Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT Perkembangan hukum perlindungan konsumen di Barat dimulai dari lahirnya gerakan perlindungan konsumen (consumers move- ment), yang disebut dengan era pertama pergerakan konsumen. Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen diawal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali, dan pada tahun 1898 terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer's League) di Amerika Serikat. Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliput 20 negara bagian. 1 Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konsumen ini juga mengalami hambatan dan rintangan. Untuk meloloskan The Food 1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 13 1
58

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Apr 25, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I

PENDAHULUAN

A. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT

Perkembangan hukum perlindungan konsumen di Barat dimulai

dari lahirnya gerakan perlindungan konsumen (consumers move-

ment), yang disebut dengan era pertama pergerakan konsumen.

Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak

memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.

Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya

gerakan-gerakan konsumen diawal abad ke-19. Di New York pada

tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali, dan

pada tahun 1898 terbentuk Liga Konsumen Nasional (The

National Consumer's League) di Amerika Serikat. Organisasi

ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga

pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat

telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliput 20 negara

bagian.1

Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konsumen ini juga

mengalami hambatan dan rintangan. Untuk meloloskan The Food

1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 13

1

Page 2: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

2

and Drugs Act dan The Meat Inspection Act telah mengalami kegagalan

yang berulang-ulang. Hal ini terbukti dengan kegagalan

Parlemen Amerika Serikat untuk meloloskan undang-undang

tersebut pada tahun 1892. Usaha tersebut dicoba lagi pada

tahun 1902 dengan mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga

Konsumen Nasional, The General Federation of Women's Club

dan State Food and Dairy Chemists, namun tetap juga gagal.

Akhirnya The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act lahir pada

tahun 1906.2 Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun

1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi

yang bergerak dalam perlindungan konsumen, yaitu FTC

(Federal Trade Commission), dengan The Federal Trade

Commission Act.3

Era kedua pergerakan konsumen di pentas internasional

terjadi sekitar tahun 1930-an. Para pendidik melihat tentang

urgensi pendidikan konsumen yang baik. Pada era ini telah

dimulai pemeriksaan terhadap barang-barang yang akan

dipasarkan kepada konsumen. Masyarakat sudah mulai angkat

bicara tentang hak-hak konsumen, di antaranya dengan menulis

2 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua, (Bandung: Citni AdtyaBakti, 1994), h. 185.

3 Donald P. Rothschild dan David W. Carrol, Consumer Protecting; Reporting Ser vice,Vol. 1 (Maryland: National Law Publishing Corporation, I986), h. 17.lihat jugaGunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., h. 13.

Page 3: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

3

beberapa buku. Pada tahun 1927, Stuart Chase dan F.J.

Schlink menulis buku Your Money's Worth dengan subtitle A Study

in the Waste of the Consumer Dollar". Pada tahun 1934 FJ. Schlink

kembali menerbitkan beberapa buku, yaitu; "100.000.000 Guinea

Pigs, Skin Deep, American Chamber of Horrors, dan Counterfeit, Not Your Money

but What it Buys.

Tragedi elixir sulfanilamide, sejenis obatan dari bahan sulfa,

pada tahun 1937 menyebabkan 93 orang konsumennya di Amerika

Serikat meninggal dunia. Tragedy ini ternyata mendorong

terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act pada tahun 1938, yang

merupakan amendemen dari The Food and Drugs Act tahun 1906.

Era ketiga dari pergerakan perlindungan konsumen terjadi

pada tahun 1960-an, era ini melahirkan satu cabang hukum

baru, yaitu hukum konsumen (consumers law). Pada tanggal 15

Maret 1962 John F. Kennedy menyampaikan consumer message di

hadapan Kongres Amerika Serikat, dan sejak itu dianggap

sebagai era baru perlindungan konsumen. Pesan tersebut

kemudian didukung oleh mantan Presiden Amerika Serikat

Lyndon Johnson dan Richard Nixon. Dalam preambul consumer

massage ini dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang

sampai sekarang terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer

Page 4: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

4

bill of right).

Perhatian dan apresiasi yang besar terhadap masalah

perlindungan konsumen juga dilakukan oleh Jimmy Carter.

Pandangan Carter mengenai isu perlindungan konsumen sebagai

a breath of fresh air. Sehingga Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

menyebutkan, bahwa Jimmy Carter juga dapat dipandang sebagai

pendekar perlindungan konsumen karena perhatian dan

apresiasinya yang besar.

Di negara-negara lain selain Amerika Serikat, baik di

negara maju maupun di negara berkembang, aspek perlindungan

terhadap hak-hak konsumen bangkit dan berkembang setelah era

ketiga. Kendatipun sebelumnya telah lahir undang-undang yang

berkaitan dengan perlindungan konsumen di beberapa negara

tersebut.

Inggris telah memberlakukan Hops (Prevention of Frauds) Act tahun

1866, The Sale of Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun

1913, The Food and Drugs Act, tahun 1955. Namun pengaturan khusus

tentang perlindungan konsumen, yakni The Consumer Protection Act

baru muncul pada tahun 1961 yang kemudian diamendir pada

tahun 1971.4

Di India, prinsip-prinsip perlindungan konsumen juga4 Munir Fuady, Op. cit., h. 187. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., h. 14.

Page 5: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

5

telah lahir sebelum era ketiga, antara lain Indian Contract Act

tahun 1872, The Specific Relief Act tahun 1877, yang kemudian

diganti dengan The Specific Relief Act tahun 1963, dan Iain-lain.5

Namun pengaturan perlindungan konsumen di India Consumer

Protection Act baru muncul pada tahun 1986.

Adapun di Meksiko, pertama kali mengeluarkan hukum

perlindungan konsumen pada tahun 1975 melalui Mexico's

Federal Consumer Protection Act (FCPA). Sebelumnya

pengaturan perlindungan konsumen di Meksiko pada dasarnya

tidak ada.

Era ketiga ini menyadarkan dunia internasional untuk

membentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beberapa di

antaranya :6

1. Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safe-ty

Requirement Act), tahun 1975;

2. Thailand: Consumer Act, tahun 1979;

3. Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act, tahun 1968;

4. Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978;

5. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978;

6. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978;

5 Munir Fuady, Op. cit., h. 187.6 Gunawan Wldjaja dan Ahmad Yani, Op cit. h.15

Page 6: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

6

7. Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1961, diamendir ta-

hun 1971;

8. Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection

Amendment Act, tahun 1971; dan

9. Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer

Protection Act (UTPCP) tahun 1967, diamendir tahun 1969 dan

1970, kemudian Unfair Trade Practices and Consumer Protection

(Lousiana) Law, tahun 1973.

Masyarakat Eropa menempuh melalui dua tahap program

terkait dengan gerakan perlindungan konsumen, yaitu; program

pertama pada tahun 1973 dan program kedua pada tahun 1981.7

Fokus program pertama, terkait dengan kecurangan produsen

terhadap konsumen, seperti kontrak standar, ketentuan

perkreditan, penjualan yang bersifat memaksa, kerugian

akibat mengonsumsi produk cacat, praktik iklan yang

menyesatkan, serta jaminan setelah pembelian produk.

Fokus program kedua, terkait dengan penekanan kembali

hak-hak dasar konsumen yang kemudian dilanjutkan dengan

mengeluarkan tiga kerangka acuan perlindungan konsumen.

Pertama, produk yang dipasarkan harus memenuhi standar

7 Norbert Reich, Protn lion of Consumers Economic by the EC, The Sydney Law Review, Vol. 4Number 1 (1992), h.24-25

Page 7: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

7

kesehatan dan keselamat-an konsumen. Kedua, konsumen harus

dapat menikmati keuntungan dari pasar bersama dengan

masyarakat Eropa. Ketiga, bahwa kepen-tingan konsumen harus

selalu diperhitungkan dalam setiap kebija-kan-kebijakan yang

dikeluarkan masyarakat Eropa.

Akhirnya, pada tahun 1985 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

dengan suara bulat menerbitkan Resolusi PBB Nomor

A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang The Guidelines For

Consumer Protection. Dalam Guidelines terdapat enam kepentingan

konsumen yang harus dilindungi.

B. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia

telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun

sebagian besar peraturan-peraturan tersebut pada saat ini

sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan

dengan perlindungan konsumen pada saat itu antara lain:

1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214.

2. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo.

S.1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450.

3. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931

Page 8: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

8

No.28.

4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509.

5. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143.

6. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 No. 161.

7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.

1936-671.

8. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras),

S. 1937-641.

9. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran

Perusahaan), S. 1938-86.

Pada sisi lain, dalam beberapa kitab undang-undang juga

terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk

melindungi konsumen, yaitu:

1. KUH Perdata: Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur tentang

kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli.

2. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang

perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim,

ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga,

kepailitan, dan sebagainya.

3. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan

merek, persaingan curang, dan sebagainya.

Page 9: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

9

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia hingga tahun 1999,

undang-undang Indonesia belum mengenai istilah perlindungan

konsumen. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia

berusaha untuk memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen.

Kendatipun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan

tersebut belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum

tentang hak-hak konsumen. Misalnya:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Metrologi Legal.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan

Hidup.

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang

Ketenagalistrikan.

7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

Industri.

8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Es-

Page 10: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

10

tablishing The World Trade Organization (Persetujuan

Pemben-tukan Organisasi Perdagangan Dunia).

11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terba-tas.

12. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan

atas Undang-Undang link Cipta sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.

15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.

16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek.

17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang

Ketenagakerjaan.

20. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

21. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Page 11: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

11

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Hiruk pikuk gerakan perlindungan konsumen di Indonesia

mu-lai terdengar dan populer pada tahun 1970-an, yakni

dengan berdiri-nya lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental

organization)16 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada

bulan Mei 1973. Organisasi ini untuk pertama kalinya

dipimpin oleh Lasmijah Hardi.Organisasi lembaga swadaya

masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen,

tentu saja dalam aktivitasnya ber-tindak selaku perwakilan

konsumen (consumer representation) yang bertujuan untuk melayani

dan meningkatkan martabat dan kepen-tingan konsumen.

Pada awalnya, YLKI berdiri berdasarkan rasa mawas diri

terha-dap promosi hasil produksi barang-barang dalam negeri.

Pada tahun 1972, Lasmidjah Hardi memimpin kegiatan Pekan

Swakarya, yang berupa aksi promosi terhadap berbagai barang

dalam negeri. Setelah Swakarya I muncul desakan masyarakat,

bahwa kegiatan promosi harus diimbangi dengan langkah-

langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan

kualitas barang terjamin. Dari ajang Pekan Swakarya ini

lahir YLKI yang ide-idenya dituangkan dalam anggaran dasar

YLKI di hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan

Page 12: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

12

akta nomor 26, 11 Mei 1973.8

Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi

dengan pro-dusen (pelaku usaha), apalagi dengan pemerintah.

Hal ini dibukti-kan oleh YLKI dengan menyelenggarakan pekan

promosi Swakarya II dan III. Kegiatan ini akhirnya benar-

benar dimanfaatkan oleh ka-langan produsen dalam negeri.

Dalam suasana kerjasama ini kemudian YLKI melahirkan lahir

moto; "Melindungi Konsumen, Menjaga Martabat Produsen, dan

Membantu Pemerintah".

Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang

berbasis perlindungan konsumen. Pada Februari 1988, berdiri

Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di

Semarang dan hcrgabung sebagai anggota Consumers

International (CI) tahun 1990. Hingga pada saat ini cukup

banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi

pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga

Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan

YLKI diberbagai provinsi di Tanah Air.9

Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak

maupun elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus

8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.409 Shidarta, Op cit. h. 40

Page 13: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

13

untuk membahas keluhan-keluhan konsumen, juga turut

menggalakkan pcrgerakan perlindungan konsumen di Indonesia.

Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media

massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian

produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari

reaksi-reaksi yang diberikan, baik berupa koreksi maupun

bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan memasuki

dasawarsa ketiga, YLKI mampu berperan besar, khususnya dalam

gerakan menyadarkan konsumen terhadap hak-haknya.

Demikian juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pemba-

hasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai

mitra yang representatif. Keberadaan YLKI juga sangat

membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak

konsumen. Lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian

atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi

sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui

jalur pengadilan.

Selanjutnya, pergerakan pemberdayaan konsumen semakin

gencar, baik melalui ceramah, seminar, tulisan, dan media

masa. Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang

diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah

Page 14: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

14

akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan

menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999.10

Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut

tidak terlepas dari dinamika politik di Indonesia. Iklim

politik yang lebih demokratis ditandai dengan gerakan

reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan

pergantian Presiden Republik Indonasia dari Soeharto kepada

BJ. Habbibie. Kehidupan yang lebih demokratis mulai

diperjuangkan, bersamaan dengan itu pula tuntutan untuk

mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen semakin

menguat.

Hal ini ditandai dengan keberanian DPR menggunakan hak

inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang, yang

selama kepemimpinan Soeharto tidak pernah digunakan.

Rancangan usul inisiatif pertama yang diajukan DPR adalah

Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat. Selain

untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan masyarakat,

keberanian DPR dalam mengajukan rancangan usul inisiatif ini

menjadi penting bagi konsumen, karena orientasi pemikiran10 Gunawan Wldjaja dan Ahmad Yani, Op cit. h.16

Page 15: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

15

legislatif sudah berorientasi kepada kepentingan konsumen.

Selain itu, faktor yang memengaruhi pembentukan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah munculnya

beberapa kasus yang merugikan konsumen dan diakhiri dengan

penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen. Kasus Republik

Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimun Tanno yang dikenal

dengan kasus biskuit beracun, gugatan konsumen hanya dilihat

dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban

atau konsumen tidak mendapatkan kompensasi atau ganti

kerugian atas dasar tuntutan perdata. Dalam kasus Janizal

dkk v. PT Kentamik Super International yang dikenal dengan

kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan

bahkan pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena

dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.

Di lain pihak, faktor yang juga turut mendorong

pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia

adalah perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas

dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun

program International Monetary Fund (IMF), dan Program Bank

Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian

perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap

Page 16: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

16

Pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum

nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. BEBERAPA HAL YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya

dengan tanggung jawab produk, perlu dijelaskan beberapa

istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi

dalam pembahasan selanjutnya Istilah yang memerlukan

penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen,

produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah, serta

klausula baku.

1. Produsen atau Pelaku Usaha

Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang

Page 17: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

17

menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk

di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer

profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam

penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan kon-

sumen.11 Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal

menuntut pertanggungjawaban dari produsen.

Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai

pihak pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi

juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk

hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain,

dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan

secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk

makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsen-nya

adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan

hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan

konsumen. Mereka itu adalah: pabrik (pembuat), distributor,

eksportir atau importir, dan pengecer, baik yang berbentuk

badan hukum ataupun yang bukan badan hukum.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen, tetapi

memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu11 Harry duintjer Tebbens, 1980, International Product Liability, Sijthoff &

Noordhoff International Publishers, Netherland, hal. 4.

11

Page 18: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

18

pelaku usaha yang diartikan sebagai berikut:

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yangberbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan danberkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negaraRepublik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjianmenyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam pengertian ini, termasuklah perusahaan,

(korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti

BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan,

importir, pedagang eceran, distributor, dan Iain-Iain.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha

adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat

negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya

terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang

produsen.

2. Konsumen

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari

produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu

setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.12 Menurut

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bahwa:

12 Az. Nasution, 1994, "Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukum dan PerlindunganKonsumen)", dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia, Nomor 3 Thn. XXIII, LPM FE-UI, Jakarta, hal.23.

Page 19: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

19

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yangtersedia dalam masyarakat, baik bagI kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2

tersebut bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir

yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang

adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk

mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk

memelihara/merawat harta bendanya.

Persoalan hubungan produsen dengan konsumen biasanya

dikaitkan dengan produk (barang dan/atau jasa) yang

dihasilkan oleh teknologi. Maka persoalan perlindungan

konsumen erat kaitannya dengan persoalan teknologi,

khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi.

Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi

memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk

teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat

terlibat dengan masalah perlindungan konsumen ini.

3. Produk dan Standardisasi Produk

Dalam pengertian luas, produk ialah segala barang dan

jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk

Page 20: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

20

berkaitan erat dengan teknologi. Menurut Pasal 1 angka 4

Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa:

Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak ber-wujud, baikbergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapatdihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,atau dimanfaatkan oleh konsumen.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang PerlindunganKonsumen bahwa:

Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yangdisediakan bag! masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi

memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam

jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga

pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas,

lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan

masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi

memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan

persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga

menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Berkaitan dengan cacat produk dapat ditemukan dalam tiga

klasifikasi menurut tahap-tahap produksi, yaitu kerusakan

produk, kerusakan desain, dan pemberian informasi yang tidak

Page 21: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

21

memadai.

Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat

atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang

harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk

yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut

dengan standardisasi.

Menurut Gandi, standardisasi adalah:

Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekat-ansecara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untukmeningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum denganmemperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal inididasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.13

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan

diperoleh manfaat sebagai berikut:

a. Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu,

penurunan ongkos produksi, dan penyerahan yang cepat.

b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.

c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.

d. Interchangeability komponen memungkinkan subcontracting.

e. Keselamatan kehidupan dan harta.

Dengan demikian, standardisasi berfungsi membantu

13 Gandi, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standardisasi Hasil Industri,makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN—Binacipta, Jakarta,hal. 80.

Page 22: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

22

menjembatani kepentingan konsumen dan produsen dengan

menetapkan standar produk yang tepat yang dapat memenuhi

kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak.

Dengan adanya standardisasi produk ini akan memberi manfaat

yang optimum pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi

hak milik dari konsumen. Standardisasi ini berkaitan erat

dengan keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu berkaitan

dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi.

Barang yang tidak memenuhi syarat mutu, khususnya makanan,

dapat menimbulkan mala-petaka bagi konsumen, selain

merugikan konsumen dari segi finansial dapat pula mengancam

keamanan dan keselamatan masyarakat umum.

Untuk mencapai tujuan standardisasi itu, menurut Gandi,

yang perlu di-masukkan dalam standar produk adalah:

a. Terminologi dan definisi yang dapat dipakai sebagai

bahasa yang sama-sama dimengerti oleh produsen, penjual,

distributor, dan konsumen.

b. Perlu ditetapkan tingkat minimal bagi keselamatan, yang

ditetapkan secara ahli, yang memperhitungkan risiko yang

dapat diterima.

c. Perlu ditetapkan cara dan produsen untuk menentukan

Page 23: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

23

apakah memenuhi persyaratan keselamatan minimum.

d. Perlu diusahakan kemungkinan dipertukarkan, baik bagi

produk secara keseluruhan maupun bagi komponennya.

e. Perlu ditetapkan kategori atau deret ukur yang cocok bagi

konsumen; dan juga kemungkinan produsen untuk

menghilangkan ragam produk yang tidak perlu.

f. Perlu dikembangkan seperangkat cara dan prosedur yang

lengkap bagi pengukuran kemampuan dan mutu.

Berikut ini disebutkan beberapa peraturan perundang-undangan

di Indonesia yang dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan

standardisasi industri, yakni:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960tentang Barang.

b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi

Legal.

c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pangan.

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang

Standar Nasional untuk Satuan Ukuran.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang

Standar Nasional Indonesia.

Page 24: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

24

g. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang

Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional

Indonesia.

h. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997

tentang Badan Standardisasi Nasional.

i. dan sebagainya.

Sebagai implementasi dari standardisasi ini, maka kepada

produk yang sudah memenuhi standar diberikan

sertifikasi produk (Certificatio Marking) yang dibuat dengan

tanda Sll atau SNI, yang dapat ditempatkan pada produk,

kemasannya, atau dokumennya. Tanda ini dibubuhkan oleh

produsen pada barang produknya setelah mendapat izin dari

Menteri Perindustrian sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) SK

Menteri Perindustrian Nomor 210 Tahun 1979. Sertifikasi ini

merupakan jaminan terhadap produk tersebut sebab ia

diberikan setelah diuji dan memenuhi syarat yang ditentukan.

Petunjuk pelaksanaan penggunaan tanda sertifikasi itu

ditetapkan dengan SK Menteri Perindustrian Nomor 130 Tahun

1980. Betapa pentingnya standardisasi ini, di lingkungan

perdagangan international, baik perdagangan barang maupun

jasa, dilaksanakan juga standardisasi yang berlaku secara

Page 25: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

25

internasional.

Melalui sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan

keuntungan, baik bagi produsen, pemakai profesional, maupun

konsumen, yaitu sebagai berikut:

a. Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan

bahwa hasil produksinya memenuhi persyaratan standar

secara konsisten dan memberikan bantuan dalam meningkatkan

penjualannya di pasar dalam dan luar negeri.

b. Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan

indikasi yang dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai

dengan persyaratan standar secara konsisten.

c. Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak

perlu menguji dulu barang-barang yang akan dibelinya.

Untuk dapat memperoleh manfaat dan keuntungan itu secara

maksimal, maka di satu pihak diperlukan kejujuran pengusaha

(produsen) untuk sungguh-sungguh menaati peraturan

standardisasi yang sudah ditetapkan dan di pihak lain aparat

pemerintah perlu aktif membina dan mengawasi pelaksanaan

standardisasi itu sehingga diterapkan dengan baik dan benar.

Di Amerika Serikat, pemerintah menetapkan tingkat

keamanan produk dengan menetapkan standar minimum yang harus

Page 26: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

26

dipatuhi oleh perusahaan produsen dalam berproduksi.

Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, tetapi pasti,

seperti yang digambarkan oleh Stern dan Eovaldi berikut ini:

Beginning with the regulation of food and drugs at the turn of thetwentieth century, federal legislation has become increasinglycomprehensive, first covering specific product categories (automobile,flammable fabrics, children toys), then extending to any hazardoussubstance, and finally covering all consumer products.

Apabila dilihat keadaan di Indonesia, penerapan

ketentuan standardisasi sudah hampir sama dengan yang

terjadi di Amerika Serikat. Satu dan lain hal karena

tuntutan perdagangan internasional atas barang dan jasa yang

menghendaki bahwa produk ekspor harus memenuhi kualifikasi

tertentu, baik di bidang mutu/kualitas, standar pelayanan,

maupun penghargaan/ kepedulian terhadap lingkungan, dan

sebagainya.

4. Peranan Pemerintah

Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju

sebagaimana disebutkan di atas dan supaya tujuan

standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin,

maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan

mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.

Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain

Page 27: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

27

menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh

masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung

jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian

oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai

dengan baik.

Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk

yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur,

mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan

peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik

kesehatannya maupun keuangannya.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan

yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat

ditempuh pemerintah adalah:

a. Registrasi dan penilaian.

b. Pengawasan produksi.

c. Pengawasan distribusi.

d. Pembinaan dan pengembangan usaha.

e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.14

Peranan pemerintah sebagaimana disebutkan di atas dapat

dikategorikan sebagai peranan yang berdampak jangka panjang

14 Ading Suryana, 1989, Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Perhatian TerhadapKepentingan Konsumen Produk Pangan, Yogyakarta, hal. 5—7.

Page 28: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

28

sehingga perlu dilakukan secara kontinu memberikan

penerangan, penyuluhan, dan pendidikan bagi semua pihak.

Dengan demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan

berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Termasuk di

sini menciptakan pasar yang kompetitif dengan berangsur-

angsur menghilangkan monopoli dan proteksi.15 Dalam jangka

pendek, pemerintah dapat menyelesaikan secara langsung dan

cepat masalah-masalah yang timbul.

Posisi ketiga pihak terkait, yaitu produsen, konsumen,

dan pemerintah, masing-masing adalah mandiri sehingga perlu

diatur dengan baik untuk mencapai keserasian dan

keharmonisan dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah yang

ditugaskan untuk mengatur hal tersebut berdasarkan Pasal 33

Undang-Undang Dasar 1945, dapat melaksanakannya melalui

pembuatan peraturan dan pengawasan pelaksanaan peraturan-

peraturan itu. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah

peraturan yang juga mengikat pemerintah sehingga tidak

muncul kolusi antara pengusaha dan pemerintah yang dapat

merugikan konsumen.

5. Klausula Baku

15 Syahrir, 1993, Deregulasi Ekonomi Sebagai Jalan keluar Peningkatan Perhatian TerhadapKepentingan Konsumen, makalah pada Seminar Demokrasi Ekonomi dan Arah Gerakan PerlindunganKonsumen, YLKI-CESDA-LP3ES, 11 Mei 1993, Jakarta, hal. 36 dan seterusnya.

Page 29: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

29

Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan

klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud

dengan klausula baku me-nurut Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen adalah:

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yangtelah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak olehpelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjianyang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Pembuat undang-undang ini menerima kenyataan bahwa

pemberlakuan standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang

tidak bisa dihindari sebab sebagaimana dikatakan oleh

Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu

kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat. Namun

demikian, dirasa perlu untuk mengaturnya sehingga tidak

disalah-gunakan dan atau menimbulkan kerugian bagi pihak

lain. Tinggal bagai-mana pengawasan penggunaan standar

kontrak itu sehingga tidak dijadikan sebagai alat untuk

merugikan orang lain.

Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuat

sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam (standar)

kontrak, yaitu sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula

Page 30: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

30

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembalibarang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembaliuang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli olehkonsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dan konsumen kepada pelaku usaha,baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukansegala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli olehkonsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang ataupemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa ataumengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objekjual belt jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturanbaru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuatsepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasayang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usahauntuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminanterhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

Page 31: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

31

pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

undang-undang ini.

Dari ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak

dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya.

Dari segi isinya, dilarang mengguna-kan standar kontrak yang

memuat klausula-klausula yang tidak adil. Sedangkan dari

segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus

dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga

dapat dibaca dan dimengerti dengan baik oleh konsumen.

Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pelaku

usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang

dipergunakannya dengan ketentuan undang-undang ini. Jika

dalam kenyataannya masih tetap dipakai standar kontrak

yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, akibat hukumnya

adalah batal demi hukum. Artinya, bahwa klausula itu

dianggap tidak ada, karena itu tidak mempunyai kekuatan

hukum. Larangan dan persyaratan tentang penggunaan standar

kontrak di atas dimaksud-kan untuk menempatkan kedudukan

konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip

Page 32: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

32

kebebasan berkontrak dan mencegah kemungkinan timbulnya

tindakan yang merugikan konsumen karena faktor

ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang, dan sebagainya

yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk

memperoleh ke-untungan.

B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KE ARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam banyak karangan/tulisan mengenai perlindungan

konsumen ditunjukkan bahwa masalah perlindungan konsumen

sudah sejak lama menjadi pokok perhatian meskipun tidak

secara spesifik dibicarakan. Namun, berbicara dan membahas

masalah perlindungan konsumen se-bagai masalah hukum

tersendiri adalah suatu hal yang baru, bukan saja di

Indonesia, melainkan juga di negara yang telah lama maju

dalam bidang industri, seperti Nederland yang baru

mencurahkan perhatiannya pada masalah ini dalam waktu tiga

puluh tahun terakhir ini Umumnya di negara maju, alasan

utama yang dipandang sebagai penyebab lahirnya bagian hukum

perlindungan konsumen ini adalah karena berkembangnya

industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang

tinggi sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif

industrialisasi yang menimbulkan banyak korban karena

Page 33: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

33

memakai atau mengonsumsi produk-produk industri.

Di Amerika Serikat misalnya, oleh Stern dan Eovaldi

dikemukakan tiga tujuan utama pengaturan perlindungan

konsumen yaitu:

1. Restricting the communication of false information,2. Requiring the disclosure of information about products,3. Preventing the marketing of products that are unsafe or fail to

meet government safety standards?2

Selanjutnya, mereka menjelaskan:

The critical point here is to understand why consumer protection laws arereally needs in the first place. With regard to communication of information,a major reason seems to relate the economics and, in fact, ties in with theunderlying rationale for antitrust-encouraging competition. If consumersare well informed and armed with honest data, they will make choices thatwill end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency.With regard product safety, the primary goal is one of preventing seriousinjuries inflicted on those who cannot proverly analyze the potential harm ofproduct. While there may will be an economic rationale underlying the needfor product safety regulation, the basic purpose underlying this concernhumanitarion as opposed to pure economic.

Jelaslah bahwa pengaturan perlindungan konsumen di

Amerika Serikat berkaitan erat dengan kemajuan teknologi,

khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi, yang

pada intinya bermaksud untuk melindungi hak-hak konsumen

sebagai manusia, di samping untuk menciptakan atau mendorong

persaingan yang sehat dalam berusaha.

Menteri Kehakiman Mudjono dalam sambutannya pada

pembukaan Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan

Page 34: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

34

Konsumen yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional (BPHN) di Jakarta pada tanggal 16—18 Oktober 1980,

mengemukakan dua alasan mengapa masalah perlindungan

konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia

dewasa ini. Pertama, bahwa seluruh anggota masyarakat adalah

konsumen yang perlu dilindungi dari kualitas benda atau

jasa yang diberikan oleh produsen kepada masyarakat. Kedua,

ternyata para konsumen adalah pihak yang sangat menentukan

dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda perekonomian.

Namun demikian, upaya untuk memberi perlindungan hukum

terhadap konsumen tidak berarti telah ada anggapan dasar

bahwa semua pihak yang bergerak di bidang usaha dan

perdagangan selalu terlibat dalam manipulasi yang merugikan

para konsumen dan tidak pula dimasukkan untuk menjadikan

masyarakat tidak konsumeristis. Akan tetapi, perlindungan

terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah hak

(hukum) konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-

tindakan yang mungkin merugikan yang dilakukan pihak lain.

Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar dan

universal sehingga perlu mendapat jaminan dari negara atas

pemenuhannya.

Page 35: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

35

Dalam bagian konsiderans dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibaca bahwa

peraturan ini dibuat atas dasar pemikiran/pertimbangan

sebagai berikut:

1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatumasyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam erademokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globallisasi harusdapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkanberaneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yangdapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligusmendapat-kan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dariperdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;

3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari prosesglobalisasi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakatserta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasayang diperolehnya di pasar;

4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlumeningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dankemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Dari uraian pertimbangan atau konsiderans di atas, dapatlah

disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran mengenai perlunya

perlindungan konsumen di Indonesia dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan

terhadap seluruh warga negara Indonesia sebagaimana yang

diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasional yang

Page 36: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

36

tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar1945.

2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan

manusia-manusia yang sehat dan berkualitas, yang

diperoleh melalui, penyediaan kebutuhan secara baik dan

cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk

mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.

3. Modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari

masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu

didorong untuk berkonsumsi secara rasional serta

dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian harta

benda sebagai akibat dari perilaku curang pelaku usaha.

4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur,

mempunyai dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya

produk-produk yang tidak aman bagi konsumen.

Page 37: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

37

BAB III

PERBUATAN YANG DlLARANG BAGI PELAKU USAHA

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara iin

adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, r.aka

untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa ikibat

negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus

dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai

upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang

dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan

berbagai larangan sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barangdan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkandan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalamhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barangtersebut

Page 38: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

38

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalamhitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barangdan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalamlabel atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasatersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktupenggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, seba gaimanapernyataan"halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuatnama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturanpakai, tanggal pembuatan, akibat sam pingan, nama dan alamat pelakuusaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuanhams dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barangdalam bahasa Indonesia sesuai denguu ketentuan perundang-undanganyang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacal ataubekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benaratas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dun panganyang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikaninformasi srnini lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajibmenariknya dari peredaran.

PenjelasanAyat (1) huruf g"Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalahterjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produkmakanan."

Ayat (2)

25

Page 39: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

39

"Barang:barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidakmembahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku."

Ayat (3)"Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakankonsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Ayat (4)"Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/ atau jasa dariperedaran."

Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal,

yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan

larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud.

Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut

Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau

Insa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak

idar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan infor-

in.isi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain

sebagainya.

Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang

barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan

khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau

bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun

disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang

barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat

diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap

Page 40: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

40

dan benar atas barang tersebut.

Larangan-larangan yang tertuju pada "produk" sebagaimana

dimaksudkan di atas adalah untuk memberikan perlindungan

terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang

dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang

lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan

adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan

diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada

harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan

informasi yang diperolehnya.

Untuk melindungi konsumen agar tidak dirugikan dan segi

mutu barang, maka dapat ditempuh dengan berbagai cara antara

lain:

a. Standar Mutu

Berkenaan dengan pengawasan kualitas/mutu barang, dalam

WTO telah dicapai Persetujuan tentang Hambatan Teknis Dalam

Perdagangan. Persetujuan ini mengikat negara yang

menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu

pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau

standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan,

perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau

Page 41: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

41

untuk keperluan lain, maka peraturan standar dan pengujian

serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menim bulkan

rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan

internasional. Sedangkan untuk mengkaji kemungkinan risiko,

elemen terkait yang perlu dipertimbangkan'antara lain adalah

tersedianya informasi ilmiah dan teknis, teknologi pemro-

sesan atau kegunaan akhir yang dituju oleh produk.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka produk yang masuk

dalam suatu negara akan memenuhi ketentuan tentang standar

kualitas yang diinginkan dalam suatu negara. Hal ini berarti

produk impor yang dikonsumsi oleh konsumen akan memenuhi

standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara,

sehingga konsumen akan terlindungi baik dari segi kesehatan,

maupun tentang jaminan diperolehnya produk yang baik sesuai

dengan harga yang dibayarkan. Oleh karena itu untuk

mengawasi kualitas/mutu barang, diperlukan adanya

standardisasi mutu barang.

Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis

tersebut, pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 20

Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan

Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi

Page 42: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

42

Nasional. Disamping itu telah dikeluarkan pula Peraturan

Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional

Indonesia (SNI) dan Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang

Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI dalam Rangka

Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional.

Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991

tentang Standar Nasional Indonesia, dan Keputusan Presiden

Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan

Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat

Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai

1 Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di

Indonesia, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pengawasan mutu produk yang dilakukan oleh pemerintah

(khususnya Deperindag) tersebut jangkauannya meliputi produk

ekspor, produk dalam negeri dan produk impor yang beredar di

pasar dalam negeri. Namun, peraturan teknis yang

diberlakukan terhadap produk yang diimpor dari negara lain

(negara anggota WTO) harus diberikan perlakuan yang tidak

kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang

diberikan kepada produk nasional dan produk serupa yang

Page 43: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

43

berasal dari negara lain.

Kebijaksanaan mutu di lingkup Departemen Perindustrian dan

Perdagangan dilaksanakan dengan cara sertifikasi ber

dasarkan ketentuan Pre Shipment Inspection (PSI) dan Pre Distri bution

Inspection (PDI) yang didukung sistem jaringan laboratorium

penguji mutu. Melalui ketentuan tersebut, pelaksanaan

pengawasan mutu produk dapat menjamin tersedianya produk yang

bermutu sesuai standar, baik di pasaran dalam negen maupun

luar negeri.

Untuk lebih menjamin produk tersebut, yang diperlukan

bukan hanya sampai pada dipenuhinya spesifikasi dan

pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan penga wasan

oleh Departemen Perdagangan (sekarang Departemen

Perindustrian dan Perdagangan) terhadap produk yang telah

memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran dalam

negeri, maupun yang akan diekspor. Berkaitan dengan itu,

maka terhadap komoditi ekspor dan impor berlaku ketentuan:

a. standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah

daripada SNI, yang berarti standar komoditi ekspor

mempergu-nakan SNI atau dengan spesifikasi tambahan non

mandatory bila diperlukan;

Page 44: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

44

b. standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan

standar nasional negara yang bersangkutan.

Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan

mutu, yang disamping menguntungkan produsen, juga

menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri

tapi juga konsumen di luar negeri, karena standar yang

berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu

internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh

Dewan Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-

9000:1992. Di mana ISO 9000 sendiri pada umumnya:

a. Mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal

teknis, administrasi dan sumber daya manusia yang mem-

pengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan;

b. Memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai

akhir;

c. Penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelak-

sanaan pekerjaan yang benar pada setiap saat;

d. Memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia,

mesin dan informasi untuk mencapai tujuan standar;

e. Mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu

untuk mencapai tujuan mutu dari perusahaan.

Page 45: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

45

Dengan demikian sasaran dari ISO 9000 mencakup kcbutuhan

dan kepentingan perusahaan, yaitu untuk mencapai dan

memelihara mutu yang diinginkan dengan biaya yang Optimum,

yaitu dengan menggunakan sumber daya (teknologi, bahan dan

manusia) yang tersedia secara terencana dan efisien.

Sasaran lainnya adalah untuk kebutuhan dan harapan

pelanggan, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan mutu yang diinginkan dan pemcliharaannya

secara konsisten. ISO 9000 akan menunjang program perbaikan

mutu untuk mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen di

seluruh dunia.

Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah

pola pikir pengusaha di negara berkembang yang pada umumnya

berpendapat bahwa barang yang baik seragam tidak

menguntungkan perusahaannya, karena berbagai alasan seperti:

a. penerapan standar mutu yang tinggi akan menaikkan

ongkos produksi;

b. penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi

produktivitas konsumen di dalam negeri tidak kritis

dengan standar mutu.

Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat

Page 46: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

46

diperlukan dalam transaksi perdagangan internasional

menjamin keseragaman tingkat kualitas barang yang di

gangkan. Demikian pula pemenuhan standar juga mengurangi

sengketa tentang kualifikasi dan kualitas yang diekspor atau

diimpor.

b. HaKI/Merek

Perlindungan konsumen di bidang mutu barang juga dapat

terjadi dengan pemenuhan ketentuan tentang Hak atas Kekayaan

Intelektual (HaKI). Ketentuan tentang HaKI ini juga telah

disepakati pada Putaran Uruguay, yang merupakan salah satu

lampiran dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan

Dunia, yaitu Persetujuan tentang aspek-aspek dagang dari Hak

atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Trade Related Aspects

of Intellectual Property Rights (TRIPs) kesepakatan tentang

TRIPs tersebut, merupakan suatu langkah maju dalam bidang

perlindungan HaKIkarena dengan adanya persetujuan tersebut,

maka setiap anggota diwajibkan untuk mengikuti ketentuan-

ketentuan yang tercantum didalamnya, bahkan dimungkinkan

untuk menerapkan dalam hukum domestiknya tentang sistem

perlindungan yang lebih luas daripada yang diwajibkan dalam

persetujuansepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan

Page 47: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

47

persetujuan. Persetujuan tentang aspck-aspek dagang dari HaKI

dalam WTO tersebut merujuk pada konvensi-konvensi yang

berkaitan dengan HaKI yang sudah ada sebelumnya, seperti

Konvensi Paris, Konvensi Berne, Konvensi Roma, maupun traktat

tentang (HaKI) atas Rangkaian Klektronik Terpadu.

Perlindungan konsumen dalam Persetujuan TRIPs tidak

disebutkan secara jelas, namun disebutkan bahwa dalam

penjatuhan sanksi tertentu, dimaksudkan untuk mengurangi

resiko pelanggaran lebih lanjut, serta menjadikan

kepentingan pihak ketiga sebagai dasar pertimbangan untuk

menjatuhkan sanksi tersebut . Hal inii berarti bahwa

konsumen merupakan pihak yang dipertimbangkan dalam

penjatuhan sanksi terhadap linear ketentuan HaKI. Demikian

pula,badan peradilan diberi wewenang untuk memerintahkan

agar barang yang terbukti merupakan hasil pelanggaran HaKI,

tanpa kompensasi apa pun, dikeluarkan dari arus perdagangan

sedemikian rupa untuk menghindarkan kerugian yang dialami

pemegang hak, atau dimusnahkan (kecuali kalau hal itu

bertentangan dengan persyaratan konstitusional). Sedangkan

terhadap barang impor, badan peradilan diberi wewenang

memerintahkan suatu pihak untuk menghentikan pelanggaran

Page 48: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

48

yang dilakukan, antara lain untuk mencegah masuknya ke dalam

arus perdagangan di dalam wilayah hukum mereka barang-barang

pelanggaran atas HaKI yang diimpor.

Berdasarkan Kesepakatan TRIPs tersebut, maka produsen

pemegang HaKI akan terhindar dari kerugian akibat pemalsuan

HaKI oleh pihak yang tidak berhak, sedangkan pihak konsumen

terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk palsu yang

disamping dapat merugikan konsumen karena kualitasnya yang

rendah, juga karena membayar harga yang lebih tinggi

dibanding kualitas barang tersebut.

Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual di atas,

merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait

dengan perlindungan konsumen, karena pelanggaran atas hak

merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena

merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Oleh karena itu

Hak atas Kekayaan Intelektual yang dibahas secara khusus

adalah merek dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang

yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang

secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan

barang-barang sejenis lainnya.

Walaupun Undang-Undang Merek pada umumnya ditujukan

Page 49: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

49

untuk mengatur pemakaian merek agar para pemakai merek tidak

saling merugikan, namun pengaturan tentang lalu lintas

pemakaian merek tersebut sangat bermanfaat pula bagi para

konsumen, terutama karena konsumen dapat bebas dari

kekeliruan pemakaian barang-barang tertentu yang bermerek

palsu. Hal tersebut disebabkan karena konsumen yang biasa-

nya sudah terikat menggunakan merek-merek tertentu yang

dikenalnya, sehingga manakala terjadi pemalsuan, maka sangat

besar kemungkinan konsumen mengalami kerugian karena

mengonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya

berbeda dengan yang biasanya.

Begitu pentingnya perlindungan konsumen agar tidak

keliru mengonsumsi suatu produk, maka berdasarkan Konvensi

Paris, maupun dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, serta

pengadilan di Indonesia, untuk menentukan apakah suatu merek

memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya,

kriteria utamanya adalah apakah dapat menyebabkan kekeliruan

dan kekacauan bagi khalayak ramai. Upaya perlindungan

khalayak ramai (konsumen) dari kekeliruan tersebut lebih

luas lagi jika menyangkut merek terkenal, karena larangan

untuk menggunakan merek yang sama dengan merek yang sudah

Page 50: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

50

didaftarkan oleh pihak lain, secara umum berlaku untuk

barang sejenis, tapi khusus mengenai merek terkenal,

larangan tersebut juga dapat diberlakukan terhadap barang

yang tidak sejenis, yaitu jika penggunaan dari merek yang

bersangkutan secara tidak wajar akan mengindikasikan adanya

hubungan antara barang tersebut dengan pemilik merek yang

telah didaftarkan. Dasar penentuan ada tidaknya persamaan

antara satu merek dengan merek lainnya atau dapat tidaknya

membingungkan masyarakat, perlu pula mengamati cara

pengucapan, penampilan dan maksud dari merek yang

bersangkutan.

Penentuan tentang ada tidaknya persamaan pada pokoknya

atau pada keseluruhannya suatu merek terhadap merek lainnya

yang didasarkan pada kekeliruan khalayak ramai (konsumen)

memang tepat, karena salah satu tujuan penggunaan merek

adalah agar pihak konsumen dapat mengetahui siapa yang

memperdagangkan dan atau memproduksi barang yang

bersangkutan. Melalui "tanda merek" tersebut pihak konsumen

dapat mengetahui kualitas barang/jasa yang bersangkutan baik

melalui pengalamannya karena pernah menggunakan merek

tersebut, atau informasi yang diperolehnya dari konsumen

Page 51: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

51

lain. Atau dengan, melalui "tanda merek" tersebut konsumen

dapat menilai kualitasnya karena mengetahui siapa yang

memproduksi atau mengetahui barang dengan merek yang

bersangkutan, sehingga "tanda merek" tersebut sangat

mempengaruhi perdagangan si pedagang. Dengan demikian, merek

memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai mekanisme untuk

mengidentifikasi dan juga memberi keun-tungan dalam

pemasaran.

Disamping itu merek juga memberikan jaminan kualitas

barang/jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna

bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan

perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.

Berdasarkan hal di atas tampak bahwa selain sebagai tanda

untuk membedakan antara satu produk dengan produk lainnya

yang sejenis yang berguna bagi produsen, merek juga meru-

pakan sarana informasi bagi konsumen, karena merek sangat

berarti dalam mengidentifikasi/memberi ciri pada produk/

jasa yang berasal dari sumber (produsen) tertentu. Pengeta-

huan konsumen terhadap merek tertentu dengan kualitas

tertentu pula, juga akan mampu membangun keterikatan ke arah

pembelian produk/jasa tersebut di masa mendatang. Hal ini

Page 52: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

52

juga berarti bahwa pilihan konsumen terhadap barang yang

menggunakan merek tertentu akan menguntungkan produsennya

karena penggunaan merek juga mempunyai fungsiuntuk

menghubungkan antara barang dengan pemilik hak merek atau

yang terdaftar sebagai pemakai merek tersebut.

Perlindungan konsumen dan keuntungan produsen yang

didasarkan pada penggunaan merek tertentu akan berlangsung

Lima karena pada dasarnya penggunaan merek/hak atas merek

tidak memiliki jangka waktu berakhir yang sesung-guhnya,

karena jangka waktu perlindungan hak atas merek tersebut

dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama setiap kali

akan berakhir, asal pemegang hak merek mem-boyar biaya

perpanjangan.

Jangka waktu tanpa batas tersebut telah ditentukan dalam

Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak atas Ke-

kayaan Intelektual, yang menentukan bahwa: "Initial registration, mill

each renewal of registration, of a trademark shall be for a term of no less than

seven years. The registration of a trademark shall be rtnewablc indefinitely."

Ketentuan tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mengganti

Undang-Undang Merek sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dalam

Page 53: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

53

Pasal 28 dan Pasal 35 ayat (1), sebagai berikut:

Pasal 28:

"Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangkawaktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan danjangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang."

Pasal 35 ayat (1):

"Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukanper-mohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama."

Bagian perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual yang

juga memiliki peran sama dengan merek dan juga memiliki

perlindungan yang tanpa batas tertentu adalah indikasi

geografis, yaitu tanda yang mengindikasikan suatu barang

sebagai berasal dari wilayah salah satu anggota, atau suatu

daerah di dalam wilayah tersebut, di mana tempat asal barang

tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi

dari barang yang bersangkutan karena kualitas dan

karakteristik nya. Hak atas indikasi geografis tersebut

dalam perundang undangan Indonesia juga telah diatur, dalam

Undang-Undang; Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hak atas

indikasi geografis tersebut dalam undang-undang ini

dibedakan dengan hak atas indikasi asal. Rumusan masing-

masing Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut dapat dilihat

Page 54: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

54

dalam Pasal 56 aya! (1) dan Pasal 59 Undang-Undang Merek

2001, sebagai berikut:

Pasal 56 ayat (1):

"Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yangmenunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktorlingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia,atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciridan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan."

Pasal 59:

"Indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang:

a.memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1), tetapi tidak

didaftarkan; atau

b.semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa."

Berdasarkan hal di atas, tampak bahwa ketentuan dalam

perjanjian internasional di bidang Hak atas Kekayaan

Intelektual yang telah diakomodasi dalam perundang-undangan

Indonesia, sangat membantu dalam hal penentuan pilihan

konsumen tcrhadap mutu barang yang dikehendaki, sehingga

konsumen lurlindungi dari penggunaan barang dengan kualitas

yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki.

c. Daluwarsa

Disamping keamanan produk pada saat proses produksi, suatu

produk juga kualitasnya dapat menurun karena perjalanan

Page 55: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

55

waktu, sehingga untuk produk tertentu, khususnya makanan,

ditcntukan masa daluwarsa.

Masa daluwarsa suatu produk (tanggal, bulan dan tahun)

dlcantumkan pada label makanan dimaksudkan agar konsumen

mendapat informasi yang jelas mengenai produk yang dibelinya

atau dikonsumsinya. Akan tetapi tanggal yang biasanya

tercantum pada label produk tersebut tidak hanya masa

daluwarsanya, tapi tanggal-tanggal lain. Bebeapa jenis

tanggal pada label adalah:

a. diproduksi atau dikemas tanggal .... (manufacturing or

packing date);

b. dijual paling lama tanggal (sell by date);

c. digunakan paling lama tanggal (use by date);

d. sebaiknya digunakan sebelum tanggal (date of minimum

durability) atau (best before).

Pencantuman tanggal daluwarsa pada label produk tersebut

bermanfaat bagi konsumen, distributor dan penjual, maupun

produsen itu sendiri, yaitu:

a. konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas

tentang keamanan produk tersebut;

b. distributor dan penjual makanan dapat mengatur stok

Page 56: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

56

barangnya (stock rotation);

c. Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan

"quality control" terhadap produknya.

Berkaitan dengan pencantuman tanggal daluwarsa pada label

suatu produk, perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi

salah pengertian, karena tanggal daluwarsa tersebut bukan

merupakan batas mutlak suatu produk dapat digunakan atau

dikonsumsi, karena tanggal daluwarsa tersebut hanya meru-

pakan perkiraan produsen berdasarkan hasil studi atau

pengamatannya, sehingga barang yang sudah melewati masa

daluwarsapun masih dapat dikonsumsi sepanjang dalam

kenyataannya produk tersebut masih aman untuk dikonsumsi,

sebaliknya, suatu produk dapat menjadi rusak atau berbahaya

untuk dikonsumsi sebelum tanggal daluwarsa yang tercantum

pada label produk tersebut.

Pengertian daluwarsa dalam Peraturan Menteri Kesehaton RI

telah mengalami perubahan, karena berdasarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 346/Men.Kes/Per/IX/1983, pengertian

tanggal daluwarsa adalah batas waktu akhir suatu makanan

dapat digunakan sebagai makanan manusia, sedangkan

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

Page 57: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

57

180/Men.Kes/Per/IV/1985, pengertian tanggal kedaluwarsa

adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepan-jang

penyimpanannya mengikuti petunjuk produsen. Ini berarti

bahwa pengertian daluwarsa yang sebelumnya adalah use by date

diubah menjadi best before. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, walaupun

dalam Pasal 27 ditentukan bahwa tanggal, bulan dan tahun

daluwarsa dicantumkan setelah kata "Baik Digunakan Sebelum",

namun dalam Pasal 28 ditentukan bahwa "dilarang

memperdagangkan pangan yang sudah melampaui tanggal, bulan

dan tahun kedaluwarsa sebagaimana ditantumkan pada label.

Hal ini berarti bahwa I'eraturan Pemerintah tersebut

memberikan pengertian daluwarsa sama dengan sell by date.

DAFTAR PUSTAKA

Page 58: HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

58

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang PerlindunganKonsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003)

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua,(Bandung: Citni Adtya Bakti, 1994),

Donald P. Rothschild dan David W. Carrol, Consumer Protecting;Reporting Service, Vol. 1 (Maryland: National Law PublishingCorporation, I986).

Norbert Reich, Protn lion of Consumers Economic by the EC, The SydneyLaw Review, Vol. 4 Number 1 (1992).

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2000)

Harry duintjer Tebbens, 1980, International Product Liability,Sijthoff & Noordhoff International Publishers,Netherland

Az. Nasution, 1994, "Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukumdan Perlindungan Konsumen)", dalam Manajemen dan UsahawanIndonesia, Nomor 3 Thn. XXIII, LPM FE-UI, Jakarta

Gandi, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut PengaturanStandardisasi Hasil Industri, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN—Binacipta,Jakarta

Ading Suryana, 1989, Upaya Pemerintah dalamMeningkatkan Perhatian Terhadap Kepentingan Konsumen ProdukPangan, Yogyakarta

Syahrir, 1993, Deregulasi Ekonomi Sebagai Jalan keluar PeningkatanPerhatian Terhadap Kepentingan Konsumen, makalah padaSeminar Demokrasi Ekonomi dan Arah Gerakan PerlindunganKonsumen, YLKI-CESDA-LP3ES, 11 Mei 1993, Jakarta.