59 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta. a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain. Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan pemilihan kepala daerah. Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat oleh kasultanan. Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan pengaturan tanahnya sendiri. Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya “Keputusan Presiden No. 33 Tahun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
59
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. HASIL PENELITIAN
1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI
Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang
memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain.
Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala
daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan
pemilihan kepala daerah.
Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan
pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang
dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat
oleh kasultanan.
Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di
Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang
digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat
diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan
pengaturan tanahnya sendiri.
Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan
sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan
UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya “Keputusan Presiden No. 33 Tahun
60
1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY”
dan “Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY”.
Sebelum berlakunya UUPA DIY memiliki peraturan-peraturan agrarianya
sendiri untuk mengatur pertanahan. Tetapi peraturan-peraturan itu telah dinyatakan
tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DIY No.3 Tahun 1984
tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di
Propinsi DIY.
Peraturan-peraturan agraria yang dahulu digunakan untuk mengatur urusan
pertanahan di DIY sebelum berlakunya UUPA adalah:
a. Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun
1918 Nomor 18.
b. Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan
Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1.
c. Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun
1925 Nomor 25.
d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta, jo. Undang-Undang No.19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No.
9 Tahun 1955.
e. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas
Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
f. Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang
Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk
individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas
tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
g. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan
hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol
beziterecht).
61
h. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda
yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk
individucol beziterecht).
i. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah
tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan
Hak Milik.
j. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan
Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa
Yogyakarta.
k. Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951.
l. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy
pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.
m. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY.
n. Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY.
Isi pengaturan dari beberapa peraturan pertanahan yang dahulu digunakan di
DIY sebelum berlakunya UUPA tersebut antara lain, adalah:1
a. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad
Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang
dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman
No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit
penambahan dan perubahan tentang yaitu:
1 Blog: Tri Widodo H Utomo, Hukum Pertanahan Di Yogyakarta Sebelum dan Sesudah 1984, Senin 3
Mei 2010.
62
1. Istilah, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad
baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing
keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht.
2. Ketentuan bahwa "semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang
nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan
inlandsbezitsrecht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa
"semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya
dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak
termasuk wilayah kalurahan diberikan dengan hak andarbe kepada orang
yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe
itu" (pasal 1 Rijksblad baru).
3. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang
melarang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali
setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen
Yogyakarta (pasal 2).
4. Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta
menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami
sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya
mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah
(pasal 6).
b. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No.
9 Tahun 1955, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk
mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang/hal, salah satunya
bidang hukum pertanahan.
c. Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Mengatur:
63
1. Hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan
setempat (beschikkingsrecht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan
Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Peningkatan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel
gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk
individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki
tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempunyai tanda hak
milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun
berturut-turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan
bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal
(Pasal 4).
3. Dengan pengesahan Pemerintah Pemerintah kabupaten, kalurahan
berwenang mengadakan peraturan tentang pembatasan luas tanah yang
dapat dimiliki seseorang atau peraturan tentang peralihan hak yang
bersifat sementara (Pasal 5). Sedang Pasal 6 menyatakan bahwa kalurahan
sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah yang disebut tanah
desa. Tanah desa ini dipergunakan sebagai tanah lungguh, tanah pension,
untuk kepentingan umum serta untuk kas desa sendiri.
4. Perihal peralihan hak atas tanah maka (Pasal 8) tidak diperkenankan dan
menurut hukum tidak sah (van rechtswegenietig), perbuatan-perbuatan:
- Peralihan hak atas tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) langsung atau tidak
langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia.
- Mengadakan perjanjian-perjanjian yang bermaksud menyewakan atau
memberikan kesempatan untuk mempergunakan tanah tersebut Pasal 4
ayat (1) untuk perusahaan pertanian kecil langsung atau tidak langsung
kepada bukan warga negara Republik Indonesia.
d. Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah sebagai diatur
dalam Perda No. 5 Tahun 1984, dikeluarkanlah Perda No. 12 Tahun 1954.
Pasal 1 mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun
64
temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan
Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang
ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY.
Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut
biaya oelh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5’- dan sebanyak-banyaknya Rp.
75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (Pasal 2), dan sebelum tanda hak
milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik
sementara menurut model E (Pasal 6).
e. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.
184/KPTS/1980. Keputusan Gubernur ini mengatur perihal : adanya
perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda no. 12 Tahun
1954 diubah sebagai berikut :
1. Pasal 2 yang mengatur mengenai biaya untuk mendapatkan tanda hak
milik model D, Keputusan Gubernur menetapkan biaya antara Rp. 2500,-
s/d Rp. 10.000,- tergantung luas dan jenis tanah.
2. Pasal 6 dan penjelasannya yang pada pokoknya menetapkan untuk
sementara bahwa berlaku model E (tanda hak milik sementara), peraturan
yang baru mewajibkan kepada mereka yang masih memiliki tanda hak
milik model E segera menggantinya dengan tanda hak milik model D.
3. Lampiran V yang menetapkan bentuk formulir D.
f. Kemudian dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 1954 yang mengatur tentang
prosedur peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah. Perda
No. 11 Tahun 1954 ini menentukan bahwa:
1. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus oleh
Dewan Pemerintah Daerah Kalurahan, kemudian dikirim ke Kapanewon
dan setelah diberi pertimbangan atau diketahui Panewu diteruskan ke
Kabupaten untuk disahkan (Pasal 1).
65
2. Apabila peralihan hak diatas mengandung suatu perkara, maka dalam
tindakan pertama diputuskan oleh DPRD Kalurahan dan Dewan
Perwakilan Rakyat Kalurahan Pleno, kemudian dikirim ke Kapanewon
untuk dipertimbangkan atau diketahui oleh Panewu, kemudian diteruskan
ke DPD kabupaten untuk dipertimbangkan, dan diteruskan lagi kepada
Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberikan
keputusan. Dalam hal ini Dewan Pemerintah DIY dapat menyerahkan
kekuasaannya kepada Jawatan Agraria DIY (Pasal 2).
3. Untuk keperluan peralihan hak milik atas tanah, Kalurahan diberi
kekuasaan memunggut biaya administrasi sebesar Rp. 5,- dan pulasi
setinggi-tingginya 5 % dari harga tanah, kecuali peralihan hak yang
bersifat warisan dibebaskan dari biaya pulasi (Pasal 4).
4. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah yang
menyimpang dari peraturan ini, menurut hukum tidak sah dan akan
dikenakan hukuman paling lama selama satu bulan atau denda paling
banyak Rp. 100,- barang siapa:
- Berhak menerima peralihan didalam urusan warisan.
- Memberikan atau menerima hak selain warisan, didalam hal peralihan
hak milik perseorangan turun temurun yang menyimpang dari
peraturan ini, dan satu bulan setelah diperingatkan oleh Lurah Desa,
masih juga belum menepati peraturan.
g. Perda No. 10 tahun 1954 tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai
peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak
anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan
jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Peralihan hak seperti ini dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan
bersama DPR kalurahan, bila peralihan tersebut mengandung suatu perkara,
maka dilaksanakan oleh DPR, kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis
66
Desa dan Pamong Kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau
tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Jadi desa mempunyai wewenang yang sama besar dalam masalah
pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat
dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. Pada saat itu PPAT
hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak barat.
h. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy
pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.
Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta kepada seorang warga negara Indonesia non Pribumi ,
dengan ini diminta: apabila ada seorang warga negara Indonesia non Pribumi
membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa,
ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi
tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan
kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan
kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak.
i. Bahwa sesuai pernyataan Pemerintah Daerah DIY untuk memberlakukan
UUPA secara penuh di DIY agar dalam pelaksanaannya dapat lebih berdaya
guna dan berhasil guna, maka perlu dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun
1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
di DIY. yang mengatakan: UUPA dan peraturan pelaksananya, dinyatakan
berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah propinsi DIY.
j. Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun
1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di
DIY, yang mengatur:
1. Pengurusan agraria yang semula (sebelum berlaku UUPA di DIY)
berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi
(setelah berlakunya UUPA di DIY).
67
2. Demi adanya keseragaman kesatuan dan kepastian hukum maka perlu
ditinjau kembali dan tidak diberlakukan Rijksblad-Rijksblad, peraturan-
peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
mengatur tentang keagrariaan di Propinsi DIY sehingga hanya peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya yang
berlaku di DIY.
3. Dengan berlakunya UUPA di DIY, maka segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan kewenangan otonomi
DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi, antara
lain:
- Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku
Alaman tahun 1918 Nomor 18.
- Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2
dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931
Nomor 1.
- Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku
Alaman tahun 1925 Nomor 25.
- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak
Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang
Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk
individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun
atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di
Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang
Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk
individicol beziterecht).
68
- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang
Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah
(erfelijk individucol beziterecht).
- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang
Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak
Bangunan dan Hak Milik.
- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang
mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria
Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951.
b. Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa.
Meskipun kenyataannya di DIY telah mencabut peraturan-peraturan
pertanahan yang digunakan sebelum UUPA dan telah memberlakukan UUPA
sepenuhnya sejak tahun 1984 berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 dan Perda
DIY No. 3 Tahun 1984. Tetapi sampai saat ini “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII
No. 898/A/1975 hal: Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang
WNI non Pribumi” tidak ikut dicabut, dan masih berlaku di DIY.
Isi aturan dari Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 tersebut
berbunyi:
Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah
Istimewa Yogytakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta :
Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya
diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga
tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah
69
Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan
permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak.
Dampak dari masih diberlakukannya aturan penyeragaman policy hak atas
tanah kepada WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, berdampak semua WNI
keturunan Tionghoa yang ada di DIY yang ingin membeli atau memiliki tanah
dengan hak milik tidak diperbolehkan. Biasanya bagi mereka WNI keturunan
Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan
(HGB) atas tanah saja.
Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan
non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) yang lebih tinggi dari pada golongan
pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan
rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi
bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah
dengan hak milik oleh golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa)
diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan "petani-petani berdasi", sedang rakyat
kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil.2
Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas
tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi
hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik
warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik
untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia.
Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan
Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara
sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris / PPAT, Dosen
Pengajar Hukum Agraria.
Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami
kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan
2 Ibid.
70
penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan
terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga
menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut
berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI
keturunan Tionghoa di DIY tersebut.
Beberapa dari nara sumber tersebut yaitu, meliputi:
1. Bpk Suhartono.3
Beliau adalah petugas kantor BPN DIY yang jabatannya adalah sebagai KASI
PENDAFTARAN, PERALIHAN, PEMBEBANAN HAK & PPAT.
Beliau membenarkan adanya aturan larangan pemilikan HM oleh WNI
keturunan Tionghoa tersebut yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII
No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang
WNI non Pribumi.
Dasar munculnya larangan aturan pemilikan HM atas tanah bagi WNI
keturunan Tionghoa tersebut sangatlah politis. Tetapi tidak jelaskan secara mendalam
terkait dengan dasar alasan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di
DIY tersebut. Karena mungkin karena kesejarahan tanah di DIY adalah tanah Kraton,
atau mungkin karena policynya (kebijakan) Gubernur atau Pemerintah Daerah pada
jaman dulu adalah semi-semi Kraton.
BPN juga menyatakan tidak mau mendesak kepada Pemerintah Daerah DIY,
karena secara fungsional BPN hanya sebagai pelaksana dari Perintah Daerah DIY.
Jika BPN mendesak atau tidak setuju kepada Pemerintah Daerah terkait dengan
kebijakan yang dikeluarkan, takutnya tidak perlu ada kantor BPN di DIY.
Kebijakan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY
tersebut memang agak ada kesenjangan dibandingkan dengan propinsi lainnya di
Indonesia. Alasan diberlakukan kebijakan tersebut karena Pemerintah Daerah DIY
3 Wawancara pada tanggal 16 Juni 2011.
71
takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI
keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh
pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM
oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB
saja.
Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM
atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY.
Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan “kekancingan”, yang
policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton.
Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali,
diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul,
Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta.
Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena
kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan
berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut.
Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak
berlaku.
Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di
DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara
keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi
tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil.
Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN
acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur
DIY PA VIII No. 898/A/1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi
belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada.
BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan
aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya.
72
Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli
(pribumi) tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat
memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli
tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI
keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan
hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi
HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli (pribumi) asli (atau
dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli (pribumi)).
BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena
jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika
aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan
yang ada.
Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan
baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada
yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang
yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang
tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas
tanah yang dari HGB menjadi HM.
Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya.
Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya
harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada
perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu
harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait
dengan permohonan yang diajukan.
Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli (pribumi)
dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya
masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya.
Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap
73
saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut
masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak
dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa.
Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau
kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut.
2. Bpk Raminudin.4
Beliau adalah asisten Notaris / PPAT yang bekerja di Kantor Notaris / PPAT
Retno Merdeka Wati, SH, MM. , Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak
boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala
Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No.
898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang
WNI non Pribumi”, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan
Daerah hanyalah instruksi.
Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa
Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota
Yogyakarta.
Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah
dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat
kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang
boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga
keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah
dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan
dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM.
WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM,
tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan
4 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011
74
Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM dengan menggunakan nama
indonesia asalkan tidak ketahuan oleh BPN. Bahwa adanya kecolongan-kecolongan
WNI keturunan Tionghoa bisa memiliki HM tersebut tidak resmi. Tetapi kecolongan-
kecolongan tersebut tidak semua dilakukan di DIY, karena biasanya BPN kota
Yogyakarta lebih cermat dan lebih mencurigai.
Setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja tidak mencabut larangan
kepemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Pernah juga
dipertanyakan dalam sosialisasi UU kewarganegaraan yang baru tersebut terkait
bagaimana WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY dengan terbitnya UU
Kewarganegaraan yang baru ini apa sudah bisa memiliki tanah dengan status HM.
Tetapi jawaban waktu itu bahwa masalah larangan pemilikan HM bagi WNI
keturunan Tionghoa itu terkait dengan politis. Jadi meskipun menurut UU
kewarganegaraan yang baru di Indonesia tidak ada perbedaan hak dan kewajiban dan
penyebutan warga negara, tetapi di DIY masih tetap saja memberlakukan larangan
pemilikan HM atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa.
Surat Edaran Gubernur DIY itu bukan dari Mendagri, bukan Perda, bukan
juga Kepres. Seharusnya kalau menurut undang-undang tidak membedakan apapun.
Undang-Undang itu kalah dengan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut.
Pernah ada gugatan di pengadilan dan gugatan tersebut tatap kalah, contohnya
seperti di Bantul pernah ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah dengan status
HM ketahuan kalau dia non pribumi, dan status HM atas tanahnya diturunkan
menjadi status HGB.
Alasan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut diberlakukan di DIY juga tidak
ada pertimbangannya didalam Surat Edaran Gubernur tersebut.
WNI keturunan Tionghoa tidak pernah ada yang mengajukan permohonan hak
atas tanah dari HGB ditingkatkan menjadi HM. Karena WNI keturunan Tionghoa
sudah tahu bahwa semua WNI keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di
DIY dengan status HM.
75
Dalam prakteknya ada saja Notaris / PPAT di DIY yang membantu
menguruskannya agar supaya WNI keturuanan Tionghoa dapat memiliki tanah
dengan status HM, asalkan WNI keturunan Tionghoa tersebut sudah tidak
menggunakan nama Tionghoa atau fisiknya samar-samar tidak terlihat seperti WNI
keturunan Tionghoa.
Sewaktu ada WNI keturunan Tionghoa meminta tolong untuk dibantu
pengurusannya agar memperoleh HM atas tanah, maka Notaris / PPAT akan
beralasan / beralibi bahwa Notaris / PPAT tidak mengetahui kalau dia adalah WNI
keturunan Tionghoa. Karena tidak bisa menilai orang dari fisik, karena orang
Kalimantan (batak) juga berkulit putih dan bermata sipit seperti WNI keturunan
Tionghoa pada umumnya.
Notaris / PPAT juga tidak berkewenangan untuk membuktikan orang tersebut
adalah WNI keturunan Tionghoa atau bukan. Karena yang menyelidiki orang tersebut
untuk membuktikan apakah dia WNI keturunan Tionghoa atau bukan kewenangan
dari BPN yang mencurigainya.
Adapun kemungkinan bahwa WNI keturunan Tionghoa agar dapat
memperoleh tanah dengan status HM dengan cara meminjam atau menggunakan
nama dari WNI pribumi asli. Selain itu dapat pula merubah nama di KTP (identitas)
dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia seperti nama WNI pribumi, dan
merubah agama menjadi agama islam agar lolos dan tidak dicurigai. Karena kalau
misalkan dalam KTP beragama budha sudah tentu dicurigai dan tidak dapat
mendapatkan status tanah dengan HM.
BPN juga tidak mau diberi uang suap agar WNI keturunan Tionghoa bisa
mendapatkan HM atas tanah. Jika ada kecurigaan supaya tidak dipanggil yaitu
ditutupin dengan cara meminjam (menggunakan) nama WNI pribumi atau identitas
KTP menggunakan nama Indonesia dan merubah agama menjadi agama islam. Tetapi
kalau WNI keturunan Tionghoa masih tetap menggunakan nama Tionghoa jelas
Notaris / PPAT tidak berani, karena sama saja tidak akan mendapatkan status tanah
76
dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah
dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB.
Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat
Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat
atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI
keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan
dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan
tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka
status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB.
Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI
keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah
tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI
keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI
pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang
membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi
yang membuat surat keterangan warisnya Lurah / Camat.
Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif
bukan bersifat objektif.
Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki
tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di
DIY hanya akan diberikan Hak Pakai (HP) atas tanah saja, tidak dapat dengan hak
atas tanah yang lain.
Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki
tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran
Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi
WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi.
Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM,
beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar
tanggung jawab Notaris / PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas
77
tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya
tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi
atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN.
Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas
tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses (tidak
diperbolehkan). Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual
malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya
tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI
keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang
didapatkan hanya status HGB saja.
Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas
jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka
waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka
waktunya bisa 30 (tiga puluh) tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau
permohonan hak itu 20 (dua puluh) tahun dan jika jangka waktunya habis bisa
diperpanjang lagi.
3. Bpk Nanang Bagus.5
Beliau adalah asisten Notaris / PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang
berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta.
Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi
WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang
aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun 1975.
WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY
harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli (pribumi), atau
dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang
berkewarganegaraan Indonesia asli (pribumi).
5 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011.
78
Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di
DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak
atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja.
Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi
WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten
Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan
Kota Yogyakarta.
Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY,
karena Notaris / PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar
WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar
WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan
meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang
berkewarganegaraan WNI asli (pribumi), tetapi yang membeli tanah tersebut tetap
WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau
meminjam nama dari WNI asli (pribumi) haruslah WNI asli DIY atau yang telah
memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli (pribumi) dari
propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli (pribumi).
Jikapun Notaris / PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI
keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah
dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut.
Karena jika Notaris / PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa
dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik
notaris / PPAT.
4. Ibu Endah Cahyowati6
Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di
Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta.
6 Wawancara pada tanggal 12 Oktober 2011.
79
Memang hangat dibicarakan skala nasional terkait pengaturan tanah di DIY,
selain ketentuan terkait dengan penetapan Kepala Daerahnya.
Pertama-tama untuk mengetahui kaitannya dengan pengaturan pertanahan di
DIY maka harus dilihat dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 19 Tahun 1950 dan
disempurnakan lagi dengan UU No. 9 Tahun 1955. Salah satu pasalnya yaitu Pasal 4
ayat (1) yang pada mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur masalah
tanah.
Di DIY yang menarik terkait dengan berlakunya UUPA di DIY, bahwa di
DIY ada tanah Kraton (tanah Raja) dan tanah DIY (tanah Negara). Terkait dengan
tanah Kraton tersebut berarti bicara secara khusus yang terdiri dari tanah Sultan
Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman).
Sedangkan untuk tanah di DIY berbicara secara nasional. Tanah di DIY ini harus
dilihat dari sejarah, yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: yuridis, historis,
sosiologis, filosofis.
Jika membicarakan tanah di DIY, itu berarti membicarakan tanah skala
nasional. Sedangkan jika membicarakan tanah keraton sudah khusus tanah Sultan
Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman).
Untuk tanah-tanah adat masih berlaku ketentuan peraturan-peraturan daerah,
terutama di daerah 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota. Karena DIY ini memliki 4
(empat) Kabupaten yaitu: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, sedangkan 1
(satu) Kota yaitu: Yogyakarta.
Pada waktu sebelum berlakunya UUPA, bahwa tanah-tanah keraton diatur
dengan Rijksblad Kasultanan untuk Sultan Ground dan Rijksblad Paku Alaman untuk
Paku Alaman Ground. Sebelum UUPA ini berlaku di DIY, tanah-tanah dikota
Yogyakarta masih diatur dengan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman.
Membicarakan tanah di DIY harus dibedakan, pertama berangkat dari dasar
pembentukan DIY yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 kemudian
disempurnakan menjadi Undang-Undang 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.
80
Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat (1) itu menyatakan yang intinya bahwa DIY
diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang /
hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan.
Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja / Keraton disebut tanah
Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Paku Alaman (Paku Alaman Ground). Hal
tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 (dua) Kasultanan dan paku Alaman, pasti
rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman.
Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY (4 Kabupaten
dan 1 Kota) itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku
Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan
hukum tanah barat.
Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum)
berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada
ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui
ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas
waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan
tanah-tanah Keraton / Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum
tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA.
Dengan adanya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal :
Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”,
dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII (almarhum), di mana intinya
berupa aturan bahwa “untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status
HM atas tanah di DIY”.
Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya
UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA.
Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih
juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di
DIY.
81
Alasan utama masih berlakunya Instruksi Gubernur yang melarang pemilikan
tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut, karena terkait dengan
keadaan ekonomi rakyat pribumi. Raja lebih mengutamakan rakyat pribumi dulu
untuk kesehjahteraannya. Selain itu juga dikarenakan penjajahan Belanda cukup
lama, DIY yang merupakan tanah Raja ini adalah satu-satunya tanah yang tidak
diserahkan kepada pemerintah Belanda pada saat penjajahan. Berbeda dengan
Surakarta yang awalnya meskipun sama-sama tanah Raja, tetapi sebagian tanahnya
diserahkan kepada Pemerintah Belanda, maka sekarang tanah di Surakarta telah
menjadi tanah Negara. Berbeda dengan DIY karena pada waktu itu tidak diserahkan
kepada Pemerintah Belanda.
Kemudian pada tahun 1984, tepatnya 1 april 1984 keluar Keputusan Presiden
No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini berarti peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tetapi
pada kenyataanya sampai sekarang di DIY masih berlangsung, karena Instruksi
Gubernur tersebut masih berlaku dan belum dicabut secara tegas.
Bicara tentang UUPA, bahwa mulai dari pasal 2 UUPA tentang hak
menguasai negara, dihubungkan dengan asas nasionalitas. Pada saat berlakunya
UUPA itu, semua warga negara indonesia menyebut WNI sudah barang tentu itu
adalah pengertian WNI dalam arti tunggal. Tidak membedakan WNI asli (pribumi)
atau WNI keturunan Tionghoa.
Tetapi DIY tidak lepas dari sejarah mengapa masih berlaku aturan seperti ini.
Bahwa harus melihat dari unsur politis tetapi dalam arti historisnya, bukan politis
dalam arti perkembangan sekarang yang ada rekayasa (untuk kemenangan siapa yang
berkuasa).
Bicara tanah di DIY harus dilihat dari beberapa aspek, diantaranya:
1. Aspek politis dalam arti yang positif karena harus dikaitkan dengan
melihat sejarahnya.
82
2. Aspek yuridis, tanah keraton khusus merupakan kepemilikan Raja yang
3. Aspek sosiologis, kalau masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY
maka salah satu syaratnya itu adalah harus ada perjanjian. Masyarakat
juga mengakui bahwa tanah di DIY adalah milik Raja, tetapi bahwa
masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY, dalam aturan internal
keraton masyarakat yang ingin menggunakan harus mendapatkan ijin dari
Raja dan tergantung tanah mana yang digunakan. Jika tanah yang
digunakan Sultan Ground harus mendapatkan ijin dari Sultan, tetapi jika
tanah yang digunakan Paku Alaman Ground harus mendapatkan ijin dari
Paku Alam.
4. Aspek filosofis, tanah keraton itu juga digunakan untuk kepentingan
umum atau kepentingan pembangunan. Untuk proses administratif yuridis
dan sosiologisnya sama yaitu harus mendapatkan ijin dari Raja. Seperti
contohnya Kampus UGM sebenarnya tanah Kasultananan, tetapi tidak
diberikan jangka waktu oleh Sultan.
Tanah Kasultanan itu tidak hanya ada di kota Yogyakarta saja, ini ada juga di
kabupaten-kabupaten. Juga dapat digunakan oleh masyarakat dengan status diberikan
hak pakai, hak sewa dan intinya harus mendapatkan ijin. Sekalipun sudah diberikan
ijin untuk didirikan tempat tinggal, maka sebenernya tidak boleh dengan bangunan
permanen. Karena takutnya keraton akan menggunakan / menggembangkan tanah
tersebut.
Sejak Keppres 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di
DIY diberlakukan, jika dipersandingkan dengan UUPA seharusnya insturksi
Gubernur tersebut sebenarnya sudah tidak berlaku. Tetapi sampai sekarang pun
belum bisa diberikan tanah dengan status HM bagi WNI suku Tionghoa.
Dalam Pasal 9 UUPA yang menganut asas nasionalitas, Pasal 9 ayat (1)
menyatakan: semua warga negara indonesia dapat mempunyai hubungan yang
penuh dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Kemudian dalam pasal 9 ayat (2)
83
menyatakan: tiap-tiap warga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Penyebutan WNI dalam UUPA ini adalah WNI Tunggal, sehingga tidak membedakan
dalam WNI keturunan Tionghoa atau WNI asli (Pribumi), tetapi tetap saja tidak
diperbolehkan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY.
Tetapi kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan
pinjam nama WNI asli (pribumi) agar dapat memiliki tanah dengan status HM di
DIY. Selain itu juga ada WNI keturunan Tionghoa yang menguruskan ke Notaris /
PPAT untuk melegalkan perjanjian tersebut. Yang dibelakang perjanjian itu ada
perjanjian antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), bahwa ada
peminjaman nama dari WNI asli (pribumi) untuk mendapatkan tanah dengan status
HM. Tetapi jika dilanjutkan berbahaya untuk aspek yuridisnya, karena orang yang
dipinjam namanya itu belum tentu mempunyai itikat baik, dan bagaimanapun juga hal
tersebut tetap saja jelas tidak diperbolehkan karena merupakan pelanggaran,
meskipun perjanjian itu diatas sertifikat boleh dilakukan.
Sejak berlakunya UUPA, jika dibaca dalam peraturan pelaksanaanya UUPA
yaitu UU No. 56 Prp. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kemudian ada
batas penetapan maksimum dan minimumnya, tetapi itu diatur hanya untuk 1 (satu)
keluarga tidak mencakup badan hukum. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diatur lebih lanjut dengan PP No. 224 Tahun
1961. Kemudian dalam UUPA diktum 4 A menyebutkan; tanah Swapraja dan tanah
bekas Swapraja itu sejak berlakunya UUPA menjadi tanah negara. Kemudian diktum
B menyebutkan; ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ketentuan diktum A akan
diatur lebih lanjut dalam PP. PP yang dimaksudkan adalah PP No. 224 Tahun 1961.
Sekarang jika dilihat dalam ketentuan PP No. 224 Tahun 1961 itu ada obyek
landerform, itukan tanah negara, tanah bekas-bekas swapraja, tanah-tanah yang
melebihi batas maksimum, tanah-tanah yang melanggar larangan tanah adat. Tetapi
tanah swapraja belum diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Yang dimaksud
84
dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak
menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan
pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah
swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat
seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY.
Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan
sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah.
Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat
yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA.
Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari
sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada
perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja.
Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI
keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang
biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan
aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di
seluruh wilayah DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota).
Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa
dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama (balik nama) ke
kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi). Akan tetapi
menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama (balik nama) ke kerabat atau orang
yang berwarga negara indonesia asli (pribumi) tersebut tidak menjamin kepastian
hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris / PPAT, karena hal
pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh
hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat
baik atau buruk.
Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan
HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus
85
melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut
memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif.
Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah
terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas
dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan
WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam
materi (kekayaan), karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan
Tionghoa. Oleh karena itu Sultan (Raja) lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat
pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial.
Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul
dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru (UU No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia), tetap saja larangan pemilikan HM
atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih
diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara
WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama
telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.
Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait
dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di
DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.
Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan
pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan
bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris / PPAT. Bahwa
menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan
Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris / PPAT yang
banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY.
Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan
Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT tidak akan berani
menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY,
86
jika ketahuan ijin praktek Notaris / PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar
kode etik.
2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah
Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik.
Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang
terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan
Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga
melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili
di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan
masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut.
Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang
mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas
tanah tersebut, diantaranya:
1. Bpk Budi Santoso7
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005
tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di
Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta,
kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM.
Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto
Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus
HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan
menggunakan atas nama ayahnya.
Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi
berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah
7 Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2010
87
dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), yang sebenarnya adalah WNI
keturunan Tionghoa.
Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang
bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso,
Notaris / PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki
oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan
statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas
sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip
dengan WNI asli (pribumi). Notaris / PPAT menawarkan akan membantu dan dengan
diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi
Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris / PPAT pada saat pengurusan hak
atas tanah tersebut ke BPN.
Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika
masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak
dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan
menjadi HGB.
2. Bpk Bambang Riyanto8
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan
berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman.
Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI
keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY (kepala
daerah), yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX.
Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada
yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB.
Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli
tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah
8 Wawancara, 19 Februari 2012.
88
pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan
turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan
dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa,
sedangkan jika WNI asli (Pribumi) yang membeli tanah perumahan tersebut status
tanahnya tersebut tetap dengan HM.
Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena
dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dan dengan membayar (memberikan)
uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB.
Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status
HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut
oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa
memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya
bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa
memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau
BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status
HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.
Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN
diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB
yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama.
Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI
keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang
berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah,
berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut
setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas
tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya
permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut.
Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB
menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang
berstatus HM.
89
Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika
dibeli oleh WNI asli (pribumi) status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM
kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status
tanahnya tersebut tetap berstatus HGB.
WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran
hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan
larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli
dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika
WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status
tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status
HM.
Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun
pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah
yang lainnya.
3. Bpk Oey Meng Hoi9
Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan
berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY.
Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia
(SKBRI), meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan
nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi
menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.
Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi
pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status
kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI
9 Wawancara pada tanggal 30 Maret 2010.
90
keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat
diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli (pribumi) yang jika membeli
rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM.
Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan /
kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang
belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI
keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat
diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM.
Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin
membeli tanah / rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama (pinjam
nama) dari WNI asli (pribumi).
4. Ibu Imelda10
Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak
tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan
Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY.
Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di
Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli (pribumi), dengan status
HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris /
PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB.
Menurut keterangan dari Notaris / PPAT bahwa bagi WNI keturunan
Tionghoa yang ingin membeli / memiliki tanah dengan status HM tidak
diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja.
Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat
Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak
atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.
10 13 Wawancara pada tangga 13 November 2010.
91
Beliau tidak mengurus atau mengajukan permohonan peningkatan hak atas
tanah dari status HGB menjadi status HM, bahwa hasilnya akan sama saja yang
diperoleh, status tanahnya yang diperoleh tetap hanyalah HGB saja jika mengajukan
permohonan peningkatan hak atas tanah menjadi HM.
5. Bpk Antony Lee11
Dalam harian kompas 8 September 2009; surat pembaca harian kompas :
status hak milik tanah bagi WNI pribumi dan keturunan – Antony Lee, Perum
Jangkang C 60, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Bahwa pada Juli 2009, saat
mengurus jual beli tanah seluas 126 m² pada seorang Notaris di Sleman, Yogyakarta,
keIndonesiaan saya kembali dipertanyakan. Notaris mengatakan, karena ada embel-
embel “Lee” status yang semula Hak Milik harus diturunkan menjadi Hak Guna
Bangunan. Alasannya, ada Instruksi dan Surat Edaran Gubernur DIY 1975 yang
hingga kini belum dicabut. Intinya, warga negara keturunan belum diperkenankan
memiliki hak milik, bila dipaksakan mengajukan hak milik, Badan Pertanahan
Nasional akan menolak menerbitkan Sertifikat. Saya berdalil, pada tahun 1984
Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan penuh UU Pokok Agraria tahun
1960. Ditambah lagi, sejak tahun 2006 disahkan UU Kewarganegaraan yang tidak
lagi mengenal istilah Pribumi dan non Pribumi. Akhirnya saya menuruti Notaris itu,
dengan mengeluarkan uang tambahan, yang disebutnya perlu adanya pajak dan biaya
tambahan pengurusan. Saya tidak bermaksud mengutak-atik kearifan lokal ini.
Namun, saya tergelitik pertanyaan, apakah Undang-Undang dikalahkan dengan
Instruksi? Lepas dari itu, rasa sakit yang lebih mendera, hati saya kembali bertanya,
sudah sepenuhnya Indonesia-kah saya?
Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI
keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya
11
http://www.scribd.com/doc/33264088/Aturan-UU-Diskriminatif, Kompas 8 September 2009, Surat Pembaca : Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan; Antony Lee.
92
diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut
merupakan kebijakan dari Sultan (Raja).
Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat
memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris
/ PPAT dengan memberikan uang tambahan.
Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto
adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah
menggunakan nama indonesia dalam identitasnya (tidak menggunakan nama
Tionghoa), karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu
pengurusannya oleh Notaris / PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di
DIY tetap tidak bisa.
Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee
mengakui membeli tanah HM WNI asli (pribumi) tetapi pada saat pengurusan jual
beli di Notaris / PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM
berubah (diturunkan) menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris /
PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di
DIY.
Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda
adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli (pribumi) yang awalnya
berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau
mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM
dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM
karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa.
Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat
perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi
Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya
yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya
dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan
perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi). Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang
93
sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah
dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain
itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa.
B. ANALISIS.
1. Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah
Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menarik untuk dicermati, bahwa masih diberlakukannya larangan
kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY yang hal
tersebut bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional Indonesia,
menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA termasuk HM
atas tanah adalah hak bagi warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh pemerintah
maupun individu, karena setiap hak atas tanah tersebut bertujuan untuk
mensehjahterakan warga negara indonesia. Oleh karenanya hal ini harus dilindungi
oleh Negara, yang pelaksaanaanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. (2) UUPA
yang mengatur tentang hak menguasai dari Negara, yang menyatakan : atas dasar
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara ini
memberikan wewenang kepada Negara untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
94
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3), menyatakan: “wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.”
Hak menguasai dari Negara tersebut pelaksanaanya dapat juga dikuasakan
kepada Daerah-daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, hal tersebut terdapat
dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA.
Atas dasar hak menguasai dari Negara tersebut, ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum.
Macam hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan tertuang dalam
Pasal 16 UUPA, yang dapat dimiliki tersebut ialah: hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak hak membuka tanah, hak memungut hasil
hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 (hak gadai,
hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian).
Terkait dengan pemberlakuan UUPA di Indonesia seharusnya tidak ada
perbedaan antar daerah atau propinsi lainnya, tetapi di DIY mempunyai keistimewaan
yang sampai sekarang masih berjalan meskipun bertentangan dengan UUPA sebagai
hukum agraria nasional. Keistimewaan yang dimiliki DIY tersebut terkait dengan
pengaturan pertanahan yaitu dengan masih berlaku dan belum dicabut hingga
sekarang ini aturan pertanahan tersebut yang tertuang Surat Edaran Gubernur DIY
No. K.898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada
seorang WNI Non Pribumi.
95
Isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut adalah : “apabila ada warga
negara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya
diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga
tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah
Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan
permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”.
Unsur pelepasan HM yang terdapat dalam Surat Edaran Gubernur DIY
tersebut berbeda dengan unsur pelepasan hak pada umumnya yang digunakan dalam
hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum,
seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pengertian dari Pelepasan Hak menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 2 Tahun
2012 ini, adalah: kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak yang Berhak
kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.
Bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang diatur dalam UU
ini dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya
dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tujuan dari Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum ini untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesehjahteraan dan kemakmuran bangsa, negara
dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Pihak
yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terkait dengan
penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Bahwa terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan
dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dalam hal ini yang berhak
melakukan penilaian Ganti Kerugian adalah Lembaga Pertanahan dengan
menetapkan penilai yang bertujuan untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan
96
Tanah. Penilaian Ganti kerugian oleh penilai tersebut dilakukan bidang per bidang
tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d)
tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang
dapat dinilai. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai tersebut merupakan nilai
pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum,
yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang kemudian digunakan untuk
menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang; (b) tanah
pengganti; (c) pemukiman kembali; (d) kepemilikan saham; atau (e) bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak.
Dari hasil kesepakatan dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau
besarnya Ganti Kerugian menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak
yang Berhak. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya
Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri setempat. Bila mana keberatan kepada pengadilan negeri belum tercapai
kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian maka Pihak yang
Berhak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa putusan
pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Terkait dengan pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah
diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal Pihak yang Berhak
menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah
atau putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan
di pengadilan negeri setempat.
Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti
Kerugian wajib: (a) melakukan pelepasan hak; dan (b) menyerahkan bukti
penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang
memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.
97
Penyerahan hasil pengadaan tanah oleh Lembaga Pertanahan kepada Instansi
yang memerlukan tanah barulah dapat dilakukan setelah: (a) pemberian Ganti
Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan pelepasan hak telah dilaksanakan; dan/atau
(b) pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.
Sedangkan pelepasan HM yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY
tersebut tidak ada unsur pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi yang ada
adalah pelepasan hak milik atas tanah yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa
supaya menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh pemerintah daerah DIY,
dan setelah WNI keturunan tersebut melakukan pelepasan HM atas tanahnya barulah
dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru kepada Kepala Daerah DIY
selain HM atas tanah, misalnya seperti HGB atau HP. Meskipun pelepasan HM
menjadi hak atas tanah yang lain tersebut dalam Surat Edaran Gubernur dikatakan
dilakukan dengan suka rela, tetapi sesungguhnya (faktanya) pelepasan hak tersebut
dapat dikatakan memaksa karena tidak ada persetujuan atau keinginan dari
pemengang hak untuk melepaskan HM atas tanahnya tersebut. Dapat dilihat bahwa
hal ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah DIY dan tidak ada
musyawarah dari kedua belah pihak. Selain itu pemegang hak juga tidak
mendapatkan perlindungan atau bantuan hukum atas pelepasan HM tersebut.
Dampak dari masih diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut yaitu
bahwa WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli, memiliki atau memerlukan
tanah di DIY dengan status HM tidak diberikan, sedangkan hanya diberikan status
tanah dengan HGB saja. Meskipun sebenarnya menurut hukum WNI keturunan
Tionghoa tersebut telah sah sebagai warga negara indonesia (WNI).
Sebenarnya Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal :
Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi,
tidak tepat diberlakukan lagi di DIY. Karena pada tanggal 1 April 1984 telah
dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan
Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 3
98
Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa urusan
diserahkan kepada propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan
otonom, sehingga Undang-undang No. 5 Tahun 1960 sejak diundangkan sampai saat
ini belum berlaku secara penuh di Daerah tersebut. Tetapi sesuai dengan pernyataan
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 (UUPA) secara penuh, maka agar pelaksanaan Undang-Undang No.5
Tahun 1960 dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu untuk
menetapkan pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Dengan keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tersebut bahwa Undang-
Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan
pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh wilayahnya berarti 4 kabupaten yaitu Sleman,
Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan 1 Kota yaitu Yogyakarta.
Setelah dikeluarkannya Kepres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan
Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (Perda DIY) No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Bahwa dalam pertimbangan Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tersebut Gubernur
DIY telah menyatakan bahwa sesuai dengan tekat Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta beserta aturan pelaksanaanya sebagaimana terwujud dalam Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Istimewa
99
Yogyakarta, dan Keputusan Daerah Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul kepada Presiden Republik
Indonesia untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan secara
penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) di Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 beserta
aturan-aturan pelaksanaannya di seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta ini, pengurusan agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi
beralih menjadi wewenang dekonsentrasi. Maksudnya, bahwa Pemerintah Daerah
DIY diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri, yang terkait dengan pengaturan
pertanahan di DIY. Tetapi atas usul yang diajukan oleh Kepala Daerah DIY
(Gubernur DIY) kepada Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk
memberlakukan sepenuhnya UUPA di propinsi DIY yang bertujuan agar terjadi
keseragaman, kesatuan, dan kepastian hukum. Maka kewenangan otonomi yang
dimiliki Pemerintah Daerah DIY yang mengatur soal pertanahan selain UUPA tidak
diberlakukan lagi di DIY, melainkan hanya UUPA sebagai hukum agraria nasional
yang diberlakukan di DIY seperti propinsi lainnya di Indonesia.
Tanah-tanah di DIY yang tidak termasuk diatur dengan UUPA yaitu tanah-
tanah Hak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman
(Sultan Ground dan Paku Alaman Ground) yang selama ini belum dilepaskan, masih
Hak Milik atau merupakan domain bebas dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Paku Alaman. Tanah tersebut adalah tanah milik Raja yang memiliki nilai historis
yang panjang, dan menggunakan aturan-aturan Rijksblad untuk mengatur urusan
pertanahannya. Sedangkan tanah-tanah yang sudah diatur dengan UUPA adalah
hanyalah tanah-tanah yang kewenangannya telah diserahkan kepada pemerintah
ataupun tanah-tanah bekas hak barat yang telah dikonversi, yang telah menjadi tanah
Negara.
100
Kenyataannya memang sampai berlaku UUPA di DIY sekarang ini, Surat
Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 belum dicabut secara tegas. Tetapi dengan
diberlakukannya Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan Daerah
Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis, bahwa alasan Sultan
mengeluarkan Surat Edaran Gubernur DIY terkait dengan larangan pemilikan hak
milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut alasannya sangat politis,
karena pada jaman dulu Sultan (Raja) memikirkan kesehjahteraan bagi WNI asli
(pribumi). Karena takut tanah di DIY dikuasai semua oleh WNI keturunan Tionghoa
yang alasannya karena WNI keturunan Tionghoa lebih kaya dalam materi
dibandingkan WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan Tionghoa juga pandai melihat
tanah yang berprospek untuk berkembang. Menurut penulis alasan Sultan yang
masih memberlakukan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa
dengan dasar pertimbangan kondisi ekonomi tidak tepat diberlakukan, karena
seharusnya dasar yang digunakan untuk memberikan pertimbangan hak atas tanah
kepada seorang warga negara harus berdasarkan pada subyek hukumnya yang
terdapat dalam UUPA. Yaitu berdasarkan atas asas persamaan hak, yang tertuang
pada Pasal 9 ayat (2) UUPA, bahwa pasal ini menempatkan subyek hukum baik laki-
laki maupun perempuan tidak dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh
kenikmatan atas BARA (termasuk pula pemilikan tanah dengan HM di Indonesia).
Bahkan pasal ini juga tidak membedakan golongan atau suku, sehingga UUPA tidak
menerapkan diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan (suku) karena
bertentangan dengan rasa keadilan bangsa indonesia ataupun HAM. Selain itu juga
bahwa setiap warga Negara Indonesia, baik WNI keturunan Tionghoa dan WNI asli
(pribumi) sama-sama memiliki hak dan kewajiban tanpa adanya perbedaan.
101
Jika memang yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan
hak atas tanah bagi warga negara adalah dengan pertimbangan ekonomi, maka hal ini
dapat dikatakan diskriminasi.
Dengan telah berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini, maka aturan larangan
kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak tepat lagi
jika masih diberlakukan di DIY. Karena dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA,
menyatakan: “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan
yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Dan ketentuan Pasal 21
ayat (1) UUPA menyatakan: “Hanya warga negara indonesia dapat mempunyai hak
milik”. Oleh karena hak milik ini merupakan hak yang terpenuh dan terkuat atas
tanah maka ditentukan bahwa hak ini disediakan bagi warga negara indonesia saja.
Hanya orang-orang asing (WNA) saja yang tidak diperbolehkan untuk mempunyai
hak milik ini.
Pengertian dari warga negara Indonesia yang dianut dalam UUPA ini adalah
pengertian warga negara Indonesia dalam arti kata WNI tunggal, tidak membedakan
antara warga negara Indonesia asli (Pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa.
Karena hanya mereka yang berstatus WNI, tetapi disamping itu masih mempunyai
kewarganegaraan lain (berkewarganegaraan ganda) dalam hal ini oleh UUPA
dipersamakan dengan orang asing (WNA), dan berlaku ketentuan Pasal 31 ayat (3)
UUPA yang menyatakan: “orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta
perkawinan, demikian pula warga negara indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut
lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung”.
102
Sedangkan pada kenyataannya, mereka yang WNI keturunan Tionghoa tidak
dapat memiliki HM atas tanah di DIY meskipun mereka telah sah menurut hukum
dianggap sebagai warga negara indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap saja hanya
diberikan HGB. Dapat diartikan bahwa WNI keturunan Tionghoa jika membeli atau
memiliki rumah di DIY hanyalah membeli atau memiliki bangunannya saja, tidak
beserta dengan tanahnya, karena tanahnya adalah milik Pemerintah Daerah DIY.
Setiap WNI keturunan Tionghoa tersebut jika membeli tanah atau rumah milik WNI
asli (Pribumi) awalnya harus melepaskan HM atas tanahnya tersebut dan barulah
dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru tetapi selain HM, yang
biasanya hanya diberikan HGB saja. WNI keturunan Tionghoa sebagai Pemegang
HGB tersebut juga harus melakukan perpanjangan haknya yang jangka waktunya
paling lama 30 tahun, dan tidak dapat memohonkan peningkatan hak atas tanah dari
HGB menjadi HM. HGB ini berbeda dengan HM karena HM tidak perlu melakukan
permohonan perpanjangan hak.
Dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa dimungkinkan memiliki atau
dapat mengajukan tanah dengan HM tetapi harus mempunyai “surat kekancingan”
dari Keraton yang dikeluarkan oleh Sultan. WNI keturunan Tionghoa yang
mendapatkan surat kekancingan tersebut biasanya memiliki hubungan kekerabatan
dengan Keraton atau biasanya ada keturunan dari keluarga Keraton, maka barulah
dapat diberikan tanah dengan HM dengan surat kekancingan tersebut. Jika tidak
mempunyai surat kekancingan maka tidak dapat mempunyai tanah dengan HM.
Tetapi apabila tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan pembangunan atau
kepentingan Pemerintah / Keraton maka tanah tersebut harus dilepaskan.
Berdasarkan prinsip Equality Before The Law, masih berlakunya larangan
pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak menjamin kepastian
hukum bagi warga negara, khususnya WNI keturunan Tionghoa. Karena sudah
seharusnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara indonesia berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum, tanpa adanya pembedaan dari pihak manapun termasuk
103
perbedaan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena sesungguhnya
setiap orang yang dianggap sebagai warga negara berhak mendapatkan kesempatan
yang sama atas tanah di Indonesia, yang juga keberadaan tanah adalah karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan atau
kemakmuran rakyat. Negara hanyalah diberikan hak menguasai bukanlah sebagai
pemilik atas tanah di Indonesia. Hak menguasai tersebut hanya untuk mengatur
terkait pengaturan tanah di Indonesia agar tercapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Tujuan diberlakuakannya UUPA di DIY tersebut adalah agar terjadi
keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum terkait dengan pengaturan agraria di
DIY. Oleh karena itu, bahwa demi adanya keseragaman, kesatuan dan kepastian
hukum perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukannya Rijksblad-Rijksblad,
Peraturan Daerah - Peraturan Daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan
daerah lainnya tentang Agraria di DIY, sehingga hanya peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) beserta, aturan pelaksanaannya yang berlaku, dengan menetapkan
Peraturan Daerah DIY tentang Pelaksanaan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setiap propinsi di Indonesia melalui pemerintah daerah memang diberikan
kewenangan untuk membuat peraturan daerahnya sendiri guna untuk menunjang dan
memajukan pemerintahan daerahnya, akan tetapi peraturan daerah yang dibentuk
tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi,
seperti UUD 1945 ataupun Undang-Undang.
Tetapi karena UUPA merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional,
sudah dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan Hukum Tanah, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis, yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Termasuk pula
aturan larangan pemilikan HM atas tanah di DIY bagi WNI keturunan Tionghoa yang
tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut, bahwa telah bertentangan dengan
104
“asas persamaan hak”, yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah. Kesempatan setiap warga negara yang sama
tersebut ditujukan baik bagi laki-laki atau perempuan dan/atau bagi WNI asli
(pribumi) dan WNI keturunan, yang sama-sama telah menjadi warga negara untuk
dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia.
Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi
kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk
mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA
tersebut, yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal itu memuat pula ketentuan bahwa
dalam hal ini pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita.
Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita
ataupun orang-orang laki mempunyai tanah dengan hak milik bertentangan pula
dengan ketentuan UUPA tersebut12
Dengan pemahaman bahwa tidak boleh ada peraturan yang bertentangan
dengan peraturan UUPA ini, maka sudah seharusnya jika di DIY ada aturan yang
tertuang dalam Surat Edaran Guberur yang melarang WNI keturunan Tionghoa
memiliki tanah dengan status HM seharusnya aturan tersebut tidak dapat
diberlakukan lagi, karena jelas-jelas bertentangan dengan “asas Nasionalitas” yang
terdapat didalam ketentuan UUPA, yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21
ayat (1). Pasal itu memuat bahwa dalam hal pemilikan tanah hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan BARA dan dapat
mempunyai hak milik atas tanah.
Hal ini sesuai dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni suatu
asas undang-undang yang dimana jika terjadi konflik / pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah maka undang-
undang yang lebih tinggilah yang berlaku sedangkan undang-undang yang lebih
12 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 213
105
rendah tidak mengikat, atau dengan kata lain peraturan yang lebih tinggi
mengalahkan / mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, tentu kedudukan
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di propinsi DIY lebih tinggi daripada
Surat Edaran Gubernur No.K.898/A/1975. Selain itu pemberlakuan larangan
kepemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak dapat diberlakukan
lagi karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam UUPA, yang disini
kedudukan UUPA lebih tinggi dibandingkan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan ini juga dapat dilihat dalam
Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Propinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Lebih jauh, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011; bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
106
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Larangan pemilikan HM yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan
Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, jika dilihat dan
diperbandingkan dengan aturan-aturan / hukum positif yang berlaku di Indonesia
selain bertentangan dengan hukum agraria nasional (UUPA), juga bertentangan
dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang diatur dalam UU
kewarganegaraan, UU HAM, dan UU penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Karena
bahwa sesungguhnya aturan terkait larangan pemilikan tanah dengan HM tersebut
jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif, dan mengurangi hak yang dimiliki
seseorang sebagai warga negara Indonesia yang pada dasarnya pemilikan HM atas
tanah di Indonesia yang diatur dalam UUPA tidak melarang dimiliki bagi WNI
keturunan Tionghoa, yang dilarang memiliki HM atas tanah di Indonesia hanyalah
warga negara asing (WNA) saja.
Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu setiap hal
yang berkaitan dengan warga negara diatur dengan hukum, termasuk pula hal yang
berkaitan dengan urusan pertanahan / agraria ataupun hak-hak dan kewajiban
seseorang sebagai warga negara harus pula diatur dengan Undang-Undang.
Hak seseorang sebagai WNI juga dijamin didalam Konstitusi Republik
Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) sebagaimana disebut dalam Pasal 27 ayat
(1) bahwa: ”segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Sehingga, tidak boleh ada diskriminasi, karena kedudukan setiap warga
negara adalah sama. Dipertegas pula didalam Pasal 28 D ayat (1), bahwa ”setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Sedangkan dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, menyatakan bahwa: “setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil secara sewenang-wewang oleh siapapun”. Kepemilikan hak milik yang
107
dimaksudkan tersebut juga menyangkut kepemilikan hak milik atas tanah yang dapat
dimiliki seseorang sebagai warga negara Indonesia.
Berkaitan dengan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, hal ini termaktub dalam bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 inipun yang menjadi dasar pembentukan dari
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA). Lahirnya UUPA ini adalah sebagai dasar dari pengaturan agraria nasional.
Hadirnya UUPA sebagai hukum agraria nasional ini memiliki tujuan pokok
yang ingin dicapai, diantaranya meliputi:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang
adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat keseluruhan.
Jika melihat ketentuan dalam UUPA, Jelas dari Ketentuan bunyi Pasal 9 ayat
(1) UUPA, menyatakan bahwa: “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan pasal 1 dan 2”. Pernyataan dasar tersebut mendapat penerapan dalam
pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai hak yang memberikan
hubungan yang terpenuh dengan tanah.13
Selain itu, juga dipertegas dalam bunyi Pasal 21 ayat (1) UUPA, menyatakan:
“hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Ketentuan ini
13 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 219
108
merupakan penjabaran asas kebangsaan / prinsip nasionalitas / dasar kenasionalan.14
Sebagaimana juga yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, hanya warga
negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air,
dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Penjelasan Umum II
(5) UUPA antara lain, menegaskan: “sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam
Pasal 1 maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya warga negara Indonesia
saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah”.
Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA, Oleh pemerintah juga ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
Pengaturan dari badan-badan hukum yang dapat diberikan hak milik oleh pemerintah
ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang
Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, diantaranya:
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;
c. Badan-Badan Keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertaniaaan / Agraria
setelah mendengar Menteri Agama;
d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah
mendengar Menteri Kesehjahteraan Sosial.
Sedangkan bagi orang asing dan badan-badan hukum asing pada dasarnya
tidak dapat menguasai tanah dengan hak milik. Hanya dalam hal-hal tertentu orang
asing dimungkinkan memperoleh tanah hak milik dan itu pun dibatasi hanya selama 1
(satu) tahun. Larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi orang asing tertuang
dalam Pasal 21 ayat (3), bahwa: Orang asing yang sesudah berlakunya undang-
undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran
harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai