36 BAB III ETIKA PERKAWINAN MANGKUNEGARA IV A. Biografi Mangkunegara IV Mangkunegara IV hidup pada tahun 1811-1881. Ia dilahirkan pada hari Senin Pahing tanggal 8 Sapar tahun Jimakir Windu Sancaya 1738 atau tahun Masehi 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Raden Mas Sudira atau Mangkunegara IV adalah cicit (cucu dari cucu) almarhum Mangkunegara I atau Raden Mas Said. Dia adalah cucu dari almarhum Mangkunegara II atau Hadiwijaya. 1 Kakek Sudira dari pihak ayah adalah Hadiwijaya yang bertempat tinggal di Kartasura yang kemudian karena gugur dalam pertempuran melawan kompeni Belanda di Kaliabu, maka terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda Kaliabu (Hadiwijaya yang gugur di Kaliabu). Kekeknya dari pihak ibu adalah Mangkunegara II, anak kandung Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Said atau Pengeran Samber Nyawa. Sejak usia sepuluh tahun Mangkunegara IV mendapat pelajaran kesusastraan. Pada usia lima belas tahun ia mendapat prajurit legiun Mangkunegaran. Ia dididik kakeknya Mangkunegara II. Setelah berumur sepuluh tahun, oleh kakeknya ia diserahkan kepada sarengat alias pangeran Rio, saudara sepupu yang kelak menjadi Mangkunegara III. Pengeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudira tentang membaca, menulis berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya. Lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pengeran Rio. Usia 22 tahun dia dinikahkan dengan putri Kanjeng Pangeran Harya Suryamataram. 2 Pada usia mudanya ia sangat tertarik pada pelajaran agama, lalu ia berguru kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji. Dalam hal 1 Suwaji Bastomi, Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII, IKIP Semarang Press, Semarang, 1996, hlm. 55 2 Ibid., hlm. 55
22
Embed
BAB III ETIKA PERKAWINAN MANGKUNEGARA IV A. Biografi ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · 1Suwaji Bastomi, Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
36
BAB III
ETIKA PERKAWINAN MANGKUNEGARA IV
A. Biografi Mangkunegara IV
Mangkunegara IV hidup pada tahun 1811-1881. Ia dilahirkan pada
hari Senin Pahing tanggal 8 Sapar tahun Jimakir Windu Sancaya 1738 atau
tahun Masehi 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Raden Mas
Sudira atau Mangkunegara IV adalah cicit (cucu dari cucu) almarhum
Mangkunegara I atau Raden Mas Said. Dia adalah cucu dari almarhum
Mangkunegara II atau Hadiwijaya.1 Kakek Sudira dari pihak ayah adalah
Hadiwijaya yang bertempat tinggal di Kartasura yang kemudian karena
gugur dalam pertempuran melawan kompeni Belanda di Kaliabu, maka
terkenal dengan sebutan Hadiwijaya Seda Kaliabu (Hadiwijaya yang gugur
di Kaliabu). Kekeknya dari pihak ibu adalah Mangkunegara II, anak
kandung Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Raden Mas Said
atau Pengeran Samber Nyawa. Sejak usia sepuluh tahun Mangkunegara IV
mendapat pelajaran kesusastraan.
Pada usia lima belas tahun ia mendapat prajurit legiun
Mangkunegaran. Ia dididik kakeknya Mangkunegara II. Setelah berumur
sepuluh tahun, oleh kakeknya ia diserahkan kepada sarengat alias pangeran
Rio, saudara sepupu yang kelak menjadi Mangkunegara III. Pengeran Rio
diserahi tugas untuk mendidik Sudira tentang membaca, menulis berbagai
cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya. Lima
tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pengeran Rio. Usia 22
tahun dia dinikahkan dengan putri Kanjeng Pangeran Harya Suryamataram.2
Pada usia mudanya ia sangat tertarik pada pelajaran agama, lalu ia
berguru kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji. Dalam hal
1Suwaji Bastomi, Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1996, hlm. 55 2Ibid., hlm. 55
37
ini ia didorong oleh perasaan cemas tentang kehidupan pada hari akhir
kelak. Namun belum cukup sempurna menuntut pelajaran agama, ia telah
dipanggil untuk menerima tugas mengabdi kepada pemerintah.3
Pancaran kewibawaan dari R.M.H. Gandakusuma menyebabkan
beliau mendapat kepercayaan, terpilih menjadi pembantu terdekat dan
terpercaya Sri Mangkunegara III. Pada awalnya diangkat menjadi Pepatih
Dalem, kemudian diangkat menjadi Ajudan Dalem, dan terakhir ditetapkan
menjadi Komandan Infanteri Legiun Mangkunegaran dengan pangkat
mayor. Selanjutnya dijadikan menantu dan dikawinkan dengan puteri sulung
K.G.P.A.A. Mangkunegara III yang bernama B.R.AJ. Dhunuk.4 Pada usia
43 tahun diangkat untuk menggantikan Mangkunegara III yang wafat, dan
diberi gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Prabu Prangwadana.
Karena kepribadiaannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya
luas, kewibawaannya dalam keprajuritan, keterampilannya dalam
pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya.
Mangkunegara IV wafat Pada tanggal 8 Sapar tahun Jimakir yang
bertepatan dengan tanggal 2 September 1881 Sri Mangkunegara IV wafat di
Surakarta dan jenazahnya dimakamkan di Astana Girilayu.5 Dalam usia 70
tahun 1811-1881 tiga hari setalah hari meninggalnya, pada tanggal 5
September 1881 diangkat penggantinya bernama Suyitno dan semua
bergelar orang wadana sebelum menjadi Mangkunegara V, anak tertua dari
permaisuri yang berasal dari puteri Mangkunegara III.
Berbagai tanggapan bermunculan berkenaan dengan meninggalnya
Mangkunegara IV, satu diantaranya dari C.A.L.J. Jeekela Residen Surakarta.
Dia, menyatakan bahwa : Mangkunegara IV bukan saja pemimpin pribumi
yang berkemampuan luar biasa, tetapi juga contoh yang jarang ditemukan di
3Moh. Ardani, Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang),
Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hlm. 14 4Yusro Edi Nugroho, Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respons
Pembaca, Mimbar Offset, Yogyakarta, 2001, hlm. 20-21 5Ibid., hlm. 21
38
kalangan mereka yang bersemangat tinggi dan mampu bekerja secara
sistematis, ia benar-benar ahli dalam menerapkan metode bangsa Eropa.
Mangkunegara IV mempunyai arti yang amat besar, bukan saja bagi
kerajaan Mangkunegara, tetapi juga bagi Gubernamen Belanda. Dengan
meninggalnya Mangkunegara IV, pemerintah belanda merasa kehilangan
seorang tokoh terkemuka pribumi, seorang yang pantas disebut manusia
besar. Seorang yang setia menempati janji, seorang kepala pemerintahan
yang cakap dan berkemampuan keras dan giat bekerja, seperti yang
diungkapkan dalam laporan Verslag 1882.6
Prestasi yang diperoleh Mangkunegara IV antara lain :
1. Bidang tata pemerintahan, mempertegas batas wilayah Mangkunegaran.
2. Bidang pertahanan militer mengharuskan setiap kerabat Mangkunegaran
yang telah dewasa untuk bekerja sebagai pegawai raja, yakni setelah
mengikuti pendidikan militer 6 sampai 9 bulan.
3. Bidang ekonomi mendirikan pabrik-pabrik yang mendatangkan hasil
seperti pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu pabrik bungkil di
Polokarto, pabrik genteng, kebun karet dan sebagainya.
4. Bidang sosial budaya terkenal sebagai raja yang amat menyukai nilai-
nilai budaya luhur. Bahkan beliau mengarang buku-buku sastra, tarian
jawa dan penciptaan gamelan yang amat besar. Beliau seperguruan
dengan Raden Ngabehi Ranggawarsita.
B. Karya-Karya Mangkunegara IV
KGPAA Mangkunegara IV memerintah kerajaan Surakarta dari
tahun 1864-1881. Dia dikenal sebagai pujangga besar yang sejajar dengan
Ronggowarsito. Atas prakarsa KGPAA Mangkunegara VII, semua karyanya
diterbitkan dalam bentuk Serat Anggitan, dan di tulis dengan huruf jawa.
Mangkunegara IV dikenal sebagai pemikir dan sastrawan jawa yang
hidup pada tahun 1811-1881. Pemikiran-pemikirannya termuat dalam serat
6Moh. Ardani, op.cit., hlm. 25-26
39
piwulang. Dalam khasanah sastra jawa ada berbagai macam bentuk tiga
jenis syair tembang yaitu : tembang mocopat, tembang tengahan dan tembah
kena den mupakatken sasami, wuruk neng karsanira.9
Terjemahan dari R.M.T Soemarso Ponjosoejitro Abdi Dalam Keraton
Mangunegaran Surakarta pada tanggal 4 September 2003.
1. Waranyagnya memaparkan suri tauladan dituangkan dalam tembang
macapat dhandangula di tulis pada hari senin 22, bulan saban (ruwah)
tanggal 11 tahun Be, 1415 (seribu empat ratus lima puluh satu tahun jawa).
Jeng gusti pangeran dipatya arya prabu prangwadana mengatakan
(menganjurkan) pada para putra.
2. Laki-laki dan perempuan tentang prekawinan begitu pula para jejaka
kemudian hari tentu akan beristri (kawin). Kemudian akan terikat aturan-
aturan tentang beristri jangan berlagak sebagai laki-laki berkuasa memiliki
apa yang menjadi hak wanita, perkawinan harus di jalankan dengan baik
menurut hukum perkawinan, kalau diabaikan akibatnya tidak baik.
3. Yang dilakukan priya zaman dulu bilamana akan mencari istri agar tepat
memilihnya jangan tergesa-gesa menuruti kata hati sebab kemungkinan
menyesal dikemudian hari, memang sunguh kalau orang laki-laki memiliki
wewenang (kuasa), kawin empat kali sehari menurut kehendak sendiri,
akan tetapi tidak demikian seharusnya.
4. Jadi tiada kebaikan mengabaikan ikhtiar hidup, apa yang akan diraih bila
tekadnya tidak terkendali, ilmu sorak diacak-acak, merosotnya harga diri,
mengabaikan keslamatan umpama terlaksana, kesengsaraan, akhirnya
menyesal kemudian, hakekatnya menyalahkan diri sendiri.
5. Jangan sampai demikian anakku, apa kabaikannya kalau mewndapat cacat
dari sesama, orang yang buruk kelakukannya, siapa yang punya anak
9Kama Jaya, Pilihan Anggitan KGPAA Mangkunegara IV, Yayasan Centhini,
Yogyakarta, 1992, hlm. 147-148
47
perempuan bolehkan jadi sitrimu, menurut saya kira-kira tidak ada, keciali
terdesak kebutuhan, apa kebaikannya diperistri saudagar orang India
(Bombay), lebih baik sebangsa karena tidak akan punya cucu encik hanya
itulah yang kau ciptakan (angan-anganku).
6. Ketahuilah penyesalan karena hanya dari 4 hal orang muda itu mudah
tertarik (kasmaran) pertama melihat kecantikan, kedua kekayaan, ketiga
kewibawaan (kedudukan), dan yang keempat pergaulan, rokok sirih (guna-
guna) dan kata-kata manis (memikat), dipikat supaya kasmaran (jatuh
cinta).
7. Akhirnya sungguh tergiur (kena) itu kebiasaan orang muda, banyak yang
kawin yang sebelumnya bukan kehendaknya, bilamana anak saya sedapat
mungkin kawinlah dengan cara yang baik, jangan kawin karena pengaruh
yang kurang baik, nistha kelihatannya, merendahkan orang tua ketahuilah
manusia hidup di dunia ini sedapat mungkin yang baik.
8. Pertama keslamatan diri, terhindar dari segala perkara, serta jangan
menyakiti hati orang lain (sesama), kedua terhindar dari penyakit, ketiga
jangan selalu, susah hatinya. Keempat mendapatkan (mempunyai) anak
laki-laki yang soleh (mursid) berbudi luhur sebagai benih melestarikan
keturunan.
9. Maka tidak mudah orang kawin itu, harus memilih wanita yang dapat
dijadikan teman sejati dalam hidupnya, sebagai sarana mendapatkan
keturunan, juga mencari sandang pangan, hitungannya ada (pedoman),
empat hal (pangeran) baik kau ketahui, pertama bobot, kedua bebet, ketiga
bibit, keempat tatariman (anugrah dari Raja karena jasa).
10. Empat ini juga menjadi teman, pertama rupa, kedua harta, ketiga wibawa
(kedudukan, kehormatan) keempat watak (budi pekerti). Mana saja yang
kamu minati jangan mangandai-andai sebab kalau menyesal, sekali
memilih wanita, tidak boleh dimufakatkan sesama, apa yang terbaik bagi
kehendakmu pribadi.
48
Penyampaiaan fatwa tersebut sudah didasarkan pertimbagan matang
dan jauh kedepan dan sekaligus sebagai perwujudan tanggungjawab atas
keberlangsungan “Trah Mangkunegara” yang baik, handal, terhormat dan
terpercaya. Hal itu menguatkan suatu sikap batin bahwa perkawinan
merupakan proses pembentukan keluarga pasutri (panunggalan suami istri)
yang diharapkan dapat membuahkan keturunan (trah, anak, titian Tuhan)
untuk menyambung kelangsungan sejarah keluarga khususnya maupun sejarah
manusia pada umumnya.
Pembinaan rumah tangga diarahkan kepada pencapaiaan tujuan
kesejahteran keluarga. Berumah tangga menuntut kedewasaan fisik mental dan
emosional, sehingga apabila terpenuhi aspek-aspek tersebut secara seimbang
tercapailah rumah tangga sejahtera. Seorang yang telah mencapai tingkat umur
dewasa, hendaklah menikah atas dasar pertimbangan kematangan nalar
(pemikiran) dan atas dasar kesadaran hukum atau peraturan yang berlaku.
Perkawinan merupakan suatu moment yang sangat penting sebagai
suatu tanda berakhirnya masa sendirian (lajang) dalam kehidupan seseorang.
Perkawinan yang merupakan ekspresi budaya itu mencerminkan bahwa
perkawinan bukan merupakan peristiwa yang biasa, akan tetapi merupakan
kejadian yang memiliki arti penting yang memerlukan seperangkat aturan-
aturan untuk melaksanakannya.
Pemikiran tentang etika perkawinan dapat dilihat dalam serat
Warayagnya. Serat Warayagnya ini menjelaskan sebuah etika perkawinan
yang terbentuk harus mempunyai dasar dan tujuan. Dasarnya adalah
kedewasaan nalar yang mendalam bukan semata-mata menuruti dorongan
nafsu biologis saja. Sebagaimana tertuang dalam Serat Warayagnya bait 2
berikut ini:
Kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami jajaka, tan wun tembe pikramane, marma tinalyeng wuwus, wasitane mengku pawestri, ywa dumeh yen wong priya, misesa andhaku, mring
49
darbeking wanodya, palakarama nalar lan kukum kang dadi, yen tinggal temah nistha.10
Dapat diartikan bahwa bagi putera dan putri yang telah dewasa yang
menghajatkan pedoman berumah tangga, demikian pula khususnya bagi yang
masih bujangan, apabila kelak tiba saat perkawinanya jangan asal bicara saja
tentang nikah, tetapi perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri,
jangan hanya karena kamu laki-laki, lalu merasakan berkuasa, terhadap harma
milik perempuan, berumah tangga itu yang dijadikan pedoman nalar yang
sehat dan hukum yang berlaku, jika keduanya ditinggalkan niscaya
mengakibatkan keniscayaan.
Pelaksanaan tanggung jawab dan pengambilan hak masing-masing
suami istri memerlukan kedewasaan agar terlaksana secara seimbang dan
serasi. Semua itu akan berjalan menurut semestinya, manakala keduanya
bukan saja mempunyai rasa cinta kasih, melainkan juga mempunyai
kematangan nalar dan kesadaran hukum yang menandai kedewasaannya
(palakrama nalar lan kukum kang dadi). Tidaklah mengherankan jika perkara
nikah memerlukan kedewasaan seperti yang diungkapkan diatas.
Selain itu dalam melaksanakan perkawinan tidak boleh tergesa-gesa
harus suka sama suka tanpa ada paksaan, dengan tujuan untuk
melangsungkan peradaban manusia yang berbudaya sesuai dengan aturan
agama. Membentuk rumah tangga hendaklah berhati-hati, teliti, niat yang
mantap, selalu berikhtiar yang bersifat lahiriah dengan mempertimbangkan
empat sifat yaitu: bobot, bibit, bebet dan tariman. Pesan-pesan ini
diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
Mula nora gampang wong arabi kudu milih wanodya kang kena
ginawe rewang uripe sarana ngudi tuwuh lan ngupaya kang sandang
10KGPAA. Mangkunegara IV, Piwulang Budi Luhur Jilid I, Drs. Harmanto Bratasiswara
(Peny), Kantor Rekso Pustaka Kabupaten Rekso Budaya Pura Mangkunegaran Surakarta Kerjasama Dengan The World Bank Jakarta, 1998, hlm. 1
bobot pindo bebet ping tri bibit kaping pat tariman.11
Dalam rangka penciptaan etika perkawinan, seseorang sebelum
menikah perlu mengindahkan cara memilih calon istri yang memenuhi empat
sifat: (bobot, bebet, bibit, dan tariman). Yang pertama kualitas diri (berbobot
dan bermutu), kedua kepribadiaan yang baik, ketiga keturunan, keempat
bersifat suka menerima apa yang ada (dengan tidak banyak tuntutan). Mencari
calon istri yang memenuhi empat sifat itu tidak mudah, namun harus ia
upayakan dengan segala kesungguhan hati, apabila ia ingin mendapatkan
teman hidup yang dapat membantu mencari nafkah dan akan melahirkan
keturunan.12
Persiapan itu dilakukan secara dini dan melalui satu urutan yang
panjang agar proses perkawinan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan.
Dalam adat jawa berlaku pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam
perkawinan, khususnya dalam memilih calon menantu.
Bibit yang dimaksud adalah benih, benih yang baik akan menghasilkan
keturunan yang baik pula. Bebet dapat diartikan sebagai tingkah laku, sifat dan
sikap yang dihubungkan dengan faktor keturunan. Bobot dapat diartikan
dengan status atau kedudukan, tetapi tidak harus dikaitkan dengan
kepemilikan materi, ini lebih tepat kalau diartikan sebagai kualitas
seseorang.13
Bobot dalam ranbu-rambu pra-perkawinan selengkapnya berbunyi
“bobot kang mitayani”, dan berkaitan dengan “ajining calon penganten”.
Maksudnya adalah harga diri calon penganten yang terpercaya untuk
11Mangkunegara IV, Serat Warayangnya, Bait 9, hlm. 2 Terjemahnya: “Maka tidak mudah orang hendak beristri, ia harus memiliki wanita yang dapat menjadi teman hidup, menjadi sarana memperoleh keturunan, dan juga dalam usaha mencarai nafkah, syaratnya (wanita dimaksud) memenuhi jumlah bilangan empat perkara hendaklah diupayakan itu, seyogyanya kamu ketahui, yaitu pertama berbobot, kedua keturunan, ketiga bakal berketurunan, yang keempat bersifat suka menerima.”
12Moh. Ardani, op. cit., hlm. 206-207 13Rohmani Rusdi, Manipulasi Hidup (Tragedi Harta, Tahta dan Wanita), PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1995, hlm. 63-64
51
menegakkan kehidupan berumah tangga. Syarat harga diri terpercaya ini
diacukan pada pasangan calon penganten dengan merujuk pada beberapa
prasarana hidup yang meliputi: kekayaan, kekuatan, pekerjaan, usaha, mata
pencaharian, pergaulan, status sosial dan sebagainya.
Dengan merujuk pada berbagai aspek kekuatan hidup calon penganten,
diharapkan agar rumahtangganya yang dibangun menjadi keluarga yang
kokoh, sentosa, makmur, tenteram, dan sejahtera.
Bebet dalam rambu-rambu pra-perkawinan selangkapnya berbunyi
“bebet kang utama”. Tentang syaratnya terpuji diacukan pada pasangan calon
penganten dengan merujuk pada beberapa persyaratan kepribadiaan, yang
meliputi keturunan, budi pekerti, karakter, tanggungjawab, prestasi, martabat,
pengalaman, cita-cita, kebiasaan, kegemaran, kecenderungan, pergaulan dan
sebagainya.
Dengan merujuk pada aspek kepribadiaan tersebut agar rumahtangga
yang akan dibangun menjadi bangunan keluarga yang bahagia, terhormat, dan
mempunyai keturunan yang handal dan terpuji.
Bebet artinya kepribadiaan orang tua calon mempelai. Maksudnya
bagaimana perilaku keseharian kedua orang tua calon mempelai, agama/budi
pekertinya. Hal ini maksudnya bahwa bagaimanapun anak itu adalah
keturunan dari kedua orang tua mereka, sehingga watak dan keseharian orang
tua akan sangat berpengaruh pada anak-anak mereka.14
Bibit dalam rambu-rambu pra-perkawinan lengkapnya berbunyi “bibit
kang becik”. Dengan merujuk pada beberapa hal yang merupakan persyaratan
diri antara lain dasar dan pembawaan, pendidikan, kecerdasan, kecakapan,
kemampuan, ketampanan, kesehatan jasmani rohani, wajah tampilan dan
sebagainya.
14Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya
Surakarta dan Yogyakarta), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 3
52
Dengan merujuk berbagai aspek tersebut disertai harapan supaya di
kemudian hari dari perkawinannya dapat membangun keluarga yang sehat
sejahtera, mempunyai keturunan yang baik, sehat dan membawa penuh
harapan.
Tariman atau tatariman suatu perkawinan dalam bentuk tatariman ini
proses pengambilan calon pasangan dari pemberian orang yang sangat
dihormati, misalnya orang tua, petinggi penguasa dan sebagainya. Pada
dasarnya harus diterima, biasanya dipertimbangkan baik-baik oleh
pemberinya.
Dalam bait 1 sampai 8 digambarkan betapa sulitnya seorang pemuda
memilih wanita yang akan dinikahinya. Dalam memilih wanita ini ia harus
benar-benar teliti dan hati-hati mepertimbangkan dengan tenang, dan tak
terburu nafsu, serta dengan wawasan yang jauh kedepan.
Untuk bait 9 dan 10 menegaskan petunjuk-petunjuk bagaiman seorang
pemuda memilih calon istri yang diinginkan atas dasar pertimbangan pikiran
yang mendalam, dengan tetap mengindahkan tata aturan syara’, bukan atas
dorongan nafsu semata.15
Mangkunegara IV menganjurkan bahwa setiap orang yang akan
melaksanakan pernikahan (berrumah tangga) harus mengindahkan cara
memilih calon istri yang memenuhi empat sifat seperti yang diatas. Mencari
calon istri yang memenuhi empat sifat itu tidak mudah, namun harus ia
upayakan dengan segala kesungguhan hati, apabila ia ingin mendapatkan
teman hidup yang dapat membantu mencari nafkah dan akan melahirkan
keturunan.
15Moh. Ardani, op.cit., hlm. 29
53
Pokok-pokok pikiran yang menjadi inti fatwa perkawinan dalam Serat
Warayagnya antara lain sebagai berikut:16
1. Bersuami istri perlu didasarkan pada penalaran.
Berhubung setiap perkawinan akan menjadi pangkal
berkembangnya keturunan, maka pelaksanaan perkawinan perlu
didasarkan pada penalaran yang matang. Dengan penalaran langkah-
langkah yang ditempuh dalam bersuami-istri sudah disertai pemikiran
yang jernih, sehingga sudah dipertimbangkan untung dan ruginya, baik
dan buruknya. Tanpa penalaran yang jernih terbuka kemungkinan akan
terjadi salah langkah yang akan menimpakan pada berbagai kesalahan,
kenistaan dan penyesalan.
2. Perkawinan dengan memperhatikan pranata hidup.
Perkawinan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia pada
waktunya maupun manusia selanjutnya, maka langkah-langkah yang
ditempuh dalam proses bersuami-istri mau tidak mau harus menyesuaikan
dengan pranata hidup. Pranata hidup yang berlaku yakni pranata yang
dihayati dan dihormati oleh orang yang melakukan bersuami-istri beserta
masyarakat tempat mereka berada.
Ada sejumlah pranata hidup yang perlu diperhatikan dan dihormati
oleh orang-orang yang bersuami-istri, antara lain:
a. Pranata keagamaan; yakni peraturan keagamaan yang mengatur seluk
beluk perkawinan bagi pihak-pihak yang bersuami istri.
b. Pranata adat; yakni adat tata cara yang masih mengakar dalam
kehidupan yang mewarnai dan mengatur tatacara perkawinan bagi
pihak-pihak yang bersuami istri, baik adat yang berlaku dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
16KGPAA. Mangkunegara IV, (ed) Drs. Harmanto Bratasiswara, op.cit., hlm. 4-8
54
c. Pranata sosial masyarakat; yakni pedoman, peraturan, peraturan
pemerintah, undang-undang yang mengatur seluk-beluk perkawinan
bagi orang–orang yang bersuami istri.
3. Perkawinan didasarkan pada pemilihan yang tepat.
Satu diantara faktor-faktor pendukung demi keberhasilan suatu
perkawinan adalah ketepatan menentukan pilihan yang tepat dalam
perkawinannya. Hanya dengan kesabaran, ketelitian, kecermatan, dan
kehati-hatian akan dapat membantu mengambillangkah pemilihan yang
tepat.
Pemilihan yang tepat dalam rangka perkawinan meliputi:
a. Pemilihan pasangan yang tepat; yakni perlu dipertimbangkan dengan
pikiran yang jernih, dan diperlukan sikap yang penuh kehati-hatian,
tidak tergesa-gesa, tidak keburu nafsu, dan tidak menonjolkan
kewenangan sebagai lelaki.
b. Cara yang tepat; yakni perilaku orang yang akan bersuami istri perlu
diatur sedemikian rupa sehingga tidak menunjukkan sikap
serampangan, bertindak seenaknya, membabibuta seakan didorong
nafsu keinginan semata-mata. Harus disertai tampilan yang
mengesankan, langkah-langkah yang kena dan cara-cara yang terpuji
sesuai dengan adat dan tingkat peradaban yang berlaku.
c. Landasan yang tepat; yakni pada dasarnya setiap perkawinan
memerlukan landasan tertentu untuk menopang tegaknya suatu rumah
tangga dan keberlangsungan hidup, bahwa yang menjadi dasar kuat
untuk membangun keluarga suami istri adalah perasaan cinta yang
tumbuh dari kedua belah pihak.
4. Niat dan tekat yang kuat
Kehidupan rumah tangga suami istri akan dapat tumbuh tegar dan
berkembang serasi apabila ditopang dengan adanya niat dan tekat yang
kuat serta dilandasi kasih sayang seimbang. Niat merupakan pangkal
55
penggerak (motifasi) yang mendorong seseorang untuk membangun
rumah tangga bersuami istri. Sedangkan tekad merupakan kebulatan hati
(semangat) disertai dengan kesanggupan menjaga dan memelihara
kehidupan bersuami istri menuju cita-cita perkawinan.
Perkawinan yang didasarkan niat dan tekat yang kuat akan menjadi
sentosa, tidak mudah terkena pengaruh negatif, tahan terpaan gangguan
serta cobaan yang kemudian berujung pada keberuntungan, ketenangan,
ketentraman, kemesraan, kesetiaan, kebaggaan, dan kebahagiaan
(kamulyan).
Dapat disimpulkan bahwa di dalam Serat Warayagnya menganjurkan
bahwa perkawinan harus didukung oleh penalaran yang sehat dan jernih, harus
memperhatikan pranata hidup dan adat yang berlaku, sehingga tidak terjadi
salah langkah yang mengecewakan, harus berlandaskan yang kuat dan tepat,
dan perkawinan harus ditopang oleh niat dan tekat yang kuat sehingga
melanggengkan kehidupan rumah tangga bersuami istri.
Selain itu juga memuat beberapa pokok pikiran mengenai hal-hal yang
perlu dihindari di dalam rangka berumahtangga antara lain:17
1. Ora bosenan; bosenan merupakan gejala tidak sehat dalam suatu
kehidupan rumahtangga suamu istri. Dikatakan tidak sehat karena,
bosenan merupakan kerapuhan pada tiang hidup perkawinan yang
mengancam ambruknya rumah tangga.
2. Ora paksaan; bahwa landasan utama dalam membangun keluarga adalah niat pribadi disertai cinta kasih yang tumbuh dari dalam diri masing-masing pihak yang bersuami istri. Sehubungan dengan hal tersebut sudah dinasehatkan di dalam Serat Warayagnya bait 7 yang berbunyi: “…Aja rabi pasongan, nistha yen dinulu, angapesken yayah rena” (janganlah beristri dengan paksaan hal itu menunjukkan kenistaan dan merendahkan martabat orang tua).
17Ibid., hlm. 9-12
56
3. Ora gumampang; perkawinan merupakan pengalaman hidup manusia yang bersifat sakral (suci). Acuannya adalah harapan disertai keyakinan untuk menerima titipan Tuhan yakni putra (keturunan) sebgai penyambung keturunan dan penerus sejarah manusia. Oleh karena itu setiap kali orang menampaki acara perkawinan tidak dapat melakukannya secara mudah (gampang).
Dalam nasihat tersebut ditandaskan bahwa masalah perkawinan
tidaklah mudah untuk dilakukan. Sangat ditekankan seorang pemuda atau
pemudi dalam ketepatan menentukan pilihan, terutama dalam memilih
pasangan. Agar jalannya perkawinan berjalan secara serasi, lancar, selamat,
serta dapat dikaruniai keturunan sebagai penerus sejarah keluarga yang baik
dan penuh harapan. Sehingga perkawinan dapat berhasil membangun rumah
tangga yang bahagia penuh rahmat (sakinah, mawadah, warahmah).
57
DAFTAR PUSTAKA BAB III
Agoes, Artati, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat
Jawa (Gaya Surakarta dan Yogyakarta), Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001.
Ardani, Moh., Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat
Piwulang), Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.
Edi, Yusro Nugroho, Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece Jawa Dalam
Respons Pembaca, Mimbar Offset, Yogyakarta, 2001.
Jaya, Kama, Pilihan Anggitan KGPAA Mangkunegara IV, Yayasan
Centhini, Yogyakarta, 1992.
KGPAA. Mangkunegara IV, Piwulang Budi Luhur Jilid I, Drs. Harmanto
Bratasiswara (Peny), Kantor Rekso Pustaka Kabupaten Rekso
Budaya Pura Mangkunegaran Surakarta Kerjasama Dengan The
World Bank Jakarta, 1998.
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, Effhar dan Dahara Prize,
Semarang, 1994.
Rusdi, Rohmani, Manipulasi Hidup (Tragedi Harta, Tahta dan Wanita), PT.