7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Definisi Pajak Berikut ini adalah pengertian pajak dari berbagai sumber yaitu: Pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan negara, memiliki peran yang penting dalam pembangunan negara. Namun, pada kenyataannya, jumlah penerimaan pajak tidak pernah berhasil mencapai target. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa penerimaan negara sejak tahun 2009 hingga tahun 2012 selalu dibawah target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan (Sidarta, 2014). “Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada Negara, berdasarkan Undang-Undang dan dapat dipaksakan dan gunanya untuk membiayai kepentingan umum” (Bochari, 2017). Berdasarkan definisi diatas, penulis menyimpulkan pajak merupakan penerimaan negara yang bersumber dari sektor swasta maupun Negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. 2.1.2 Jenis-Jenis Pajak Menurut (Mardiasmo, 2018) Pajak dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
26
Embed
BAB II LANDASAN TEORI...7 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pajak 2.1.1 Definisi Pajak Berikut ini adalah pengertian pajak dari berbagai sumber yaitu: Pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pajak
2.1.1 Definisi Pajak
Berikut ini adalah pengertian pajak dari berbagai sumber yaitu:
Pajak, sebagai salah satu sumber penerimaan negara, memiliki peran yang
penting dalam pembangunan negara. Namun, pada kenyataannya, jumlah penerimaan
pajak tidak pernah berhasil mencapai target. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
menyatakan bahwa penerimaan negara sejak tahun 2009 hingga tahun 2012 selalu
dibawah target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan
(Sidarta, 2014).
“Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada Negara,
berdasarkan Undang-Undang dan dapat dipaksakan dan gunanya untuk membiayai
kepentingan umum” (Bochari, 2017).
Berdasarkan definisi diatas, penulis menyimpulkan pajak merupakan
penerimaan negara yang bersumber dari sektor swasta maupun Negara yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang.
2.1.2 Jenis-Jenis Pajak
Menurut (Mardiasmo, 2018) Pajak dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
kelompok, yaitu:
8
1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
1) Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor.
9
2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.
2.1.3 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas pemungutan pajak menurut (Mardiasmo, 2018) adalah:
1. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Resmi dalam (Pania & Afandy, 2014),
yaitu:
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
2. Self Assessment System
10
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak untuk
menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
3. With Holding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang
ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku.
2.2 Pajak Pertambahn Nilai (PPN)
2.2.1 Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di
dalam daerah pabean) baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa. (Elim, 2015)
Menurut Waluyo dalam (Wowor & Ilat, 2015) mendefinisikan Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah
Pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa.
Menurut Priantara dalam (Di, 2018) menyatakan bahwa “Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung atas konsumsi di daerah pabean, artinya
beban pajak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang pihak yang
mengalihkan pajak tersebut memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2.2.2 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
11
Berikut ini merupakan sumber hukum Pajak Pertambahan Nilai yang ada di
Indonesia sampai saat ini menurut (Pohan, 2016):
1. Pertama kali diterbitkan Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang PPN dan
PPnBM.
2. Perubahan pertama dilakukan dengan Undang-Undang No.11 Tahun 1994,
dilaunjutkan dengan;
3. Perubahan kedua dilakukan dengan Undang-Undang No.18 Tahun 2000, dan
selanjutnya;
4. Perubahan ketiga dilakukan dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009.
2.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Waluyo dalam (Pania & Afandy, 2014) mengemukakan pajak
pertambahan nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan atau karakteristik, yaitu:
1. PPN sebagai pajak objektif
Pungutan PPN ini mendasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan dari
wajib pajak.
2. PPN sebagai pajak tidak langsung
Sifat ini menjelaskan bahwa secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada
pihak lain. Namun dari segi yuridis tanggungjawab penyetoran pajak tidak
berada pada penanggung pajak (pemikul beban).
3. Pemungutan PPN multistage tax
Pemungutan PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
distribusi dari pabrikan, pedagang besar, sampai dengan pengecer.
4. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti faktur pajak
12
credit method sebagai metode yang digunakan dengan konsekuensi pengusaha
kena pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
5. PPN bersifat netral
Netralisasi ini dapat dibentuk karena adanya 2 faktor :
a. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa
b. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan
6. PPN tidak menimbulkan pajak ganda.
7. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, penyerahan barang kena pajak
atau jasa kena pajak dilakukan atas konsumsi dalam negeri.
2.2.4 Obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Objek pajak pertambahan nilai yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 dengan Pasal 4, Pasal 16 C, dan 16 D tentang Pajak Pertambahan Nilai
adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
13
2.2.5 Subyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM pasal 1
ayat 27 menyebutkan bahwa pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah pemerintah,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena
Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
2.2.6 Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No.42 tahun 2009 pasal 7:
1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas :
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
c. Ekspor Jasa Kena Pajak;
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen)
sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
2.2.7 Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dasar Pengenaan Pajak menurut Pasal 1 UU PPN 1984 dalam (Salman, 2017)
adalah:
14
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar daerah pabean didalam daerah pabean.
3. Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perUndang-
Undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang
Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah.
4. Nilai Ekspor
Nilai Impor = Cost, Insurance, and Freight (CIF) + Bea Masuk + Bea
Masuk Tambahan
15
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan
pajak. Ketentuan mengenai nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 75/PMK.03/2010 yang direvisi
dengan Peraturan Menkeu Nomor 38/PMK.011/2013, ditetapkan nilai lain
sebagai Dasar Pengenaan Pajak, sebagai berikut:
a. Pemakaian sendiri/pemberian cuma-cuma, DPP adalah harga
jual/penggantian dikurangi laba kotor.
b. Penyerahan media rekaman suara atau gambar DPP adalah perkiraan harga
jual rata-rata.
c. Penyerahan film cerita, DPP adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
d. Penyerahan produk hasil tembakau, DPP adalah harga jual eceran.
e. BKP persediaanan/atau aktiva yang menurut semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, DPP adalah
harga pasar wajar.
f. Penyerahan BKP/JKP dari pusat kecabang atau sebaliknya dan penyerahan
BKP/JKP antar cabang, DPP adalah harga pokok penjualan atau harga
eceran.
g. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara, DPP adalah harga yang
disepakati antara pedagang perantara dan pembeli.
h. Penyerahan BKP melalui juru lelang, DPP adalah harga lelang.
i. Jasa pengiriman paket, DPP adalah 10% dari tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
16
j. Jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata, DPP adalah 10% dari tagihan
atau yang seharusnya ditagih.
2.2.8 Mekanisme Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Seperti telah dijelaskan bahwa PPN dikenakan hanya pada pertambahan
nilainya saja dan dipungut beberapa kali dalam berbagai mata rantai jalur
perusahaan. Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang atas nilai tambah,
menurut (Pohan, 2016) dikenal 3 metode:
1. Addition method (Direct or Indirect Additive Method or Accounts Method)
Berdasarkan metode ini, PPN dihitung dari penjumlahan seluruh unsur nilai
tambah yang mencerminkan selisih antara harga jual dengan harga beli barang.
Lalu penjumlahan seluruh unsur nilai tambah tersebut dikalikan tarif PPN yang
berlaku.
Besarnya PPN yang terutang dapat dihitung dengan :
Kelemahan dari metode ini adalah bahwa pengusaha dituntut memiliki
administrasi pembukuan mengenai biaya yang dikeluarkan dan laba yang
diharapkan dari masing-masing barang produksi atau barang dagangan, yang
dikerjakan dengan tertib dan akurat.
2. Substraction method or Subtractive Direct Method
Menurut metode ini, PPN yang terutang dihitung dari selisih antara harga jual
dengan harga pembelian, dikalikan tarif pajak yang berlaku.
3. Indirect Subtraction (Invoice or Credit) Method
PPN = tarif (10%) x nilai tambah
PPN yang terutang = 10 % x (harga jual – harga beli)
17
Metode ini hampir sama dengan Subtraction Method. Hanya bedanya dalam
Credit Method yang dicari adalah selisih antara pajak yang dibayar saat
pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat penjualan, dan bukan sekedar
selisih antara harga jual dengan harga beli. Jadi PPN terutang merupakan
pengurangan antara PPN yang dipungut oleh pengusaha saat melakukan
penjualan dengan PPN yang dibayarkan pada saat melakukan pembelian.
2.2.9 Penyetoran Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Wirayawan dan Suhartono dalam (Wowor & Ilat, 2015) menyatakan PKP
yang telah melakukan pemungutan PPN atas penyerahan BKP maupun JKP, harus
mempertimbangkan dengan pajak keluaran yang dimilikinya, dan apabila pajak
keluaran lebih besar dengan pajak masukan pada suatu masa tertentu, maka
selisihnya segera disetorkan setiap bulannya, dan juga menyetorkan PPnBM yang
terutang. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No 42 tahun 2009
harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak
dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
1. Saat penyetoran
PPN yang terutang dalam satu masa pajak harus di bayar paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum surat pemberitahuan
masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
2. Tempat pembayaran/penyetoran
a. Kantor pos dan giro
18
b. Bank pemerintah
c. Bank pembangunan daerah
d. Bank devisa
e. Bank-bank lain penerima setoran pajak
f. Kantor Ditjen Bea Cukai, untuk impor tanpa LKP
3. Sarana pembayaran
Pembayaran pajak dilakukan dengan mempergunakan Surat Setoran Pajak
(SSP).
4. Sanksi Keterlambatan
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran pajak terutang berdasarkan SPT
Masa PPN Dan/atau keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam pasal 15A UU PPN, PKP tetap dikenai sanksi
administrasi sesuai UU KUP yaitu:
a. Sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 500.000,00 untuk
keterlambatan penyampaian SPT Masa PPN.
b. Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan.
2.2.10 Pelaporan Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Wirayawan dan Suhartono dalam (Wowor & Ilat, 2015) menyatakan PKP
yang telah memungut dan menyetorkan PPN masih mempunyai kewajiban
melaporkan PPN setiap bulannya, dengan Surat Pemberitahuan Masa PPN, Surat
19
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan
berikutnya.
1. Saat pelaporan
PPN yang dipungut harus dilaporkan oleh PKP pada KPP paling lama akhir
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal jatuh tempo
pelaporan bertepatan dengan hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada
hari kerja sebelumnya.
Pelaporan disampaikan ke KPP tempat wajib pajak terdaftar atau dikukuhkan
sebagai PKP.
2. Sarana pelaporan
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) merupakan sarana untuk melaporkan
penghitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak.
Bentuk dan isi SPT Masa serta keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan
ditetapkan oleh Direkur Jenderal Pajak. Apabila SPT Masa tidak atau tidak
sepenuhnya dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang telah ditetapkan,
maka SPT Masa tersebut dianggap tidak disampaikan. SPT masa tersebut dapat
disampaikan secara langsung ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak/KPP atau
dikirimkan melalui PT Pos Indonesia secara tercatat atau dengan cara lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2.3 Pengusaha Kena Pajak
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 1 ayat (1)
mengatakan bahwa Pegusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun
buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan
20
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp.
4.800.000.000.
Pengusaha Kena Pajak atau PKP dapat mengenakan PPN pada barang atau
jasa yang telah dijual atau ditawarkan. PKP dapat mengkreditkan PPN yang
diperoleh dari hasil transaksinya. Jika penghasilan per tahun dari penjualan barang
dan jasa yang dikenakan pajak mencapai Rp. 4.800.000.000, baik pengusaha besar
atau kecil, kelompok atau individu, maka pengusaha wajib mendaftarkan sebagai
PKP, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Pasal 4
ayat (1)
.
2.3.1 Barang Kena Pajak (BKP)
Pengertian Barang Kena Pajak menurut Mardiasmo dalam (Fransiska & Dian,
2004) “Barang adalah Barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”.
Menurut (Diaz, 2016) “Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN dan PPnBM”.
Sedangkan menurut (Juli, 2015) “Barang Kena Pajak merupakan barang
berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud (merek dagang, hak
cipta, hak paten, dan lain-lain) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-
Undang PPn dan PPnBM”.
2.3.2 Barang Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 jenis barang yang tidak
dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:
21
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya. Barang tersebut meliputi:
a. Minyak Mentah (crude oil),
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat,
c. Panas bumi,
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu