27 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1 Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.” Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan. 2 Mariam Darus Badrul Zaman mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang 1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3. 2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.
30
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ... II.pdf · Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
27
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN
KLAUSULA EKSONERASI
2.1 Perlindungan Konsumen
2.1.1 Pengertian konsumen dan hukum perlindungan konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer, secara
harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan
termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa, “konsumen
adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.”
Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah pengguna atau pemakai
akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain,
seperti pemberian, hadiah, dan undangan.2 Mariam Darus Badrul Zaman
mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang
1 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 3. 2 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 34.
28
digunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu: “Semua individu yang menggunakan
barang dan jasa secara konkret dan riil”.3
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, “konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.”
Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi
dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
suatu produk lainnya. Dengan kata lain, konsumen antara adalah setiap orang
yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan
kembali dengan tujuan mencari keuntungan. Pengertian konsumen yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
adalah konsumen akhir.
Setiap orang dapat dikatakan sebagai konsumen, karena setiap orang
tentunya selalu membutuhkan berbagai barang dan jasa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya sendiri, maupun keluarganya. Maka dari itu, sudah
selayaknya konsumen yang notabenenya berada dalam posisi lemah, mendapatkan
perlindungan agar kerugian yang dialami oleh konsumen akibat pemakaian suatu
3 Mariam Darus Badrulzaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya, Alumni, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman II), Bandung, h.
48.
29
produk barang dan/atau jasa dapat diminimalisir. Selain untuk meminimalisir
terjadinya kerugian, perlindungan terhadap konsumen juga bertujuan untuk
mensejajarkan kedudukan antara konsumen dengan pelaku usaha.
Pada berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah
mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen. Az Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu
berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum
konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah: “keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai
pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam
pergaulan hidup.” Kemudian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan
sebagai: “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia
barang dan/atau jasa konsumen.”4
Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az Nasution menjelaskan sebagai
berikut.
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan
masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan
sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah
sekalipun tidak terlalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian,
maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan
hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila
kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam
masyarakat itu tidak seimbang.
Menurut N.H.T. Siahaan, hukum perlindungan konsumen adalah
“serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen
4 Az. Nasution II, op. cit., h. 64
30
atas pemenuhan barang dan/atau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.”5
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang dilakukan guna menjamin terpenuhinya hak-
hak konsumen selaku pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat. Perlindungan terhadap konsumen diwujudkan dengan adanya hukum
perlindungan konsumen yang memiliki pengertian sebagai seperangkat kaidah-
kaidah hukum untuk menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen selaku pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat.
1.1.2 Dasar hukum perlindungan konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada
dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Maka dari itu, penting
untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang konsumen dan/atau
perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-
undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi
hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.6
Adapun yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum
adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan
yang berwenang untuk itu, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.
5 N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk,
Panta Rei, h. 34. 6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., h. 47.
31
Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya).7
Selain pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkan pada
tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64
(Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan
konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum
yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat
juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun
peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau
perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia juga merupakan sumber dari hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan
diuraikan berikut ini.
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Landasan dari Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan
Konsumen terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Alinea ke-4, yang
menyatakan sebagai berikut.
7 Celina Tri Siwi Kristiyanti, loc. cit.
32
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pada umumnya, hingga saat ini orang-orang akan bertumpu pada
kata “segenap bangsa” sehingga kata tersebut diambil sebagai asas
tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa).
Akan tetapi, di samping itu, terdapat kata “melindungi” yang menurut
Az. Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap
bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali.
Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin, orang
kota atau orang desa, orang asli atau keturunan, dan pengusaha/pelaku
usaha atau konsumen.
Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan dalam Pasal 27
ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut.
Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau
diganggu oleh pihak/pihak lain, maka alat-alat negara akan turun
tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan/atau mencegah
terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga
negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat
secara menyeluruh.
33
2. Ketetapan MPR (TAP-MPR)
Selanjutnya, dalam melaksanakan perintah UUD 1945 untuk
melindungi segenap bangsa, yang dalam hal ini khususnya mengenai
perlindungan konsumen, sejak tahun 1978 Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR. Melalui
ketetapan MPR (TAP-MPR) tahun 1993, telah memperjelas kehendak
rakyat Indonesia terkait adanya perlindungan konsumen, sekalipun
dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.
Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan”
konsumen, dan pada TAP-MPR 1988 digunakan istilah “menjamin”
kepentingan konsumen, maka pada TAP-MPR 1993 digunakan istilah
“melindungi kepentingan konsumen”. Hanya saja, pada masing-
masing TAP-MPR tersebut tidak mancantumkan penjelasan mengenai
apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindung
kepentingan konsumen tersebut.
Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah
disusunnya dalam satu baris kalimat, mengenai kaitan antara produsen
dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi:
“………meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi
kepentingan konsumen.”
Dengan susunan kalimat tersebut, terlihat lebih jelas arahan
Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan
34
produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan
kepentingan konsumen.
Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku
usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam
hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha
adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, dan/atau
mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang
diperlukan oleh pelaku usaha adalah agar penghasilan dalam berusaha
dapat meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik
karena:
a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau
tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu
ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau
b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau
menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik
persaingan melawan hukum, penguatan pasar yang dominan,
dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).
Kepentingan konsumen terkait dengan penggunaan barang
dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh,
bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan
harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak
membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam
35
perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada