Top Banner
Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 1 TAFSIR DENGAN CORAK FILSAFAT (TAFSIR FALSAFI) Oleh: Shofaussamawati 1 ABSTRACT History has recorded the development of interpretation so rapidly, in line with the needs and the human ability to interpret the verses of the Koran. This shows that Muslims are not stagnant in their lives. They sought to put the Koran as a holy book that really salih li kulli jaman wal makan. Efforts to articulate between the Koran with the problems of humanity have become one of the causes or the background of many colors, patterns and trends of interpretation. One of the patterns and trends are known among other interpretation is patterned philosophical interpretation (tafsir philosophical). This philosophical commentary was born in the third century, when the tafsir al-Koran not only has composed and codified, but also entered a very important stage of its development, the stage of its struggle with the natural philosophy of mind. The struggle between interpretation and philosophical thinking is very important because it not only gave birth horizon hermeneutic of the Koran entirely new, but also give rise to various problems of religious thought in the interpretation of the Koran, which had not previously been found. This paper wants to examine the philosophical interpretation. What is the philosophical interpretation, any existing background, character, and books, examples of interpretation, and how relevancy philosophical interpretation in the contemporary. Keywords : Interpretation, Color, Tafsir Philosophical A. Pendahuluan Al-Qur‟an diturunkan Allah ke dunia adalah sebagai sumber ajaran, pedoman, dan petunjuk bagi manusia dalam semua aspek kehidupan.Agar al-Qur‟an benar-benar bisa memberi pedoman maka yang harus dilakukan umat Islam adalah membaca, menafsirkan dan memahaminya agar mendapatkan makna. 1 Dosen STAIN Kudus
19

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Mar 11, 2019

Download

Documents

lamnga
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

1

TAFSIR DENGAN CORAK FILSAFAT (TAFSIR FALSAFI)

Oleh: Shofaussamawati1

ABSTRACT

History has recorded the development of interpretation so rapidly, in line

with the needs and the human ability to interpret the verses of the Koran. This

shows that Muslims are not stagnant in their lives. They sought to put the Koran

as a holy book that really salih li kulli jaman wal makan.

Efforts to articulate between the Koran with the problems of humanity

have become one of the causes or the background of many colors, patterns and

trends of interpretation. One of the patterns and trends are known among other

interpretation is patterned philosophical interpretation (tafsir philosophical).

This philosophical commentary was born in the third century, when the

tafsir al-Koran not only has composed and codified, but also entered a very

important stage of its development, the stage of its struggle with the natural

philosophy of mind. The struggle between interpretation and philosophical

thinking is very important because it not only gave birth horizon hermeneutic of

the Koran entirely new, but also give rise to various problems of religious

thought in the interpretation of the Koran, which had not previously been found.

This paper wants to examine the philosophical interpretation. What is the

philosophical interpretation, any existing background, character, and books,

examples of interpretation, and how relevancy philosophical interpretation in the

contemporary.

Keywords : Interpretation, Color, Tafsir Philosophical

A. Pendahuluan

Al-Qur‟an diturunkan Allah ke dunia adalah sebagai sumber

ajaran, pedoman, dan petunjuk bagi manusia dalam semua aspek

kehidupan.Agar al-Qur‟an benar-benar bisa memberi pedoman maka

yang harus dilakukan umat Islam adalah membaca, menafsirkan dan

memahaminya agar mendapatkan makna.

1 Dosen STAIN Kudus

Page 2: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

2

Ketika Rasulullah masih hidup, kegiatan tafsir tersentral dalam

diri beliau. Hal ini karena Rasulullah adalah satu-satunya orang yang

mempunyai otoritas menjelaskan apa yang dimaksud dalam al-Qur‟an

kepada sahabat-sahabatnya. Kondisi ini berlangsung sampai

Rasulullah wafat.Setelah Rasulullah wafat, otoritas beralih tangan

pada generasi sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, dan seterusnya.

Munculnya kegiatan tafsir ini berawal ketika para sahabat

bertanya kepada Rasulullah, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat al-

Qur‟an yang tidak dipahami dan samar artinya. Kemudian

berkembang dengan munculnya kebutuhan mendialogkan antara al-

Qur‟an dengan permasalahan kemasyarakatan yang dihadapi manusia

sejak diturunkannya al-Qur‟an sampai sekarang.

Upaya mendialogkan antara al-Qur‟an dengan problem

kemanusiaan ini menjadi salah satu penyebab atau latar belakang

munculnya banyak corak dan kecenderungan tafsir. Corak dan

kecenderungan tafsir yang dikenal selama ini antara lain; tafsir

bercorak sastra bahasa (tafsir lughawi), tafsir bercorak ilmiah (tafsir

ilmi), tafsir bercorak fiqh (tafsir fiqhi), tafsir bercorak tasawuf (tafsir

isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-

ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi).

Tulisan ini ingin mengkaji salah satu corak tafsir, yaitu tafsir

falsafi. Apa itu tafsir falsafi, latar belakang munculnya, tokoh dan

kitabnya, contoh penafsiran, dan relefansinya pada masa sekarang.

B. Latar Belakang Lahirnya Tafsir Falsafi

Pasca periode sahabat dan tabi‟in, sejarah tafsir memasuki

suatu era baru yang disebut oleh Adz-Dzahabi sebagai periode tadwin

Page 3: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

3

atau periode pembukuan.2

Dalam peta sejarah Islam, periode ini

dikenal sebagai zaman keemasan Ilmu pengetahuan.Periode ini

ditandai dengan berkembangnya berbagai diskusi di segala cabang

ilmu pengetahuan, baik yang merupakan cabang pengetahuan umat

Islam maupun cabang-cabang ilmu pengetahuan yang bahan-bahan

dan sumbernya diadopsi dari dunia luar.Perhatian resmi dari

pemerintah dalam hal ini menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.3

Pada periode ini,4 tafsir al-Qura‟an bukan saja telah tersusun

dan terbukukan, melainkan juga memasuki tahap perkembangannya

2

Periode pembukuan ini terdiri atas lima tahap, yaitu: pertama, tahap

pembukuan yang dilakukan secara bersamaan dengan pembukuan Hadis (antara tafsir dan

hadis tidak dipisahkan), Kedua, tahap pembukuan tafsir yang dilakukan secara terpisah

dengan pembukuan hadits. Pada tahap ini, ayat al-Qur‟an diberi tafsiran dan dibukukan

berdasarkan urutan mushaf yang sebagian besarnya memuat tafsir bi al-ma‟tsur dengan

mempertautkan pada riwayat Nabi, sahabat dan tabi‟in.Di antara tafsir tersebut adalah

tafsir al-Bayan fi Tafsir al-Qur‟an karya Ibn Jarir at-Thabari.Ketiga, masih dalam tafsir bi

al-ma‟tsur, tetapi dalam penulisannya tidak disertakan riwayat (isnad) secara

lengkap.Keempat, tahap pembukuan tafsir yang memasukkan aspek rasionalitas dalam

penafsirannya (tafsir bi ar-ra‟yi).Tahap ini berlangsung dalam waktu yang sangat

panjang, sejak pemerintahan Abbasiyah hingga era modern sekarang. Lihat, Muhammad

Husein adz-Dzahabi, al-Ittijahat modern al-Munhar modernifat fi Tafsir al-Qur‟an al-

Karim wa Dawafi‟uha wa Daf‟uha, terj. Hamim Ilyas dan Machnum Husein, (Jakarta:

Rajawali Pers, 1993), cet. Ke 3, hal. 6-11. 3

Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Madzahibutt Tafsir dari Periode

Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 57. 4Abdul Mustaqim membagi periode penafsiran menjadi tiga periode, yaitu:

Klasik, Pertengahan dan Kontemporer. Pembagian ini dilakukan berdasarkan episteme

dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut.Hal ini mengisyaratkan

bahwa sistem dan pola penafsiran masing-masing periode itu tidak lepas dari

perkembangan pemikiran manusia.Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur‟an

cenderung bersifat mistis.Artinya di situ tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah

tafsir.Jadi seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat diterima begitu saja hingga nyaris

tanpa kritik.Sementara periode pertengahan, meski sudah ada kritisisme, namun masih

menunjukkan wajah yang ideologis, sebab di situ pembelaan terhadap madzhab yang

dianut oleh mufassirnya sangat kental mewarnai tafsirnya.Artinya tafsir pada abad ini

sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan politik. Sedangkan tafsir pada

periode kontemporer penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an memiliki kecenderungan ilmiah dan

sudah diwarnai oleh pendekatan hermeneutis lebih bersifat kristis filosofis, ibid., hal. Ix.

Page 4: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

4

yang sangat penting, yaitu tahap pergumulannya dengan alam pikiran

filsafat. Pergumulan antara tafsir dan pemikiran filsafat ini sangat

penting karena bukan saja melahirkan horizon hermeneutika al-Qur‟an

yang sama sekali baru, tetapi juga menimbulkan berbagai problema

pemikiran keagamaan dalam tafsir al-Qur‟an, yang sebelumnya tidak

pernah ditemukan.

Munculnya pemikiran filsafat dalam dunia Islam dimulai pada

abad ke 3 Hijriyyah (kira-kira abad ke 19 Masehi), yaitu pada masa

akhir pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah.

Perkenalan dengan pemikiran filsafat ini dimulai dengan

penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sejak Khalifah al-Manshur

hingga puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun.5

Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia

diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dengan modifikasi-modifikasi

tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh

kaum muslimin kalangan tertentu.Kemudian muncullah reaksi dan

respon tertentu dari kaum muslimin.Sebagian mereka menolak teori-

teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat teori-teori ini

bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara sebagian

yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa

mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara

filsafat dan agama.

Dalam rangka merespons berbagai tantangan pemikiran filsafat

ini, sarjana filsafat (filosof muslim) dan ulama tafsir menempuh dua

cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai

5 Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris, Arah Baru Studi Tafsir al-Qur‟an

(Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 166.

Page 5: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

5

dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan teks tadi

kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan.Kedua, dengan

cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai

pandangan dan teori filsafat.6

Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi yaitu tafsir

yang didominasi oleh teori-teori filsafat atau tafsir yang menempatkan

teori-teori ini sebagai paradigmanya.

C. Mengenal Tafsir Falsafi

Kata tafsir secara bahasa merupakan bentuk isim masdar (kata

benda abstrak) dari fassarayufassirutafsîran yang berarti pemahaman,

penjelasan dan perincian. Tafsir juga bisa berarti al-kasyf

(menyingkap makna yang tersembunyi), al-îdhâh (menerangkan), dan

al-ibânah (menjelaskan).7

Dalam al-Qur‟an, term tafsir ini sebagaimana dipakai dalam

QS.al-Furqan: 33, yang artinya: “Tiadalah orang kafir itu datang

kepadamu sekaligus dalam sebuah kitab) melainkan Kami

(mengalahkannya) dengan menganugerahkan kepadamu sesuatu yang

benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”.

Berdasarkan makna secara bahasa di atas maka segala upaya

yang dimaksudkan untuk memahami dan menjelaskan firman Allah

yang ada di dalam teks al-Qur‟an dapat disebut sebagai tafsir.Dalam

kajian ilmu tafsir, Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa ilmu tafsir

secara garis besar terdiri dari dua komponen pokok yaitu komponen

eksternal dan komponen internal.Komponen eksternal meliputi jati

6Abdul Mustaqim, Op. cit., hal. 73.

7 Muhammad Abdul Adzim az-Zamakhsyarirqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-

Qur‟an, Juz II, (Mesir: Musthafa Bab al-H alabi, tt), hal. 3.

Page 6: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

6

diri al-Qur‟an dan kepribadian mufassir, sedangkan komponen

internal meliputi bentuk tafsir yang terdiri dari riwayat dan pemikiran,

metode tafsir yang terdiri dari ijmâlî, tahlîlî, muqâran, dan maudhûî,

corak tafsir.Tafsir falsafi dalam kajian tafsir merupakan bagian dari

corak tafsir.8

Tafsir falsafi adalah tafsir yang dilakukan dengan 2 (dua)

carayaitu menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-

pikiran yang telah terurai dalam filsafat dan menakwilkan kebenaran-

kebenaran agama dengan pikiran-pikiran filsafat.9

Menurut Quraisy Shihab tafsir falsafiadalah upaya penafsiran

Al Qur‟an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.10

Tafsir

falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai

paradigmanya.Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi

sebagai penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dengan menggunakan teori-

teori filsafat.Hal ini berarti bahwa ayat-ayat Al Qur‟an dapat

ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat Al-Qur‟an bisa

berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsiri dengan

menggunakanteori-teori filsafat.

Perkembangan tafsir al-Qur‟an pasca pergumulan dengan

filsasfat ditandai dua hal, yaitu: pertama, tafsir al-Qur‟an memiliki

horizon baru berupa tafsir al-Qur‟an yang memasukkan dominasi

pendekatan rasional (bi ar-ra‟yi), di samping pendekatan riwayat

8

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, cet. I, 2005), hlm. 5. 9Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II (Mesir :

Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976), hal. 418. 10

Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1999), hal. 182.

Page 7: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

7

(bial-ma‟tsur). Sekalipun pendekatan rasional (bi ar-ra‟yi) ini telah

diintrodusir dan dilakukan pada masa tabi‟in seperti oleh Mujahid bin

Jabir, pasca pergumulannya dengan filsafat, penggunaan nalar atau

rasio (tafsir bi ar-ra‟yi) lebih tampak dominasinya.

Kedua, tafsir al-Qur‟an cenderung banyak diwarnai oleh

keahlian para mufassirnya.Misalnya tafsir al-Bahr al-Muhith karya

Abu Hayyan, banyak memuat penjelasan i‟rab dan memberikan

uraian panjang lebar yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu

nahwu.Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar Razi banyak

memuat persoalan filsafat dan teologi dan sejumlah persoalan lainnya

sesuai dengan keahlian penulisnya sebagai seorang yang mendalami

bidang filsafat dan teologi.11

Berdasarkan kecenderungan di atas dapat disimpulkan bahwa

tafsir al-Qur‟an pasca pergumulannya dengan filsafat, selain

didasarkan pada sumber keagamaan yang fundamental, yaitu al-

Qur‟an, as-Sunnah, serta pandangan sahabat dan tabi‟in juga

bersumber pada kemampuan akal (rasionalitas) yang telah

tersistematiskan dalam pemikiran filsafat. Oleh karena itu, tafsir al-

Qur‟an pasca era sahabat dan tabi‟in atau pasca pergumulannya

dengan filsafat tersebut tidak hanya mengembangkan tafsir bi al-

ma‟tsur melainkan juga mengembangkan tafsir bi ar-ra‟yi.12

Metode penafsiran yang digunakan dalam tafsir falsafi ini

adalah metode takwil, yaitu mengeluarkan arti literal-hakiki pada arti

alegoris-majazi (bukan arti sebenarnya) atau dalam ilmu sosial

kontemporer disebut sebagai metode hermeneutik.Dalam

11

Muhammad Husein adz-Dzahabi, op. cit., hal.9-10. 12

Hendar Riyadi, op.cit., hal. 170.

Page 8: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

8

penerapannya, metode hrmeneutik (takwil) tersebut memiliki beragam

bentuk sesuai dengan kecenderungan tafsirnya. Bagi para filosof

muslim, hermenutik yang digunakannya adalah hermeneutik filosofis,

yaitu melalui dua cara: pertama, melakukan penakwilan terhadap

teks-teks keagamaan dengan cara pandang atau pemikiran-pemikiran

filsafat dan kedua melakukan penakwilan terhadap teks-teks

keagamaan yang sesuai dengan pemikiran filsafat (teks al-Qur‟an dan

Hadis tunduk di bawah kerangka-kerangka teori atau pemikiran

filsafat).13

Hendar Riyadi14

menyebutkan bahwa metode (takwil)

hermeneutik al-Qur‟an tersebut didasarkan pada dua asumsi dasar,

yaitu: pertama, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Sina dan

kalangan Ikhwan as-Shafa, bahwa al-Qur‟an merupakan simbol-

simbol atau isyarat-isyarat bagi suatu hakikat kebenaran yang

melampaui pikiran orang-orang kebanyakan. Karena itu, untuk

mengungkapkan simbol-simbol tersebut diperlukan hermeneutik

(takwil) atau cara pandang filsafat. Kedua, sebagaimana dikemukakan

oleh Ibn Rusyd dan kalangan sufi bahwa al-Qur‟an mempunyai makna

dzahir dan batin. Untuk memahami makna batin inilah diperlukan

suatu hermeneutik (takwil) atau penafsiran alegoris terhadap teks al-

Qur‟an.

D. Tafsir dengan Corak Filsafat

13

Ibid., hlm. 171. 14

Ibid.

Page 9: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

9

Pengaruh filsafat tampak lekat dengan penafsir yang berlatar

filsafat dapat dilihat misalnya pada filosuf Ibn Sina. Ibn Sina tatkala

menafsirkan QS. an-Nur :35 yang berbunyi:

Artinya:

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.perumpamaan

cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di

dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu

seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang

dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon

zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di

sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir

menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya

(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang

dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan

bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Ibn Sina menafsirkan nur (cahaya) sebagai kebaikan, agar bisa

dikatakan bahwa Tuhan itu adalah kebaikan, seperti Plato menjadikan

kebaikan sebagai kebaikan tertinggi, dan juga Plotinus menganggap

kebaikan sebagai wujud yang pertama dari rangkaian wujud. Langit

dan bumi diartikan alam semesta yang terminologi ini biasa digunakan

di kalangan filosof. Misykah adalah akal material (al-aqlu al-

huyulani), yaitu akal yang hanya memiliki potensi untuk berpikir dan

Page 10: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

10

belum dilatih sebagaimana teori akal dalam filsafat Aristoteles.Al-

Misbah ditafsirkan sebagai al-aql al-mustafad, yaitu akal yang juga

dikenal dalam filsafat Aristoteles sebagai akal yang sanggup berfikir

tentang hal-hal yang abstrak tanpa bantuan apapun.Az-zujajah adalah

perantara, yaitu al-aql bi al-fi‟li atau akal aktual yang menjadi

penghubung al-aql al-hayulani dengan al-aql al-mustafad. Dalam

filsafat Aristoteles akal ini menduduki posisi ketiga. Pohon Zaitun

ditafsirkan sebagai kekuatan pikiran, Nar, api dimaknai sebagai akal

universal yang memelihara alam nyata ini, yaitu jiwa universal

menurut konsepsi Plato dan orang-orang Platonis.15

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa Ibn Sina

melakukan penafsiran simbolis terhadap teks al-Qur‟an untuk

mengungkapkan kemampuan-kemampuan jiwa dalam

mentrandensikan substansinya dari akal potensial ke akal aktual.

Dimulai akal material (misykah) menuju akal mustafad (al-misbah),

melalui akal aktual (az-zujajah) dengan kontemplasi atau yang disebut

bahan bakar.

Dari teks di atas, Ibn Sina menjelaskan bahwa akal habitual

(al-aql bi al-malakah) sama transparannya seperti kaca. Jika

kemampuan ini telah menjadi kemuliaan tertinggi, yakni kemampuan

Ilahi (akal mustafad) yang minyaknya seolah-olah menyala sendiri

tanpa disentuh api, akal tersebut akan mampu menangkap limpahan

cahaya di atas cahaya tanpa melakukan kontemplasi atau penyelidikan

terlebih dahulu.

Dari gambaran di atas tampak sekali bahwa cara pandang

filsafat, khususnya filsafat Platonian (seperti konsep al-khair dan al-

15

Muhammad Husein adz-Dzahabi, op. cit., hal. 428-429.

Page 11: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

11

kull) serta filsafat Aristotelian (seperti al-aql) banyak mempengaruhi

Ibnu Sina dalam penafsiran teks al-Qur‟an.16

Di antara kitab tafsir yang punya kecenderungan / corak falsafi

adalah Tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, TafsirMafatih al-

Ghaib atau Tafsir al-Kabir karya ar-Razi dan Tanzih al-Qur‟an an al-

Mathain karya Qadhi Abd Jabbar. Berikut contoh penafsiran az-

Zamakhsyari :

Artinya:

… (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga

kehormatandiantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita

yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al

Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka

dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak

(pula) menjadikannya gundik-gundik ...

Dalam tafsir al-Kasysyaf17

dijelaskan: (perempuan-perempuan

terhormat) ialah perempuan merdeka [bukan budak] atau perempuan

baik-baik. Menyebut mereka secara khusus adalah untuk memotivasi

kaum mukminin agar memilih tempat yang terhormat bagi

penyemaian bibit mereka, [bukan semata-mata untuk memenuhi

kebutuhan seksual belaka. Jika itu yang dituju, maka] menikahi

budak-budak perempuan yang muslimah, [sudah cukup dan diakui]

sah secara aklamasi oleh para ulama; demikian pula sah menikahi para

budak perempuan yang akhlak mereka kurang baik. Adapun budak-

16

Hendar Riyadi, op.cit., hal.184. 17

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqaiq at-Tanzil wa „Uyun al-Aqawil fi

Wujuh at-Ta‟wil, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt), hal. 595-596.

Page 12: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

12

budak perempuan ahli kitab, maka menurut Abu Hanifah diperlakukan

sama dengan perempuan muslimah; Imam as-Syafi‟i tidak sependapat

dengannya (Abu Hanifah) dalam hal ini; dan Ibn Umar tidak melihat

peluang yang membolehkan nikah dengan perempuan ahli kitab

berdasarkan firman Allah “dan jangan kalian nikahi perempuan-

perempuan musyrik sampai mereka beriman”, seraya Ibn Umar

berucap: “Saya tidak tahu syirik yang lebih besar dari ucapan

perempuan itu bahwa Tuhannya Isa”. Ada pula riwayat dari „Atha‟:

“Allah telah meningkatkan jumlah perempuan muslimah karenanya

tidak berlaku lagi dispensasi untuk menikahi perempuan ahli kitab

sebab] dispensasi itu hanya berlaku pada waktu jumlah mereka

sedikit”.

Terlihat dalam penafsiran di atas, az-Zamakhsyari lebih

menonjolkan pemikiran rasional teologis murni18

ketimbang fiqh

seperti dikatakannya: Menyebut mereka „al-muhshanat‟ secara khusus

adalah untuk memotifasi kaum mukminin agar memilih tempat

terhormat bagi penyemaian bibit mereka”. Yang namanya memilih

sesuatu, jelas menggunakan akal (rasio).Tapi di sini bukan akal murni,

melainkan ada muatan teologisnya sehingga walaupun yang

ditafsirkan ayat-ayat tentang fikih, namun pemikiran rasional dari

mufassirnya tetap kentara dan pemikiran tersebut melalui konsep-

konsep teologis. Demikian pula pendapat Ibn Umar yang dia kutip

juga menggambarkan pemahaman teologis yang amat kental

18

Hal ini bisa dibandingkan dengan penafsiran yang lain terhadap ayat yang

sama misalnya tafsir al-Qutubi sebagaimana dijelaskan Nasruddin Baidan: dalam

mengawali penafsirannya al-Qurtubi sengaja mencari legitimasi kepada pemahaman

lughawi. Dari makna lughawi kemudian menuju makna teknis (syar‟i), bagaimana

pengamalannya oleh Nabi dan para sahabat beliau. Pola semacam ini jelas cara-cara yang

lazim diterapkan oleh para ahli fiqh guna menemukan istinbath hukum yang legitimate

dan dapat diterima oleh semua pihak. Nasruddin Baidan, op.cit., hal. 418.

Page 13: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

13

sebagaimana terlihat nyata dalam tafsirnya itu “Saya tidak tahu syirik

yang lebih besar dari ucapan perempuan itu bahwa Tuhannya Isa”.

Berdasarkan kenyataan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa

corak tafsir yang ditonjolkan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab itu

ialah pemikiran rasional teologis. Hal ini bukanlah suatu kebetulan,

tapi lebih tepat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari latar

belakang yang mendominasi pemikirannya yakni konsep-konsep

teologis muktazilah yang terkenal sebagai kaum rasionalis Islam dan

az-Zamakhsyari ialah salah seorang tokoh utamanya. Di samping

sebagai tokoh Muktazilah, az-Zamakhsyari juga seorang tokoh

(imam) Madzhab Hanafi dalam fikih, namun ternyata dalam

penafsirannya terhadap ayat yang dikutip di atas dia tidak fanatik

kepada Madzhab Hanafi, tersebut tampak secara gamblang dia

bersikap netral dan tidak memihak; sehingga pendapat orang lain pun

dia dikemukakan, seperti dia mengutip pendapat Imam Syafi‟i

sebagaimana terlihat dalam kutipan tersebut.

Kenetralan az-Zamakhsyari dalam penafsiran ayat-ayat tentang

fikih tersebut, meskipun dia seorang tokoh Madzhab Hanafi

membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan yang amat luas di

bidang fikih dan sekaligus agaknya dia ingin menunjukkan kepada

umat bahwa permasalahan fikih adalah masalah-masalah furu‟iyyah

yang tidak substansial dan umat bebas menganut madzhab apa saja

yang mereka maui. Berbeda halnya dengan permasalahan akidah

(teologi). Dalam bidang ini umat harus memegangi satu akidah yang

mereka yakini benar.19

19

Ibid., hal. 414.

Page 14: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

14

Terhadap TafsirMafatih al-Ghaib atau Tafsir al-Kabir karya

ar-Razi beberapa ulama menolak sebagai tafsir falsafi, karena isi dan

argument-argumen filosofis yang dihadirkan dalam tafsir ini tidak

mendukung teori-teori filsafat tetapi justru menolaknya, terutama

menolak argument mu‟tazilah yang berlatar belakang filsafat.

E. Relevansi Tafsir Falsafi pada Masa Kontemporer

Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat,

seiring dengan kebutuhan,dan kemampuan manusia dalam

menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir

pasti memiliki sisi positif dan negatif. Dikatakan memiliki sisi positif,

karena hal itu menunjukkan bahwa umat Islam tidak stagnan dalam

kehidupan mereka. Mereka berupaya menempatkan al-Qur‟an sebagai

kitab suci yang benar-benar salih li kulli zaman wa makan. Sisi

negatifnya, karena penafsiran yang dilakukan umat Islam tidak selalu

diupayakan untuk memperoleh pandangan hidup al-Qur‟an, melainkan

sering kali pula “ditundukkan” untuk hal-hal yang bukan saja tidak

memiliki dasarnya dalam kitab suci al-Qur‟an tetapi bahkan untuk

memenuhi kepentingan-kepentingan primordial yang ideologis politis.

Akibatnya yang terjadi sesungguhnya bukan penafsiran tetapi proses

panjang dan akademis untuk menjustifikasi pandangan kelompoknya

masing-masing. Demikian juga tafsir falsafi tentu memiliki sisi positif

dan negatif.

Menurut Ulya, tafsir dengan kecenderungan atau corak tertentu

termasuk tafsir falsafi di dalamnya ada kepentingan penafsiran.

Kepentingan pertama, sebagai orientasi dasar fundamental penafsiran

adalah kepentingan untuk mendapatkan makna. Kepentingan kedua,

Page 15: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

15

bahwa untuk mendapatkan makna tersebut juga dipengaruhi oleh

kepentingan pembaca teks yakni penafsir al-Qur‟an.20

Kehadiran filsafat dalam tafsir al-Qur‟an selain memberikan

nuansa atau horizon baru dalam penafsiran atau hermeneutik al-

Qur‟an, juga banyak menimbulkan problem pemikiran keagamaan

karena banyak dari pemikiran filsafatnya yang bertentangan dengan

teks dzahir al-Qur‟an yang dipahami oleh ulama jumhur. Oleh karena

itu para ulama berbeda pendapat dalam merespons model

hermeneutika filosofis, khususnya yang dikembangkan oleh para

filosof muslim. Sebagian ulama menerimanya sebagai kreativitas

bertafsir yang harus dikembangkan, tetapi mayoritas ulama

memandang tafsir falsafi tersebut sebagai penyimpangan dan bahkan

sebagai suatu kesesatan penafsiran. Di antara ulama yang melakukan

kritik keras terhadap penafsiran atau hermeneutika filosofis adalah al-

Ghazali dalam dua karyanya al-munqid minad Dhalal dan Tahafut al-

Falasifah.

Tafsir falsafi ini cenderung membangun proposisi universal

hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu

mendominasi, maka tafsir dengan corak ini kurang memperhatikan

aspek historisitas kitab suci. Namun begitu, tetap ada sisi positifnya

yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan -makna latent

(tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk

dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa

hambatan budaya dan bahasa.21

20

Ulya, Pertautan antara Penafsiran dan Kepentingan (Studi Atas Berbagai

kecenderungan dalam Tafsir) dalam Hermeneutik, vol. 3, No. 1, 2008, hal. 16-17. 21

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah

Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.

Page 16: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

16

Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau

kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah

konsep tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan

interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan

perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada

prinsipnya teks Al Qur‟an tidak lepas dari struktur historis dan

konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan

lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif

dan berlebih-lebihan. Dan mungkin harapan tersebut tidak terlalu

berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir

yang secara utuh menggunakan pendekatan filosofis, kalaupun ada itu

hanya pemahaman beberapa ayat yang bisa kita temukan dalam buku-

buku mereka.22

Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk

membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan

mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari berbagai aspek,

terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang

bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan

memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun kebenarannya

masih tetap relatif. Namun kombinasi hasil penafsiran tersebut dengan

aspek sosio-historis tentunya akan semakin menyempurnakan

22

Hal ini sebagaimana dikatakan Muhammad Husain Al-Dzahabi ketika

menanggapi terhadap golongan yang menerima filsafat sebagai kecenderungan (corak

dalam penafsiran, “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang

mengagung-agungkan filsafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur‟an yang lengkap.

Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman

mereka terhadap al-Qur‟an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku

filsafat karangan mereka.Muhammad Husein al-Dzhabi, op.cit., Juz III, hal. 83.

Page 17: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

17

eksistensinya. Sehingga produk tafsir ini jelas akan lebih memikat dan

kredibel dari pada tafsir lain.

Terlepas dari kontroversi kehadiran tafsir falsafi atau

hermenutika filosofis tersebut, yang terpenting adalah bagaimana

mengembalikan wacana Qur‟an pada yang lebih otentik-utuh-

komprehensip seperti sediakala, sekaligus lebih historis, terbuka,

toleran, luwes dan fleksibel serta terhindar dari distorsi sejarah. Dalam

kerangka ini, seyogyanya analisis atau kritik terhadap tradisi (turats)

yang berkaitan dengan tafsir falsafi dan kecenderungan tafsir pasca

pergumulannya dengan filsafat, dilakukan dalam tiga aspek penting

secara komprehensip, yaitu: analisis struktur mikro (semantic),

sintaksis, stilistik, retoris [skematik dan tematik] analisis struktur

makro (konteks ideologis, politis dan sosio kultural) serta analisis

transformatif (social change) nya.23

F. Penutup

Tulisan di atas telah membincang tentang tafsir falsafi lebih

banyak pada era kelahirannya, abad pertengahan. Tafsir falsafi di era

ini menurut penulis akan relevan jika dihadapkan dengan era

kontemporer ini jika tidak hanya berlandaskan interpretasi pada

kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas

sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks Al Qur‟an

tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia

diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang

logis dan proporsional, tidak spekulatif dan berlebih-lebihan.

23

Hendar Riyadi, op.cit., hal. 190.

Page 18: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

18

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Madzahibutt Tafsir dari

Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf „an Haqaiq at-Tanzil wa „Uyun al-

Aqawil fi Wujuh at-Ta‟wil, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt

Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris, Arah Baru Studi Tafsir al-

Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah

Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996

Muhammad Husein adz-Dzahabi, al-Ittijahat al-Munharifat fi

Tafsir al-Qur‟an al-Karim wa Dawafi‟uha wa Daf‟uha, terj. Hamim Ilyas

dan Machnum Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, cet. Ke 3.

Page 19: Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 · isyari), tafsir bercorak sastra budaya kemasyarakatan (tafsir adab al-ijtimai) dan tafsir bercorak filsafat (tafsir falsafi). Tulisan

Kasyf el Fikr Volume 2, Nomor 2, Desember 2015

19

Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun,

Juz II, Mesir : Dar al-Maktub al-Haditsah, 1976.

Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum

al-Qur‟an, Juz II, Mesir: Musthafa Bab al-H alabi, tt.

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, cet. I, 2005.

Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur‟an, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999.

Ulya, “Pertautan antara Penafsiran dan Kepentingan (Studi Atas

Berbagai kecenderungan dalam Tafsir) “ dalam Hermeneutik, vol. 3, No.

1, 2008