BAB I PENDAHULUAN A. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT Perkembangan hukum perlindungan konsumen di Barat dimulai dari lahirnya gerakan perlindungan konsumen (consumers move- ment), yang disebut dengan era pertama pergerakan konsumen. Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen. Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan-gerakan konsumen diawal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali, dan pada tahun 1898 terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Consumer's League) di Amerika Serikat. Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliput 20 negara bagian. 1 Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konsumen ini juga mengalami hambatan dan rintangan. Untuk meloloskan The Food 1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 13 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI BARAT
Perkembangan hukum perlindungan konsumen di Barat dimulai
dari lahirnya gerakan perlindungan konsumen (consumers move-
ment), yang disebut dengan era pertama pergerakan konsumen.
Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak
memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.
Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya
gerakan-gerakan konsumen diawal abad ke-19. Di New York pada
tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali, dan
pada tahun 1898 terbentuk Liga Konsumen Nasional (The
National Consumer's League) di Amerika Serikat. Organisasi
ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat, sehingga
pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat
telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliput 20 negara
bagian.1
Perjuangan untuk mewujudkan perlindungan konsumen ini juga
mengalami hambatan dan rintangan. Untuk meloloskan The Food
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 13
1
2
and Drugs Act dan The Meat Inspection Act telah mengalami kegagalan
yang berulang-ulang. Hal ini terbukti dengan kegagalan
Parlemen Amerika Serikat untuk meloloskan undang-undang
tersebut pada tahun 1892. Usaha tersebut dicoba lagi pada
tahun 1902 dengan mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga
Konsumen Nasional, The General Federation of Women's Club
dan State Food and Dairy Chemists, namun tetap juga gagal.
Akhirnya The Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act lahir pada
tahun 1906.2 Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun
1914, dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi
yang bergerak dalam perlindungan konsumen, yaitu FTC
(Federal Trade Commission), dengan The Federal Trade
Commission Act.3
Era kedua pergerakan konsumen di pentas internasional
terjadi sekitar tahun 1930-an. Para pendidik melihat tentang
urgensi pendidikan konsumen yang baik. Pada era ini telah
dimulai pemeriksaan terhadap barang-barang yang akan
dipasarkan kepada konsumen. Masyarakat sudah mulai angkat
bicara tentang hak-hak konsumen, di antaranya dengan menulis
2 Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua, (Bandung: Citni AdtyaBakti, 1994), h. 185.
3 Donald P. Rothschild dan David W. Carrol, Consumer Protecting; Reporting Ser vice,Vol. 1 (Maryland: National Law Publishing Corporation, I986), h. 17.lihat jugaGunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., h. 13.
3
beberapa buku. Pada tahun 1927, Stuart Chase dan F.J.
Schlink menulis buku Your Money's Worth dengan subtitle A Study
in the Waste of the Consumer Dollar". Pada tahun 1934 FJ. Schlink
kembali menerbitkan beberapa buku, yaitu; "100.000.000 Guinea
Pigs, Skin Deep, American Chamber of Horrors, dan Counterfeit, Not Your Money
but What it Buys.
Tragedi elixir sulfanilamide, sejenis obatan dari bahan sulfa,
pada tahun 1937 menyebabkan 93 orang konsumennya di Amerika
Serikat meninggal dunia. Tragedy ini ternyata mendorong
terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act pada tahun 1938, yang
merupakan amendemen dari The Food and Drugs Act tahun 1906.
Era ketiga dari pergerakan perlindungan konsumen terjadi
pada tahun 1960-an, era ini melahirkan satu cabang hukum
baru, yaitu hukum konsumen (consumers law). Pada tanggal 15
Maret 1962 John F. Kennedy menyampaikan consumer message di
hadapan Kongres Amerika Serikat, dan sejak itu dianggap
sebagai era baru perlindungan konsumen. Pesan tersebut
kemudian didukung oleh mantan Presiden Amerika Serikat
Lyndon Johnson dan Richard Nixon. Dalam preambul consumer
massage ini dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang
sampai sekarang terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer
4
bill of right).
Perhatian dan apresiasi yang besar terhadap masalah
perlindungan konsumen juga dilakukan oleh Jimmy Carter.
Pandangan Carter mengenai isu perlindungan konsumen sebagai
a breath of fresh air. Sehingga Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
menyebutkan, bahwa Jimmy Carter juga dapat dipandang sebagai
pendekar perlindungan konsumen karena perhatian dan
apresiasinya yang besar.
Di negara-negara lain selain Amerika Serikat, baik di
negara maju maupun di negara berkembang, aspek perlindungan
terhadap hak-hak konsumen bangkit dan berkembang setelah era
ketiga. Kendatipun sebelumnya telah lahir undang-undang yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen di beberapa negara
tersebut.
Inggris telah memberlakukan Hops (Prevention of Frauds) Act tahun
1866, The Sale of Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun
1913, The Food and Drugs Act, tahun 1955. Namun pengaturan khusus
tentang perlindungan konsumen, yakni The Consumer Protection Act
baru muncul pada tahun 1961 yang kemudian diamendir pada
tahun 1971.4
Di India, prinsip-prinsip perlindungan konsumen juga4 Munir Fuady, Op. cit., h. 187. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., h. 14.
5
telah lahir sebelum era ketiga, antara lain Indian Contract Act
tahun 1872, The Specific Relief Act tahun 1877, yang kemudian
diganti dengan The Specific Relief Act tahun 1963, dan Iain-lain.5
Namun pengaturan perlindungan konsumen di India Consumer
Protection Act baru muncul pada tahun 1986.
Adapun di Meksiko, pertama kali mengeluarkan hukum
perlindungan konsumen pada tahun 1975 melalui Mexico's
Federal Consumer Protection Act (FCPA). Sebelumnya
pengaturan perlindungan konsumen di Meksiko pada dasarnya
tidak ada.
Era ketiga ini menyadarkan dunia internasional untuk
membentuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beberapa di
antaranya :6
1. Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safe-ty
Requirement Act), tahun 1975;
2. Thailand: Consumer Act, tahun 1979;
3. Jepang: The Consumer Protection Fundamental Act, tahun 1968;
4. Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978;
5. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978;
6. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978;
5 Munir Fuady, Op. cit., h. 187.6 Gunawan Wldjaja dan Ahmad Yani, Op cit. h.15
6
7. Inggris: The Consumer Protection Act, tahun 1961, diamendir ta-
hun 1971;
8. Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection
Amendment Act, tahun 1971; dan
9. Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer
Protection Act (UTPCP) tahun 1967, diamendir tahun 1969 dan
1970, kemudian Unfair Trade Practices and Consumer Protection
(Lousiana) Law, tahun 1973.
Masyarakat Eropa menempuh melalui dua tahap program
terkait dengan gerakan perlindungan konsumen, yaitu; program
pertama pada tahun 1973 dan program kedua pada tahun 1981.7
Fokus program pertama, terkait dengan kecurangan produsen
terhadap konsumen, seperti kontrak standar, ketentuan
perkreditan, penjualan yang bersifat memaksa, kerugian
akibat mengonsumsi produk cacat, praktik iklan yang
menyesatkan, serta jaminan setelah pembelian produk.
Fokus program kedua, terkait dengan penekanan kembali
hak-hak dasar konsumen yang kemudian dilanjutkan dengan
mengeluarkan tiga kerangka acuan perlindungan konsumen.
Pertama, produk yang dipasarkan harus memenuhi standar
7 Norbert Reich, Protn lion of Consumers Economic by the EC, The Sydney Law Review, Vol. 4Number 1 (1992), h.24-25
7
kesehatan dan keselamat-an konsumen. Kedua, konsumen harus
dapat menikmati keuntungan dari pasar bersama dengan
masyarakat Eropa. Ketiga, bahwa kepen-tingan konsumen harus
selalu diperhitungkan dalam setiap kebija-kan-kebijakan yang
dikeluarkan masyarakat Eropa.
Akhirnya, pada tahun 1985 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
dengan suara bulat menerbitkan Resolusi PBB Nomor
A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang The Guidelines For
Consumer Protection. Dalam Guidelines terdapat enam kepentingan
konsumen yang harus dilindungi.
B. SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Pengaturan tentang perlindungan konsumen di Indonesia
telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun
sebagian besar peraturan-peraturan tersebut pada saat ini
sudah tidak berlaku lagi. Beberapa peraturan yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen pada saat itu antara lain:
1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214.
2. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo.
S.1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450.
3. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat), S. 1931
8
No.28.
4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509.
5. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143.
6. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S. 1935 No. 161.
7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.
Pada sisi lain, dalam beberapa kitab undang-undang juga
terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk
melindungi konsumen, yaitu:
1. KUH Perdata: Bagian 2, Bab V, Buku II mengatur tentang
kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli.
2. KUHD: tentang pihak ketiga yang harus dilindungi, tentang
perlindungan penumpang/barang muatan pada hukum maritim,
ketentuan mengenai perantara, asuransi, surat berharga,
kepailitan, dan sebagainya.
3. KUH Pidana: tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan
merek, persaingan curang, dan sebagainya.
9
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia hingga tahun 1999,
undang-undang Indonesia belum mengenai istilah perlindungan
konsumen. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia
berusaha untuk memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen.
Kendatipun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan
tersebut belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum
tentang hak-hak konsumen. Misalnya:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Metrologi Legal.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan
Hidup.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan.
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri.
8. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Es-
10
tablishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pemben-tukan Organisasi Perdagangan Dunia).
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terba-tas.
12. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
13. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
14. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Undang-Undang link Cipta sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.
15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
16. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek.
17. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
18. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan.
20. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
21. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
11
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hiruk pikuk gerakan perlindungan konsumen di Indonesia
mu-lai terdengar dan populer pada tahun 1970-an, yakni
dengan berdiri-nya lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental
organization)16 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada
bulan Mei 1973. Organisasi ini untuk pertama kalinya
dipimpin oleh Lasmijah Hardi.Organisasi lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen,
tentu saja dalam aktivitasnya ber-tindak selaku perwakilan
konsumen (consumer representation) yang bertujuan untuk melayani
dan meningkatkan martabat dan kepen-tingan konsumen.
Pada awalnya, YLKI berdiri berdasarkan rasa mawas diri
terha-dap promosi hasil produksi barang-barang dalam negeri.
Pada tahun 1972, Lasmidjah Hardi memimpin kegiatan Pekan
Swakarya, yang berupa aksi promosi terhadap berbagai barang
dalam negeri. Setelah Swakarya I muncul desakan masyarakat,
bahwa kegiatan promosi harus diimbangi dengan langkah-
langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan dan
kualitas barang terjamin. Dari ajang Pekan Swakarya ini
lahir YLKI yang ide-idenya dituangkan dalam anggaran dasar
YLKI di hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan
12
akta nomor 26, 11 Mei 1973.8
Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi
dengan pro-dusen (pelaku usaha), apalagi dengan pemerintah.
Hal ini dibukti-kan oleh YLKI dengan menyelenggarakan pekan
promosi Swakarya II dan III. Kegiatan ini akhirnya benar-
benar dimanfaatkan oleh ka-langan produsen dalam negeri.
Dalam suasana kerjasama ini kemudian YLKI melahirkan lahir
moto; "Melindungi Konsumen, Menjaga Martabat Produsen, dan
Membantu Pemerintah".
Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang
berbasis perlindungan konsumen. Pada Februari 1988, berdiri
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di
Semarang dan hcrgabung sebagai anggota Consumers
International (CI) tahun 1990. Hingga pada saat ini cukup
banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi
pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga
Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan
YLKI diberbagai provinsi di Tanah Air.9
Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak
maupun elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus
8 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), h.409 Shidarta, Op cit. h. 40
13
untuk membahas keluhan-keluhan konsumen, juga turut
menggalakkan pcrgerakan perlindungan konsumen di Indonesia.
Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media
massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian
produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari
reaksi-reaksi yang diberikan, baik berupa koreksi maupun
bantahan. Hal ini menunjukkan dalam perjalanan memasuki
dasawarsa ketiga, YLKI mampu berperan besar, khususnya dalam
gerakan menyadarkan konsumen terhadap hak-haknya.
Demikian juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pemba-
hasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai
mitra yang representatif. Keberadaan YLKI juga sangat
membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak
konsumen. Lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian
atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi
sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui
jalur pengadilan.
Selanjutnya, pergerakan pemberdayaan konsumen semakin
gencar, baik melalui ceramah, seminar, tulisan, dan media
masa. Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang
diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah
14
akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR, yang akhirnya disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999.10
Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut
tidak terlepas dari dinamika politik di Indonesia. Iklim
politik yang lebih demokratis ditandai dengan gerakan
reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan
pergantian Presiden Republik Indonasia dari Soeharto kepada
BJ. Habbibie. Kehidupan yang lebih demokratis mulai
diperjuangkan, bersamaan dengan itu pula tuntutan untuk
mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen semakin
menguat.
Hal ini ditandai dengan keberanian DPR menggunakan hak
inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang, yang
selama kepemimpinan Soeharto tidak pernah digunakan.
Rancangan usul inisiatif pertama yang diajukan DPR adalah
Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat. Selain
untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan masyarakat,
keberanian DPR dalam mengajukan rancangan usul inisiatif ini
menjadi penting bagi konsumen, karena orientasi pemikiran10 Gunawan Wldjaja dan Ahmad Yani, Op cit. h.16
15
legislatif sudah berorientasi kepada kepentingan konsumen.
Selain itu, faktor yang memengaruhi pembentukan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia adalah munculnya
beberapa kasus yang merugikan konsumen dan diakhiri dengan
penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen. Kasus Republik
Indonesia v. Tan Chandra Helmi dan Gimun Tanno yang dikenal
dengan kasus biskuit beracun, gugatan konsumen hanya dilihat
dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban
atau konsumen tidak mendapatkan kompensasi atau ganti
kerugian atas dasar tuntutan perdata. Dalam kasus Janizal
dkk v. PT Kentamik Super International yang dikenal dengan
kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan
bahkan pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena
dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.
Di lain pihak, faktor yang juga turut mendorong
pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia
adalah perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas
dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun
program International Monetary Fund (IMF), dan Program Bank
Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian
perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap
16
Pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum
nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BEBERAPA HAL YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berkaitan dengan perlindungan konsumen, khususnya
dengan tanggung jawab produk, perlu dijelaskan beberapa
istilah terlebih dahulu untuk memperoleh kesatuan persepsi
dalam pembahasan selanjutnya Istilah yang memerlukan
penjelasan itu adalah produsen atau pelaku usaha, konsumen,
produk dan standardisasi produk, peranan pemerintah, serta
klausula baku.
1. Produsen atau Pelaku Usaha
Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang
17
menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk
di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer
profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam
penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan kon-
sumen.11 Sifat profesional merupakan syarat mutlak dalam hal
menuntut pertanggungjawaban dari produsen.
Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai
pihak pembuat/ pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi
juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk
hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan perkataan lain,
dalam konteks perlindungan konsumen, produsen diartikan
secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk
makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsen-nya
adalah mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan
hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan
konsumen. Mereka itu adalah: pabrik (pembuat), distributor,
eksportir atau importir, dan pengecer, baik yang berbentuk
badan hukum ataupun yang bukan badan hukum.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak memakai istilah produsen, tetapi
memakai istilah lain yang kurang lebih sama artinya, yaitu11 Harry duintjer Tebbens, 1980, International Product Liability, Sijthoff &
Noordhoff International Publishers, Netherland, hal. 4.
11
18
pelaku usaha yang diartikan sebagai berikut:
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yangberbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan danberkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negaraRepublik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjianmenyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dalam pengertian ini, termasuklah perusahaan,
(korporasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti
BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan,
importir, pedagang eceran, distributor, dan Iain-Iain.
Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha
adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat
negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya
terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang
produsen.
2. Konsumen
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari
produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha, yaitu
setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak
untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.12 Menurut
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bahwa:
12 Az. Nasution, 1994, "Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukum dan PerlindunganKonsumen)", dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia, Nomor 3 Thn. XXIII, LPM FE-UI, Jakarta, hal.23.
19
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yangtersedia dalam masyarakat, baik bagI kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2
tersebut bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir
yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang
adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk
mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk
memelihara/merawat harta bendanya.
Persoalan hubungan produsen dengan konsumen biasanya
dikaitkan dengan produk (barang dan/atau jasa) yang
dihasilkan oleh teknologi. Maka persoalan perlindungan
konsumen erat kaitannya dengan persoalan teknologi,
khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi.
Dengan makin berkembangnya industri dan teknologi
memungkinkan semua lapisan masyarakat terjangkau oleh produk
teknologi, yang berarti juga memungkinkan semua masyarakat
terlibat dengan masalah perlindungan konsumen ini.
3. Produk dan Standardisasi Produk
Dalam pengertian luas, produk ialah segala barang dan
jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk
20
berkaitan erat dengan teknologi. Menurut Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa:
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak ber-wujud, baikbergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapatdihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang PerlindunganKonsumen bahwa:
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yangdisediakan bag! masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi
memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam
jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga
pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas,
lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan
masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi
memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan
persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga
menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Berkaitan dengan cacat produk dapat ditemukan dalam tiga
klasifikasi menurut tahap-tahap produksi, yaitu kerusakan
produk, kerusakan desain, dan pemberian informasi yang tidak
21
memadai.
Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat
atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang
harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk
yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut
dengan standardisasi.
Menurut Gandi, standardisasi adalah:
Proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekat-ansecara teratur bagi kegiatan tertentu untuk kemanfaatan dan dengan kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untukmeningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum denganmemperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal inididasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman.13
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dengan standardisasi akan
diperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Pemakaian bahan secara ekonomi, perbaikan mutu,
penurunan ongkos produksi, dan penyerahan yang cepat.
b. Penyederhanaan pengiriman dan penanganan barang.
c. Perdagangan yang adil, peningkatan kepuasan langganan.
d. Interchangeability komponen memungkinkan subcontracting.
e. Keselamatan kehidupan dan harta.
Dengan demikian, standardisasi berfungsi membantu
13 Gandi, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standardisasi Hasil Industri,makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN—Binacipta, Jakarta,hal. 80.
22
menjembatani kepentingan konsumen dan produsen dengan
menetapkan standar produk yang tepat yang dapat memenuhi
kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak.
Dengan adanya standardisasi produk ini akan memberi manfaat
yang optimum pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi
hak milik dari konsumen. Standardisasi ini berkaitan erat
dengan keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu berkaitan
dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi.
Barang yang tidak memenuhi syarat mutu, khususnya makanan,
dapat menimbulkan mala-petaka bagi konsumen, selain
merugikan konsumen dari segi finansial dapat pula mengancam
keamanan dan keselamatan masyarakat umum.
Untuk mencapai tujuan standardisasi itu, menurut Gandi,
yang perlu di-masukkan dalam standar produk adalah:
a. Terminologi dan definisi yang dapat dipakai sebagai
bahasa yang sama-sama dimengerti oleh produsen, penjual,
distributor, dan konsumen.
b. Perlu ditetapkan tingkat minimal bagi keselamatan, yang
ditetapkan secara ahli, yang memperhitungkan risiko yang
dapat diterima.
c. Perlu ditetapkan cara dan produsen untuk menentukan
23
apakah memenuhi persyaratan keselamatan minimum.
d. Perlu diusahakan kemungkinan dipertukarkan, baik bagi
produk secara keseluruhan maupun bagi komponennya.
e. Perlu ditetapkan kategori atau deret ukur yang cocok bagi
konsumen; dan juga kemungkinan produsen untuk
menghilangkan ragam produk yang tidak perlu.
f. Perlu dikembangkan seperangkat cara dan prosedur yang
lengkap bagi pengukuran kemampuan dan mutu.
Berikut ini disebutkan beberapa peraturan perundang-undangan
di Indonesia yang dijadikan landasan hukum bagi pelaksanaan
standardisasi industri, yakni:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960tentang Barang.
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal.
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pangan.
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang
Standar Nasional untuk Satuan Ukuran.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang
Standar Nasional Indonesia.
24
g. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang
Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia.
h. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997
tentang Badan Standardisasi Nasional.
i. dan sebagainya.
Sebagai implementasi dari standardisasi ini, maka kepada
produk yang sudah memenuhi standar diberikan
sertifikasi produk (Certificatio Marking) yang dibuat dengan
tanda Sll atau SNI, yang dapat ditempatkan pada produk,
kemasannya, atau dokumennya. Tanda ini dibubuhkan oleh
produsen pada barang produknya setelah mendapat izin dari
Menteri Perindustrian sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) SK
Menteri Perindustrian Nomor 210 Tahun 1979. Sertifikasi ini
merupakan jaminan terhadap produk tersebut sebab ia
diberikan setelah diuji dan memenuhi syarat yang ditentukan.
Petunjuk pelaksanaan penggunaan tanda sertifikasi itu
ditetapkan dengan SK Menteri Perindustrian Nomor 130 Tahun
1980. Betapa pentingnya standardisasi ini, di lingkungan
perdagangan international, baik perdagangan barang maupun
jasa, dilaksanakan juga standardisasi yang berlaku secara
25
internasional.
Melalui sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan
keuntungan, baik bagi produsen, pemakai profesional, maupun
konsumen, yaitu sebagai berikut:
a. Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan
bahwa hasil produksinya memenuhi persyaratan standar
secara konsisten dan memberikan bantuan dalam meningkatkan
penjualannya di pasar dalam dan luar negeri.
b. Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan
indikasi yang dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai
dengan persyaratan standar secara konsisten.
c. Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak
perlu menguji dulu barang-barang yang akan dibelinya.
Untuk dapat memperoleh manfaat dan keuntungan itu secara
maksimal, maka di satu pihak diperlukan kejujuran pengusaha
(produsen) untuk sungguh-sungguh menaati peraturan
standardisasi yang sudah ditetapkan dan di pihak lain aparat
pemerintah perlu aktif membina dan mengawasi pelaksanaan
standardisasi itu sehingga diterapkan dengan baik dan benar.
Di Amerika Serikat, pemerintah menetapkan tingkat
keamanan produk dengan menetapkan standar minimum yang harus
26
dipatuhi oleh perusahaan produsen dalam berproduksi.
Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, tetapi pasti,
seperti yang digambarkan oleh Stern dan Eovaldi berikut ini:
Beginning with the regulation of food and drugs at the turn of thetwentieth century, federal legislation has become increasinglycomprehensive, first covering specific product categories (automobile,flammable fabrics, children toys), then extending to any hazardoussubstance, and finally covering all consumer products.
Apabila dilihat keadaan di Indonesia, penerapan
ketentuan standardisasi sudah hampir sama dengan yang
terjadi di Amerika Serikat. Satu dan lain hal karena
tuntutan perdagangan internasional atas barang dan jasa yang
menghendaki bahwa produk ekspor harus memenuhi kualifikasi
tertentu, baik di bidang mutu/kualitas, standar pelayanan,
maupun penghargaan/ kepedulian terhadap lingkungan, dan
sebagainya.
4. Peranan Pemerintah
Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju
sebagaimana disebutkan di atas dan supaya tujuan
standardisasi dan sertifikasi tercapai semaksimal mungkin,
maka pemerintah perlu aktif dalam membuat, menyesuaikan, dan
mengawasi pelaksanaan peraturan yang berlaku.
Sesuai dengan prinsip pembangunan yang antara lain
27
menyatakan bahwa pembangunan dilaksanakan bersama oleh
masyarakat dengan pemerintah dan karena itu menjadi tanggung
jawab bersama pula, maka melalui pengaturan dan pengendalian
oleh pemerintah, tujuan pembangunan nasional dapat dicapai
dengan baik.
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk
yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur,
mengawasi, serta mengendalikan produksi, distribusi, dan
peredaran produk sehingga konsumen tidak dirugikan, baik
kesehatannya maupun keuangannya.
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan kebijaksanaan
yang akan dilaksanakan, maka langkah-langkah yang dapat
ditempuh pemerintah adalah:
a. Registrasi dan penilaian.
b. Pengawasan produksi.
c. Pengawasan distribusi.
d. Pembinaan dan pengembangan usaha.
e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.14
Peranan pemerintah sebagaimana disebutkan di atas dapat
dikategorikan sebagai peranan yang berdampak jangka panjang
14 Ading Suryana, 1989, Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Perhatian TerhadapKepentingan Konsumen Produk Pangan, Yogyakarta, hal. 5—7.
28
sehingga perlu dilakukan secara kontinu memberikan
penerangan, penyuluhan, dan pendidikan bagi semua pihak.
Dengan demikian, tercipta lingkungan berusaha yang sehat dan
berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Termasuk di
sini menciptakan pasar yang kompetitif dengan berangsur-
angsur menghilangkan monopoli dan proteksi.15 Dalam jangka
pendek, pemerintah dapat menyelesaikan secara langsung dan
cepat masalah-masalah yang timbul.
Posisi ketiga pihak terkait, yaitu produsen, konsumen,
dan pemerintah, masing-masing adalah mandiri sehingga perlu
diatur dengan baik untuk mencapai keserasian dan
keharmonisan dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah yang
ditugaskan untuk mengatur hal tersebut berdasarkan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945, dapat melaksanakannya melalui
pembuatan peraturan dan pengawasan pelaksanaan peraturan-
peraturan itu. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah
peraturan yang juga mengikat pemerintah sehingga tidak
muncul kolusi antara pengusaha dan pemerintah yang dapat
merugikan konsumen.
5. Klausula Baku
15 Syahrir, 1993, Deregulasi Ekonomi Sebagai Jalan keluar Peningkatan Perhatian TerhadapKepentingan Konsumen, makalah pada Seminar Demokrasi Ekonomi dan Arah Gerakan PerlindunganKonsumen, YLKI-CESDA-LP3ES, 11 Mei 1993, Jakarta, hal. 36 dan seterusnya.
29
Sehubungan dengan standar kontrak adalah penggunaan
klausula baku dalam transaksi konsumen. Yang dimaksud
dengan klausula baku me-nurut Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen adalah:
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yangtelah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak olehpelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjianyang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Pembuat undang-undang ini menerima kenyataan bahwa
pemberlakuan standar kontrak adalah suatu kebutuhan yang
tidak bisa dihindari sebab sebagaimana dikatakan oleh
Syahdeini, perjanjian baku/standar kontrak adalah suatu
kenyataan yang memang lahir dari kebutuhan masyarakat. Namun
demikian, dirasa perlu untuk mengaturnya sehingga tidak
disalah-gunakan dan atau menimbulkan kerugian bagi pihak
lain. Tinggal bagai-mana pengawasan penggunaan standar
kontrak itu sehingga tidak dijadikan sebagai alat untuk
merugikan orang lain.
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuat
sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam (standar)
kontrak, yaitu sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
30
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembalibarang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembaliuang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli olehkonsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dan konsumen kepada pelaku usaha,baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukansegala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli olehkonsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang ataupemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa ataumengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objekjual belt jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturanbaru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuatsepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasayang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usahauntuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminanterhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
31
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Dari ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen di atas, larangan penggunaan standar kontrak
dikaitkan dengan dua hal, yaitu isi dan bentuk penulisannya.
Dari segi isinya, dilarang mengguna-kan standar kontrak yang
memuat klausula-klausula yang tidak adil. Sedangkan dari
segi bentuk penulisannya, klausula-klausula itu harus
dituliskan dengan sederhana, jelas, dan terang sehingga
dapat dibaca dan dimengerti dengan baik oleh konsumen.
Di samping itu, undang-undang ini mewajibkan pelaku
usaha untuk segera menyesuaikan standar kontrak yang
dipergunakannya dengan ketentuan undang-undang ini. Jika
dalam kenyataannya masih tetap dipakai standar kontrak
yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas, akibat hukumnya
adalah batal demi hukum. Artinya, bahwa klausula itu
dianggap tidak ada, karena itu tidak mempunyai kekuatan
hukum. Larangan dan persyaratan tentang penggunaan standar
kontrak di atas dimaksud-kan untuk menempatkan kedudukan
konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
32
kebebasan berkontrak dan mencegah kemungkinan timbulnya
tindakan yang merugikan konsumen karena faktor
ketidaktahuan, kedudukan yang tidak seimbang, dan sebagainya
yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh ke-untungan.
B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KE ARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dalam banyak karangan/tulisan mengenai perlindungan
konsumen ditunjukkan bahwa masalah perlindungan konsumen
sudah sejak lama menjadi pokok perhatian meskipun tidak
secara spesifik dibicarakan. Namun, berbicara dan membahas
masalah perlindungan konsumen se-bagai masalah hukum
tersendiri adalah suatu hal yang baru, bukan saja di
Indonesia, melainkan juga di negara yang telah lama maju
dalam bidang industri, seperti Nederland yang baru
mencurahkan perhatiannya pada masalah ini dalam waktu tiga
puluh tahun terakhir ini Umumnya di negara maju, alasan
utama yang dipandang sebagai penyebab lahirnya bagian hukum
perlindungan konsumen ini adalah karena berkembangnya
industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang
tinggi sehingga perlu ditampung salah satu akibat negatif
industrialisasi yang menimbulkan banyak korban karena
33
memakai atau mengonsumsi produk-produk industri.
Di Amerika Serikat misalnya, oleh Stern dan Eovaldi
dikemukakan tiga tujuan utama pengaturan perlindungan
konsumen yaitu:
1. Restricting the communication of false information,2. Requiring the disclosure of information about products,3. Preventing the marketing of products that are unsafe or fail to
meet government safety standards?2
Selanjutnya, mereka menjelaskan:
The critical point here is to understand why consumer protection laws arereally needs in the first place. With regard to communication of information,a major reason seems to relate the economics and, in fact, ties in with theunderlying rationale for antitrust-encouraging competition. If consumersare well informed and armed with honest data, they will make choices thatwill end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency.With regard product safety, the primary goal is one of preventing seriousinjuries inflicted on those who cannot proverly analyze the potential harm ofproduct. While there may will be an economic rationale underlying the needfor product safety regulation, the basic purpose underlying this concernhumanitarion as opposed to pure economic.
Jelaslah bahwa pengaturan perlindungan konsumen di
Amerika Serikat berkaitan erat dengan kemajuan teknologi,
khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi, yang
pada intinya bermaksud untuk melindungi hak-hak konsumen
sebagai manusia, di samping untuk menciptakan atau mendorong
persaingan yang sehat dalam berusaha.
Menteri Kehakiman Mudjono dalam sambutannya pada
pembukaan Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan
34
Konsumen yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) di Jakarta pada tanggal 16—18 Oktober 1980,
mengemukakan dua alasan mengapa masalah perlindungan
konsumen merupakan salah satu masalah penting di dunia
dewasa ini. Pertama, bahwa seluruh anggota masyarakat adalah
konsumen yang perlu dilindungi dari kualitas benda atau
jasa yang diberikan oleh produsen kepada masyarakat. Kedua,
ternyata para konsumen adalah pihak yang sangat menentukan
dalam pembinaan modal untuk menggerakkan roda perekonomian.
Namun demikian, upaya untuk memberi perlindungan hukum
terhadap konsumen tidak berarti telah ada anggapan dasar
bahwa semua pihak yang bergerak di bidang usaha dan
perdagangan selalu terlibat dalam manipulasi yang merugikan
para konsumen dan tidak pula dimasukkan untuk menjadikan
masyarakat tidak konsumeristis. Akan tetapi, perlindungan
terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah hak
(hukum) konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-
tindakan yang mungkin merugikan yang dilakukan pihak lain.
Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar dan
universal sehingga perlu mendapat jaminan dari negara atas
pemenuhannya.
35
Dalam bagian konsiderans dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dibaca bahwa
peraturan ini dibuat atas dasar pemikiran/pertimbangan
sebagai berikut:
1. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatumasyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam erademokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globallisasi harusdapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkanberaneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yangdapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligusmendapat-kan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dariperdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
3. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari prosesglobalisasi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakatserta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasayang diperolehnya di pasar;
4. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlumeningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dankemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dari uraian pertimbangan atau konsiderans di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran mengenai perlunya
perlindungan konsumen di Indonesia dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Perlindungan kepada konsumen berarti juga perlindungan
terhadap seluruh warga negara Indonesia sebagaimana yang
diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasional yang
36
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar1945.
2. Pelaksanaan pembangunan nasional membutuhkan
manusia-manusia yang sehat dan berkualitas, yang
diperoleh melalui, penyediaan kebutuhan secara baik dan
cukup. Oleh karena itu, konsumen perlu dilindungi untuk
mendapatkan kebutuhan yang baik dan cukup itu.
3. Modal dalam pelaksanaan pembangunan nasional berasal dari
masyarakat. Karena itu, masyarakat konsumen perlu
didorong untuk berkonsumsi secara rasional serta
dilindungi dari kemungkinan timbulnya kerugian harta
benda sebagai akibat dari perilaku curang pelaku usaha.
4. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi manufaktur,
mempunyai dampak negatif berupa kemungkinan hadirnya
produk-produk yang tidak aman bagi konsumen.
37
BAB III
PERBUATAN YANG DlLARANG BAGI PELAKU USAHA
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan
Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara iin
adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, r.aka
untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa ikibat
negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus
dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai
upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang
dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan
berbagai larangan sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barangdan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkandan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalamhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barangtersebut
38
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalamhitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barangdan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalamlabel atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasatersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktupenggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, seba gaimanapernyataan"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuatnama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturanpakai, tanggal pembuatan, akibat sam pingan, nama dan alamat pelakuusaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuanhams dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barangdalam bahasa Indonesia sesuai denguu ketentuan perundang-undanganyang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacal ataubekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benaratas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dun panganyang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikaninformasi srnini lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajibmenariknya dari peredaran.
PenjelasanAyat (1) huruf g"Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalahterjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produkmakanan."
Ayat (2)
25
39
"Barang:barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidakmembahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku."
Ayat (3)"Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakankonsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Ayat (4)"Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/ atau jasa dariperedaran."
Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal,
yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan
larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud.
Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut
Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau
Insa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak
idar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan infor-
in.isi pengusaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain
sebagainya.
Berbeda dengan produk-produk lainnya, terhadap barang
barang yang berupa sediaan farmasi mendapat perlakuan
khusus, karena kalau barang jenis ini rusak, cacat atau
bekas, tercemar maka dilarang untuk diperdagangkan, walaupun
disertai dengan informasi yang lengkap dan benar tentang
barang tersebut. Sedangkan barang lainnya tetap dapat
diperdagangkan asal disertai dengan informasi yang lengkap
40
dan benar atas barang tersebut.
Larangan-larangan yang tertuju pada "produk" sebagaimana
dimaksudkan di atas adalah untuk memberikan perlindungan
terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang
dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang
lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan
adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan
diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada
harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan
informasi yang diperolehnya.
Untuk melindungi konsumen agar tidak dirugikan dan segi
mutu barang, maka dapat ditempuh dengan berbagai cara antara
lain:
a. Standar Mutu
Berkenaan dengan pengawasan kualitas/mutu barang, dalam
WTO telah dicapai Persetujuan tentang Hambatan Teknis Dalam
Perdagangan. Persetujuan ini mengikat negara yang
menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila suatu
pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau
standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan,
perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau
41
untuk keperluan lain, maka peraturan standar dan pengujian
serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menim bulkan
rintangan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan
internasional. Sedangkan untuk mengkaji kemungkinan risiko,
elemen terkait yang perlu dipertimbangkan'antara lain adalah
tersedianya informasi ilmiah dan teknis, teknologi pemro-
sesan atau kegunaan akhir yang dituju oleh produk.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka produk yang masuk
dalam suatu negara akan memenuhi ketentuan tentang standar
kualitas yang diinginkan dalam suatu negara. Hal ini berarti
produk impor yang dikonsumsi oleh konsumen akan memenuhi
standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara,
sehingga konsumen akan terlindungi baik dari segi kesehatan,
maupun tentang jaminan diperolehnya produk yang baik sesuai
dengan harga yang dibayarkan. Oleh karena itu untuk
mengawasi kualitas/mutu barang, diperlukan adanya
standardisasi mutu barang.
Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis
tersebut, pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 20
Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan
Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi
42
Nasional. Disamping itu telah dikeluarkan pula Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang
Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI dalam Rangka
Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional.
Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991
tentang Standar Nasional Indonesia, dan Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan
Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat
Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai
1 Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di
Indonesia, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pengawasan mutu produk yang dilakukan oleh pemerintah
(khususnya Deperindag) tersebut jangkauannya meliputi produk
ekspor, produk dalam negeri dan produk impor yang beredar di
pasar dalam negeri. Namun, peraturan teknis yang
diberlakukan terhadap produk yang diimpor dari negara lain
(negara anggota WTO) harus diberikan perlakuan yang tidak
kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang
diberikan kepada produk nasional dan produk serupa yang
43
berasal dari negara lain.
Kebijaksanaan mutu di lingkup Departemen Perindustrian dan
Perdagangan dilaksanakan dengan cara sertifikasi ber
dasarkan ketentuan Pre Shipment Inspection (PSI) dan Pre Distri bution
Inspection (PDI) yang didukung sistem jaringan laboratorium
penguji mutu. Melalui ketentuan tersebut, pelaksanaan
pengawasan mutu produk dapat menjamin tersedianya produk yang
bermutu sesuai standar, baik di pasaran dalam negen maupun
luar negeri.
Untuk lebih menjamin produk tersebut, yang diperlukan
bukan hanya sampai pada dipenuhinya spesifikasi dan
pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan penga wasan
oleh Departemen Perdagangan (sekarang Departemen
Perindustrian dan Perdagangan) terhadap produk yang telah
memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di pasaran dalam
negeri, maupun yang akan diekspor. Berkaitan dengan itu,
maka terhadap komoditi ekspor dan impor berlaku ketentuan:
a. standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah
daripada SNI, yang berarti standar komoditi ekspor
mempergu-nakan SNI atau dengan spesifikasi tambahan non
mandatory bila diperlukan;
44
b. standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan
standar nasional negara yang bersangkutan.
Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan
mutu, yang disamping menguntungkan produsen, juga
menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri
tapi juga konsumen di luar negeri, karena standar yang
berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu
internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh
Dewan Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-
9000:1992. Di mana ISO 9000 sendiri pada umumnya:
a. Mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal
teknis, administrasi dan sumber daya manusia yang mem-
pengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan;
b. Memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai
akhir;
c. Penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelak-
sanaan pekerjaan yang benar pada setiap saat;
d. Memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia,
mesin dan informasi untuk mencapai tujuan standar;
e. Mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu
untuk mencapai tujuan mutu dari perusahaan.
45
Dengan demikian sasaran dari ISO 9000 mencakup kcbutuhan
dan kepentingan perusahaan, yaitu untuk mencapai dan
memelihara mutu yang diinginkan dengan biaya yang Optimum,
yaitu dengan menggunakan sumber daya (teknologi, bahan dan
manusia) yang tersedia secara terencana dan efisien.
Sasaran lainnya adalah untuk kebutuhan dan harapan
pelanggan, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan mutu yang diinginkan dan pemcliharaannya
secara konsisten. ISO 9000 akan menunjang program perbaikan
mutu untuk mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen di
seluruh dunia.
Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah
pola pikir pengusaha di negara berkembang yang pada umumnya
berpendapat bahwa barang yang baik seragam tidak
menguntungkan perusahaannya, karena berbagai alasan seperti:
a. penerapan standar mutu yang tinggi akan menaikkan
ongkos produksi;
b. penekanan atas mutu suatu produk akan mengurangi
produktivitas konsumen di dalam negeri tidak kritis
dengan standar mutu.
Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat
46
diperlukan dalam transaksi perdagangan internasional
menjamin keseragaman tingkat kualitas barang yang di
gangkan. Demikian pula pemenuhan standar juga mengurangi
sengketa tentang kualifikasi dan kualitas yang diekspor atau
diimpor.
b. HaKI/Merek
Perlindungan konsumen di bidang mutu barang juga dapat
terjadi dengan pemenuhan ketentuan tentang Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI). Ketentuan tentang HaKI ini juga telah
disepakati pada Putaran Uruguay, yang merupakan salah satu
lampiran dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia, yaitu Persetujuan tentang aspek-aspek dagang dari Hak
atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights (TRIPs) kesepakatan tentang
TRIPs tersebut, merupakan suatu langkah maju dalam bidang
perlindungan HaKIkarena dengan adanya persetujuan tersebut,
maka setiap anggota diwajibkan untuk mengikuti ketentuan-
ketentuan yang tercantum didalamnya, bahkan dimungkinkan
untuk menerapkan dalam hukum domestiknya tentang sistem
perlindungan yang lebih luas daripada yang diwajibkan dalam
persetujuansepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan
47
persetujuan. Persetujuan tentang aspck-aspek dagang dari HaKI
dalam WTO tersebut merujuk pada konvensi-konvensi yang
berkaitan dengan HaKI yang sudah ada sebelumnya, seperti
Konvensi Paris, Konvensi Berne, Konvensi Roma, maupun traktat
tentang (HaKI) atas Rangkaian Klektronik Terpadu.
Perlindungan konsumen dalam Persetujuan TRIPs tidak
disebutkan secara jelas, namun disebutkan bahwa dalam
penjatuhan sanksi tertentu, dimaksudkan untuk mengurangi
resiko pelanggaran lebih lanjut, serta menjadikan
kepentingan pihak ketiga sebagai dasar pertimbangan untuk
menjatuhkan sanksi tersebut . Hal inii berarti bahwa
konsumen merupakan pihak yang dipertimbangkan dalam
penjatuhan sanksi terhadap linear ketentuan HaKI. Demikian
pula,badan peradilan diberi wewenang untuk memerintahkan
agar barang yang terbukti merupakan hasil pelanggaran HaKI,
tanpa kompensasi apa pun, dikeluarkan dari arus perdagangan
sedemikian rupa untuk menghindarkan kerugian yang dialami
pemegang hak, atau dimusnahkan (kecuali kalau hal itu
bertentangan dengan persyaratan konstitusional). Sedangkan
terhadap barang impor, badan peradilan diberi wewenang
memerintahkan suatu pihak untuk menghentikan pelanggaran
48
yang dilakukan, antara lain untuk mencegah masuknya ke dalam
arus perdagangan di dalam wilayah hukum mereka barang-barang
pelanggaran atas HaKI yang diimpor.
Berdasarkan Kesepakatan TRIPs tersebut, maka produsen
pemegang HaKI akan terhindar dari kerugian akibat pemalsuan
HaKI oleh pihak yang tidak berhak, sedangkan pihak konsumen
terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk palsu yang
disamping dapat merugikan konsumen karena kualitasnya yang
rendah, juga karena membayar harga yang lebih tinggi
dibanding kualitas barang tersebut.
Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual di atas,
merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait
dengan perlindungan konsumen, karena pelanggaran atas hak
merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena
merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Oleh karena itu
Hak atas Kekayaan Intelektual yang dibahas secara khusus
adalah merek dagang, yaitu merek yang digunakan pada barang
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya.
Walaupun Undang-Undang Merek pada umumnya ditujukan
49
untuk mengatur pemakaian merek agar para pemakai merek tidak
saling merugikan, namun pengaturan tentang lalu lintas
pemakaian merek tersebut sangat bermanfaat pula bagi para
konsumen, terutama karena konsumen dapat bebas dari
kekeliruan pemakaian barang-barang tertentu yang bermerek
palsu. Hal tersebut disebabkan karena konsumen yang biasa-
nya sudah terikat menggunakan merek-merek tertentu yang
dikenalnya, sehingga manakala terjadi pemalsuan, maka sangat
besar kemungkinan konsumen mengalami kerugian karena
mengonsumsi secara keliru barang tertentu yang kualitasnya
berbeda dengan yang biasanya.
Begitu pentingnya perlindungan konsumen agar tidak
keliru mengonsumsi suatu produk, maka berdasarkan Konvensi
Paris, maupun dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, serta
pengadilan di Indonesia, untuk menentukan apakah suatu merek
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya,
kriteria utamanya adalah apakah dapat menyebabkan kekeliruan
dan kekacauan bagi khalayak ramai. Upaya perlindungan
khalayak ramai (konsumen) dari kekeliruan tersebut lebih
luas lagi jika menyangkut merek terkenal, karena larangan
untuk menggunakan merek yang sama dengan merek yang sudah
50
didaftarkan oleh pihak lain, secara umum berlaku untuk
barang sejenis, tapi khusus mengenai merek terkenal,
larangan tersebut juga dapat diberlakukan terhadap barang
yang tidak sejenis, yaitu jika penggunaan dari merek yang
bersangkutan secara tidak wajar akan mengindikasikan adanya
hubungan antara barang tersebut dengan pemilik merek yang
telah didaftarkan. Dasar penentuan ada tidaknya persamaan
antara satu merek dengan merek lainnya atau dapat tidaknya
membingungkan masyarakat, perlu pula mengamati cara
pengucapan, penampilan dan maksud dari merek yang
bersangkutan.
Penentuan tentang ada tidaknya persamaan pada pokoknya
atau pada keseluruhannya suatu merek terhadap merek lainnya
yang didasarkan pada kekeliruan khalayak ramai (konsumen)
memang tepat, karena salah satu tujuan penggunaan merek
adalah agar pihak konsumen dapat mengetahui siapa yang
memperdagangkan dan atau memproduksi barang yang
bersangkutan. Melalui "tanda merek" tersebut pihak konsumen
dapat mengetahui kualitas barang/jasa yang bersangkutan baik
melalui pengalamannya karena pernah menggunakan merek
tersebut, atau informasi yang diperolehnya dari konsumen
51
lain. Atau dengan, melalui "tanda merek" tersebut konsumen
dapat menilai kualitasnya karena mengetahui siapa yang
memproduksi atau mengetahui barang dengan merek yang
bersangkutan, sehingga "tanda merek" tersebut sangat
mempengaruhi perdagangan si pedagang. Dengan demikian, merek
memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai mekanisme untuk
mengidentifikasi dan juga memberi keun-tungan dalam
pemasaran.
Disamping itu merek juga memberikan jaminan kualitas
barang/jasa yang bersangkutan. Hal ini tidak hanya berguna
bagi produsen pemilik merek tersebut, tetapi juga memberikan
perlindungan dan jaminan mutu barang kepada konsumen.
Berdasarkan hal di atas tampak bahwa selain sebagai tanda
untuk membedakan antara satu produk dengan produk lainnya
yang sejenis yang berguna bagi produsen, merek juga meru-
pakan sarana informasi bagi konsumen, karena merek sangat
berarti dalam mengidentifikasi/memberi ciri pada produk/
jasa yang berasal dari sumber (produsen) tertentu. Pengeta-
huan konsumen terhadap merek tertentu dengan kualitas
tertentu pula, juga akan mampu membangun keterikatan ke arah
pembelian produk/jasa tersebut di masa mendatang. Hal ini
52
juga berarti bahwa pilihan konsumen terhadap barang yang
menggunakan merek tertentu akan menguntungkan produsennya
karena penggunaan merek juga mempunyai fungsiuntuk
menghubungkan antara barang dengan pemilik hak merek atau
yang terdaftar sebagai pemakai merek tersebut.
Perlindungan konsumen dan keuntungan produsen yang
didasarkan pada penggunaan merek tertentu akan berlangsung
Lima karena pada dasarnya penggunaan merek/hak atas merek
tidak memiliki jangka waktu berakhir yang sesung-guhnya,
karena jangka waktu perlindungan hak atas merek tersebut
dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama setiap kali
akan berakhir, asal pemegang hak merek mem-boyar biaya
perpanjangan.
Jangka waktu tanpa batas tersebut telah ditentukan dalam
Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak atas Ke-
kayaan Intelektual, yang menentukan bahwa: "Initial registration, mill
each renewal of registration, of a trademark shall be for a term of no less than
seven years. The registration of a trademark shall be rtnewablc indefinitely."
Ketentuan tersebut telah diakomodasikan dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang mengganti
Undang-Undang Merek sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dalam
53
Pasal 28 dan Pasal 35 ayat (1), sebagai berikut:
Pasal 28:
"Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangkawaktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan danjangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang."
Pasal 35 ayat (1):
"Pemilik Merek terdaftar setiap kali dapat mengajukanper-mohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama."
Bagian perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual yang
juga memiliki peran sama dengan merek dan juga memiliki
perlindungan yang tanpa batas tertentu adalah indikasi
geografis, yaitu tanda yang mengindikasikan suatu barang
sebagai berasal dari wilayah salah satu anggota, atau suatu
daerah di dalam wilayah tersebut, di mana tempat asal barang
tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi reputasi
dari barang yang bersangkutan karena kualitas dan
karakteristik nya. Hak atas indikasi geografis tersebut
dalam perundang undangan Indonesia juga telah diatur, dalam
Undang-Undang; Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hak atas
indikasi geografis tersebut dalam undang-undang ini
dibedakan dengan hak atas indikasi asal. Rumusan masing-
masing Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut dapat dilihat
54
dalam Pasal 56 aya! (1) dan Pasal 59 Undang-Undang Merek
2001, sebagai berikut:
Pasal 56 ayat (1):
"Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yangmenunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktorlingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia,atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciridan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan."
Pasal 59:
"Indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang:
a.memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1), tetapi tidak
didaftarkan; atau
b.semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa."
Berdasarkan hal di atas, tampak bahwa ketentuan dalam
perjanjian internasional di bidang Hak atas Kekayaan
Intelektual yang telah diakomodasi dalam perundang-undangan
Indonesia, sangat membantu dalam hal penentuan pilihan
konsumen tcrhadap mutu barang yang dikehendaki, sehingga
konsumen lurlindungi dari penggunaan barang dengan kualitas
yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki.
c. Daluwarsa
Disamping keamanan produk pada saat proses produksi, suatu
produk juga kualitasnya dapat menurun karena perjalanan
55
waktu, sehingga untuk produk tertentu, khususnya makanan,
ditcntukan masa daluwarsa.
Masa daluwarsa suatu produk (tanggal, bulan dan tahun)
dlcantumkan pada label makanan dimaksudkan agar konsumen
mendapat informasi yang jelas mengenai produk yang dibelinya
atau dikonsumsinya. Akan tetapi tanggal yang biasanya
tercantum pada label produk tersebut tidak hanya masa
daluwarsanya, tapi tanggal-tanggal lain. Bebeapa jenis
tanggal pada label adalah:
a. diproduksi atau dikemas tanggal .... (manufacturing or
packing date);
b. dijual paling lama tanggal (sell by date);
c. digunakan paling lama tanggal (use by date);
d. sebaiknya digunakan sebelum tanggal (date of minimum
durability) atau (best before).
Pencantuman tanggal daluwarsa pada label produk tersebut
bermanfaat bagi konsumen, distributor dan penjual, maupun
produsen itu sendiri, yaitu:
a. konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas
tentang keamanan produk tersebut;
b. distributor dan penjual makanan dapat mengatur stok
56
barangnya (stock rotation);
c. Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan
"quality control" terhadap produknya.
Berkaitan dengan pencantuman tanggal daluwarsa pada label
suatu produk, perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi
salah pengertian, karena tanggal daluwarsa tersebut bukan
merupakan batas mutlak suatu produk dapat digunakan atau
dikonsumsi, karena tanggal daluwarsa tersebut hanya meru-
pakan perkiraan produsen berdasarkan hasil studi atau
pengamatannya, sehingga barang yang sudah melewati masa
daluwarsapun masih dapat dikonsumsi sepanjang dalam
kenyataannya produk tersebut masih aman untuk dikonsumsi,
sebaliknya, suatu produk dapat menjadi rusak atau berbahaya
untuk dikonsumsi sebelum tanggal daluwarsa yang tercantum
pada label produk tersebut.
Pengertian daluwarsa dalam Peraturan Menteri Kesehaton RI
telah mengalami perubahan, karena berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 346/Men.Kes/Per/IX/1983, pengertian
tanggal daluwarsa adalah batas waktu akhir suatu makanan
dapat digunakan sebagai makanan manusia, sedangkan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
57
180/Men.Kes/Per/IV/1985, pengertian tanggal kedaluwarsa
adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepan-jang
penyimpanannya mengikuti petunjuk produsen. Ini berarti
bahwa pengertian daluwarsa yang sebelumnya adalah use by date
diubah menjadi best before. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, walaupun
dalam Pasal 27 ditentukan bahwa tanggal, bulan dan tahun
daluwarsa dicantumkan setelah kata "Baik Digunakan Sebelum",
namun dalam Pasal 28 ditentukan bahwa "dilarang
memperdagangkan pangan yang sudah melampaui tanggal, bulan
dan tahun kedaluwarsa sebagaimana ditantumkan pada label.
Hal ini berarti bahwa I'eraturan Pemerintah tersebut
memberikan pengertian daluwarsa sama dengan sell by date.
DAFTAR PUSTAKA
58
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang PerlindunganKonsumen, (Jakarta: Gramedia, 2003)
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik, Buku Kedua,(Bandung: Citni Adtya Bakti, 1994),
Donald P. Rothschild dan David W. Carrol, Consumer Protecting;Reporting Service, Vol. 1 (Maryland: National Law PublishingCorporation, I986).
Norbert Reich, Protn lion of Consumers Economic by the EC, The SydneyLaw Review, Vol. 4 Number 1 (1992).
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2000)
Harry duintjer Tebbens, 1980, International Product Liability,Sijthoff & Noordhoff International Publishers,Netherland
Az. Nasution, 1994, "Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukumdan Perlindungan Konsumen)", dalam Manajemen dan UsahawanIndonesia, Nomor 3 Thn. XXIII, LPM FE-UI, Jakarta
Gandi, 1980, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut PengaturanStandardisasi Hasil Industri, makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN—Binacipta,Jakarta
Ading Suryana, 1989, Upaya Pemerintah dalamMeningkatkan Perhatian Terhadap Kepentingan Konsumen ProdukPangan, Yogyakarta
Syahrir, 1993, Deregulasi Ekonomi Sebagai Jalan keluar PeningkatanPerhatian Terhadap Kepentingan Konsumen, makalah padaSeminar Demokrasi Ekonomi dan Arah Gerakan PerlindunganKonsumen, YLKI-CESDA-LP3ES, 11 Mei 1993, Jakarta.