83 BAB III METODE KAJIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kondisi Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin yang terus meningkat pada periode tahun 2003-2006 tidak sejalan dengan pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi-nya yang selalu meningkat di atas lima persen. Ini membuktikan bahwa masih banyak aktivitas ekonomi di Kabupaten Bogor yang tidak memberikan multiplier effect bagi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini yang memicu Pemerintah Kabupaten Bogor memprioritaskan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya penanggulangan kemiskinan 11 . Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan 6 kebijakan terpadu yang akan saling mendukung terselenggaranya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten Bogor yang berimplikasi pada berbeda-bedanya karakteristik kemiskinan masyarakat, maka dibutuhkan informasi kondisi kemiskinan di tiap wilayah agar dapat dilihat perbedaan karakteristik, penyebab, dan permasalahan kemiskinannya. Profil kemiskinan ini akan sangat berguna dalam menentukan sasaran program-program penanggulangan kemiskinan sehingga bisa diketahui relevansinya dengan keadaan masyarakat. Dalam mengimplementasikan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan, ternyata penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi Renstra/RPJMD, Renja, dan Tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada program/kegiatan di tiap instansi tersebut. Atas dasar itu, terlebih dahulu perlu dipahami keterpaduan antara Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan di tiap-tiap instansi. 11 Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pembangunan urutan pertama dalam 8 prioritas Arah Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor pada Tahun Anggaran 2007 (LKPJ Bupati Bogor Tahun 2003-2008)
12
Embed
BAB III METODE KAJIAN data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan dan transformasi data yang masih kasar. 2. Penyajian data, yaitu sekumpulan data dan informasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
83
BAB III METODE KAJIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Kondisi Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk miskin yang terus
meningkat pada periode tahun 2003-2006 tidak sejalan dengan pencapaian Laju
Pertumbuhan Ekonomi-nya yang selalu meningkat di atas lima persen. Ini
membuktikan bahwa masih banyak aktivitas ekonomi di Kabupaten Bogor yang tidak
memberikan multiplier effect bagi perluasan kesempatan kerja dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini yang memicu Pemerintah Kabupaten Bogor
memprioritaskan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan yang
mendukung upaya penanggulangan kemiskinan11.
Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Bogor
telah menetapkan 6 kebijakan terpadu yang akan saling mendukung terselenggaranya
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Mengingat luasnya wilayah Kabupaten
Bogor yang berimplikasi pada berbeda-bedanya karakteristik kemiskinan masyarakat,
maka dibutuhkan informasi kondisi kemiskinan di tiap wilayah agar dapat dilihat
perbedaan karakteristik, penyebab, dan permasalahan kemiskinannya. Profil
kemiskinan ini akan sangat berguna dalam menentukan sasaran program-program
penanggulangan kemiskinan sehingga bisa diketahui relevansinya dengan keadaan
masyarakat.
Dalam mengimplementasikan program/kegiatan penanggulangan
kemiskinan, ternyata penerapan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten
Bogor tidak dapat diarahkan secara langsung karena dipengaruhi oleh implementasi
Renstra/RPJMD, Renja, dan Tupoksi masing-masing instansi pemerintah. Hal ini
berarti operasionalisasi upaya penanggulangan kemiskinan tergantung pada
program/kegiatan di tiap instansi tersebut. Atas dasar itu, terlebih dahulu perlu
dipahami keterpaduan antara Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah dengan
program/kegiatan yang mendukung penanggulangan kemiskinan di tiap-tiap instansi.
11 Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pembangunan urutan pertama dalam 8 prioritas Arah Kebijakan Umum
APBD Kabupaten Bogor pada Tahun Anggaran 2007 (LKPJ Bupati Bogor Tahun 2003-2008)
84
Adanya Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan di tingkat
nasional juga mempengaruhi implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di
Kabupaten Bogor. Salah satunya adalah P2FM-BLPS yang dianggap mendukung
kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor. Dengan
memahami relevansinya terhadap kondisi kemiskinan masyarakat dan posisinya
dalam upaya penanggulangan kemiskinan serta kondisi pelaksanaannya, maka
berikutnya dirumuskan strategi pengembangan kebijakan. Tujuan dari strategi ini
adalah agar kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE dapat diterapkan di
seluruh wilayah Kabupaten Bogor sehingga fakir miskin dapat berkurang secara
nyata. Kerangka pemikiran kajian ini tersaji dalam Gambar 7.
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui KUBE di Kabupaten Bogor
• Alternatif Kebijakan • Prioritas Langkah Strategis/Program • Perancangan Program
Berkurangnya Fakir Miskin melalui Pemberdayaan
Strategi Pengembangan Kebijakan Pemberdayaan Fakir
Miskin melalui KUBE
Kondisi Umum Kabupaten Bogor
• Karakteristik penduduk miskin • Penyebab Kemiskinan • Persoalan Kemiskian
Profil Kemiskinan Daerah
Relevansi terhadap permasalahan kemiskinan
• Pelaksanaan Program/Kegiatan di tiap instansi
• Keterpaduan Program/Kegiatan
Implementasi Kebijakan
• Peningkatan Kualitas Pendidikan • Peningkatan Kualitas Kesehatan • Peningkatan Infrastruktur • Pemberdayaan Ekonomi • Peningkatan Perlindungan Sosial • Pengarusutamaan Gender
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Daerah
• Rencana Strategis/RPJMD
Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor
Pemberdayaan Fakir Miskin melalui BLPS
dalam rangka Penguatan Modal KUBE Fakir Miskin
• Evaluasi Pelaksanaan • Keberhasilan Program
• Program Bantuan dan Perlindungan Sosial
• Program Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri
• Program Pemberdayaan UMK
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional
85
3.2. Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor, penentuan sampel lokasi
penelitian ditetapkan atas dasar lokasi pelaksanaan Program Pemberdayaan Fakir
Miskin melalui mekanisme BLPS di Kabupaten Bogor yang dilaksanakan pada dua
kecamatan yaitu Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Tenjolaya. Kajian
dilaksanakan selama tiga bulan dari Bulan November 2009 sampai dengan Bulan
Januari 2010.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Rancangan
jenis dan sumber data untuk membahas tujuan kajian sebagaimana terlihat pada Tabel
1. Data sekunder meliputi hasil Sensus Daerah (SUSDA) Kabupaten Bogor Tahun
2006, hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif oleh BAPPEDA Tahun 2007, data
penerima dana dan Laporan Pelaksanaan BLPS Kecamatan Pamijahan dan Tenjolaya,
RPJMD 2008-2013, LKPJ Bupati Bogor Tahun 2007-2008, LAKIP Tahun 2007-
2008, dokumen SPKD Tahun 2008-1012, serta dokumen-dokumen dari
instansi/lembaga lain yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten
Bogor.
Tabel 1. Rancangan Kajian untuk Membahas Tujuan
Data No Tujuan
Jenis Sumber Metode Analisis
1 Menganalisis kondisi kemiskinan masyarakat Kabupaten Bogor
Data Sekunder
Hasil Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006, Hasil Analisis Kemiskinan Partisipatif Bappeda 2007
Statistik Deskriptif
2 Menganalisis implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam penanggulangan kemiskinan
Data Sekunder
RPJMD, LAKIP, LKPJ, SPKD Kabupaten Bogor
Analisis Deskriptif, Content Analysis
3 Mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor
Data Primer dan Sekunder
KUBE FM Penerima BLPS, dan Pendamping.Sosial (survey/wawancara)
Analisis Deskriptif
4 Merumuskan langkah strategis mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE
Data Primer Pengambil Kebijakan (kuisioner)
Analysis Hierarchy Process (AHP)
86
Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung di lapangan
dan wawancara dengan responden dan para pakar yang terlibat langsung dengan
program. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup dua hal
utama, yaitu: (1) data tentang kondisi pelaksanaan BLPS dan (2) data tentang persepsi
stakeholders terhadap pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui
KUBE di Kabupaten Bogor.
3.4. Metode Penentuan Responden
Responden kajian ini dikelompokkan dalam 3 jenis yaitu: masyarakat,
pengambil kebijakan, serta wakil kelembagaan masyarakat.
1) Responden Masyarakat. Masyarakat yang ditetapkan sebagai responden adalah
Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tergabung dalam KUBE.
2) Responden Pengambil Kebijakan. Pengambil kebijakan adalah pihak-pihak yang
terkait dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Bogor,
diantaranya yaitu unsur BAPPEDA, BPMPD, Dinsosnakertrans, dan TKPK
Kabupaten Bogor.
3) Wakil Kelembagaan adalah orang yang ditunjuk untuk mewakili organisasi yang
ada di masyarakat, seperti: Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) atau Pendamping
Sosial, dan Koperasi.
Teknik penentuan responden Masyarakat diambil secara purposive random
sampling untuk mendapatkan gambaran efektivitas pelaksanaan BLPS melalui
penguatan modal KUBE Fakir Miskin. Sedangkan penentuan responden Pengambil
Kebijakan dipilih secara purposive atau sengaja berdasarkan kapasitasnya dalam upaya
pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE di Kabupaten
Bogor. Responden Wakil Kelembagaan juga ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa responden memahami secara baik obyek kajian.
Pemilihan responden Pengambil Kebijakan dilakukan dalam rangka
menentukan prioritas pengembangan kebijakan yang dipilih dari 6 orang pejabat di
lingkungan Pemerintahan Kabupaten Bogor yaitu:
a. Kepala Bappeda Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Kepala Perencana
Pembangunan di Kabupaten Bogor sekaligus Ketua II TKPK Kabupaten Bogor;
87
b. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD)
Kabupaten Bogor, dalam kapasitas sebagai Ketua III TKPK Kabupaten Bogor
c. Kabid Kesejahteraan Rakyat dan Sosial pada Bappeda Kabupaten Bogor, dalam
kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kebijakan dan Perencanaan TKPK
Kabupaten Bogor;
d. Kabid Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat pada BPMPD Kabupaten Bogor,
dalam kapasitas sebagai Koordinator Pokja Bidang Kelembagaan dan pernah
terlibat sebagai Koordinator Tim dalam pelaksanaan PNPM Mandiri;
e. Kasi Pemulihan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor, dalam kapasitas
sebagai pejabat lama pelaksana (Pendamping) BLPS di Kabupaten Bogor;
f. Kasi Bantuan dan Perlindungan Sosial pada Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor,
dalam kapasitas sebagai pejabat baru yang akan melanjutkan pelaksanaan BLPS di
Kabupaten Bogor.
3.5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Titik berat kajian adalan upaya pengembangan kebijakan pemberdayaan
fakir miskin melalui KUBE, maka pengolahan data yang dilakukan secara kualitatif
maupun kuantitatif. Untuk menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Ruberman
(1992) dalam Sitorus dan Agusta (2004), analisis data kualitatif meliputi:
1. Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan
dan transformasi data yang masih kasar.
2. Penyajian data, yaitu sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun rapi
yang memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Penarikan kesimpulan, yaitu proses menemukan data yang bertujuan untuk
memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan.
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam menjawab tujuan kajian
adalah:
3.5.1. Analisis Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan
penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang bermanfaat
(Walpole, 1992 dalam Wibowo, 2008). Beberapa metode statistika deskriptif yang
88
digunakan adalah: penyajian data dalam bentuk grafik atau tabel, penentuan nilai rata-
rata, dan beberapa metode statistika deskriptif lainnya. Analisis statistik deskriptif
digunakan untuk mengkaji data statistik kondisi kemiskinan. Berdasarkan data
tersebut, dilakukan interpretasi dan generalisasi kondisi karakteristik, penyebab, dan
persoalan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Analisis statistik deskriptif ini juga
digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan BLPS di Kabupaten Bogor.
3.5.2. Analisis Isi
Analisis isi (content analysis) adalah metode penelitian yang bersifat
mendeskripsikan manifestasi komunikasi secara obyektif, sistematis, dan kuantitatif
(Tonny, 2009). Ciri dari Metode Analisi Isi adalah: 1) Prosedur, aturan, dan kriteria
yang obyektif; 2) Sistematis dalam pengkategorian; 3) Bisa untuk mengeneralisasi; 4)
Menganalisi ‘bentuk’ dan ‘isi’; dan 5) Bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pelopor
analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu
mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. Aturan
pengkategorian dilakukan berkaitan tujuan penelitian, bersifat tuntas dimana setiap
data harus masuk dalam kategori, tidak saling tergantung dimana satu data hanya
masuk satu kategori, bebas namun tidak mengganggu kategori lain, dan klasifikasinya
bersifat tunggal (Bungin, 2005).
Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi,
baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi
yang lain. Analisis ini dapat berbentuk kuantitatif maupun kualitatif. Analisis isi
kuantitatif digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest
(nyata), sedangkan analisis isi kualitatif justru memfokuskan pada pesan yang bersifat
latent (tersembunyi). Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih ditekankan untuk
menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks komunikasi, pada analisis wacana lebih
difokuskan untuk melihat pada “bagaimana” (how), yaitu bagaimana isi teks berita dan
juga bagaimana pesan itu disampaikan. Analisis isi kualitatif tidak berpretensi
melakukan generalisasi karena lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada
penjumlahan unit kategori, sedangkan analisis isi kuantitatif memang diarahkan untuk
membuat generalisasi.
89
3.6. Metode Perancangan Program
Perancangan program merupakan tahap penyampaian hasil kajian kepada
para stakeholder pembangunan daerah yang berkompeten dalam pengambilan
keputusan bagi pengembangan kebijakan pemberdayaan fakir miskin. Respon dari
para stakeholder dihimpun sedemikian rupa untuk menentukan prioritas langkah
strategis dalam pembangunan daerah sebagai strategi penerapan hasil kajian.
Pemaparan program disampaikan kepada beberapa pihak di lingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor untuk mendapat pertimbangan. Data respon para
stakeholder ini kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) untuk menyusun prioritas program pembangunan daerah dalam upaya
mengembangkan kebijakan pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE.
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan untuk
mengambil keputusan yang kompleks dengan menggunakan pendekatan matematika
dan psikologi atau persepsi manusia. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty
pada tahun 1970. Beberapa keunggulan dari AHP antara lain: 1) melibatkan persepsi
seorang ahli yang mengerti persoalan sebagai bahan masukan; 2) mampu
memecahkan masalah yang memiliki banyak tujuan (multi objectives) dan banyak kriteria
(multi criterias); 3) mampu memecahkan persoalan yang kompeks dan tidak
terkerangka akibat dari data yang minim. Adapun kelemahan AHP yang sebenarnya
juga dapat berarti kelebihan adalah bahwa metode penyelesaian sederhana sehingga
bagi beberapa orang sering dianggap kurang meyakinkan (Permadi, 1992).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata
dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai
numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan
tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki
prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut
(Marimin, 2004).
Menurut Saaty (1993) dalam Faletehan (2009), ada tiga prinsip dalam
memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu:
90
1. Prinsip menyusun hirarki
Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-langkah
menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang merupakan suatu
tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen pokoknya, dan kemudian
bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarki.
Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah menjadi bagian-bagiannya
sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
2. Prinsip menetapkan prioritas
Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu aspek
dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemen-elemen
menurut relatif pentingnya.
3. Prinsip konsistensi logis
Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan, dan
elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten dengan
kriteria yang logis. Nilai rasio konsistensi paling tinggi adalah 10 persen, jika lebih
maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki.
Adapun langkah-langkah dalam metode AHP yang digunakan dalam kajian
ini adalah sebagai berikut:
a) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan.
Permasalahan yang akan dipecahkan adalah merumuskan strategi pengembangan
kebijakan fakir miskin melalui KUBE, dengan demikian diperlukan pemecahan
berupa langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijakan
tersebut.
b) Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh.
Berdasarkan Permadi (1992), proses penyusunan hirarki lebih bersifat seni
daripada ilmu pengetahuan, maka tidak ada bentuk yang baku untuk memecahkan
suatu kasus. Biasanya pembuatan hirarki melihat pada contoh hirarki yang sudah
pernah dibuat untuk menyelesaikan suatu kasus, kemudian dengan berbagai
modifikasi dibuat hirarki sendiri untuk memecahkan kasusnya. Pada kajian ini
struktur hirarki dimodifikasi dari struktur hirarki AHP dalam kajian Kuswari
91
(2005) yang mengkaji Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa di Indragiri Hilir,
Propinsi Riau.
Fokus tujuan pada puncak hirarki (level 1) adalah mengembangkan kebijakan
pemberdayaan fakir miskin melalui KUBE. Pada tingkat berikutnya yang lebih
rendah (level 2) ditetapkan kebijakan strategis yang bisa dipilih untuk
dikembangkan. Level 3 mencakup kategori aspek-aspek yang mempengaruhi
kebijakan-kebijakan tersebut. Sedangkan tingkatan terakhir (level 4) mencakup
langkah strategis/program yang akan diprioritaskan dalam mengembangkan
kebijakan. Struktur hirarki dalam kajian dapat dilihat pada Gambar 8.
c) Menetapkan prioritas dan menyusun matriks banding berpasangan
Dalam menetapkan prioritas, langkah yang dilakukan adalah membuat
perbandingan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan
berpasangan ini berupa matriks. Dari matriks banding berpasangan dapat
diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang
berpengaruh terhadap fokus tujuan.
Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki lalu pada elemen
satu tingkat dibawahnya, dan seterusnya. Untuk melakukan pembandingan
digunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai Skala Banding Berpasangan
Intensitas pentingnya
Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu
3 Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain
5 Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan
Sumber : Saaty (1993)
d) Menghitung Matriks Pendapat Individu
Melalui penyebaran kuisioner terhadap stakeholders, maka terkumpul semua
pertimbangan dari hasil perbandingan berpasangan antarelemen pada langkah c.
92
Selanjutnya adalah menghitung semua pertimbangan yang didapat dari setiap
individu. Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat kriteria yang dibandingkan,
maka harus dihasilkan matriks, setiap sel mempunyai karakteristik
sedemikian sehingga;
= atau x =
Formulasi Matriks Pendapat Individu adalah sebagai berikut:
…
… A =
… … … ... …
…
Dalam hal ini , , …, adalah set elemen pada suatu tingkat keputusan
dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan
membentuk matriks x . Nilai merupakan nilai matriks pendapat hasil
komparasi yang mencerminkan nilai kepentingan terhadap .
e) Menghitung Matriks Pendapat Gabungan
Karena jumlah responden tidak hanya satu orang maka disusun Matriks Pendapat
Gabungan yang dapat mewakili pertimbangan keseluruhan responden. Tujuan dari
penghitungan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks
yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya
memenuhi syarat (Faletehan, 2009). Metode yang digunakan dapat berupa
menggunakan rata-rata hitung atau rata-rata ukur (rata-rata geometrik). Dalam
kajian ini metode menghitung matrik pendapat gabungan yang dipakai adalah rata-
rata ukur atau rata-rata geometrik dengan asumsi peran setiap responden sama.
Berdasarkan Permadi (1992), rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata