1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI SEBAGAI WAJIB PAJAK 2.1 Pengertian Pajak, Wajib Pajak dan Korporasi Dalam kehidupan manusia, manusia merupakan mahluk sosial yang saling membutuhkan dan selalu berhubungan. Manusia tidak dapat hidup sendirian, selalu berkelompok, berkeluarga. Dalam keluarga, manusia selalu berusaha untuk senantiasa memenuhi segala kebutuhannya sendiri maupun keluarganya. Dalam lingkup kehidupannya manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat untuk tataran yang lebih besar akan terwujud ke dalam suatu wadah yaitu Negara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan sarana prasarana untuk mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama-sama dalam berbagai bentuk. Salah satu diantaranya adalah pajak. Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 ditentukan bahwa : “ segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Berdasarkan perintah Pasal 23 UUD RI 1945, PJA Adriani dalam Simon Nahak menulis bahwa “Pajak adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis, untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa adanya jasa timbal khusus terhadapnya.” 1 1 Simon Nahak, 2014, Op-Cit, hal.6.
25
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI SEBAGAI … BAB II.pdf · Contohnya adalah PPh (pajak penghasilan) dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). 2) Pajak Tidak langsung adalah pajak yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KORPORASI
SEBAGAI WAJIB PAJAK
2.1 Pengertian Pajak, Wajib Pajak dan Korporasi
Dalam kehidupan manusia, manusia merupakan mahluk sosial yang
saling membutuhkan dan selalu berhubungan. Manusia tidak dapat hidup
sendirian, selalu berkelompok, berkeluarga. Dalam keluarga, manusia selalu
berusaha untuk senantiasa memenuhi segala kebutuhannya sendiri maupun
keluarganya. Dalam lingkup kehidupannya manusia hidup bersama-sama
dalam masyarakat untuk tataran yang lebih besar akan terwujud ke dalam
suatu wadah yaitu Negara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan
sarana prasarana untuk mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta
Negara itu sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat
secara bersama-sama dalam berbagai bentuk. Salah satu diantaranya adalah
pajak.
Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 ditentukan bahwa : “ segala pajak
untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang”. Berdasarkan
perintah Pasal 23 UUD RI 1945, PJA Adriani dalam Simon Nahak menulis
bahwa “Pajak adalah pungutan oleh pemerintah dengan paksaan yuridis,
untuk mendapatkan alat penutup bagi pengeluaran-pengeluaran umum tanpa
adanya jasa timbal khusus terhadapnya.”1
1 Simon Nahak, 2014, Op-Cit, hal.6.
2
Menurut PJA Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang digunakan adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. H. Rochmat Soemitro menulis bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang
yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi),
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.2 Soeparman Soemahamidjaja menulis bahwa: “Pajak
adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. 3
Pendapat para ahli hukum pajak tersebut menunjukkan bahwa
Wajib Pajak sebagai Pembayar Pajak kepada negara tidak mendapatkan
imbalan secara langsung karena uang yang dibayarkan adalah sebagai
pendapatan penerimaan negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, maka
diperlukan pembaharuan dalam Undang-Undang perpajakan yang
berorientasi pada pendapatan sebesar-besarnya bagi penerimaan negara.
Dari berbagai difinisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut dapat
dikatakan adanya beberapa ciri atau karakteristik pajak yaitu :
2 Sri Pudyatmoko Y, Op-Cit, hal. 87
3 Sri Pudyatmoko Ibid
3
1) Pajak dipungut berdasarkan adanya undang-undang ataupun peraturan
pelaksanaanya;
2) Terhadap pembayaran pajak tidak ada tegen prestasi yang dapat
ditunjukkan secara langsung;
3) Pemungutannya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah sehingga ada istilah pajak pusat dan pajak daerah;
4) Hasil pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan,
dan apabila terdapat kelebihan maka sisanya digunakan untuk public
investment;
5) Disamping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari
rakyat ke dalam kas Negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai
fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur.
Jenis-jenis pajak menurut Direktorat Jenderal Pajak Indonesia
dibedakan menjadi :
1. Berdasarkan pihak yang menanggung :
1) Pajak langsung adalah pajak yang pembayarannya dimana harus
ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat atau tidak bisa
dialihkan kepada pihak lain.
Contohnya adalah PPh (pajak penghasilan) dan PBB (Pajak Bumi
dan Bangunan).
2) Pajak Tidak langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat
dialihkan kepada pihak lain.
4
Contohnya adalah Pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), Bea Materai dan
cukai.
2. Berdasarkan pihak yang memungut :
1) Pajak Negara adalah pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat.
Pajak pusat merupakan sumber penerimaan Negara Indonesia.
Contohnya adalah PPh (pajak penghasilan), PPN (Pajak
pertambahan nilai), Pajak barang Mewah.
2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah Daerah.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah
daerah. Contohnya adalah pajak tontonan, pajak reklame, Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
3. Berdasarkan sifatnya :
1) Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi Wajib
Pajak itu sendiri. Contohnya PPh.
2) Pajak Objektif adalah pajak yang dinilai berdasarkan objektifitasnya
dan tanpa memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contohnya PPN.
Kejahatan di bidang perpajakan berada dalam aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, maka pengertiannya dapat ditinjau dari aspek
yuridis, sosiologis, dan filosofis. Ketiga aspek tersebut perlu dicermati.
Kejahatan dibidang perpajakan sangat terkait dengan penerapan hukum
pajak agar semua pihak yang terkait dapat mentaati ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
5
Secara yuridis, kejahatan di bidang perpajakan menunjukkan bahwa
kejahatan itu merupakan substansi hukum pajak karena terlanggarnya
kaidah hukum pajak. Secara sosiologis, kejahatan dibidang perpajakan telah
memperlihatkan suatu keadaan nyata yang terjadi dalam masyarakat sebagai
bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak, atau pihak lain.
Secara filosofis, tersirat makna bahwa telah terjadi perubahan-perubahan
nilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitas perpajakan dilaksanakan
sebagai bentuk peran serta dalam berbangsa dan bernegara.
Kejahatan di bidang perpajakan dapat merupakan melakukan
perbuatan atau tidak melakukan perbuatan yang memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada hakikatnya, ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dikategorikan sebagai kaidah
hukum pajak yang menjadi koridor untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dengan demikian, melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan di
bidang perpajakan tergolong sebagai kejahatan di bidang perpajakan ketika
memenuhi rumusan kaidah hukum pajak.
Melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sebagai
bentuk kejahatan di bidang perpajakan memerlukan uraian analisis yang
mendasar sehingga mudah dipahami secara prinsipil. Pertama, melakukan
perbuatan tetapi bertentangan dengan kaidah hukum pajak, sehingga
dikategorikan sebagai kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya wajib pajak
melakukan perbuatan berupa menyampaikan surat pemberitahuan tetapi
substansinya tidak benar, tidak lengkap, tidak jelas, atau tidak
6
ditandatangani. Kedua, tidak melakukan perbuatan, tetapi memenuhi
rumusan kaidah hukum pajak, sehingga dikategorikan sebagai melakukan
kejahatan di bidang perpajakan. Misalnya, wajib pajak tidak membayar
pajak untuk suatu saat atau masa pajak bagi tiap-tiap jenis pajak.4
Ketika kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur-unsur
delik pajak, berarti pelaku kejahatan wajib dikenakan sanksi pidana
sebagaimana ditentukan dalam kaidah hukum pajak. Apabila ditelusuri
sanksi pidana sebagai suatu ancaman hukuman yang ditujukan kepada
pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak, hanya
berupa hukuman penjara, hukuman kurungan, dan hukuman denda. Ketiga
jenis hukuman ini berada pada tataran hukuman pokok. Dalam arti, ketika
ditelusuri ancaman hukuman yang boleh dikenakan kepada pelaku kejahatan
di bidang perpajakan, ternyata tidak mengaitkan hukuman tambahan
sebagaimana dikenal dalam Pasal 10 KUHP yaitu ;
1. Pidana Pokok, terdiri dari :
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Denda.
2. Pidana Tambahan, terdiri dari :
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu; dan
4 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati Djafar, 2012, Kejahatan Di Bidang
Perpajakan”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.3-4.
7
c. Pengumuman putusan hakim.
Dalam bidang pajak dikenal beberapa pihak yang saling
berhubungan yaitu salah satunya adalah Wajib Pajak.
Pasal 1 angka 2 UU Perpajakan secara tegas menentukan bahwa : “wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak,
pemotongan pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan”.
Wajib pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat
objektif, selain juga syarat subjektif. Syarat objektif adalah syarat yang
berkaitan dengan sasaran pengenaan pajak (objek pajak). Sedangkan syarat
subyektif adalah syarat yang melekat pada diri wajib pajak yang
bersangkutan seperti misalnya lahir di Indonesia, berdomisili di Indonesia,
berkedudukan atau didirikan di Indonesia, atau jika tidak tinggal dan
berkedudukan di Indonesia, maka memiliki kekayaan atau memperoleh
kekayaan dari Indonesia.
Pada hakikatnya wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks
perorangan agar tetap dalam kedudukannya sebagai orang pribadi.
Sementara badan sebagi wajib pajak, dapat berupa badan tidak berstatus
badan hukum dan badan yang berstatus badan hukum, baik yang tunduk
pada hukum privat maupun yang tunduk pada hukum publik.
Frank Gilders menyatakan wajib pajak merupakan subjek hukum
yang harus memiliki kepatuhan dalam hal sebagai wajib pajak :
8
“…..subject only to the limitations expressed in the constitutions the power
with respect to taxationwas plenary and absolute, unlimited, as to amouths,
as to subjects, as to objects, as to conditions, as to machinery, so that the
Parliament has, prima facie, power to tax whom a chooses, power to exempt
whom it chooses, power to impose such conditions as to liability or as
toexemption as it chooses…..”5
Wajib pajak pada hakekatnya adalah subjek hukum yang wajib
mentaati hukum pajak. Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU
Perpajakan terdiri dari :
1) Pembayar pajak;
2) Pemotong pajak; dan
3) Pemungut pajak.
Wajib pajak berdasarkan pasal 1 angka 2 UU Perpajakan merupakan wajib
pajak dalam arti normatif. Akan tetapi, bila dikaji secara keilmuan dalam
bidang hukum pajak ternyata ketiganya terdapat perbedaan secara prinsipil.
Pembayar pajak sebagai wajib pajak berada dalam tataran
kebenaran karena telah memenuhi syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat
objektif. Sementara itu, pemotong pajak dan pemungut pajak tidak boleh
dikategorikan sebagai wajib pajak karena syarat-syarat objektif tidak
terpenuhi. Pajak yang dipotong atau dipungut tidak boleh dikategorikan
sebagai objek pajak yang dimiliki, melainkan adalah pajak dari pihak-pihak
yang dikenakan pemotongan pajak atau pemungutan pajak. Pemotong pajak
5 Frank Gilders, 2004, Understanding Taxation Law (An Interactive Approach), Second