertujuan
untuk
memberikan pentahiran, supaya semuanya disucikan dari segala
sesuatu yang
salah. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada Ghenggona
Langi agar
memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan memberi
pengampunan kepada
orang-orang yang telah berbuat salah.51 Tujuannya agar
diluputkan dari
malapetaka yang menimpa, segala hama penyakit dihilangkan,
supaya kebun
mendapatkan hasil yang banyak. Demikian juga ikan-ikan akan
berdatangan ke
tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh para nelayan.52 Proses
pentahiran itu
disebut “Menahulending Banua”.
3.3.5. Waktu Pelaksanaan Ritual Tulude.
Ritual ini sebelumnya dilaksanakan pada tanggal 31 Desember.
Gagasan
tentang pelaksanaan ritual tersebut, dilatarbelakangi oleh
proses
“Menahulending Banua”. Adanya proses “Menahulending Banua” itu
berasal
dari pertemuan antara Bobato’n Delahe (pemerintah kerajaan dan
para tua-tua
adat) dengan para Petua masyarakat, sehingga terjadilah
kesepakatan bahwa
ritual itu akan dilaksanakan pada tanggal 31 Desember. Kemudian
hasil
pertemuan tersebut disampaikan kepada Kapitalaung (kepala
kampung) oleh
Mayore (Kepala adat), dan Kapitalaung menyampaikannya kepada
semua
anggota masyarakat.53
51 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat
Kabupaten SITARO. 52 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel
Ketua adat Kabupaten SITARO. 53 Wawancara, tanggal 27 April 2017,
Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
-
P a g e | 63
Dalam perkembangannya, bulan pelaksanaan ritual ini telah
berubah
menjadi bulan Januari. Hal ini dilatarbelakngi oleh lima hal
sebagai berikut:
Pertama, pada tanggal 31 Januari 1425 terbentuknya kerajaan
pertama di
Sangihe. Kerjaan tersebut adalah Kerajaan Tampunganglawo, yang
dipimpin
oleh raja Gumansalangi atau biasa disebut Madellu. Raja
Gumansalangi
(Madellu) memiliki permaisuri yang bernama Kondaasa atau dikenal
sebagai
Sangiang Mekila.54
Kedua, tepatnya tanggal 31 Januari menurut tradisi lisan suku
Sangihe,
adanya legenda dua orang kaka beradik yang meninggal diterpa
badai pada saat
mereka berada di Laut. Hal itu terjadi karena mereka telah
melanggar etika
kehidupan yang terdapat dalam hukum adat suku Sangihe. Oleh
karena itu, pada
tanggal 31 Januari dilaksanakanlah ritual pentahiran kesalahan
tersebut, yang
dikenal dengan Menuhude atau disebut ritual Tulude.55
Ketiga, tanggal 31 Januari merupakan hari dimana terjadinya
fenomena
alam yang dikenal dengan peristiwa Kadademahe Daluhe (Bintang
Fajar berada
pada posisi tegak lurus 90o di atas ubun-ubun, tepat pada pukul
00.00).56
Keempat, ketika tiba pada tanggal 1 Januari – 31 Januari suku
Sangihe
memiliki kebiasaan untuk berkunjung kepada keluarga, tetangga,
kenalan,
dengan cara naik turun rumah, bahkan dari desa ke desa. Hal ini
dilakukan
setiap hari sampai pada tanggal 31 Januari. Ketika pertama kali
pertemuan itu
terjadi, mereka saling berjabat tangan dengan penuh rasa
bahagia. Maksud
kunjungan tersebut adalah untuk saling meminta maaf atas
kesalahan,
54 Wawancara (via telephone), tanggal 10 September 2017, Bpk.
Samalukang, Petua Adat Sangihe
Kecamatan Tamako. 55 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk
Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO. 56 A. Horohiung, Sekilas Budaya
Bohusami (Manado: TP, 2000), 31.
-
P a g e | 64
kesalahpahaman, dan pertengkaran yang telah dilakukan, kemudian
memberikan
maaf kepada orang yang telah datang untuk meminta maaf.
Integrasi ini diakhiri
dengan suatu ucapan syukur bersama dalam ritual Tulude. Oleh
karena itu dalam
prosesi ritual itu maka Mayore Labo dengan suara nyaring
meneriakan TU – LU
– DE. Ungkapan itu memberi tanda bahwa hari-hari sial, dimana
seluruh
dendam karena kesalah telah berakhir, dan harus mempersiapkan
diri untuk
memasuki hari-hari yang baru dengan sikap hidup yang penuh
kebaikan.57
Kelima, 31 Januari adalah tanggal dan bulan dimana Kabupaten
Sangihe
dan Talaud berdiri. Hal ini berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Kepulauan
Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995, yang ditetapkan pada
tanggal 21
September 1995 tentang Penetapan Hari Lahirnya Daerah Kepulauan
Sangihe
dan Talaud. Maka ritual Tulude menjadi bentuk pengucapan syukur
bersama
atas kelahiran Kabupaten Sangihe dan Talaud.58
Meskipun dalam pelaksanaan ritual Tulude telah ditetapkan
tanggalnya,
akan tetapi tanggal 31 Januari tersebut tidaklah mutlak. Hal ini
dikarenakan
ritual tersebut dalam pelaksanaanya tergantung pada situasi dan
kondisi
masyarakat setempat. Karena itulah ada yang mengadakan ritual
adat Tulude
setelah lewat tanggal 31 Januari. Misalnya pada tanggal 3
februai suku Sangihe
yang ada di Kota Manado melaksanakan ritual tersebut di tugu
lilin yang
berlokasi di daerah pelabuhan. 59
57 A. Horohiung, Sekilas Budaya Bohusami, 34. 58 Dokumen PERDA
Kabupaten Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995. Tentang penetapan
hari
berdirinya Daerah Kabupaten Sangihe dan Talaud. Perlu diketahui
bahwa pelaksaaan upacara adat Tulude sejak tanggal 31 Januari 1995,
didahului dengan pelaksanaan sidang DPRD Tingkat II Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Talaud.
59http://suarasulutnews.co.id/2017/02/walikota-gsvl-pesta-adat-tulude-ikut-memperkaya-budaya-manado/,
(acced 9 September 2017).
-
P a g e | 65
3.3.6. Persiapan Pelaksanaan Ritual Tulude.
Dalam proses pelaksanaan ritual Tulude ada beberapa bagian
yang
terdapat di dalamnya. Bagian-bagian tersebut merupakan kebiasaan
yang telah
disakralkan oleh suku Sangihe, melalui berbagai kebiasaan
bersama. Berikut
adalah bagian-bagian dalam proses persiapan dalam ritual
Tulude:
3.3.6.1. Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Didalam ruang kehidupan bersama suku Sangihe terdapat
pantangan yang harus diketahui dan ditaati, sebelum ritual
Tulude ini
diklaksanakan. Pantangan itu adalah: pertama, tidak boleh ada
yang
melakukan perkara nedosa (berzinah, membunuh, mencuri,
membuang
anak dan sebagainya). Kedua, Tidak boleh ada pertengkaran,
tetapi perlu
menjaga hubungan yang baik antara orang tua dengan anak,
kakak
beradik, bersaudara kandung ataupun tiri, dengan tetangga dan
siapa saja
yang berinteraksi dengan kita.60
3.3.6.2. Membentuk Panitia Pelaksana.
Satu bulan sebelum ritual adat Tulude dilaksanakan,
pembentukan Panitia Pelaksanan, yang melibatkan para Petua
adat,
tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama bahkan Pemerintah.
Yang
tugasnya seperti: mengurus pelaksanaan, mengatur persiapan,
menyusun
acara, dan mengkoordinir masyarakat dalam rangka pengadaan
konsumsi.61
60 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat
Kabupaten SITARO Kecamatan
Ondong. 61 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha,
Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan
Ondong.
-
P a g e | 66
3.3.6.3. Kelengkapan Ritual Adat Tulude.
Dalam hal ini, ada beberapa bagian yang dapat dilihat
sebagai
kegiatan bersama masyarakat dalam rangka persiapan ritual
Tulude:62
Pertama, menyiapkan tempat pelaksanaan ritual Tulude.
Tempat pelaksanaan berpusat di rumah adat yang cukup besar,
atau
Balelawo, yakni sejenis gedung pertemuan umum masa kini.
Dimasa
sekarang, ritual adat Tulude dilaksanakan di tempat terbuka
yang
ditentukan oleh masyarakat.
Kedua, menyiapkan kue adat Tamo Banua. Kue Tamo
merupakan kue adat masyarakat Sangihe yang mendapat
penghormatan
tertinggi dalam pesta adat. Pemberlakuan terhadap kue Tamo ini
dalam
prosesi ritual sebagai berikut; Kue Tamo diusung dan diiringi
oleh satu
barisan adat yang terdiri dari unsur bobat’n Delahe yakni
pemimpin
ritual yang disebut Mayore Labo dan dikawal oleh Kapita.
Kemudian
semua yang ada dalam prosesi ritual itu diwajibkan berdiri
untuk
menghormati kue Tamo tersebut, dan setelah itu kue Tamo
diletakkan di
atas sebuah meja khusus. Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua
melambangkan persatuan dan kesatuan; kesuksesan dan
keberhasilan;
serta suatu isyarat kepada kita, bahwa seorang pemimpin
harus
menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku bijaksana
dalam
kehidupannya. Kue adat ini, dibuat lima hari sebelum pelaksanaan
ritual
Tulude yang dihiasi dengan buah-buahan seperti mangga, langsat,
nenas,
62 Untuk Kabupaten Sangihe, upacara adat Tulude tingkat
Kabupaten dilaksanakan di Pendopo Rumah
Jabatan Bupati, sedangkan di tingkat Kecamatan atau desa,
tergantung kesepakatan antara mereka masyarakat di Kecamatan atau
desa tersebut. Untuk Kabupaten SITARO dilaksanakan di tiap
kecamatan dan desa, hasil wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk.
Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong.
-
P a g e | 67
manggis, pisang dan tomat; kepiting yang sudah masak; udang
dan
ketupat.
Ketiga, menyiapkan pakaian adat dan atribut-atributnya.
Setiap
perlengkapan pakaian adat itu dibuat sesuai dengan fungsi
yang
dipahami oleh suku Sangihe. Seperti warna pakaian dan beberaps
atribut
pelengkap pakaian adat.
Keempat, menyiapkan para personil adat. Adapun para personil
adat itu ialah, mereka yang membawakan dan mengucapkan
kata-kata
adat pada ritual Tulude antara lain; Pemimpin ritual, yang
disebut
Mayore Labo; Pemimpin pembawa kue adat Tamo Banua, seseorang
yang akan menyerahkan dan menerima kue adat Tamo Banua di
lokasi
ritual; Pimpinan grup-grup kesenian; Pimpinan barisan adat;
Pembawa
acara Menahulending; Pembawa Kakumbaede, Tatengkamohong,
Sasalamate; serta Pemotong kue adat Tamo Banua.
Kelima, menyiapakan atraksi-atraksi kesenian tradisional
diantaranya tarian tradisional seperti Salo, Alabadiri, Ransa’n
Sahabe,
Bengko, Gunde, Upase dan Tatumania. Musik tradisional
seperti
Tagonggong, Nanaungang, Oli, dan Musik Bambu; Vokal seperti
Sasambo, Kakumbaede, Tatengkamohong, Masamper.
3.3.7. Penggunaan Perlengkapan Adat Dalam Ritual Tulude.
3.3.7.1. Pakaian Adat.
Pakaian adat Tepu. Pakaian adat ini dipakai oleh Raja dan
petinggi lainnya. Yang membedakannya ialah warna dari pakaian
yang
digunakan. Warna kuning emas untuk raja, kuning atau putih
sebagai
-
P a g e | 68
simbol pegawai tinggi, warna biru sebagai simbol pegawai
menengah,
dan warna biru dan atau ungu sebagai simbol pegawai rendah.
Pakaian adat Baniang. Dipakai oleh pemipin ritual adat
Tulude,
serta para petua adat yang menghadiri ritual Tulude.
3.3.7.2. Atribut Adat.
Soho U Wanua adalah kalung panjang yang dipakai oleh
pemimpin adat dan pelaksana ritual Tulude.
Paporong/Umbe adalah ikat kepala yang dibuat berbentuk
segitiga. Dipakai baik oleh pemimpin masyarakat, Petua adat,
masyarakat yang menghadiri ritual Tulude. Yang membedakannya
ialah
bagi masyarakat bagian ujung dari bentuk segitia dilipat
kebawah,
sedangkan untuk raja tetap memiliki ujung yang taja.
Salikuku/Papehe adalah ikat pinggang yang dipakai oleh
pemimpin adat, pemimpin ritual Tulude, pasukan pembawa kue
Tamo,
raja serta petinggi-petingginya.
Bawandang Liku adalah selendang panjang yang dipakai oleh
perempuan yang bertugas dalam tari-tarian. Bagi perempuan
yang
berketurunan raja mereka memakai selendang yang hampir sama,
tetapi
kedua ujungnya diberi lipatan Sembilan.
3.3.7.3. Alat Musik Tradisional.
Musik Bambu. Dipakai untuk mengiring pesta makan dalam
ritual Tulude. Juga sering dipakai untuk mengiring lagu
penutupan ritual.
Musik Oli, dipakai dalam proses pemujaan kepada Ghenggona
Langi.
-
P a g e | 69
Musik Tagongong, dipakai untuk mengiring sasambo, tari-
tarian, serta sebagai tanda dimulainya ritual Tulude.
Musik Nanaungang, dipakai sebagai pemberi tanda bahwa akan
dibukanya acara ritual Tulude.
3.3.7.4. Nyanyian Adat.
Sasambo adalah ungkapan permohonan dan pujian kepada
Ghenggona Langi yang dikalimatkan dalam bentuk bahasa
sasahara.
Hal ini dilakukan oleh pemimpin Petua adat.
Kakumbaede adalah ungkapan permohonan dalam model
nyanyian dengan menggunakan bahasa sastra. Hal ini bisa
dibawakan
dalam bentuk solo (pemimpin ritual) maupun secara
bersama-sama.
Mebawalese adalah cara bernyanyi yang dibawakan secara
berkelompok untuk melantunkan syair sastra secara berbalasan.
Hal ini
dilaksanakan ketika acara makan bersama.
3.3.7.5. Tari-tarian.
Tari Gunde adalah tarian yang dipakai untuk menjemput tamu
raja dan para petinggi lainnya untuk memasuki tempat ritual
Tulude.
Juga dipakai dalam proses Menahulending Banua (mengembalikan
keselarasan bumi dan manusia).
Tari Salo adalah tarian yang mengkisahkan kejadian
peperangan dan dilaksanakan dalam proses makan bersama.
Tari Upase adalah tarian yang berada paling depan dalam
mengawal para tamu, kue Tamo, dan petinggi adat yang
memasuki
tempat ritual Tulude.
-
P a g e | 70
3.3.8. Tahap-tahap Pelaksanaan Tulude.
Ada beberapa tahapan pelaksanaan ritual Tulude. Berikut
pelaksanaan
ritual Tulude:63
3.3.8.1. Mesahune atau Memangsale (Pemberitahuan).
Pagi hari menjelang fajar (subuh) pada tanggal 31 Januari,
pukul 04.00, para personil adat, memukul/membunyikan
tagonggong,
mengelilingi tempat pelaksanaan ritual adat Tulude, dengan
irama
ganding mekui ana u wanua. Hal ini dimaksudkan untuk
memberitahukan kepada seluruh masyarakat bahwa hari itu akan
dilaksanakan ritual adat Tulude. Biasanya ritual adat Tulude
dilaksanakan pada sore hari, pukul 17.00 atau pukul 18.00. Pada
pukul
16.00, tagonggong kembali dibunyikan, sebagai tanda ajakan
kepada
anggota masyarakat agar segera datang ke lokasi ritual.
Kemudian
diadakanlah pertunjukkan kesenian yaitu tari Salo, dan hanya
dilakukan
oleh anggota regu Salo, sedangkan kapita nanti akan menari
menjelang
acara penutupan. Barisan adat (Petua adat yang tidak bertugas)
siap dan
berada pada tempatnya masing-masing, sesuai petunjuk Mayore
Labo,
melalui pimpinan unit, untuk menjemput raja-raja atau
pejabat
pemerintah ataupun tamu. Pukul 17.00 semua peserta hadir
ditempat
ritual. Pukul 18.00, Nanaungang (gong besar) dibunyikan 3
kali,
pertanda ritual adat Tulude dimulai. Pemerintah setempat
dengan
pakaian adat, bertindak sebagai tuan rumah sudah berada di
lokasi
63 Wawancara (via telephone), tanggal 12 September 2017, Bpk.
Muntiaha, Petua adat Kabupaten
SITARO Kecamatan Ondong. Wawancara (via telephone), tanggal 17
September 2017, Bpk. Semuel, Ketua Adat SITARO. Wawancara (via
telephone), tanggal 19 September 2017, Bpk. Bpk. Alfian W.P.
Walukow. Tetua Adat Sangihe.
-
P a g e | 71
dimana ritual akan dilaksanakan dan siap menerima tamu yang
diundang.
3.3.8.2. Meghause Sake (Penjemputan Tamu).
Menerima atau menjemput tamu yang dimaksud di sini adalah
menerima tamu ritual yang diundang oleh pihak pemerintah
setempat.
Pada ritual adat Tulude di masa sekarang, pejabat pemerintah
yang
diundang adalah Gubernur Sulawesi Utara bersama ibu, yang
disebut
Malambem Banua Liune (Gubernur) dan Wawu Boki (Istri
Gubernur).
Meghause Sake dilakukan oleh para Petua adat dan diarak dengan
tarian.
Di depan panggung, mereka dijemput oleh pasukan Alabadiri dan
Gunde
sebagai tanda penghormatan. Pasukan Alabadiri adalah pasukan
yang
memegang Kulubalang (terbuat dari batang sagu berbentuk dua
kerucut
yang dihiasi burung “lendei” kecil) di tangan kanan, dan Kaliu
(sejenis
perisai yang bagian tengahnya terdapat alur) di tangan kiri,
sambil
membungkukkan badan. Tarian ini melambangkan kemakmuran
dalam
kebersamaan, kebebasan dan kedamaian. Artinya, pemerintah yang
baik
akan selalu dihargai dan dicintai oleh rakyat. Sedangkan untuk
tarian
Gunde dengan sikap Memidura, melambangkan penghormatan.
Setelah itu, Mayore Labo memberikan aba-aba penghormatan
oleh unit kebesaran adat kepada Malambe Banua Liune dan Wawu
Boki.
Kemudian Malambe Banua Liune dan Wawu Boki menerima
“Bawatung
Sake” yakni kata-kata adat untuk mempersilahkan masuk dan
mengambil
tempat yang sudah disediakan, dengan dipayungi payung kebesaran
adat.
-
P a g e | 72
3.3.8.3. Kumui Menulude (Ajakan untuk melaksanakan ritual
Tulude).
Mayore Labo menyampaikan kata pengantar yang di dalamnya
berisi ajakan untuk mengikuti ritual dalam bahasa adat yang
diakhiri kata
TU...LU…DE…, dengan keras dan suara agak ditarik panjang,
disambut
dengan pukulan tagonggong dalam waktu kurang lebih lima menit.
Hal
ini menandakan ritual adat Tulude dimulai.
3.3.8.4. Mekaliomaneng (Doa).
Doa biasanya dipimpin oleh anggota dewan adat Sangihe dalam
bahasa sastra daerah.
3.3.8.5. Tamo Banua Dimolong Banala (Kue Adat Tamo Memasuki
Bangsal Utama).
Kue adat Tamo Banua, diarak dengan tari-tarian menuju
bangsal utama. Mayore Labo mengundang semua yang hadir dalam
ritual itu untuk berdiri, sebagai bentuk penghormatan. Kue
Tamo
dikawal oleh barisan adat yang dipimpin oleh seorang Petua adat
diiringi
dengan tari Upase pada posisi, sebagai berikut:
Berjalan paling depan adalah Petua adat.
Urutan kedua adalah kue adat Tamo
Urutan ketiga adalah barisan adat, termasuk ibu-ibu tukang
pembuat
kue Tamo.
Setelah pasukan pembawa kue adat tiba di depan tempat ritual
berlangsung, pemimpin barisan adat mengucapkan kata-kata
adat
penyerahan Tamo Banua (Penenggong Tamo Banua). Selesai
-
P a g e | 73
mengucapkan kata-kata adat, Tamo Banua diserahkan dan diterima
oleh
Mayore Labo dengan kata-kata adat pula (Mendae Tamo Banua).
3.3.8.6. Lahoro Dudato (Pengantar Kata).
Dibawakan oleh Petua adat, bertujuan untuk memberitahukan
maksud dan tujuan dilaksanakan ritual adat Tulude kepada
semua
masyarakat yang hadir dalam ritual tersebut.
3.3.8.7. Kakumbaede atau Mangumbaede.
Kakumbaede memuat pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi pelaksanaan suatu acara adat. Hal ini dibacakan
atau
diucapkan menjelang acara puncak yakni proses Menahulending.
Dalam
ritual adat Tulude, Kakumbaede terdiri atas beberapa bagian
yang
tersusun sebagai berikut:
Lahaghotang (Argumentasi)
Pada bagian ini, disampaikan pokok-pokok pertimbangan
berdasar
pada ajaran atau budaya tentang hidup dan kehidupan manusia,
baik
sebagai mahkluk individu maupun makhluk sosial.
Lahakane (Kecenderungan)
Pada bagian ini mengungkapkan suatu kecenderungan ke arah
kesimpulan yang biasa diambil.
La’ala e (Pelengkap)
Untuk memperoleh ketegasan tanggapan perlu mempertimbangkan
faktor-faktor lain yang dianggap penting, sebagai pelengkap
apa
yang sudah tercantum pada Lahaghotang.
-
P a g e | 74
La’ansuhe (Harapan)
Berisi harapan dan doa yang diyakini supaya diterima oleh Ilahi
dan
membawa manfaat bagi semua, sejalan dengan tujuan
pelaksanaan
ritual Tulude..
Hakane (Penegasan)
Penegasan yang lazimnya mengulangi apa yang sudah di tulis
atau
yang sudah dinyatakan dalam Lahakane.
3.3.8.8. Menahulending.
Secara harafiah Menahulending adalah usaha untuk
mendinginkan sesuatu yang dianggap panas. Menahulending dari
asal
kata Tahulending yang artinya pendingin. Yang dimaksud dengan
panas
di sini adalah suatu situasi yang terjadi akibat adanya bencana
alam,
krisis kekuasaan, wabah penyakit, hama tanaman, kekacauan, dan
lain-
lain. Ada tiga sasaran yang perlu diberi pendingin, yaitu:
pemerintah,
masyarakat, dan alam.
Proses Menahulending merupakan doa yang mengandung
beberapa unsur yaitu: Uwuse artinya pemulihan atau penawar
kesalahan.
Hiwusala artinya permohonan kepada Ghenggona Langi untuk
memulihkan dosa yang dilakukan sepanjang tahun silam. Sasihge
Lawe
artinya usaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang
tidak
diinginkan. Pananggung atau Pangumbahase artinya doa
permohonan
ketangguhan dalam menghadapi cobaan. Somahe artinya
permohonan
kekuatan dalam bekerja dan permohonan berkat Ilahi atas usaha
yang
dikerjakan.
-
P a g e | 75
Ada dua bentuk Menahulending yaitu: pertama,
Menahulending Tembonange (restu kepada pemerintah). Bentuk
ini
merupakan doa restu kepada Pemerintah. Tokoh atau pribadi
yang
menerima Tatahulending mewakili Pemerintah dan rakyat adalah
pejabat
tertinggi (penguasa tunggal wilayah), mereka itulah Malambe
Banua
Liune dan Wawu Boki. Air yang dipakai dalam acara
Menahulending
diambil dari sumber yang bersih dan tidak pernah kering (mata
air),
sebagai lambang kelestarian dan keabadian. Air yang bening
bersih
merupakan simbol ketulusan hati dan kejujuran dalam pengabdian.
Doa
diucapkan dalam bahasa sastra daerah, sambil diadakan
pembasuhan
tangan, kaki, dan wajah dengan air Tahulending. Membasuh tangan,
kaki
dan wajah melambangkan kesejahteraan bagi pemerintah, selain itu
juga
merupakan lambang ungkapan penyerahan diri secara utuh dari
masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang, hanya kepada
Geggona
Langi.64 Kedua, Menahulending Banua (permohonan restu
kesejahteraan
alam). Bentuk Menahulending Banua diucapkan dengan sastra
daerah
berisi doa restu, puja dan puji syukur kepada Ghenggona Langi
yang
membahana ke alam semesta. Menahulending Banua dilambangkan
dengan pemercikan air Tahulending, yang berisi daun cocor
bebek
(tahulending), bunga melati (manuru), daun tawaang (tawaung),
daun
pandan jawa (salalo), dan lain-lain, ke empat penjuru mata angin
oleh
Petua adat, yaitu: Timur (Daki/Malelo), Selatan
(Timuhe/Matawola),
64 Seringkali dalam acara ini, diberikan penganugerahan adat
atau gelar adat, kepada Pemerintah atau
Tokoh Adat yang berjasa bagi pembangunan dan perjuangan daerah
Sangihe. Adapun mereka yang pernah menerima penganugerahan adat
(khusus dalam acara Tulude) adalah:Bapak Evert E. Mangindaan
(Mantan Gubernur Sulawesi Utara), diberi gelar Hiabe Mamenongkati
artinya Bintang Timur dari Utara, pada 31 Januari 1996. Bapak
Hengki Baramuli, diberi gelar Adimala Matahuena artinya Pemimpin
yang Arif dan Bijaksana, pada 31 Januari 2005. Bapak Marthinus
Manoi, diberi gelar Piloto Tataghumpia artinya Nahkoda yang Handal
dan Terpercaya, pada 31 Januari 2005.
-
P a g e | 76
Barat (Bahe/Palang epa), Utara (Sawenahe/Mamenongkati).
Setelah
prosese Menahulending selesai maka semua menyanyi lagu “O
Mawu
Ruata Talentuko Ia”.
3.3.8.9. Tatengkangmohong atau Tatengkamohong.
Tatengkamohong mirip Sasambo, hanya tidak diiringi irama
tagonggong. Tatengkamohong diucapkan setelah selesai acara
Menahulending. Tatengkamohong merupakan doa rakyat kepada
pemimpin atau pemerintah, agar melaksanakan tugas dan
tanggung
jawab sebagai pelindung dan mensejahterakan rakyatnya dengan
melaksanakan amanat rakyatnya.
3.3.8.10. Memoto Tamo Banua (Pemotongan Kue adat Tamo).
Memoto Tamo Banua melambangkan ungkapan syukur kepada
Ghenggona Langi yang empunya kehidupan dan sumber berkat.
Seorang
Petua adat memotong kue Tamo, sambil mengucapkan sastra adat
dari
awal hingga selesai pemotongan yang berisi doa permohonan
agar
pemerintah, seluruh rakyat, bangsa dan negara selalu
mendapat
perlindungan Ilahi. Kemudian Tamo Banua yang telah dipotong
itu,
diris-iris dan disuguhkan kepada para tamu, pejabat serta
seluruh yang
hadir dalam ritual Tulude. Hal ini melambangkan ikatan
kebersamaan
yang tidak melihat strukur sosial dan kedudukan individu.
Selama
pelayanan kue Tamo atau proses pembagian kue Tamo situasinya
diselingi dengan atraksi kesenian.
-
P a g e | 77
3.3.8.11. Salimbangu Wanua (Makan Bersama/ Pesta Rakyat).
Selesai acara tersebut di atas, diadakanlah acara makan
bersama, sementara makan beberapa yang bertugas melaksanakan
atraksi
kesenian seperti musik bambu dan grup Mebawalase.
3.3.8.12. Sasalamate
Sasalamate pada dasarnya adalah pidato atau sambutan yang
merupakan ucapan selamat, yang berisi pujian, harapan bahkan
doa,
kepada Ghenggona Langi untuk keselamatan dan kebahagiaan
semua
orang. Sasalamate dibawakan oleh Petua adat dan Pemerintah.
Petua
adat yang mengucapkan Sasalamate dengan sastra daerah berisi
doa
kepada Ghenggona Langi agar diberi perlindungan, mendapat
berkat
dalam kehidupan di dunia, panjang umur, bahkan seluruh umat
manusia
memperoleh keselamatan.
3.3.8.13. Penutup.
Proses akhir dari ritual Tulude berdasarkan informasi
dikatakan
telah mengalami perkembangan sesuai dengan konteks
kehidupan,
dimana proses dari penutupan ritual Tulude adalah sebagai
berikut:
Pertama, Mehiwusala atau Melapu (memohon pengampunan).
Manusia perlu menyadari dan memohon ampun kepada Ghenggona
Langi atas segala kesalahan dan dosa yang telah diperbuat.
Mehiwusala
atau Melapu mengandung fungsi: pemulihan atau perbaikan atas
kekeliruan dan kekurangan terlebih kesalahan yang tidak disadari
dalam
pelaksanaan acara, mengukuhkan segala sesuatu yang sudah
diperbuat
dalam kerangka pelaksanaan acara adat yang sudah berlangsung,
serta
-
P a g e | 78
pasrah kepada bimbingan Ilahi untuk menuju masa depan yang
lebih
baik.
Kedua, Tatarimakase (ucapan terima kasih). Ucapan terima
kasih dari pihak Pemerintah setempat dan Panitia Penyelenggara
ritual
adat Tulude sebagai tuan rumah.
Ketiga, Mekantari (bernyanyi bersama).Untuk mengakhiri
ritual adat Tulude, semua peserta menyanyikan lagu doa dalam
bahasa
daerah “O Mawu Rendingane”.
Keempat, Medamaeng (atraksi kesenian daerah). Kesenian
daerah yang ditampilkan antara lain, Masamper, musik bambu dan
lain-
lain.
3.4. Ritual Tulude Menjadi Ritual Pemerintah
Sejak tahun 1970-an ritual Tulude telah diambil alih oleh
pemerintah dalam
pelaksanaannya. Hal itu, memberi dampak pada proses pelaksanaan
dan semua unsur-
unsur di dalam ritual Tulude. Dampak yang terjadi adalah ketika
ritual Tulude akan
dilaksanakan maka, kehadiran pemerintah menjadi inti dari
pelaksanaan ritual
tersebut, tidak lagi melihat bahwa ritual itu adalah ritual suku
Sangihe (masyarakat).
Jika pemerintah belum hadir atau tidak dapat hadir dalam ritual
Tulude, maka
pelaksanaannya harus ditunda sampai pemerintah bisa menyediakan
waktu untuk
dapat hadir dalam ritual tersebut. Sejauh yang dapat ditemukan
oleh penulis bahwa
pelaksanaan penundaan ritual Tulude karena pemerintah itu,
terjadi pada tahun 2001
-
P a g e | 79
sampai sekarang di saat pelaksanaan ritual Tulude.65 Sebagai
contohnya yaitu
penundaan pelaksanaan ritual Tulude tahun 2014, seharusnya
dilaksanakan pada
tanggal 31 Januari menjadi tanggal 1 Februari, karena pemerintah
(Gubernur SULUT)
tidak dapat hadir.66 Penundaan tersebut juga terjadi pada tahun
2014.67 Keadaan
penundaan itu terjadi memiliki ikatan kuat terhadap kepentingan
politik individu yang
memiliki kekuasaan dalam pemerintah, sehingga pegeseran makna
ritual Tulude
sangatlah jauh yaitu dari kepentingan masyarakat (banyak orang)
menjadi
kepentingan politik individu, ketika ritual Tulude itu
ditetapkan dalam PERDA.
3.5. Ritual Tulude Menjadi Ritual Agama Moderen
Dalam mempraktekan ritual Tulude pada kalangan yang beragama
Islam,
mereka mulai menambahkan beberapa tradisi Islam seperti Hadrah
dan Samra.
Meskipun dalam prakteknya mereka tidak menyebutkan ritual Tulude
agama Islam.68
Dalam agama Kristen sendiri, ritual Tulude sudah mulai
dimasukkan beberapa
paham ke kristenan, seperti simbolisasi kue Tamo ditafsirkan
sebagai Yesus. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa tulisan yang telah dibuat oleh tokoh
agama Kristen. Salah
satunya tulisan yang berjudul 10 Tema Budaya yang menjelaskan
tentang aplikasi
teologi kue Tamo yang terdapat dalam proses ritual Tulude itu
ditujukan pada kredo
Kristiani.69 Meskipun juga dalam prakteknya mereka tidak
menyebutkan ritual
Tulude agama Kristen.
65 Wawancara (via Whats App), tanggal 25 Oktober 2017, Bpk.
Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 66
http://www.swaramanado.com/2014/02/wagub-hadiri-perayaan-tulude-ke-589.html,
(acced, 27
Oktober 2017) 67
http://www.manadoterkini.com/2016/01/24468/akibat-ditunda-tulude-tuai-sorotan/,
(acced, 27
Oktober 2017). 68 Wawancara (via Whats App), tanggal 25 Oktober
2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat
Sangihe. 69 Ambrosius Makasar, 10 Tema Budaya-Kearifan Lokal
Sumber Inspirasi Spiritual Moral Etik
Masyarakat Sangihe (Tahuna: Badan Pengurus Sinode GMIST Bidang
Marturia 2009), 69-74.
-
P a g e | 80
Demikianlah pemaparan data lapangan dalam bentuk deskriptif,
yang dituliskan
dalam bentuk subtema dan klasifikasi. Pemaparan data ini akan
dipakai sebagai dasar
penulisan bab berikutnya, yang tidak lain adalah hasil dari
proses analisis antara data
lapangan dengan teori (yang telah dituliskan dalam bab dua).