40 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN (JUSTICE AS FAIRNESS) Bab ini secara spesifik menjawab masalah atau isu hukum penelitian, dalam hal ini menanggapi pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017. Isu hukum yang dijawab oleh Putusan Nomor 53/PUU- XV/2017 adalah konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual kepada partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Ketentuan ini dipermasalahkan secara konstitusional karena mengandung unsur perlakuan berbeda kepada partai-partai politik peserta pemilu 2019: ada kelompok partai politik yang wajib menjalani verifikasi faktual dan ada kelompok partai politik yang dibebaskan dari kewajiban untuk menjalani verifikasi faktual. Berdasarkan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, ketentuan demikian sudah dinyatakan MKRI sebagai inkonstitusional dengan implikasi semua partai politik peserta pemilu 2019 harus menjalani verifikasi faktual. Poin utama analisis Bab ini adalah pendapat yudisial MKRI yang menjadi pertimbangan hukum putusan tersebut. Pendapat yudisial tersebut yang penulis kritik melalui penelitian ini. Dalam kritik tersebut, prinsip interpretif untuk Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 akan penulis terapkan sehingga, seperti penulis klaim, akan diberikan argumen keadilan yang lebih substantif untuk menjustifikasi kewajiban semua partai politik peserta pemilu 2019 untuk menjalani verifikasi faktual. Dengan kata lain, Bab II akan menjadi
24
Embed
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG …...Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017, Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
40
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
VERIFIKASI FAKTUAL PARTAI POLITIK DALAM
PERSPEKTIF KEADILAN (JUSTICE AS FAIRNESS)
Bab ini secara spesifik menjawab masalah atau isu hukum penelitian,
dalam hal ini menanggapi pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor
53/PUU-XV/2017. Isu hukum yang dijawab oleh Putusan Nomor 53/PUU-
XV/2017 adalah konstitusionalitas pengaturan tentang verifikasi faktual kepada
partai politik peserta pemilu 2019 dalam UU Pemilu. Ketentuan ini
dipermasalahkan secara konstitusional karena mengandung unsur perlakuan
berbeda kepada partai-partai politik peserta pemilu 2019: ada kelompok partai
politik yang wajib menjalani verifikasi faktual dan ada kelompok partai politik
yang dibebaskan dari kewajiban untuk menjalani verifikasi faktual. Berdasarkan
Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, ketentuan demikian sudah dinyatakan MKRI
sebagai inkonstitusional dengan implikasi semua partai politik peserta pemilu
2019 harus menjalani verifikasi faktual.
Poin utama analisis Bab ini adalah pendapat yudisial MKRI yang menjadi
pertimbangan hukum putusan tersebut. Pendapat yudisial tersebut yang penulis
kritik melalui penelitian ini. Dalam kritik tersebut, prinsip interpretif untuk Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 akan penulis terapkan
sehingga, seperti penulis klaim, akan diberikan argumen keadilan yang lebih
substantif untuk menjustifikasi kewajiban semua partai politik peserta pemilu
2019 untuk menjalani verifikasi faktual. Dengan kata lain, Bab II akan menjadi
41
dasar dari pendapat hukum penulis pada Bab ini. Argumen ini jauh lebih baik dan
berbeda dengan pendapat yudisial MKRI dalam Putusan Nomor 53/PUU-
XV/2017.
A. Latar Belakang Pengaturan Verifikasi Faktual Partai Politik
Peserta Pemilu 2019
Dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum disebutkan bahwa partai politik menjadi peserta pemilu
merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). KPU melakukan verifikasi
terhadap kelengkapan dan kebenaran persyaratan, yang harus selesai
dilaksanakan paling lambat 15 (lima belas) bulan sebelum hari pemungutan
suara. Persyaratan partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu masih sama
dengan Pasal 8 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012.76
Penelitian keabsahan administrasi dan penetapan persyaratan partai
politik peserta pemilu dilakukan oleh KPU. Hasil penelitian administrasi dan
penetapan keabsahan persyaratan oleh KPU dipublikasikan melalui media massa
elektronik dan cetak.77 Partai politik yang ingin menjadi peserta pemilu dengan
mengajukan pendaftaran peserta pemilu kepada KPU. Pengaturan mengenai
pendaftaran sama dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 8 Tahun 2012, dimana
pendaftaran diajukan dengan surat yang ditandatangani oleh ketua umum dan
76 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 2 September 2016, Direktur Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum, hlm. 213 77 Ibid., hlm. 214
42
sekretaris jenderal atau sebutan lain pada kepengurusan pusat partai politik.78
Gagasan tentang pengaturan verifikasi faktual partai politik dituangkan
dalam Pasal 143 Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum (RUU tentang Penyelenggaraan Penyelenggaraan Pemilu). Pasal 143 RUU
Penyelenggaraan Pemilu berbunyi sebagai berikut:
(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
(2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai
Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada
KPU; dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU.79
Pada Rapat ke 66, jenis Rapat Kerja ke-13, pada tanggal 30 Mei 2017,
Pukul 14.00 WIB s.d. selesai, dengan agenda membahas isu-isu krusial/penting
dalam RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, di situ Rapart Kerja
Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan
Pemerintah menyetujui isu-isu krusial/penting dalam RUU tentang
Penyelenggaraan Pemilu. Salah satu isu krusialnya yaitu Persyaratan Partai Politik
78 Ibid. 79 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.... Tahun ..... tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, hlm. 98
43
menjadi Peserta Pemilu. Keputusan Rapat menyebutkan Disetujui Opsi 1, yaitu
Tetap sesuai RUU, dengan penambahan ayat (3) yang berbunyi:
“(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilu.”80
Ketentuan Pasal 143 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu dan
penambahan ayat (3) di atas, akhirnya dituangkan dalam Pasal 173 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang secara
keseluruhannya berbunyi:
(1) Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah
ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU.
(2) Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang Partai
Politik
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen), jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan jumlah kecamatan 50% (lima puluh persen)
kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1000
(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik
sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan
kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada
KPU; dan
i. menyeratrkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai
politik kepada KPU
(3) Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai
Partai Politik Peserta Pemilu.
80 Laporan Singkat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum, hlm. 2.
44
Meski penjelasan pasal ini berbunyi, “cukup jelas”, tapi ketentuan Pasal
173 ayat (3) ini dipandang tidak terlalu jelas. Menurut Direktur Eksekutif
Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggraini, ketentuan
Pasal 173 ayat (3) dimaknai sebagai partai peserta Pemilu 2014 secara otomatis
menjadi peserta Pemilu 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh beberapa
partai politik. Bahkan mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 173 ayat
(1) dan ayat (3) ke MKRI. Beberapa partai yang telah mengajukan permohonan
pengujian pasal tersebut, diantaranya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai
Islam Damai Aman (IDAMAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai
Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Indonesia Kerja (PIKA).
Salah satu permohonan judicial review yaitu dari Partai Idaman, dengan
perkara nomor 53/PUU-XV/2017, tanggal registrasi 21 Agustus 2017, dengan
Objek Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa "telah ditetapkan", Pasal 173
ayat (3) dan Pasal 222 Bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat
7/2017. Oleh karena itu, meski setuju dengan kesimpulan bahwa pasal tersebut
inkonstitusional, tetapi penulis akan mengemukakan argumen substantif yang
lebih memuaskan dari pendapat MKRI di atas.
Partai politik yang berkompetisi dalam pemilu 2014 dan turut andil dalam
pengesahan UU 7/2017 tentang Pemilu telah memiliki dukungan dari rakyat, salah
satunya dengan memiliki kursi di DPR RI (“Partai Senayan”). Sebaliknya ada
pula partai politik yang baru akan turut berkompetisi dalam pemilu 2019 (“Parpol
Baru”). Sehingga kondisi untuk berkompetisi dalam pemilu 2019 sangatlah
berbeda. Oleh karena itu, pertanyaannya apakah “Partai Senayan” berhak untuk
dibedakan dari “Partai Baru” terkait dengan pengecualian verifikasi faktual partai
politik peserta pemilu 2019?
116 Ibid
61
Menurut hemat penulis, “Parpol Senayan” tidak berhak dibedakan dengan
“Parpol Baru” karena “Parpol Senayan” telah mengikuti kompetisi di pemilu
sebelumnya. Sehingga “Parpol Senayan” lebih memiliki kesempatan untuk
menjadi peserta pemilu di pemilu berikutnya. Selain itu, “Parpol Senayan” telah
memiliki sumber daya yang dibutuhkan agar bisa turut serta dalam pemilu 2019.
Sumber daya tersebut antara lain, terpenuhinya legalitas sebagai partai politik dan
telah mendudukkan kader-kadernya sebagai anggota legislatif. Terlebih lagi,
“Parpol Senayan” juga telah memiliki kepengurusan sampai ke desa-desa.
Dworkin dalam Marzuki mengemukakan, “rights are best understood as
trumps over some background justification for political decisions that the state a
good for the community as a whole”.117 Lebih lanjut, Dworkin menyatakan bukan
hak yang diciptakan oleh hukum, melainkan hak yang memaksa adanya hukum.118
Terkait dengan hak, dalam justice as fairness, Rawls mengungkapkan:
Each person has an equal right to a fully adequate scheme of equal basic liberties which
is compatible with a similar scheme of liberties for all.119
Oleh Rawls, asas hak tersebut dijustifikasi dengan kekuatan moral yaitu:
First, the capacity for a sense of justice, exercised in deliberating with others about the
form of shared social institution, and second, the capacity for a conception of the good,
exercised in deliberating about how to live one’s own life.120
Kedua argumen tersebut tampak menonjol dalam penguatan tradisi hak.
Bila dikaitkan dengan argumen tersebut, “Partai Senayan” tidak memiliki alas hak
untuk membuat UU, terkait dengan verifikasi faktual partai politik peserta pemilu
2019, yang menguntungkan dan bermuara mengecualikan mereka dari proses
117 Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 178 118 Ibid., hlm.180. 119 Rawls, John, 1996, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, hlm. 291. 120 Ibid., hlm. 332-333
62
verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019. Selain itu, “Parpol Senayan”
juga telah melakukan tindakan “tidak bermoral” karena tanpa alas hak telah
membuat UU yang menguntungkan mereka dengan membebankan beban yang
lebih berat (verifikasi faktual partai politik peserta pemilu 2019) kepada pihak lain
(“Partai Baru”).
Terlebih lagi, pengaturan mengenai verifikasi faktual partai politik peserta
pemilu telah pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD121, dan oleh MKRI, pengaturan itu dianggap
inkonstitusional terhadap UUD NRI 1945 melalui Putusan MKRI Nomor
52/PUU-X/2012. Meski DPR RI memiliki kewenangan open legal policy untuk
membuat UU, tapi tindakan “Partai Senayan” dengan menghidupkan kembali
norma yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan tindakan yang tidak
memiliki alas hak dan alas moral.
Ihwal dihidupkannya kembali norma yang telah pernah dinyatakan
inkonstitusional oleh Mahkamah, telah ditegaskan Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September
2017, yang menyatakan antara lain:
“Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan
Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap
norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi
Undang-Undang atau dalam Undang-Undang yang baru, maka bagi Mahkamah hal
demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma
Undang- Undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945”.122
121 Pasal 8 ayat (1) UU No. 8/2012 menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu
terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional
ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. 122 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, hlm. 119
63
Berdasarkan argumen-argumen di atas, bila dikaitkan dengan prinsip
keadilan Rawls (justice as fairness) khususnya mengenai prinsip perbedaan (the
difference principle), Rawls menyatakan,“they are to be to the greatest benefit of
the least advantaged members of society”123, maka “Parpol Senayan” bukan
merupakan (kelompok) masyarakat yang ‘disadvantage’/’vulnerable’. Karena
mereka telah memiliki pengalaman di pemilu 2014 dan telah mendudukkan
anggotanya menjadi legislator. Sehingga sudah selayaknyalah apabila “Parpol
Senayan” tidak masuk kualifikasi untuk diperlakukan secara berbeda dengan
“Parpol Baru”. Oleh karena itu, sepatutnyalah apabila “Parpol Senayan” juga
harus mengikuti verifikasi faktual partai politik dan tidak layak berlindung di