42 BAB III KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK RAWASRAGI DI KECAMATAN PALAS KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 1983-2000 A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu lingkungan masyarakat, terdapat berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya suatu mobilitas sosial. Pertanian dalam lingkungan masyarakat agraris merupakan jaminan hidup bagi mereka dan tanah merupakan faktor utama sekaligus lambang kekuasaan dan prestise bagi seseorang sehingga tanah dapat memicu konflik di masyarakat. Di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria pada umumnya memiliki 6 corak penyebab yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan yang dianut pemerintah Orde Baru yaitu : 1) Sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif,
41
Embed
BAB III KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA … · penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) maupun karena Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau program sejenisnya, 4) Sengketa akibat penggusuran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
42
BAB III
KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA
AGRARIA AKIBAT PROYEK RAWASRAGI DI
KECAMATAN PALAS KABUPATEN LAMPUNG
SELATAN TAHUN 1983-2000
A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Agraria Proyek Rawasragi
di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan
Berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu
lingkungan masyarakat, terdapat berbagai faktor yang mungkin menjadi
penyebab munculnya suatu mobilitas sosial. Pertanian dalam lingkungan
masyarakat agraris merupakan jaminan hidup bagi mereka dan tanah
merupakan faktor utama sekaligus lambang kekuasaan dan prestise bagi
seseorang sehingga tanah dapat memicu konflik di masyarakat.
Di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Konsorium
Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria pada
umumnya memiliki 6 corak penyebab yang semuanya berhubungan dengan
model pembangunan yang dianut pemerintah Orde Baru yaitu :
1) Sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan
kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya
sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif,
43
2) Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang prakteknya
terjadi penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah,
3) Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan
penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) maupun karena Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) atau program sejenisnya,
4) Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real
estate, kawasan industri dan lain-lain,
5) Sengketa akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan
pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan
rakyat untuk kepentingan keamanan,
6) Sengketa akibat pencabutan hak atas tanah karena pembangunan
taman nasional atau hutan lindung dan sebagainya yang
mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
Berdasarkan enam corak penyebab munculnya konflik agraria menurut
KPA, maka aksi sengketa masyarakat Kecamatan Palas termasuk dalam
sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil
bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang
dieksploitasi secara massif. Adapun faktor lain yang menyebabkan munculnya
aksi sengketa agraria di Kecamatan Palas ini antara lain :
1. Faktor Historis
44
Menurut sejarahnya, lahan yang menjadi objek sengketa, dahulu
merupakan hutan dan rawa yang ditumbuhi kayu renggas dan jati. Pembukaan
lahan tersebut dimulai tahun 1971. Masyarakat mulai membuka lahan ini
untuk dijadikan lahan pertanian. Masyarakat memanfaatkan lahan yang
mereka buka untuk ditanami padi. Kepemilikan atas tanah didasarkan pada
luas lahan yang mereka buka. Bukti-bukti kepemilikan atas lahan dikeluarkan
oleh kepala-kepala kampung yang batas-batas lahan masih berupa lahan
garapan milik orang lain, pohon, ataupun batu.1
Pembukaan lahan ini kemudian mulai ditertibkan oleh pemerintah
pada tahun 1981. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
208/Mentan/1981 menyebutkan bahwa lahan tersebut disetujui untuk
digunakan pelaksanaan Proyek Rawasragi. Proyek Rawasragi merupakan
proyek pembukaan lahan yang melibatkan masyarakat atas bantuan dari
pemerintah Belanda melalui program IGGI.2
Pemerintah Indonesia yang mendapat bantuan dari pemerintah
Belanda lewat IGGI, kemudian melaksanakan Proyek Rawasragi. Proyek
Rawasragi merupakan program pembukaan lahan yang melibatkan
masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Pemerintah
kemudian membentuk tim yang bertugas atas Proyek Rawasragi yang
melibatkan BPN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
1 Wawancara dengan Darmawan sebagai Perangkat Kecamatan, Pada
Tanggal 22 Juni 2015 2 Wawancara dengan Sudarto sebagai Petani, Pada Tanggal 7 Agustus
2015
45
Program ini terdiri dari dua bagian, yakni Rawasragi I yang meliputi
6.400 hektare berdasarkan SK Gubernur No. 56/DJA/1983 tanggal 8 April
1982, dan Rawasragi II yang meliputi areal seluas 15.600 hektare berdasarkan
SK Gubernur No. 27/DJA/1983 tanggal 19 Desember 1983 (seluas 5.026
hektare) dan SK No 133/DJA/1983 tanggal 29 Juni 1983 seluas 10.574
hektare. Proyek Rawasragi diawali dengan pengeringan air di rawa yang
kemudian akan dicetak menjadi sawah. Pemerintah juga membangun saluran
irigasi dan tanggul penangkis dari sungai. Saluran-saluran irigasi dibagi
menjadi saluran primer dan sekunder. Saluran primer adalah saluran utama,
sedangkan saluran sekunder merupakan saluran cabang. Saluran cabang inilah
yang mengairi sawah-sawah yang sudah dicetak.
Gambar 1
Saluran Irigasi Primer di Kecamatan Palas
Sumber : Dokumentasi Pribadi
46
Gambar.2
Sungai Way Sekampung Sebagai Sumber Utama Aliran Irigasi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Rawa yang sudah dikeringkan dan dicetak menjadi sawah tersebut,
kemudian dilakukan pendataan oleh tim proyek rawasragi. Pendataan itu
bertujuan untuk mengatur lahan yang diperuntukkan petani pembuka dan
penggarap pertama yang sudah menguasai sejak tahun 1978. Pembagian tanah
yang dilakukan pemerintah melibatkan pamong desa hingga pegawai
kecamatan. Seleksi didasarkan dari daftar pemilu yang didapatkan dari
kecamatan. Nama-nama yang terdaftar, akan mendapatkan lahan sawah
tersebut. Penyeleksian yang didasarkan oleh nama-nama yang ada di daftar
pemilu merupakan kebijakan tim seleksi. Hal ini dilakukan untuk benar-benar
mendapatkan data yang valid tentang penduduk awal yang membuka lahan
tersebut. 3
3 Wawancara dengan Rusnal Effendi Sebagai Seksi Pengendalian dan
Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 6 Agustus 2015
47
Gambar. 3
Lahan Pertanian Proyek Rawasragi
Sumber : Dokumentasi Badan Pertanian Kecamatan Palas
Aturan pembagian lahan didasarkan pada peraturan pemerintah.
Masing-masing akan mendapatkan minimal 1 hektare dan maksimal 2
hektare. Meskipun petani pembuka lahan pertama menggarap lahan yang
dibukanya seluas lebih dari 2 hektare, tetap hanya akan diberikan 2 hektare.
Begitupun petani pembuka lahan yang menggarap kurang dari 1 hektare, tetap
akan mendapatkan lahan minimal 1 hektare. Keputusan pembagian lahan
tersebut didasarkan pada surat keputusan Gubernur No 114 Tahun 1982.4
Tahun 1984, tim agraria mengeluarkan kartu hijau sebagai tanda
bahwa petani boleh menggarap, masing-masing petani 1 hektare. Tim yang
sama juga mengeluarkan kartu kuning bagi petani yang tidak terdaftar untuk
menunggu atau nantinya akan ditingkatkan menjadi kartu hijau. Proses seleksi
berakhir ketika tim pembebasan lahan mengumumkan siapa saja yang berhak
mendapatkan lahan. Masyarakat yang dinyatakan lulus seleksi mendapatkan
4 Data diolah dari hasil berbagai wawancara pihak BPN Tanggal 6
Agustus 2015
48
kartu bewarna hijau. Mereka kemudian ditunjukkan lahan yang menjadi hak
mereka. Masyarakat yang belum mendapatkan tanah, tetapi dinilai berhak,
diberi kartu bewarna kuning sebagai tanda mereka akan masuk ke daftar
tunggu. Masyarakat yang masuk ke daftar tunggu, akan diberi lahan hasil
kelanjutan dari proyek Rawasragi I yaitu Rawasragi II.
Setelah proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah selesai,
pemerintah mengumumkan nama-nama yang berhak untuk mendapatkan
lahan yang siap untuk digarap. Proses pengumuman itu dilanjutkan dengan
mengantarkan masyarakat yang dianggap memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan lahan garapan ke lokasi lahan mereka. Akibat adanya penataan
lahan oleh pemerintah membuat lahan yang selama ini digarap warga
mengalami pergeseran.
Pembagian tanah kepada warga yang dilakukan oleh Pemerintah
membuat sebagian warga merasa tidak puas. Sebagian masyarakat
beranggapan bahwa lahan yang selama ini mereka garap sebelum adanya
penataan oleh pemerintah, lebih subur atau lebih strategis. Akibat banyaknya
warga yang merasa belum puas dengan hasil penataan, pemerintah
mendirikan posko keluhan yang didirikan di Kecamatan Palas. Posko keluhan
ini menerima semua keluhan warga termasuk warga yang merasa berhak
mendapatkan tanah.
Pembagian lahan pertanian kepada masyarakat yang dianggap berhak
atas lahan yang mencakup 8000 Ha sejumlah 2470 penduduk. Masyarakat
yang mendapatkan lahan seluas 1 Ha berjumlah 2470 sedangkan masyarakat
49
yang berhak atas lahan seluas 2 Ha berjumlah 2765 penduduk. Masyarakat
yang mendapatkan lahan pertanian seluruhnya berjumlah 5235 penduduk.
Mereka mendapatkan kartu bewarna hijau, sedangkan 750 penduduk
diberikan kartu bewarna hijau.5
Masyarakat yang menerima kartu berwarna hijau adalah masyarakat
yang secara resmi dinyatakan berhak mendapatkan bagian lahan pertanian.
Masyarakat yang belum mendapatkan lahan padahal mereka sebenarnya
berhak mendapatkan lahan mendapatkan kartu kuning sebagai tanda antrian
untuk diberikan tanah oleh pemerintah. Setelah proses pembagian kartu hijau,
pemilik kartu hijau akan dibuatkan sertifikat tanah oleh pemerintah. Selama
proses pembuatan sertifikat oleh pemerintah, pemegang kartu tidak boleh
memperjualbelikan tanah. Bahkan setelah sertifikat tanah diterbitkan, mereka
dilarang melakukan jual beli selama kurang lebih 5 tahun.
Penataan area pertanian yang dilakukan pemerintah membuat proses
perubahan hak penguasaan tanah. Proses perubahan hak penguasaan tanah
terjadi dikarenakan adanya SK Gubernur KDH Tingkat I Lampung No :
6/008/P.A/HK/1977 tanggal 28 Juni tentang pencabutan surat izin/surat-surat
keterangan atas tanah yang pernah dikeluarkan oleh kepala-kepala negeri dan
kepala-kepala kampung. Mulai tahun 1978-1979 hingga tahun 1983, petani
menggarap hasil tebangannya untuk ditanami padi, palawija, dan sayur-
mayur. Tahun 1983 dilakukan pendataan oleh kantor agraria berdasarkan
5 Wawancara dengan Rusnal Effendi Seksi Pengendalian dan
Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, 9 Desember 2015
50
Surat Keputusan Gubernur No: AG. 100/DA 4488/Lr/1983 tanggal 7
Desember 1983.
2. Faktor Struktural
Diantara berbagai faktor penyebab munculnya perlawanan petani,
faktor yang paling mendasar dari penyebab konflik bersumber dari struktur
kekuasaan. Struktur ini menyangkut perilaku politik aparatur, mekanisme
birokrasi beserta implementasi kebijakan dalam proyek pembangunan,
toleransi parsipatoris dari keuasaan yang minim, yang diberikan penguasa
kepada rakyat dalam hal mekanisme penyaluran aspirasi tentang penguasaan
tanah.
Proses pengambilalihan tanah oleh pemerintah secara struktural adalah
benar. Benar dalam artian sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun
munculnya sengketa di Palas merupakan implementasi dari sebuah prosedur
pengambilalihan tanah yang dianggap benar namun ternyata terdapat
kepincangan yang ditekan dengan intervensi dari aparat dan birokrat atau
pamong praja. Intervensi yang dilakukan dianggap mampu meredakan atau
bahkan menghilangkan sengketa yang mungkin terjadi, namun ternyata hal ini
justru menimbulkan bahaya laten.6
Sengketa yang terus terjadi pada akhirnya hanya melibatkan antar
sesama masyarakat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kekuatan militer
yang begitu dominan membuat sengketa yang terjadi antara masyarakat dan
6 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada.
1993), hlm.18
51
pemerintah dapat diredam. Pada masa perubahan (reformasi) yang ditandai
dengan jatuhnya Rezim Orde Baru, masyarakat mulai menyadari akan hak-
haknya yang telah lama hilang, sehingga hal tersebut terakumulasi sebuah
tuntutan dan berakibat munculnya gejolak-gejolak masyarakat yang menuntut
pengembalian hak-hak mereka.
Masyarakat menuntut dilakukan pengembalian hak tanah garapan dan
kepemilikan tanah mereka. Tuntutan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor antara lain sosial ekonomi, dan sejarah kepemilikan. Perkembangan
masyarakat pedesaan mengalami perubahan dengan semakin sadarnya
masyarakat akan pentingnya pendidikan membuat masyarakat menjadi
terbuka dalam berpikir. Hal ini berimbas pada semakin terstrukturnya
gerakan-gerakan petani yang memperjuangkan haknya.
B. Perjalanan Aksi Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di
Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan
Memasuki akhir abad ke-20, masalah pertanahan menjadi isu sentral
dengan munculnya gerakan-gerakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
kurang atau lemahnya pengakuan hukum terhadap pengaturan dan pemilikan
tanah sehingga konflik agraria semakin marak di masyarakat. Selain itu,
perubahan-perubahan struktur politik dan ekonomi Indonesia yang begitu
cepat membuat masalah pertanahan ini semakin mengkhawatirkan. Kondisi
yang demikian itu sekaligus menjadi bukti bahwa tidaklah benar jika kaum
tani tidak memainkan peran apa-apa dalam sejarah Indonesia. Mereka
bukanlah sekelompok masyarakat yang bersikap masa bodoh, selalu penurut
52
dan pasrah kepada nasib. Hura-hura dan pemberontakan-pemberontakan
petani yang terjadi berulang-ulang merupakan wabah sosial dalam sejarah
Jawa, sekaligus bukti tentang peranan historis yang telah dimainkan oleh
kaum tani.7
Petani merupakan kelas sosial yang mampu memainkan peran kunci
dalam sejarah masyarakat tertentu. Peran ini disandang ketika mereka
melakukan gerakan pergolakan atau perlawanan sosial. Gerakan ini bukan
saja berdasarkan pada ketidakpuasan individual yang massif sifatnya,
melainkan merupakan protes yang diorganisasikan sebagai suatu bahan
sejarah sektor pedesaan dibanyak masyarakat.8
Gerakan sosial atau Social Movement yang terjadi di Indonesia pada
umumnya bersifat endemis yang timbul sejak masyarakat tradisional
mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintah
yang semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dengan masuknya uang dalam sistem
ekonomi, serta faktor lain seperti tanah dan tenaga buruh. Perkembangan
perdagangan dan industri pertanian menimbulkan perubahan struktur dalam
masyarakat dengan semakin meluasnya sistem administrasi yang bersifat legal
rasional, lembaga-lembaga politik tradisional semakin terdesak. Pendek kata,
proses modernisasi dan birokratisasi, ditambah lagi dengan komunikasi dan