Page 1
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
1
TAFSIR DENGAN CORAK FILSAFAT (TAFSIR FALSAFI)
Oleh: Shofaussamawati1
ABSTRACT
History has recorded the development of interpretation so rapidly, in line
with the needs and the human ability to interpret the verses of the Koran. This
shows that Muslims are not stagnant in their lives. They sought to put the Koran
as a holy book that really salih li kulli jaman wal makan.
Efforts to articulate between the Koran with the problems of humanity
have become one of the causes or the background of many colors, patterns and
trends of interpretation. One of the patterns and trends are known among other
interpretation is patterned philosophical interpretation (tafsir philosophical).
This philosophical commentary was born in the third century, when the
tafsir al-Koran not only has composed and codified, but also entered a very
important stage of its development, the stage of its struggle with the natural
philosophy of mind. The struggle between interpretation and philosophical
thinking is very important because it not only gave birth horizon hermeneutic of
the Koran entirely new, but also give rise to various problems of religious
thought in the interpretation of the Koran, which had not previously been found.
This paper wants to examine the philosophical interpretation. What is the
philosophical interpretation, any existing background, character, and books,
examples of interpretation, and how relevancy philosophical interpretation in the
contemporary.
Keywords : Interpretation, Color, Tafsir Philosophical
A. Pendahuluan
Al-Qur‟an diturunkan Allah ke dunia adalah sebagai sumber
ajaran, pedoman, dan petunjuk bagi manusia dalam semua aspek
kehidupan.Agar al-Qur‟an benar-benar bisa memberi pedoman maka
yang harus dilakukan umat Islam adalah membaca, menafsirkan dan
memahaminya agar mendapatkan makna.
1 Dosen STAIN Kudus
Page 2
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
2
Ketika Rasulullah masih hidup, kegiatan tafsir tersentral dalam
diri beliau. Hal ini karena Rasulullah adalah satu-satunya orang yang
mempunyai otoritas menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Qur‟an
kepada sahabat-sahabatnya. Kondisi ini berlangsung sampai
Rasulullah wafat.Setelah Rasulullah wafat, otoritas beralih tangan
pada generasi sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, dan seterusnya.
Munculnya kegiatan tafsir ini berawal ketika para sahabat
bertanya kepada Rasulullah, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat al-
Qur‟an yang tidak dipahami dan samar artinya. Kemudian
berkembang dengan munculnya kebutuhan mendialogkan antara al-
Qur‟an dengan permasalahan kemasyarakatan yang dihadapi manusia
sejak diturunkannya al-Qur‟an sampai sekarang.
Upaya mendialogkan antara al-Qur‟an dengan problem
kemanusiaan ini menjadi salah satu penyebab atau latar belakang
munculnya banyak corak dan kecenderungan tafsir. Corak dan
kecenderungan tafsir yang dikenal selama ini antara lain; tafsir
bercorak sastra bahasa (tafsir lughawi), tafsir bercorak ilmiah (tafsir
ilmi), tafsir bercorak fiqh (tafsir fiqhi), tafsir bercorak tasawuf (tafsir
isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-
ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi).
Tulisan ini ingin mengkaji salah satu corak tafsir, yaitu tafsir
falsafi. Apa itu tafsir falsafi, latar belakang munculnya, tokoh dan
kitabnya, contoh penafsiran, dan relefansinya pada masa sekarang.
B. Latar Belakang Lahirnya Tafsir Falsafi
Pasca periode sahabat dan tabi‟in, sejarah tafsir memasuki
suatu era baru yang disebut oleh Adz-Dzahabi sebagai periode tadwin
Page 3
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
3
atau periode pembukuan.2
Dalam peta sejarah Islam, periode ini
dikenal sebagai zaman keemasan Ilmu pengetahuan.Periode ini
ditandai dengan berkembangnya berbagai diskusi di segala cabang
ilmu pengetahuan, baik yang merupakan cabang pengetahuan umat
Islam maupun cabang-cabang ilmu pengetahuan yang bahan-bahan
dan sumbernya diadopsi dari dunia luar.Perhatian resmi dari
pemerintah dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.3
Pada periode ini,4 tafsir al-Qura‟an bukan saja telah tersusun
dan terbukukan, melainkan juga memasuki tahap perkembangannya
2
Periode pembukuan ini terdiri atas lima tahap, yaitu: pertama, tahap
pembukuan yang dilakukan secara bersamaan dengan pembukuan Hadis (antara tafsir dan
hadis tidak dipisahkan), Kedua, tahap pembukuan tafsir yang dilakukan secara terpisah
dengan pembukuan hadits. Pada tahap ini, ayat al-Qur‟an diberi tafsiran dan dibukukan
berdasarkan urutan mushaf yang sebagian besarnya memuat tafsir bi al-ma‟tsur dengan
mempertautkan pada riwayat Nabi, sahabat dan tabi‟in.Di antara tafsir tersebut adalah
tafsir al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an karya Ibn Jarir at-Thabari.Ketiga, masih dalam tafsir bi
al-ma‟tsur, tetapi dalam penulisannya tidak disertakan riwayat (isnad) secara
lengkap.Keempat, tahap pembukuan tafsir yang memasukkan aspek rasionalitas dalam
penafsirannya (tafsir bi ar-ra‟yi).Tahap ini berlangsung dalam waktu yang sangat
panjang, sejak pemerintahan Abbasiyah hingga era modern sekarang. Lihat, Muhammad
Husein adz-Dzahabi, al-Ittijahat modern al-Munhar modernifat fi Tafsir al-Qur‟an al-
Karim wa Dawafi‟uha wa Daf‟uha, terj. Hamim Ilyas dan Machnum Husein, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1993), cet. Ke 3, hal. 6-11. 3
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Madzahibutt Tafsir dari Periode
Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 57. 4Abdul Mustaqim membagi periode penafsiran menjadi tiga periode, yaitu:
Klasik, Pertengahan dan Kontemporer. Pembagian ini dilakukan berdasarkan episteme
dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut.Hal ini mengisyaratkan
bahwa sistem dan pola penafsiran masing-masing periode itu tidak lepas dari
perkembangan pemikiran manusia.Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur‟an
cenderung bersifat mistis.Artinya di situ tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah
tafsir.Jadi seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat diterima begitu saja hingga nyaris
tanpa kritik.Sementara periode pertengahan, meski sudah ada kritisisme, namun masih
menunjukkan wajah yang ideologis, sebab di situ pembelaan terhadap madzhab yang
dianut oleh mufassirnya sangat kental mewarnai tafsirnya.Artinya tafsir pada abad ini
sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan politik. Sedangkan tafsir pada
periode kontemporer penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an memiliki kecenderungan ilmiah dan
sudah diwarnai oleh pendekatan hermeneutis lebih bersifat kristis filosofis, ibid., hal. Ix.
Page 4
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
4
yang sangat penting, yaitu tahap pergumulannya dengan alam pikiran
filsafat. Pergumulan antara tafsir dan pemikiran filsafat ini sangat
penting karena bukan saja melahirkan horizon hermeneutika al-Qur‟an
yang sama sekali baru, tetapi juga menimbulkan berbagai problema
pemikiran keagamaan dalam tafsir al-Qur‟an, yang sebelumnya tidak
pernah ditemukan.
Munculnya pemikiran filsafat dalam dunia Islam dimulai pada
abad ke 3 Hijriyyah (kira-kira abad ke 19 Masehi), yaitu pada masa
akhir pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah.
Perkenalan dengan pemikiran filsafat ini dimulai dengan
penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sejak Khalifah al-Manshur
hingga puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun.5
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia
diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dengan modifikasi-modifikasi
tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh
kaum muslimin kalangan tertentu.Kemudian muncullah reaksi dan
respon tertentu dari kaum muslimin.Sebagian mereka menolak teori-
teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini
bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian
yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa
mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara
filsafat dan agama.
Dalam rangka merespons berbagai tantangan pemikiran filsafat
ini, sarjana filsafat (filosof muslim) dan ulama tafsir menempuh dua
cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai
5 Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris, Arah Baru Studi Tafsir al-Qur‟an
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 166.
Page 5
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
5
dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan teks tadi
kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan.Kedua, dengan
cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai
pandangan dan teori filsafat.6
Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi yaitu tafsir
yang didominasi oleh teori-teori filsafat atau tafsir yang menempatkan
teori-teori ini sebagai paradigmanya.
C. Mengenal Tafsir Falsafi
Kata tafsir secara bahasa merupakan bentuk isim masdar (kata
benda abstrak) dari fassarayufassirutafsîran yang berarti pemahaman,
penjelasan dan perincian. Tafsir juga bisa berarti al-kasyf
(menyingkap makna yang tersembunyi), al-îdhâh (menerangkan), dan
al-ibânah (menjelaskan).7
Dalam al-Qur‟an, term tafsir ini sebagaimana dipakai dalam
QS.al-Furqan: 33, yang artinya: “Tiadalah orang kafir itu datang
kepadamu sekaligus dalam sebuah kitab) melainkan Kami
(mengalahkannya) dengan menganugerahkan kepadamu sesuatu yang
benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”.
Berdasarkan makna secara bahasa di atas maka segala upaya
yang dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan firman Allah
yang ada di dalam teks al-Qur‟an dapat disebut sebagai tafsir.Dalam
kajian ilmu tafsir, Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa ilmu tafsir
secara garis besar terdiri dari dua komponen pokok yaitu komponen
eksternal dan komponen internal.Komponen eksternal meliputi jati
6Abdul Mustaqim, Op. cit., hal. 73.
7 Muhammad Abdul Adzim az-Zamakhsyarirqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-
Qur‟an, Juz II, (Mesir: Musthafa Bab al-H alabi, tt), hal. 3.
Page 6
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
6
diri al-Qur‟an dan kepribadian mufassir, sedangkan komponen
internal meliputi bentuk tafsir yang terdiri dari riwayat dan pemikiran,
metode tafsir yang terdiri dari ijmâlî, tahlîlî, muqâran, dan maudhûî,
corak tafsir.Tafsir falsafi dalam kajian tafsir merupakan bagian dari
corak tafsir.8
Tafsir falsafi adalah tafsir yang dilakukan dengan 2 (dua)
carayaitu menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-
pikiran yang telah terurai dalam filsafat dan menakwilkan kebenaran-
kebenaran agama dengan pikiran-pikiran filsafat.9
Menurut Quraisy Shihab tafsir falsafiadalah upaya penafsiran
Al Qur‟an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.10
Tafsir
falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya.Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dengan menggunakan teori-
teori filsafat.Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur‟an dapat
ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat Al-Qur‟an bisa
berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan
menggunakanteori-teori filsafat.
Perkembangan tafsir al-Qur‟an pasca pergumulan dengan
filsasfat ditandai dua hal, yaitu: pertama, tafsir al-Qur‟an memiliki
horizon baru berupa tafsir al-Qur‟an yang memasukkan dominasi
pendekatan rasional (bi ar-ra‟yi), di samping pendekatan riwayat
8
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet. I, 2005), hlm. 5. 9Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II (Mesir :
Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976), hal. 418. 10
Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999), hal. 182.
Page 7
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
7
(bial-ma‟tsur). Sekalipun pendekatan rasional (bi ar-ra‟yi) ini telah
diintrodusir dan dilakukan pada masa tabi‟in seperti oleh Mujahid bin
Jabir, pasca pergumulannya dengan filsafat, penggunaan nalar atau
rasio (tafsir bi ar-ra‟yi) lebih tampak dominasinya.
Kedua, tafsir al-Qur‟an cenderung banyak diwarnai oleh
keahlian para mufassirnya.Misalnya tafsir al-Bahr al-Muhith karya
Abu Hayyan, banyak memuat penjelasan i‟rab dan memberikan
uraian panjang lebar yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu
nahwu.Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar Razi banyak
memuat persoalan filsafat dan teologi dan sejumlah persoalan lainnya
sesuai dengan keahlian penulisnya sebagai seorang yang mendalami
bidang filsafat dan teologi.11
Berdasarkan kecenderungan di atas dapat disimpulkan bahwa
tafsir al-Qur‟an pasca pergumulannya dengan filsafat, selain
didasarkan pada sumber keagamaan yang fundamental, yaitu al-
Qur‟an, as-Sunnah, serta pandangan sahabat dan tabi‟in juga
bersumber pada kemampuan akal (rasionalitas) yang telah
tersistematiskan dalam pemikiran filsafat. Oleh karena itu, tafsir al-
Qur‟an pasca era sahabat dan tabi‟in atau pasca pergumulannya
dengan filsafat tersebut tidak hanya mengembangkan tafsir bi al-
ma‟tsur melainkan juga mengembangkan tafsir bi ar-ra‟yi.12
Metode penafsiran yang digunakan dalam tafsir falsafi ini
adalah metode takwil, yaitu mengeluarkan arti literal-hakiki pada arti
alegoris-majazi (bukan arti sebenarnya) atau dalam ilmu sosial
kontemporer disebut sebagai metode hermeneutik.Dalam
11
Muhammad Husein adz-Dzahabi, op. cit., hal.9-10. 12
Hendar Riyadi, op.cit., hal. 170.
Page 8
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
8
penerapannya, metode hrmeneutik (takwil) tersebut memiliki beragam
bentuk sesuai dengan kecenderungan tafsirnya. Bagi para filosof
muslim, hermenutik yang digunakannya adalah hermeneutik filosofis,
yaitu melalui dua cara: pertama, melakukan penakwilan terhadap
teks-teks keagamaan dengan cara pandang atau pemikiran-pemikiran
filsafat dan kedua melakukan penakwilan terhadap teks-teks
keagamaan yang sesuai dengan pemikiran filsafat (teks al-Qur‟an dan
Hadis tunduk di bawah kerangka-kerangka teori atau pemikiran
filsafat).13
Hendar Riyadi14
menyebutkan bahwa metode (takwil)
hermeneutik al-Qur‟an tersebut didasarkan pada dua asumsi dasar,
yaitu: pertama, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Sina dan
kalangan Ikhwan as-Shafa, bahwa al-Qur‟an merupakan simbol-
simbol atau isyarat-isyarat bagi suatu hakikat kebenaran yang
melampaui pikiran orang-orang kebanyakan. Karena itu, untuk
mengungkapkan simbol-simbol tersebut diperlukan hermeneutik
(takwil) atau cara pandang filsafat. Kedua, sebagaimana dikemukakan
oleh Ibn Rusyd dan kalangan sufi bahwa al-Qur‟an mempunyai makna
dzahir dan batin. Untuk memahami makna batin inilah diperlukan
suatu hermeneutik (takwil) atau penafsiran alegoris terhadap teks al-
Qur‟an.
D. Tafsir dengan Corak Filsafat
13
Ibid., hlm. 171. 14
Ibid.
Page 9
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
9
Pengaruh filsafat tampak lekat dengan penafsir yang berlatar
filsafat dapat dilihat misalnya pada filosuf Ibn Sina. Ibn Sina tatkala
menafsirkan QS. an-Nur :35 yang berbunyi:
Artinya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ibn Sina menafsirkan nur (cahaya) sebagai kebaikan, agar bisa
dikatakan bahwa Tuhan itu adalah kebaikan, seperti Plato menjadikan
kebaikan sebagai kebaikan tertinggi, dan juga Plotinus menganggap
kebaikan sebagai wujud yang pertama dari rangkaian wujud. Langit
dan bumi diartikan alam semesta yang terminologi ini biasa digunakan
di kalangan filosof. Misykah adalah akal material (al-aqlu al-
huyulani), yaitu akal yang hanya memiliki potensi untuk berpikir dan
Page 10
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
10
belum dilatih sebagaimana teori akal dalam filsafat Aristoteles.Al-
Misbah ditafsirkan sebagai al-aql al-mustafad, yaitu akal yang juga
dikenal dalam filsafat Aristoteles sebagai akal yang sanggup berfikir
tentang hal-hal yang abstrak tanpa bantuan apapun.Az-zujajah adalah
perantara, yaitu al-aql bi al-fi‟li atau akal aktual yang menjadi
penghubung al-aql al-hayulani dengan al-aql al-mustafad. Dalam
filsafat Aristoteles akal ini menduduki posisi ketiga. Pohon Zaitun
ditafsirkan sebagai kekuatan pikiran, Nar, api dimaknai sebagai akal
universal yang memelihara alam nyata ini, yaitu jiwa universal
menurut konsepsi Plato dan orang-orang Platonis.15
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa Ibn Sina
melakukan penafsiran simbolis terhadap teks al-Qur‟an untuk
mengungkapkan kemampuan-kemampuan jiwa dalam
mentrandensikan substansinya dari akal potensial ke akal aktual.
Dimulai akal material (misykah) menuju akal mustafad (al-misbah),
melalui akal aktual (az-zujajah) dengan kontemplasi atau yang disebut
bahan bakar.
Dari teks di atas, Ibn Sina menjelaskan bahwa akal habitual
(al-aql bi al-malakah) sama transparannya seperti kaca. Jika
kemampuan ini telah menjadi kemuliaan tertinggi, yakni kemampuan
Ilahi (akal mustafad) yang minyaknya seolah-olah menyala sendiri
tanpa disentuh api, akal tersebut akan mampu menangkap limpahan
cahaya di atas cahaya tanpa melakukan kontemplasi atau penyelidikan
terlebih dahulu.
Dari gambaran di atas tampak sekali bahwa cara pandang
filsafat, khususnya filsafat Platonian (seperti konsep al-khair dan al-
15
Muhammad Husein adz-Dzahabi, op. cit., hal. 428-429.
Page 11
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
11
kull) serta filsafat Aristotelian (seperti al-aql) banyak mempengaruhi
Ibnu Sina dalam penafsiran teks al-Qur‟an.16
Di antara kitab tafsir yang punya kecenderungan / corak falsafi
adalah Tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, TafsirMafatih al-
Ghaib atau Tafsir al-Kabir karya ar-Razi dan Tanzih al-Qur‟an an al-
Mathain karya Qadhi Abd Jabbar. Berikut contoh penafsiran az-
Zamakhsyari :
Artinya:
… (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik ...
Dalam tafsir al-Kasysyaf17
dijelaskan: (perempuan-perempuan
terhormat) ialah perempuan merdeka [bukan budak] atau perempuan
baik-baik. Menyebut mereka secara khusus adalah untuk memotivasi
kaum mukminin agar memilih tempat yang terhormat bagi
penyemaian bibit mereka, [bukan semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan seksual belaka. Jika itu yang dituju, maka] menikahi
budak-budak perempuan yang muslimah, [sudah cukup dan diakui]
sah secara aklamasi oleh para ulama; demikian pula sah menikahi para
budak perempuan yang akhlak mereka kurang baik. Adapun budak-
16
Hendar Riyadi, op.cit., hal.184. 17
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqaiq at-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil fi
Wujuh at-Ta‟wil, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt), hal. 595-596.
Page 12
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
12
budak perempuan ahli kitab, maka menurut Abu Hanifah diperlakukan
sama dengan perempuan muslimah; Imam as-Syafi‟i tidak sependapat
dengannya (Abu Hanifah) dalam hal ini; dan Ibn Umar tidak melihat
peluang yang membolehkan nikah dengan perempuan ahli kitab
berdasarkan firman Allah “dan jangan kalian nikahi perempuan-
perempuan musyrik sampai mereka beriman”, seraya Ibn Umar
berucap: “Saya tidak tahu syirik yang lebih besar dari ucapan
perempuan itu bahwa Tuhannya Isa”. Ada pula riwayat dari „Atha‟:
“Allah telah meningkatkan jumlah perempuan muslimah karenanya
tidak berlaku lagi dispensasi untuk menikahi perempuan ahli kitab
sebab] dispensasi itu hanya berlaku pada waktu jumlah mereka
sedikit”.
Terlihat dalam penafsiran di atas, az-Zamakhsyari lebih
menonjolkan pemikiran rasional teologis murni18
ketimbang fiqh
seperti dikatakannya: Menyebut mereka „al-muhshanat‟ secara khusus
adalah untuk memotifasi kaum mukminin agar memilih tempat
terhormat bagi penyemaian bibit mereka”. Yang namanya memilih
sesuatu, jelas menggunakan akal (rasio).Tapi di sini bukan akal murni,
melainkan ada muatan teologisnya sehingga walaupun yang
ditafsirkan ayat-ayat tentang fikih, namun pemikiran rasional dari
mufassirnya tetap kentara dan pemikiran tersebut melalui konsep-
konsep teologis. Demikian pula pendapat Ibn Umar yang dia kutip
juga menggambarkan pemahaman teologis yang amat kental
18
Hal ini bisa dibandingkan dengan penafsiran yang lain terhadap ayat yang
sama misalnya tafsir al-Qutubi sebagaimana dijelaskan Nasruddin Baidan: dalam
mengawali penafsirannya al-Qurtubi sengaja mencari legitimasi kepada pemahaman
lughawi. Dari makna lughawi kemudian menuju makna teknis (syar‟i), bagaimana
pengamalannya oleh Nabi dan para sahabat beliau. Pola semacam ini jelas cara-cara yang
lazim diterapkan oleh para ahli fiqh guna menemukan istinbath hukum yang legitimate
dan dapat diterima oleh semua pihak. Nasruddin Baidan, op.cit., hal. 418.
Page 13
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
13
sebagaimana terlihat nyata dalam tafsirnya itu “Saya tidak tahu syirik
yang lebih besar dari ucapan perempuan itu bahwa Tuhannya Isa”.
Berdasarkan kenyataan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa
corak tafsir yang ditonjolkan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab itu
ialah pemikiran rasional teologis. Hal ini bukanlah suatu kebetulan,
tapi lebih tepat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari latar
belakang yang mendominasi pemikirannya yakni konsep-konsep
teologis muktazilah yang terkenal sebagai kaum rasionalis Islam dan
az-Zamakhsyari ialah salah seorang tokoh utamanya. Di samping
sebagai tokoh Muktazilah, az-Zamakhsyari juga seorang tokoh
(imam) Madzhab Hanafi dalam fikih, namun ternyata dalam
penafsirannya terhadap ayat yang dikutip di atas dia tidak fanatik
kepada Madzhab Hanafi, tersebut tampak secara gamblang dia
bersikap netral dan tidak memihak; sehingga pendapat orang lain pun
dia dikemukakan, seperti dia mengutip pendapat Imam Syafi‟i
sebagaimana terlihat dalam kutipan tersebut.
Kenetralan az-Zamakhsyari dalam penafsiran ayat-ayat tentang
fikih tersebut, meskipun dia seorang tokoh Madzhab Hanafi
membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan yang amat luas di
bidang fikih dan sekaligus agaknya dia ingin menunjukkan kepada
umat bahwa permasalahan fikih adalah masalah-masalah furu‟iyyah
yang tidak substansial dan umat bebas menganut madzhab apa saja
yang mereka maui. Berbeda halnya dengan permasalahan akidah
(teologi). Dalam bidang ini umat harus memegangi satu akidah yang
mereka yakini benar.19
19
Ibid., hal. 414.
Page 14
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
14
Terhadap TafsirMafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir karya
ar-Razi beberapa ulama menolak sebagai tafsir falsafi, karena isi dan
argument-argumen filosofis yang dihadirkan dalam tafsir ini tidak
mendukung teori-teori filsafat tetapi justru menolaknya, terutama
menolak argument mu‟tazilah yang berlatar belakang filsafat.
E. Relevansi Tafsir Falsafi pada Masa Kontemporer
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat,
seiring dengan kebutuhan,dan kemampuan manusia dalam
menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir
pasti memiliki sisi positif dan negatif. Dikatakan memiliki sisi positif,
karena hal itu menunjukkan bahwa umat Islam tidak stagnan dalam
kehidupan mereka. Mereka berupaya menempatkan al-Qur‟an sebagai
kitab suci yang benar-benar salih li kulli zaman wa makan. Sisi
negatifnya, karena penafsiran yang dilakukan umat Islam tidak selalu
diupayakan untuk memperoleh pandangan hidup al-Qur‟an, melainkan
sering kali pula “ditundukkan” untuk hal-hal yang bukan saja tidak
memiliki dasarnya dalam kitab suci al-Qur‟an tetapi bahkan untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan primordial yang ideologis politis.
Akibatnya yang terjadi sesungguhnya bukan penafsiran tetapi proses
panjang dan akademis untuk menjustifikasi pandangan kelompoknya
masing-masing. Demikian juga tafsir falsafi tentu memiliki sisi positif
dan negatif.
Menurut Ulya, tafsir dengan kecenderungan atau corak tertentu
termasuk tafsir falsafi di dalamnya ada kepentingan penafsiran.
Kepentingan pertama, sebagai orientasi dasar fundamental penafsiran
adalah kepentingan untuk mendapatkan makna. Kepentingan kedua,
Page 15
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
15
bahwa untuk mendapatkan makna tersebut juga dipengaruhi oleh
kepentingan pembaca teks yakni penafsir al-Qur‟an.20
Kehadiran filsafat dalam tafsir al-Qur‟an selain memberikan
nuansa atau horizon baru dalam penafsiran atau hermeneutik al-
Qur‟an, juga banyak menimbulkan problem pemikiran keagamaan
karena banyak dari pemikiran filsafatnya yang bertentangan dengan
teks dzahir al-Qur‟an yang dipahami oleh ulama jumhur. Oleh karena
itu para ulama berbeda pendapat dalam merespons model
hermeneutika filosofis, khususnya yang dikembangkan oleh para
filosof muslim. Sebagian ulama menerimanya sebagai kreativitas
bertafsir yang harus dikembangkan, tetapi mayoritas ulama
memandang tafsir falsafi tersebut sebagai penyimpangan dan bahkan
sebagai suatu kesesatan penafsiran. Di antara ulama yang melakukan
kritik keras terhadap penafsiran atau hermeneutika filosofis adalah al-
Ghazali dalam dua karyanya al-munqid minad Dhalal dan Tahafut al-
Falasifah.
Tafsir falsafi ini cenderung membangun proposisi universal
hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu
mendominasi, maka tafsir dengan corak ini kurang memperhatikan
aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya
yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan -makna latent
(tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa
hambatan budaya dan bahasa.21
20
Ulya, Pertautan antara Penafsiran dan Kepentingan (Studi Atas Berbagai
kecenderungan dalam Tafsir) dalam Hermeneutik, vol. 3, No. 1, 2008, hal. 16-17. 21
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah
Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.
Page 16
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
16
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau
kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah
konsep tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan
interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan
perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada
prinsipnya teks Al Qur‟an tidak lepas dari struktur historis dan
konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan
lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif
dan berlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu
berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir
yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu
hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-
buku mereka.22
Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk
membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan
mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek,
terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang
bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan
memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun kebenarannya
masih tetap relatif. Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan
aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan
22
Hal ini sebagaimana dikatakan Muhammad Husain Al-Dzahabi ketika
menanggapi terhadap golongan yang menerima filsafat sebagai kecenderungan (corak
dalam penafsiran, “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang
mengagung-agungkan filsafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur‟an yang lengkap.
Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman
mereka terhadap al-Qur‟an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku
filsafat karangan mereka.Muhammad Husein al-Dzhabi, op.cit., Juz III, hal. 83.
Page 17
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
17
eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan
kredibel dari pada tafsir lain.
Terlepas dari kontroversi kehadiran tafsir falsafi atau
hermenutika filosofis tersebut, yang terpenting adalah bagaimana
mengembalikan wacana Qur‟an pada yang lebih otentik-utuh-
komprehensip seperti sediakala, sekaligus lebih historis, terbuka,
toleran, luwes dan fleksibel serta terhindar dari distorsi sejarah. Dalam
kerangka ini, seyogyanya analisis atau kritik terhadap tradisi (turats)
yang berkaitan dengan tafsir falsafi dan kecenderungan tafsir pasca
pergumulannya dengan filsafat, dilakukan dalam tiga aspek penting
secara komprehensip, yaitu: analisis struktur mikro (semantic),
sintaksis, stilistik, retoris [skematik dan tematik] analisis struktur
makro (konteks ideologis, politis dan sosio kultural) serta analisis
transformatif (social change) nya.23
F. Penutup
Tulisan di atas telah membincang tentang tafsir falsafi lebih
banyak pada era kelahirannya, abad pertengahan. Tafsir falsafi di era
ini menurut penulis akan relevan jika dihadapkan dengan era
kontemporer ini jika tidak hanya berlandaskan interpretasi pada
kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas
sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur‟an
tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia
diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang
logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.
23
Hendar Riyadi, op.cit., hal. 190.
Page 18
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Madzahibutt Tafsir dari
Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqaiq at-Tanzil wa „Uyun al-
Aqawil fi Wujuh at-Ta‟wil, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt
Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris, Arah Baru Studi Tafsir al-
Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah
Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Muhammad Husein adz-Dzahabi, al-Ittijahat al-Munharifat fi
Tafsir al-Qur‟an al-Karim wa Dawafi‟uha wa Daf‟uha, terj. Hamim Ilyas
dan Machnum Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, cet. Ke 3.
Page 19
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015
19
Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun,
Juz II, Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum
al-Qur‟an, Juz II, Mesir: Musthafa Bab al-H alabi, tt.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.
Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur‟an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999.
Ulya, “Pertautan antara Penafsiran dan Kepentingan (Studi Atas
Berbagai kecenderungan dalam Tafsir) “ dalam Hermeneutik, vol. 3, No.
1, 2008