42 BAB III PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS Perkembangan dan perjalanan pers di Indonesia yang senantiasa mengalami pasang surut perubahan tentunya menuntut adanya penjelasan “background” sejarah media itu sendiri. Menurut Edward C. Smith dalam Pembreidelan Pers di Indonesia, peran media sebagai alat perjuangan di dalam revolusi kemerdekaan telah menjadikan hal ini sebagai pengalaman dan menjadi latar belakang kepribadian pers Indonesia. Dengan demikian nama pers perjuangan pada dasarnya harus dapat diterapkan sebagai media policy/kebijakan media bagi setiap penerbitan di Indonesia, tidak hanya pada masa revolusi perjuangan Indonesia, tetapi juga diterapkan pada masa- masa selanjutnya. 1 Pers di Indonesia merupakan alat perjuangan bangsa yang dapat menjamin kemerdekaan nasional yang bukan merupakan kata-kata kosong belaka, tetapi kemerdekaan nasional yang meliputi “the freedom to be free” agar dapat membentuk struktur kemasyarakatan dan mencerminkan keadilan sosial dan perdamaian abadi. 2 1 Edward C. Smith., Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1983), hlm. 44. 2 I. Taufik., Sejarah Dan Perkembangan Pers Di Indonesia, (Jakarta: P.T. Triyinco, 1997), hlm. 15.
30
Embed
BAB III PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN GAGASAN … · Menurut M. Tabrani, seorang wartawan dan tokoh pergerakan, memberikan karakteristik pers nasional: Pertama, harus bercorak nasional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
42
42
BAB III
PERANAN IPPI DALAM MENYEBARKAN
GAGASAN NASIONALISME MELALUI PERS
Perkembangan dan perjalanan pers di Indonesia yang senantiasa mengalami
pasang surut perubahan tentunya menuntut adanya penjelasan “background” sejarah
media itu sendiri. Menurut Edward C. Smith dalam Pembreidelan Pers di Indonesia,
peran media sebagai alat perjuangan di dalam revolusi kemerdekaan telah menjadikan
hal ini sebagai pengalaman dan menjadi latar belakang kepribadian pers Indonesia.
Dengan demikian nama pers perjuangan pada dasarnya harus dapat diterapkan
sebagai media policy/kebijakan media bagi setiap penerbitan di Indonesia, tidak
hanya pada masa revolusi perjuangan Indonesia, tetapi juga diterapkan pada masa-
masa selanjutnya.1 Pers di Indonesia merupakan alat perjuangan bangsa yang dapat
menjamin kemerdekaan nasional yang bukan merupakan kata-kata kosong belaka,
tetapi kemerdekaan nasional yang meliputi “the freedom to be free” agar dapat
membentuk struktur kemasyarakatan dan mencerminkan keadilan sosial dan
perdamaian abadi.2
1 Edward C. Smith., Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, (Jakarta:
Grafiti, 1983), hlm. 44. 2 I. Taufik., Sejarah Dan Perkembangan Pers Di Indonesia, (Jakarta: P.T.
Triyinco, 1997), hlm. 15.
43
Pers memperjuangkan cita-cita bangsa Indonesia dan sebagai alat yang tidak
mengenal kompromi dengan sistem yang bertentangan dengan cita-cita nasional,
selain itu pers juga sebagai senjata mental bagi bangsa Indonesia dan alat
pembangunan untuk ke arah tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Semakin tajam
pers Indonesia sebagai alat pembangunan, maka semakin cepat pula tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Pers pada masa perjuangan pergerakan
nasional, telah menampakkan keterlibatannya sebagai media komunikasi. Pers
cenderung menjadi alat perjuangan dari kaum pergerakan, sehingga tidak berlebihan
bila dikatakan bahwa pers nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan
pergerakan nasional karena sesungguhnya pers merupakan bagian dari perjuangan itu.
Menurut Syamsul Basri bahwa pers dan wartawan dengan tulisan dan sepak
terjangnya waktu itu, berusaha menggalang dan membangkitkan kesadaran
masyarakat untuk bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajah.3
Menurut M. Tabrani, seorang wartawan dan tokoh pergerakan, memberikan
karakteristik pers nasional: Pertama, harus bercorak nasional dalam arti seluas-
luasnya dan kedua, menjadi pendukung gagasan kemerdekaan, namun harus
berpendapat luas dalam mengolah peristiwa dan fakta yang di dalam masyarakat
selalu terdapat perbedaan, ketiga; tenggang menenggang.4 Bung Karno ketika
memberikan kata sambutan pada hari ulang tahun koran “Sipatahoenan” yang ke-10
di tahun 1933, mengatakan bahwa tiada perjuangan kemerdekaan secara modern yang
3 Syamsul Basri., Pers dan Wartawan Sebagai Pembangkit Kesadaran
Bangsa Melawan Penjajah, (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 28. 4 Tabrani., Pers Nasional Sebagai Bagian dari Masyarakat yang Berjuang
Mencapai Kemerdekaan. (Jakarta: Deppen RI, 1987), hlm. 39-40.
42
44
tidak perlu memakai penyuluhan, propaganda dan agitasi dengan pers.5 Pengakuan
semacam ini diungkap pula oleh Muhammad Hatta sewaktu membina koran PNI
Baru, “Daulat Rakjat”, yakni:
“Memang majalah gunanya untuk menambah pengetahuan, menambah
pengertian dan menambah keinsyafan. Dan bertambah insyaf kaum pergerakan akan
kewajiban dan makna bergerak, bertambah tahu kita mencari jalan bergerak. Sebab
itu majalah menjadi pemimpin pada tempatnya. Dan anggota-anggota pergerakan
yang mau memenuhi kewajibannya dalam perjuangan tidak dapat terpisah dari
majalahnya”.6
Pengakuan yang diungkapkan tersebut memberi gambaran akan pentingnya
peranan pers dalam perjuangan pergerakan nasional. Peranan pers nasional sebagai
alat perjuangan dengan orientasinya yang mendukung perjuangan pergerakan
nasional telah mengambil bagian penting dari episode perjuangan dalam upaya
mencapai kemerdekaan. Di samping sebagai wadah di mana ide-ide dan aspirasi
organisasi disuarakan, juga telah berperan dalam menyadarkan dan membangkitkan
semangat persatuan dan kesatuan yang kemudian menjadi senjata ampuh melawan
politik pecah belah Belanda.
A. Kondisi Pers Nasional Pasca Kemerdekaan 1945-1948
Pada awal sejarahnya, pers di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus yang
berhubungan dengan keadaan masyarakat, politik, dan budaya. Sejarah pertumbuhan
pers di Indonesia mencerminkan struktur masyarakat yang majemuk, dengan adanya
golongan penduduk yang terpisah satu sama lain, seperti penduduk Belanda, China,
5 Ibid., hlm. VI. 6 Mohammad Hatta., Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1979), hlm. 329.
45
Arab, dan India. Penduduk Indonesia sendiri pada zaman kolonial berada dalam
batas-batas hidup kesukuan. Dengan itu maka bahasa yang dipakai pun berbeda, dan
pers dipakai sebagai media pemberitaan dan pendapat yang berbeda pula, dan tidak
jarang merupakan suara pendukung berbagai ideologi.
Tempat terbit dan penyebaran surat kabar Belanda hanya terbatas pada kota-
kota besar yang penting bagi administrasi maupun sebagai pusat perdagangan
perusahaan-perusahaan Belanda. Pada awal abad ke dua puluh beberapa pers Belanda
mewakili orientasi politik tertentu, yang walaupun ada perbedaan, namun bercorak
mempertahankan kolonial di Indonesia.7 Isi dari pers Belanda sendiri sudah tentu
berorientasi ke Eropa dan kepentingan Eropa, serta menutup mata bagi keadaan dan
kepentingan Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam pers
masyarakat Indonesia saja dirasa tidak perlu, kecuali Bataviaasch Nieuwsblad dan De
Locomotief, pada umumnya corak pers mereka dapat disebut sebagai pers kolonial.
Dengan ciri pers Belanda yaitu dengan sistem rasial, apabila suatu media
masa yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum
terhadap kebijaksanaan pemerintah maka tidak akan mendapatkan izin terbit. Namun
sejak berlakunya ketentuan Liberalisasi, khusunya keputusan penguasa untuk
menghapuskan pra sensor sebelum mulai tahun 1906, wartawan Indonesia
mempunyai peluang untuk menerbitkan surat kabar sendiri. Liberalisasi di negara
jajahan tentu mengandung kontradiksi-kontradiksi pasal-pasal karet dalam undang-
7 Abdurrachman Surjomihardjo., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers,
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 34.
46
undang yang masih diberlakukan, bahkan pers breidel ordonantie tahun 1931 tetap
merupakan senjata pengekangan dan penindasan.
Puncak dari politik pemerintah terhadap kebijaksanaan pers adalah ketika
disahkannya peraturan dan pemberangusan pers pada tanggal 7 September 1931.
Dalam pasal 1, disebutkan bahwa pers breidel ordonantie atau pemberangusan pers
merupakan hak Gubernur Jendral untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang
dinilainya bisa mengganggu ketertiban umum, sedangkan dalam pasal 2 disebutkan
adanya pelarangan percetakan, penerbitan dan penyebaran sebuah surat kabar paling
lama delapan hari, tetapi jika sesudah terbit surat kabar yang bersangkutan dinilai
mengganggu lagi ketertiban umum, maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama,
meskipun tidak terbit lebih lama dari tiga puluh hari berturut-turut. Dari pasal-pasal
peraturan yang ada pada masa pemerintahan Belanda, jelas sangat menyempitkan
ruang gerak setiap gerakan pers yang berada di luar kepentingan kolonial. Tidak
seperti di zaman kekuasaan Belanda, pers di zaman penguasa militer Jepang banyak
sekali menguntungkan bangsa Indonesia, disamping ada juga faktor-faktor
penekanan.
Zaman pemerintahan militer Jepang, sarana publikasi dan komunikasi diatur
dengan undang-undang nomor 16 yang dikeluarkan oleh penguasa Jawa dan Madura.
Dua segi yang menonjol dari undang-undang ini ialah sistem izin terbit dan sensor
preventif. Dalam pasal 1 disebutkan, bahwa semua barang cetakan harus memiliki
izin terbit dan izin publikasi. Pasal 2 menyebutkan, bahwa penerbitan yang
sebelumnya memusuhi Jepang dilarang untuk meneruskan penerbitan. Adapun
mengenai sensor preventif ditegaskan dalam pasal 4 yang menyatakan semua barang
47
cetakan, sebelum diedarkan harus melewati bagian sensor Bala Tentara Jepang.
Ketegasan Jepang dalam peraturan persnya terasa sekali dengan ditempatkannya Shi
Doo In (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar, yang bertugas untuk
melakukan kontrol langsung terhadap setiap terbitan sebuah surat kabar, bahkan
sering para penasehat tersebut menulis sendiri artikel-artikel dengan menggunakan
anggota redaksi. Untuk mengelola penerbitan surat kabar tersebut pemerintah Jepang
mendirikan Jawa Shinbun Kai, yang merupakan serikat Persurat-kabaran di bawah
pemerintah militer. Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang sudah barang
tentu menyempitkan kedudukan pers sebagai sarana informasi kepada umum, namun
tak dapat disangkal bahwa juga memberi sumbangan berharga bagi perjuangan
kemerdekaan dan pertumbuhan pers Indonesia setelah kemerdekaan.
Dapat dicatat bahwa larangan terhadap penggunaan bahasa Belanda
meratakan penggunaan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok Indonesia untuk menarik
simpati rakyat Indonesia. Hal tersebut diperhebat pada masa penguasa Jepang
sehingga orang-orang Indonesia sendiri mendapat latihan mengenai berbagai aspek
pengelolaan pers dan menduduki posisi pada semua tingkat yang bertanggung jawab.8
Zaman pendudukan Jepang mendorong perubahan masyarakat dengan membuka
jabatan-jabatan baru bagi bangsa Indonesia, yang pada zaman kolonial Belanda tidak
terjadi. Pada saat Jepang kalah perang dan bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah siap dengan
berbagai jabatan yang diperlukan dalam menyusun kemerdekaan.
8 Ibid., hlm. 86.
48
Pers Indonesia sebagian tergantung kehidupannya pada situasi dan kondisi di
zaman Jepang, terutama sekali karena keterbatasan sarana seperti kertas dan mesin
cetak. Akibat dipindah-pindahkan menurut kemauan siasat Jepang, tetapi di mana
dahulu terbit surat kabar-surat kabar Jepang, di situ terbit surat kabar Republik.9
Demikian pula halnya dengan yang terjadi di beberapa daerah, baik itu mengenai
motifnya maupun tujuan dari setiap surat kabar yang ada, tidak akan terlepas dari
sejarah pertumbuhan persurat-kabaran, masyarakat, situasi dan kondisi saat itu. Surat
kabar sebagai salah satu media massa mempunyai peranan penting dan kedudukan
tersendiri di tengah-tengah masyarakat, terutama pada masa revolusi fisik. Walaupun
disadari bahwa baru kalangan tertentu dan sebagian kecil dari masyarakat yang
membeli surat kabar pada waktu itu, sehingga dapat dikatakan bahwa surat kabar
masih merupakan barang langka. Apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk media
massa lainnya maka surat kabar merupakan sarana komunikasi massa yang paling
murah dan mudah dijangkau masyarakat pada umumnya.
Mengingat kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memerlukan
alat untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, maka pada masa revolusi fisik,
sarana komunikasi massa yang berupa surat kabar ini menduduki posisi yang amat
penting bagi perjuangan. Surat kabar pada waktu itu merupakan penyampai semangat
dan pesan serta informasi kepada masyarakat dan pejuang. Fungsi yang amat penting
adalah sebagai pelopor dan pembangkit semangat perjuangan, tetapi surat kabar juga
9 Sumanang, Beberapa Soal Tentang Pers dan Jurnalistik. (Jakarta: Balai
Pustaka, 1952), hlm. 24.
49
merupakan alat kontrol sosial, mengadakan kontrol, dan membina para pejuang untuk
tetap teguh pada pendirian di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
1. Kondisi Surat Kabar Pasca Kemerdekaan
Awal berdirinya surat kabar-surat kabar pada masa kemerdekaan masih
sederhana dalam bentuk dan sistem pengelolaannya. Bentuk perusahaan pada waktu
itu belum berdasarkan peraturan badan hukum, melainkan hanya semacam bentuk
gotong royong, saling percaya, kerja sama atas dasar kepentingan perjuangan, tidak
terikat oleh suatu peraturan badan hukum. Pada masa revolusi fisik untuk mendirikan
surat kabar yang terpenting adalah memiliki idealisme dan agak mengesampingkan
segi ekonomis. Untuk mempertahankan idealismenya tidak jarang seorang pemimpin
perusahaan harus berkorban materi, akibatnya tidak jarang surat kabar atau majalah
hanya mampu bertahan beberapa bulan bahkan hanya beberapa kali terbit. Tidak
mampu bertahannya suatu surat kabar atau majalah juga disebabkan oleh masalah
teknis seperti sulitnya kebutuhan pokok seperti tinta, kertas, mesin cetak dan lain-
lain, selain itu tidak terlepas dari kondisi masyarakatnya, kebudayaan maupun politik.
Para karyawan surat kabar pada masa itu bekerja atas dasar perjuangan demi
kemerdekaan, tetapi walaupun demikian tidak berarti pihak penerbit tidak
memperhatikan kesejahteraan karyawan. Bagi karyawan sendiri pada prinsipnya yang
penting surat kabar dapat terbit, soal gaji tidak jadi masalah. Apalagi yang menjadi
wartawan perang, keduanya mempunyai sikap yang sama yaitu bekerja untuk
kemerdekaan Republik Indonesia.
50
Mengenai keadaan dan bentuk persurat-kabaran pada masa itu masih sangat
sederhana. Kebanyakan menggunakan kertas merang yang ukuran maupun tebal
tipisnya tidak sama, di satu sisi licin dan halus yang lain kasar dan tidak rata. Terdiri
dari dua halaman yang masing-masing surat kabar lebarnya tidak sama, kebanyakan
setengah lembar koran sekarang. Mengenai masalah pengerjaan surat kabar dari
proses pencarian berita hingga penyajiannya, para karyawan pers pada masa itu tidak
terpancang kepada tugas dan posisinya dalam perusahaan pers, tetapi mereka saling
membantu tanpa memandang posisi dan tugasnya.
2. Peranan Ikatan Pelajar Indonesia di Bidang Pers
Para pemuda, pelajar dan mahasiswa menghimpun tenaga dan kekuatan untuk
berjuang dalam bidang media masa yang memiliki kekuatan untuk mendorong
semangat perjuangan seluruh komponen elemen rakyat Indonesia untuk meraih
kemerdekaannya sendiri dan mampu memberi tekanan pada pihak penjajah terutama
terhadap NICA-Belanda yang berusaha menduduki kembali Pemerintahan Indonesia
pada tanggal 29 September 1945.10
Beberapa cabang dari Ikatan Pelajar Indonesia menerbitkan organnya masing-
masing, pada saat itu segala sesuatunya dikerjakan dengan tekad tanpa pamrih dan
semua ditunjukan untuk perjuangan kemerdekaan. Para penyelenggara berstatuskan
masih pelajar, disamping giat dan aktif dalam organisasi, menulis artikel majalah
masing-masing dan menghadiri konferensi pers yang diadakan oleh Kementerian
10 Slamet Muljana., Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai
Kemerdekaan Jilid II, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2008), hlm. 54.
51
Penerangan atau ormas-ormas, mereka tetap terkena kewajiban masuk sekolah dan
tetap harus mengikuti ulangan umum untuk kenaikan kelas ataupun ujian
penghabisan sekolah. Selain tetap harus wajib belajar dan bersekolah, pembagian
kerja di kantor pun diatur sebaik-baiknya dan di jadwal secara bergiliran. Ada yang
datang pada saat pagi hari dan adapula yang bekerja di sore hari. Demikian pula tata
usahanya telah diatur dari mulai mengambil majalah dari percetakan, menulis alamat
para pelanggan, mengurus pembukuan dan ekspedisi sampai pengiriman ke kantor
pos mereka lakukan sendiri. Semua itu tanpa adanya honor, mereka juga tidak
menjagakan bantuan dari pihak lain karena mereka melakukannya dengan sistem
gotong royong, percaya kepada diri sendiri dan ikhlas tanpa pamrih.
Penyerbuan Belanda ke wilayah de facto RI menghentikan semua kegiatan
penerbitan secara legaal. Para pemuda, pelajar dan mahasiswa tetap terus berjuang di
luar kota dan tidak sedikit pula yang bersikap pasif dengan Belanda. Pelajar dan
pemuda yang berjuang ke luar kota sebagian tergabung dalam Tentara Pelajar
ataupun yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan gerilya. Setelah kedaulatan RI
diakui Belanda para pemuda yang semula ada di luar kota dan berjuang di hutan-
hutan kembali ke kota untuk meneruskan belajar dan kembali aktif menuntut ilmu di
sekolah atau diperguruan tinggi masing-masing.11 Selama itu nampak tidak banyak
organ yang ditebitkan oleh para pelajar dan mahasiswa ini dikarenakan mereka
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka tinggalkan pada saat berada di daaerah
pedalaman.
11 Marwati Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto., Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 272.
52
a. Pelita Zaman
Ikatan Pemuda Indonesia di Jawa Timur yang berpusat di Mojokerto
menerbitkan majalah Pelita Zaman dengan dipimpin oleh Mohammad Icksan dan
mengenai isinya dipercayakan kepada Dachlan dan Sujati. Pelita Zaman
menyuarakan mengenai bahasa Indonesia yang dinilai sebagai bahasa persatuan dan
perjuangan yang harus diterapkan dan memiliki kedudukan yang sangat penting.
Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 menunjukkan para pemimpin yang
berusaha menerapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang penting meski dibawah
pemerintahan Belanda, berita-beritanya antara lain:
Editorial Tjamboek pada tanggal 20 Januari 1946 :
Bahasa Indonesia, Bahasa Persatoean Dan Perdjoeangan
“Perkataan Bahasa Melajoe diganti dengan perkataan Bahasa Indonesia,
Soenggoeh soeatoe tindakan jang sekali goes mereboet hati kita. Bertahoen-
tahoen dalam zaman pemerintahan Hindia-Belanda dahoeloe kita
perdjoeangkan soal bahasa Indonesia itoe. Para pemimpin tidak berhenti-
berhentinja beroesaha soepaja bahasa Indonesia itoe diakoei oleh pemerintah
ketika itoe tetapi tersia-sia belaka, betapa djoega hebatnja perdjoeangan
diloear dan didalam badan perwakilan seperti Volksraad, Provinciale Raad
dan Stadsgemeenteraad.
Tentang kedoedoekan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdjoeangan, koerang
sekali didapati penerangan. Angkatan moedalah jang telah banjak berdjasa
dalam hal ini. Jaitoe beroepa soempahnja, bahwa kita bertanah air satoe;
bangsa Indonesia; berbahasa satoe, bahasa Indonesia. Soempah angkatan
moeda ini meloeas mendjadi soempah seloeroeh bangsa Indonesia. Ini
memang tidak bisa lain karena kalau kita berdjoeang oentoek mentjapai
Indonesia Merdeka, dengan sendirinja tanah air kita itoe haroes bernama
Indonesia, bangsa kita bergelar bangsa Indonesia. Amat djanggallah djika
misalja tanah air dan bangsa bertjap Indonesia. Sedang bahasanja bahasa
Melajoe atau bahasa Djawa misalnja. Poen sebaliknja, djanggal poela biamana
bangsa dan bahasa diseboetkan Indonesia, tetapi tanah air dinamakan Djawa
atau Soematera. Djadi teranglah, bahwa bahasa Indonesia itoe boekan hanja
bahasa persatoean. Tetapi, djoega bahasa perdjoeangan menoedjoe Indonesia
merdeka jang boelat, jang tidak terpetjah-petjah, ibaratkan Indonesia merdeka
53
itoe sapoe lidi. Maka bahasa Indonesia itoe adalah tali jang mengikatnja
poeloehan lidi itoe mendjadi satoe…”.12
Berita di atas, memuat mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang sangat
penting bagi bangsa Indonesia, kaena bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
tanah air Indonesia. Selain bahasa persatuan, sebagai bahasa perjuangan menuju
Indonesia merdeka dan bertujuan untuk mengusir kaum penjajah. Pada tanggal 15
November 1946 ditandatangani Perjanjian Linggarjati, Belanda menyerang
Mojokerto dan semua penerbitan yang ada di Mojokerto termasuk Pelita Zaman
menjadi kacau dan pemuda pelajar yang menanganinya harus mengungsi dan
meneruskan perjuangan di tempat yang baru.13
b. Pemuda Merdeka
Selain Pelita Zaman, IPI cabang Kediri memiliki majalah bernama Pemuda
Merdeka dan dipimpin oleh Moerdjimin seorang pelajar Taman Guru Taman Siswa
Kediri. Tetapi Moerdjimin gugur ditembak Belanda ketika naik rakit hendak
menyeberangi Sungai Brantas untuk kembali ke kotanya Nganjuk dengan
melaksanakan tugas organisasinya di sana. Selain Moerdjimin kedua temannya
anggota redaksi Sanyoto Padmodimulyo dan Pranata Sastrosuprapto yang juga pelajar
Taman Siswa juga terkena tembakan Belanda dan tenggelam hanyut di Sungai
Brantas. Pemuda Merdeka banyak menyuarakan informasi mengenai perjuangan
bagi seluruh pemuda di Indonesia dan jalannya usaha mempertahankan kemerdekaan
baik itu pemberitaan mengenai jalannya berperang melawan imperialisme Belanda,
12 Pelita Zaman, 20 Januari 1946, Koleksi Arsip Monumen Pers Nasional 13 Rushdy Hoesein., Terobosan Sukarno Dalam Perundingan Linggarjati,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 6.
54
maupun dampak dari pertempuran antara pemuda Indonesia dan Belanda. Seperti
yang diterangkan oleh tulisan Trisula menerangkan keadaan para wanita, anak-anak
dan kaum laki-laki yang dirampas hak dan diperbudak oleh tentara-tentara Belanda.
Selain itu, perjuangan pemuda dalam menghadapi dan memperjuangkan
kemerdekaannya tulisan-tulisannya antara lain :
Editorial Suryo Timur 15 Djoeli 1946 :
PEMOEDA
“Banjak sedikitnja kita semoea soedah tahoe tentang perang Diponegoro.
Oleh sebab itoe, soedah bisalah membajangkan bagaimana keadaan
masjarakat dikala itoe. Bisa poela membajangkan bagaimana hidoep dimasa
itoe. Sebeloem perang disana-sini, dipermoekaan Noesantara kita ini, kaki
imperialisme Belanda mengindjak-indjak semaoe-maoenja. Sesoedah perang,
sampai kepada zaman baroe ini kaki imperialisme Belanda jang mengindjak
itoe diperkoeat. Teroetama oleh tangan-tangan berkoekoe tadjam jang hebat
menjengkeram. Tangan-tangan imperialisme Amerika-Inggris kalau sedikit
sadja Indonesia kita ini bergerak makin berloemoeran darahlah loeka-loeka
tjengkeraman imperialis itoe. Selama berperang, desa-desa dibakar, pertanian
diroesakkan, ternak dirampas, perempoean dan kanak-kanak ditangkap. Laki-
laki dipaksa bekerdja mendirikan benteng-benteng moesoeh. Diboenoeh mati
sesoeka hatinja. Hanja mereka jang toeroet berperang sadja jang hindar dari
keboeasan ini. Mereka jang toeroet berperang sadja menikmatkan bahagia
merdeka!. Mereka jang toeroet berperang djoega jang diloehoerkan selama-
lamanja!.
Dalam membajangkan semoea ini sekarang, kiranja tidak berlebih-lebih kalau
dikatakan: tiap temboesan peloeroe lawan jang menoempahkan darah nenek
mojang kita, tiap djerit wanita dan kanak-kanak jang disiksa, tiap adoeh
manoesia jang dibakar roemahnja, dirampas ternaknja, dipaksa bekerdja
dengan semena-mena. Dan memangnjalah, semoeanja itoe pasti akan berlakoe
kembali kalau kaki imperalis itoe mengindjak tanah air kita ini kembali. Oleh
sebab itoe, disaat moesoeh itoe mendekat-dekat hendak mengindjakkan kaki
diboemi kita lagi, kita mesti soedah mempoenjai sikap dan terlahirkan sebagai
bangsa jang baroe”.14
Pemuda Merdeka kemudian digabung dengan majalah Pelajar Pejuang
dengan berganti nama Patria pada tanggal 10 Juli 1946 dengan dipimpin redaksinya