Page 1
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUBUNGAN TEORI KEADILAN DENGAN
ASAS PROPORSIONALITAS SEBAGAI LANDASAN HUBUNGAN
KONTRAKTUAL
2.1. Kajian Mengenai Perjanjian
2.1.1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya
Berbicara mengenai hubungan yang terjadi antara kedua belah pihak maka tidak
akan terlepas dari suatu sebab yang mendorong keinginan seseorang untuk
mengikatkan dirinya dengan orang lain, yang dilandasi dengan aturan yang jelas,
memerintah kedua belah pihak tersebut untuk melakukan suatu klausul yang
disepakati untuk mencapai keuntungan yang diinginkan. Kerap kali proses tersebut
tidak berjalan mulus dimana salah satu pihak dinilai memberikan suatu prestasi yang
dianggap tidak setara dengan kontraprestasi yang didapat sehingga pendapat bahwa
suatu perjanjian yang dibuat secara baku tidak dianggap seimbang. Maka dari itu,
sangat penting untuk mengetahui apakah perjanjian itu, bagaimana prosesnya dan
bagaimana menilai suatu perjanjian yang baik melalui asas – asas yang relevan
sehingga menjadi perjanjian yang baik menurut Undang – undang.
Perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPER didefinisikan sebagai suatu perbuatan
yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.
Page 2
40
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian
merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak / kata sepakat).
Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya
sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan
yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut
hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan
sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut
(communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan
katasepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan
Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu,1 menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum
di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa
perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
1 Subekti, 2006, Hukum Perjanjian (cetakan 16), Intermasa, Jakarta, hal 9
Page 3
41
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian
adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu
penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga
tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua
belah pihak.
Pengertian perjanjian yang dijabarkan dalam KUHPER tersebut menurut para
sarjana masih terlalu luas dan memiliki beberapa kelemahan. Sehingga dalam
prakteknya menimbulkan berbagai keberatan dimana tetap ada satu pihak akan wajib
berprestasi dan pihak lainnya menerima prestasi sedangkan cita – cita yang akan
dicapai dengan berbagai asas perjanjian yaitu adanya suatu keseimbangan antara hak
dan kewajiban dimana keduanya saling menguntungkan sehingga terlahir kata
sepakat antara kedua belah pihak.
Menurut Suryodiningrat, definisi Pasal 1313 KUHPER ditentang karena adanya
argumentasi berikut :2
1) Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas maka dapat
menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan ( contoh : perbuatan
yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar
hukum )
2R.M Suryodiningrat, 2009, Asas – Asas Hukum Perikatan cetakan ke - III, Tarsito, Bandung, HAL 72
Page 4
42
2) Definisi Pasal 1313 KUHPER hanya mengenai persetujuan sepihak (
unilateral ) , satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya
tidak berprestasi, seharusnya perjanjian itu berdimensi dua pihak yang
saling berprestasi.
3) Pasal 1313 KUHPER hanya mengenai persetujuan obligatoir(
melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak ) dan tidak berlaku bagi
persetujuan lainnya misalnya perjanjian membebaskan ; perjanjian
dilapangan ; hukum keluarga ; perjanjian kebendaan dan perjanjian
pembuktian.
Pengerian perjanjian secara otentik yang dirumuskan olehpembentuk Undang-
undang sebagaimana terdapat dalam Pasal1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang ataulebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.Terhadap
rumusan tersebut Prof. Subekti berpendapat bahwa walaupun definisi perjanjian
tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena
hanya menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luaskarena
dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai
perbuatan yang terdapat dalam bidang hukum keluarga.3
Atas dasar alasan-alasan tersebut maka perlu dirumuskan kembali apa yang
dimaksud dengan perjanjian itu adalah “suatu persetujuan dengan mana dua orang
atau lebih saling mengikatkandiri untuk melaksanakan suatu hal dalam harta
3Subekti, 2009, Aneka Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, hal. 1
Page 5
43
kekayaan”. Prof. Subekti yang menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada oranglain atau dimana seseorang berjanji
kepada orang lain atau dimanadua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.4
Dasar hukum pengaturan tentang perjanjian diatur dalam KUH Perdata buku
ketiga mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456.Pasal 1233 menerangkan
tentang pengertian dari perikatan yang merupakan awal dari suatu ketentuan hukum
yang mengatur tentang perikatan dimana jika dilihat dari sumber, maka terdapat dua
sumber lahirnya perikatan yaitu Undang – undang dan perjanjian.5 Pasal – pasal
tersebut telah mengatur mengenai perikatan, munculnya perikatan, syarat sahnya
perjanjian, hapusnya perikatan dan pembatalan perikatan. Dari ketentuan – ketentuan
tersebut maka dapat dianalisa berbagai macam norma dasar ataupun asas – asas yang
menjadi fondasi dari suatu hukum perjanjian, bentuk – bentuk perjanjian serta aturan
– aturan khusus yang mengatur mengenai berbagai macam perjanjian yang
diperbolehkan hukumnya di Indonesia.
2.1.2. Asas – Asas Dalam Perjanjian
4Ibid, hal.3
5 Ahmadi Miru, 2012, Hukum Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3
Page 6
44
Asas hukum berperan penting sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah
hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Suatu asas dapat dibilang kuat jika suatu asas
hukum itu dapat dipandang sebagai suatu bentuk argumentasi berkenaan dengan
penerapan kaidah perilaku, dalam hal ini asas hanya akan memberikan argumen –
argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan, asas hukum juga
memeberikan arah pada perilaku yang dikehendaki.6Maka dalam ilmu hukum asas
berperan sebagai sebuah pedoman pemikiran aturan atas prinsip prinsip hukum yang
masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan
dasar yang melatar belakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana
hukum itu dapat dilaksanakan. Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting,
yaituasas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas
kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan
berikut ini :7
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Merupakan asas yang paling terkenal karena didekatkan dengan Pasal
1338 KUHPER namun jika dicermati ayat dan alineanya maka terdapat
beberapa asas yang terkandung didalamnya. Asas kebebasan berkontrak
dapat dianalisis dari ketentuanPasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
6 JJ. Bruggink, Op Cit, hal. 120
7Abdul. R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana,
Jakarta, hal 46
Page 7
45
berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :8
a) Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian
b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun
c) Menentukan isi dari perjanjian, pelaksaan, persyaratan dan
d) Menentukan bentuk dari perjanjian apakah itu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak menurut Mariam
Badrulzaman adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissancemelalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes,
Jhon Locke dan Rosseau dan menurut paham individualisme, setiap orang bebas
untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.9
2) Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, dikenal asas konsensualisme yang sering diartikan
bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya perjanjian.Pengertian ini
sebenarnya tidak tepat mengingat bahwa lahirnya suatu perjanjian yaitu
setelah terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai
kesepakatan antara kedua belah pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu
8Salim H.S, 2010, Hukum Kontrak :Teori Dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9
9Ibid, hal. 9
Page 8
46
belum dilaksanakan pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau
biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.Asas
konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini
hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak
formal dan kontrak riil tidak berlaku.
3) Asas Itikad Baik
Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPER
bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu,
Arrest H.R di Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik
dalam tahap pra perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad
baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya asas itikad baik itu
sehingga dalam perundingan – perundingan atau perjanjian para pihak, kedua
belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum yang dikuasai
oleh itikad baik dan hubungan ini akan membawa akibat lebih lanjut bahwa
kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan –
kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing – masing calon pihak
dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan
dalam batas – batas wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani
kontrak atau masing – masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup
dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
Page 9
47
Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad
baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian
tidak memihak) menurut norma - norma objektif.10
4) Asas Pact Sund Servanda ( Mengikatnya Kontrak )
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak
tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji – janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang – undang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang
menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku dan
mengikat sebagai undang – undang bagi mereka yang menyepakatinya.
5) Asas Kepribadian ( Personalitas )
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
melakukan dan atau membuat perjanjian hanyauntuk kepentingan perseorangan saja.
Hal ini dapat dilihat dalampasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315
KUH Perdata berbunyi : “ pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”.
Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340KUH Perdata berbunyi : “ suatu perjanjian
10
Ibid, hal. 21
Page 10
48
hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Diatas merupakan kelima asas penting yang dikenal dalam hukum perjanjian.
Namun akibat luasnya makna perjanjian dalam KUHPER seperti yang dijelaskan
diatas maka suatu norma akan kembali bergerak dinamis tanpa suatu asas yang
menjadi pijakan konkret suatu norma hukum. Dalam dunia bisnis, perjanjian
sangatlah dibutuhkan untuk menjaga suatu atmosfir kegiatan pertukaran hak ,
kewajiban serta menyangkut harta benda agar dilakukan secara baik dan adil dan
menghindari suatu keadaan “saling makan”. Dalam hal ini perlu adanya suatu asas
yang dapat menjamin suatu keadaan kesetaraan dalam dunia bisnis.
2.1.3. Bentuk Bentuk Perjanjian
Dalam KUH Perdata, tidak dijelaskan secara konkrit mengenai perjanjian –
perjanjian yang boleh dibuat di Indonesia melainkan sedikit tersirat bahwa KUH
Perdata membolehkan segala bentuk perjanjian yang dimasa depan akan mengikuti
perkembangan masyarakat. Namun, terdapat aturan yang menjelaskan bahwa setiap
perjanjian yang timbul harus selalu tunduk terhadap semua ketentuan – ketentuan
dasar yang terdapat dalam KUH Perdata seperti dalam ketentuan Pasal 1319 yaitu : “
semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak
terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan – peraturan umum, yang
termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. Melihat ketentuan Pasal tersebut maka
dapat diambil kesimpulan bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh seseorang, baik
Page 11
49
yang telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur, tetap
tunduk terhadap ketentuan umum perikatan dalam KUH Perdata.
Dalam hukum Indonesia terdapat banyak jenis perjanjian yang dapat dilihat dari
berbagai segi. Namun dari segi perikatan yang muncul maka perjanjian dapat dibagi
menjadi :11
1. Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuandimana terhadap
prestasi yang satu selalu ada kontra prestasipihak lain, dimana kontra
prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi
yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri.
2. Perjanjian Cuma – Cuma
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian atau persetujuan dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan atau prestasi kepada
pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Contohnya adalah hibah
3. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang dibuat dengan
meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak yang membuat
perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUH Perdata dan
11
J. Satrio, 2009, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I), PT. Citra
Aditya bakti, Bandung, hal. 37
Page 12
50
perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUH Perdata. Dalam perjanjian
jual beli, hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual
berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat
pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan menerima
barangnya
4. Perjanjian Bernama atau Perjanjian Tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan
khusus dalam KUH Perdata Buku Ketiga Bab V sampai dengan bab
XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain –
lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara
khusus dalam Undang – undang.Misalnya perjanjian leasing, Perjanjian
keagenan dan distributor serta perjanjian kredit.
5. Perjanjian Nominat dan Inominat
Perjanjian Nominat adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata
dimana termasuk didalamnya adalah perjanjian jual beli, tukar menukar,
sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam
pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian. Sedangkan perjanjian inominat adalah perjanjian yang
timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini
belum dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjian
inominat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint
venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain lain
Page 13
51
Sedangkan Achmad Busro dalam bukunya Hukum Perikatan menyatakan
bahwa perjanjian dapat dibagi menjadi :12
1. Perjanjian Atas Beban ( Onder Bezwareden )
Perjanjian atas beban adalah perjanjian atau persetujuan dimana
terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak lain, dimana
kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas
prestasi yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya
sendiri.
2. Perjanjian timbal balik tak sempurna
Perjanjian ini pada dasarnya adalah perjanjian sepihak, karena
kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja, tetapi dalam
hal – hal tertentu, dapat timbul kewajiban – kewajiban pada pihak lain,
misalnya perjanjian pemberian kuasa ( Lastgeving) tanpa upah
3. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah dimana adanya kata sepakat antara para
pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan
4. Perjanjian riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Contohnya perjanjian utang
piutang, perjanjian pinjam pakai, dan perjanjian penitipan barang.
Apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya
12
Achmad Busro, 2010, Hukum Perikatan, Octama, Semarang, hal 4
Page 14
52
terdapat suatu perjanjian pendahuluan ( Pactum de contrahendo
voorovereenkomst )
2.1.4. Syarat sahnya Perjanjian
Walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan
mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus
diperhatikan yaitu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPER, yaitu :
1) Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan ini diaturdalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satuorang atau lebih dengan pihak lainnya.
2) Kecakapan Dalam Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yangcakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditentukan oleh
undang-undang.13
Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa menurut undang – undang
13
Subekti, Op Cit, hal. 19
Page 15
53
seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1320 ayat (1) sedangkan orang yang
dianggap tidak cakap menurut Pasal 1330 adalah :
a. Orang – orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang – orang perempuan, dalam hal – hal yang ditetapkan oleh
Undang – undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang – undang telah melarang membuat perjanjian tertentu
3) Adanya Objek Perjanjian
Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian
adalah prestasi ( pokok perjanjian). Artinya apa yang telah diperjanjikan hak
– hak dan kewajiban – kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari
perbuatan positif dan negatif, yaitu :
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1234 KUHPER)
4) Sebab Yang Halal
Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang halal.
Maksudnya disini adalah isi dari perjanjian tersebut. Suatu sebab
akandilarang jika bertentangan dengan Undang – undang, kesusilaan atau
ketertiban umum sesuai Pasal 1337 KUHPER
Page 16
54
2.1.5. Berakhirnya Perikatan
Dalam undang – undang tidak ada yang mengatur tentang hapus atau
berakhirnya suatu perjanjian melainkan berakhirnya suatu perikatan, perikatan dan
perjanjian bukanlah suatu hal yang sama seperti yang sudah dijelaskan diatas. Berikut
merupakan sebab – sebab berkahirnya suatu perikatan sesuai dengan pasal 1381
KUHPER :
a. Karena pembayaran
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
c. Karena pembaharuan utang
d. Karena perjumpaan utang
e. Karena perjumpaan utang dan kompensasi
f. Karena percampuran utang
g. Karena pembebasan utang
h. Karena musnahnya barang yang terutang
i. Karena pembatalan atau kebatalan
j. Karena berlakunya suatu syarat batal
k. Karena lewatnya waktu
Page 17
55
Hapusnya suatu perikatan tidak hanya dijelaskan dalam KUHPER, namun
Terdapat beberapa pendapat lain yang berbicara mengenai berakhirnya suatu
perikatan menurut R. Setiawan14
yaitu :
a. Ditentukan dalam Klausul para pihak, contohnya perjanjian tersebut
berakhir pada waktu tertentu
b. Undang – undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan,
misalnya pasal 1066 KUHPER, yang menyebutkan bahwa ahli waris
tertentuuntuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Waktu
persetujuan dalam pasal 1066 ayat (4) KUHPER dibatasi hanya 5 tahun
c. Para pihak atau undang – undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus,
misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan akan
hapus seperti yang tercantum pada persetujuan :
1) Persetujuan Perseroan ( Pasal 1646 ayat (4) KUHPER )
2) Persetujuan pemberian kuasa ( Pasal 1813 KUHPER )
3) Persetujuan kerja ( Pasal 1603 KUHPER )
d. Pernyataan penghentian persetujuan ( Opzegging ). Penghentian
persetujuan ini dapat dilakukan baik oleh salah satu ataupun kedua belah
pihak dan ini hanya ada persetujuan – persetujuan yang bersifat
sementara, misalnya persetujuan kerja dan persetujuan sewa – menyewa.
e. Persetujuan hapus karena putusan hakim
14
Setiawan, R. 2005, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Cetakan ke II, Bumi Cipta, Bandung, hal. 49
Page 18
56
f. Tujuan dari persetujuan telah tercapai
g. Dengan persetujuan para pihak
Beberapa faktor tersebut dapat menjadi suatu penyebab berakhirnya suatu
perikatan di Indonesia, namun kita dapat melihat pperbandingan faktor lain dalam
pandangan asing yaitu dari Erwan MacINTYRE dalam bukunya menyebutkan bahwa
:
“A party’s contractual liability is discharged or ceases to
exist in a matter of four ways :
1. By performance;
2. By agreement;
3. By frustration; or
4. By Breach15
Tiga faktor diatas yaitu performance, agreement dan breach adalah faktor yang sudah
kita kenal yaitu performance merupakan tindakan dalam arti kedua belah pihak telah
mencapai tujuan dari kontrak sesuai dengan yang disepakati, agreement yaitu
persetujuan dari para pihak dan yang ketiga adalah breach merupakan penolakan
terhadap hal yang disepakati sehingga dapat terjadinya wanprestasi yang berakhir
pada putusan hakim. Yang menarik disini adalah frustration dimana jika diartikan
secara literal mempunyai sinonim dengan kata desperation tapi dalam bahasa inggris
hukum dikenal sebagai frustation yaitu suatu keadaan dimana :
“A contract may become frustrated if it becomes
impossible to perform, illegal to perform or radically
different from what the parties contemplated. If a
15
Erwan Macintyre, 2007, Essentials of Bussiness Law, Pearson Education Limited, England, pg. 125
Page 19
57
contract is impossible to perform when it is made then it
may be void for mistake”.16
Melihat pernyataan diatas maka dapat dipahami bahwa suatu kontrak dapat batal
demi hukum jika klausulnya sangat sulit untuk dilakukan, bertentangan dengan
hukum dan berbeda dengan apa yang diinginkan para pihak sehingga dapat menjadi
celah untuk suatu tindakan wanprestasi jika kontrak telah dibuat. Jika kita melihat
perbandingan dalam hukum Indonesia, seperti yang disebutkan diatas maka terlihat
kesamaan dalam syarat berakhirnya suatu perikatan namun belum disebutkan
mengenai kontrak dengan klausula yang mustahil untuk dipenuhi oleh para pihak.
Dalam hal ini tergantung dari bentuk kontraknya, dalam kontrak kerjasama dalam
prinsipnya maka para pihak dapat bernegosiasi untuk mengurangi beban dalam
klausul tersebut, menggantinya dengan klausul lain atau menghapus klausul tersebut
2.2. Pemahaman Asas Proporsionalitas
2.2.1. Pemahaman Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Baku
Terdapat beberapa asas – asas umum yang mendukung suatu perancangan
kontrak yang baik. Namun diluar dari asas – asas tersebut, dibutuhkan suatu asas
yang berorientasi kepada keadilan karena suatu produk hukum mencita – citakan
suatu bentuk keadilan yang diharapkan akan dipatuhi oleh para penggunanya. Suatu
perjanjian dibuat dengan kesepakatan para pihak, tapi didalam dunia bisnis suatu
bentuk dan norma hukum yang efisien diperlukan sebagai suatu acuan dasar dalam
16
Erwan Macintyre, Ibid, hal. 129
Page 20
58
berkontrak. Seperti contohnya perjanjian baku, melalui suatu proses perkembangan
kehidupan manusia kita menuntut agar suatu perjanjian atau bentuk kontrak dapat
dipahami dan disepakati secara cepat dan praktis.
Perjanjian baku menandai suatu perkembangan perikatan bisnis yang
didalamnya terdapat suatu kepentingan antara kedua belah pihak yang dapat
dilaksanakan segera dengan cepat. Kontrak baku ini memang mengakomodasi suatu
kegiatan bisnis namun masih banyak ahli yang menilai bahwa kontrak baku telah
memberikan ketidak seimbangan para pihak. Disini penulis akan memberikan uraian
tentang penting asas proporsionalitas ditinjau dari prinsip keadilan untuk mengubah
cara pandang kontrak baku yang dikatakan tidak seimbang menjadi “ proporsional “.
Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas tampak lebih dominan
dalam kontrak komersial. Dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak
komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan sehingga tujuan para pihak
yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran
hak dan kewajiban yang proporsional ( fair ). Asas keseimbangan tidak dilihat
sebagaimana asas keseimbangan yang berkonteks keseimbangan – matematis (
equilibrium) namun lebih kepada proses dan mekaanisme pertukaran hak dan
kewajiban yang berlangsung secara fair.
Page 21
59
Untuk mencari makna asas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari
makna filosofi keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai pendapat filsuf dan
sarjana :17
1. Aristoteles menyatakan bahwa prinsip yang sama diperlakukan sama
dan prinsip yang tidak sama diperlakukan tidak sama.
2. Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang terus
menerus dan tetap memberikan kepada masing – masing apa yang
menjadi haknya. Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang
diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia
terima.. Pada hakikatnya, gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi
pemaknaan asas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para
pihak.
3. Hegel mengatakan bahwa sentuhan proporsionalitas dalam pertukaran
prestasi para pihak yang berkontrak melalui pengakuan akan adanya hak
milik. Hak milik menurut Hegel merupakan landasan bagi hak – hak
lainnya. Pemegang hak milik harus menghormati orang lain yang juga
pemegang hak milik. Adanya saling menghormati hak milik sekaligus
mempertahankan eksistensi masing – masing pihak merupakan landasan
terjadinya hubungan kontraktual yang bersubstansikan asas
proporsionalitas.
17
Agus Yudha Hernoko, Op Cit, hal 84
Page 22
60
4. Lyons berpendapat bahwa suatu iklim kontrak yang sesungguhnya pada
hakikatnya memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar menawar,
atau bahkan perbedaan – perbedaan yang relevan antara para pihak.
Argumen kontrak menuntut pertukaran gagasan secara bebas dan
melalui proses meminjam, yang pada akhirnya ssemua pihak akan
sampai pada kesepakatan bersama mengenai prinsip – prinsip keadilan
yang tepat bagi mereka. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu
kesepakatan sungguh – sungguh merefleksikan kepentingan semua
pihak.
5. Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas dengan istilah
“equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna
“equitability” menunjukkan suatu hubungan yang setara ( kesetaraan )
tidak berat sebelah dan fair. Artinya hubungan kontraktual tersebut pada
dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk
pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan
keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut
hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah
ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk kedalam kontrak berada dalam
keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidak samaan tersebut tidak
boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan
kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi
semacam inilah asas proporsionalitas bermakna equitability.
Page 23
61
Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan
berkontrak” yanng mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam
beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Pemikiran seperti ini mengingatkan
kita pada awamnya dan para ahli atau sarjana pada khusunya untuk tidak lagi
berpatutan oleh kebebasan berkontrak namun mengfokuskan pembelajaran mengenai
kriteria serta prosedur bagi perkembangan doktrin “ keadilan kontraktual “.
Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendeekatan.Pertama
adalah pendekatan prosedurraal dimana pendekatan ini mengfokuskan kepada
permasalahan kebebasan kehendak dalam pembuatan suatu kontrak.Pendekatan yang
kedua yaitu pendekatan substantif dimana pendekatan ini bertujuan untuk
memberikan dorongan kandungan atau substansi serta pelaksaan kontrak.
Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas
proporsionalitas memiliki arti “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak
dan kewajiban para pihak sesuai dengan porsi atau proporsi dan bagiannya dalam
seluruh kegiatan kontraktual”. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak
dan kewajiban diwujudkan dalam sebuah proses hubungan mengikat baik pada fase
prakontrakktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas
proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para
pihak agar lahirlah suatu hubungan yang kondusif dan fair.
Page 24
62
Berdasarkan kajian diatas maka terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan
dasar untuk menemukan apabila suatu kontrak mengandung asas proporsionalitas
atau tiidak yaitu sebagai berikut :18
1. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang
memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang
sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil
bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil’ melainkan
pada posisi para pihak yang mengandaikan “ kesetaraan kedudukan dan
hak (equitability)”.
2. Berlandaskan pada kesamaan dan kesetaraan hak tersebut, maka kontrak
yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh
kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil
dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan)
3. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan
kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi
bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu
mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini
dimungkinkan adanya hasil yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip
distribusi – proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus
mengacu pertukaran yang fair (distribusi proporsional)
18
Ibid, hal 88
Page 25
63
4. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, apakah
kadarnya ringan atau berat atau sebab dari hal – hal lain harus diukur
berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian
yang elegan dan win – win solution
Kontrak yang berperan sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus
dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para
pihak yang berkontrak. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut
terwujud dalam pemberian kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan
(hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan
kesamaan dalam pertukaran hak dan kewajiban tersebut tetap harus konsisten berada
dalam koridor aturan main yang mempertimbangakan prinsip distribusi yang
proporsional.
2.2.2. Konsep Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak
Pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwabanyak
perjanjian di dalam transaksi bisnis, yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang
seimbang diantara pihak, akan tetapi perjanjian itu dibuat oleh salah satu pihak
dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang
sudah dicetak kemudian disodorkan kepada pihak lain yang sudah disetujui, dengan
hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk melakukan
Page 26
64
negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan itu.19
Perjanjian yang demikian inilah
yang dinamakan perjanjian baku atau perjanjian standar.
Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulnya
sudah dibakukan oleh pemakainya (dalam transaksi perbankan adalah bank yang
bersangkutan) dan pihak lain (dalam transaksi perbankan adalah nasabah dari bank
tersebut) pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan.20
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut
standard contract, atau standard agreement. Kata baku atau standar artinya bahwa
tolak ukur yang dipakai sebagai patokan. Dalam arti lain, perjanjian baku ini adalah
perjanjian yang menjadi tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi
setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan penguasa.21
Rumusan perjanjian baku diatas pada prinsipnya mempunyai arti yang sama.
Perjanjian baku dapat dirumuskan dalam pengertian bahwa perjanjian baku
merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Perjanjian baku kadang tidak memperhatikan isinya, tetapi hanya menekankan pada
19
Munir Fuady, 2022, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal
22 20
Sutan Remy Sjahdeini, 2007, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, hal 66. 21
Abdul Kadir Mohammad, 2010, Hukum Perikatan( Cetakan ke III ), Citra Aditya Bhakti, Bandung ,
hal 78.
Page 27
65
bagian pentingnya dengan janji-janji atau klausula yang harus dipenuhi oleh para
pihak yang menggunakan perjanjian baku.22
Perjanjian baku yang dibuat dalam jumlah banyak diberlakukan secara sama
terhadap debitur yang melibatkan diri dalam perjanjian tersebut. Dalam keadaan
kreditur telah menentukan isi dan bentuk perjanjian pada saat pembuatannya, maka
dapat dikatakan debitur tidak mempunyai kedudukan seimbang dengan kreditur. Jika
debitur menyetujui salah satu syarat, maka mungkin debitur bersikap menerima atau
tidak menerima sama sekali kemungkinan untuk mengadakan perubahan isi tidak ada
sama sekali.23
Perjanjian baku lahir sebagai akibat dari perubahan masyarakat. Latar belakang
timbulnya perjanjian baku adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi. Perusahaan
yang besar, perusahaan pemerintah, mengadakan kerja sama dengan debitur danuntuk
kepentingannya mereka menentukan syarat sepihak. Pihak lawannya yang ada pada
umumnya mempunyai kedudukan yang lemah, baik karena posisinya atau karena
ketidaktahuannya, hanya menerima syarat yang disodorkan itu.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara
sepihak oleh penguasa akan menguntungkan pengusaha berupa24
:
22
Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahnnya,
alumni, Jakarta, hal. 58. 23
Ibid, hal. 59 24
Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 8
Page 28
66
1. Efisiensi waktu, biaya dan tenaga
2. Praktis karena sudah tersedia suatu bentuk naskah yang dicetak berupa
formulir atau blangko yang siap ditanda tangani
3. Penyelesaian cepat, karena kreditur hanya menyetujui dan atau
menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya.
4. Homogenitas perjanjian yang dibuat dalam jumlah banyak
2.2.3. Penjabaran Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Baku
Hubungan kontraktual yang lahir dari perikatan antar para pihak pada
hakikatnya memang tidak dapat dilepaskan dari masalah keadilan. Kontrak atau
perjanjian sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak
yang lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Maka akan sangat tepat
jika dilakukan suatu analisis demi menarik benang merah antara asas proporsionalitas
dalam perjanjian yang justru dimulai dari aspek filosofis keadilan dalam berkontrak.
Sampai sekarang ini keadilan merupakan suatu kata yang sangat rumit untuk
dijelaskan secaraa konkrit terlebih jika dikaitkan dengan kepentingan yang demikian
kompleks. Menurut Rawls, suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan
pendekatan kontrak, dimana asas – asas keadilan yang dipilih bersama benar – benar
merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan
sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin
Page 29
67
pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua
orang.25
Dalam perkembangannya, Rawls merumuskan berbagi prinsip keadilan
distributif yang dapat mengedepankan asas hak daripada asas manfaat sebagai berikut
:26
1. Prinsip pertama yaitu bahwa semua orang harus memiliki hak yang
sama atas kebebasan atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang palling
mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang.
2. Prinsip kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur
sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan keuntungan terbesar
bagi orang – orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan
bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan
jabatan harus te rbuka bagi semua orang
Melihat penjelasan diatas dapat dipahami bahwa menurut Rawls, konsep
kesamaan dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak dan bukan dalam arti
kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua orang dan ditentukan oleh berbagai
kondisi, keadaan – keadaan dan dan kualitas masing – masing. Tentunya pandangan
ini semakin membuka mata mereka yang senantiasa menuntut hasil yang sama tanpa
memandang proses (prosedur) dari awal hingga akhir.
25
Andre Ata Ujan, 2004, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius,
Jakarta, hal. 21 26
Ibid, hal. 129
Page 30
68
Menurut Rawls, kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan suatu
prosedur. Keadilan sebagai fairness atau pure procedure justice tidak menuntut setiap
orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil
yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai adil, juga
jika setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Dengan demikian, konsep keadilan
yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus diterima
sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.27
Oleh karena itu, harus dipahami
bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu
dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan – perbedaan yang secara
obyektif ada pada setiap individu.
Analisis komprehensif tentang keadilan tidak lengkap apabila tidak mengupas
soal equity (kepatutan).Kepatutan merupakan penjaga dari pelaksanaan undang –
undang, karena equity terletak diluar undang – undang (hukum) yang menuntut
keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.Equity merupakan gagasan fairness
dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian memberi peluang untuk penilaian yang
melengkapi sifat umum dari undang – undang.
Duynstee menyatakan bahwa definisi equity sebagai kebajikan yang mendorong
manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional
(menurut akal sehatnya). Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mereduksi
keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan
27
Ibid, hal. 131
Page 31
69
individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu.28
Melalui penerapan equity dalam
praktik akan memberlakukan nilai keadilan dalam hubungan individu dikembalikan
pada proporsi sewajarnya karena equity sangat mempertimbangkan aspek penting
yang melingkupi itikad baik, maksud para pihak dan situasi atau keadaan – keadaan.
Segala penjelasan mengenai equity (kepatutan) dengan segala aspeknya
memang bukan barang baru lagi dalam ranah hukum Indonesia. Dalam lingkup KUH
Perdata, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam rumusan Pasal 1339
KUH Perdata yaitu : “Perjanjian – perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal
yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang –
undang”.
Substansi Pasal 1339 KUH Perdata ini menekankan kepada pentingnya
kepatutan (equity) dalam kaitannya dengan hubungan kontraktual para pihak,
disamping dengan apa yang telah disepakati dalam kontrak. Contoh yang lain, dalam
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dimana “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”, ayat ini pun mengandung unsur kepatutan dimana terdapat kalimat itikad baik
didalamnya.
2.2.4. Ciri dan Bentuk Perjanjian Baku
Mengingat bahwa kegiatan bisnis bergerak secara dinamis tanpa menunggu
aturan, maka mau tidak mau hukum juga harus dapat menyesuaikan diri dengan
28
E. Sumaryono, 2005, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius,
Yogyakarta, hal. 90
Page 32
70
perkembangan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, etos kerja dunia bisnis
yang mengedepankan efisiensi waktu dan menggunakan sedikit mungkin sumber
daya demi mendapat profit yang tinggi telah mengubah cara pandang kebutuhan
masyarakat.
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka ciri – ciri perjanjian
baku mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Ciri-
ciri tersebut mencerminkan prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian
baku dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan dari kepentingan konsumen. Dengan
pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin,
karena konsumen hanya menyetujui syarat syaratyang disodorkan oleh pengusaha.
Mengutip pernyataan dari Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku
mempunyai ciri – ciri berikut29
:
1. Isinya dibuat dan ditetapkan sepihak oleh pihak yang lebih kuat
2. Debitur tidak ikut serta dalam penentuan isi perjanjian
3. Terdorong oleh kebutuhan, maka debitur menyetujui perjanjian tersebut
4. Sudah dipersiapkan secara masal dan kolektif
Perjanjian baku memiliki beragam bentuk yang dikenal dalam dunia bisnis
ataupun yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kegiatan bisnis itu sendiri
antara lain30
:
1. Perjanjian baku sepihak
29
Mariam Darus Badrulzaman, Op Cit, hal. 69 30
Ibid, hal. 6
Page 33
71
Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya dibuat oleh pihak
yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu
2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah
Perjanjian baku ini merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan
oleh pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu
3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh advokat dan notaris
Perjanjian baku disini berkaitan dengan perjanjian yang konsepnya sejak
semulasudah disiapkan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat
yang meminta bantuan notaris atau advokat.
Jika suatu perjanjian baku memang sudah disiapkan oleh pihak kreditur, maka
dalam pelaksanaannya perjanjian – perjanjian dengan syarat – syarat baku tersebut
juga memiliki bentuk permanen yang biasanya digunakan oleh pihak kreditur antara
lain31
:
1. Dokumen
Merupakan perjanjian yang konsepnya telah dipersiapkan terlebih dahulu
oleh salah satu pihak. Biasanya memuat persyaratan khusus baik
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal – hal tertentu
dan atau tidak berakhirnya perjanjian itu
2. Dalam bentuk persyaratan dalam perjanjian
31
Az Nasution, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen (suatu pengantar), Diadit Media,
Jakarta, hal. 95
Page 34
72
Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk lain seperti yangtermuat dalam
berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tandapenjualan, kartu-kartu
tertentu, pada papan pengumuman yangdiletakkan dalam di ruang
penerimaan tamu atau dilapangansecarik kertas tertentu yang termuat
dalam kemasan atau padawadah produk yang bersangkutan.
2.2.5. Perjanjian Baku Dalam Hukum Kontrak
Sebelum membahas kredibilitas perjanjian baku dalam hukum, akan dijelaskan
terlebih dahulu tentang berlakunya perjanjian dengan syarat – syarat baku32
:
1. Memuatnya dalam butir – butir perjanjian yang konsepnya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak biasanya dikalangan
pengusaha, baik itu produsen, distributor maupun pedagang eceran
produk yang bersangkutan. Pokoknya disediakan oleh si penyedia barang
atau jasa ditawarkan pada orang banyak ( kontrak jual beli, sewa beli
kendaraan bermotor, perumahan, alat – alat elektronik dll )
2. Dengan memuatnya dalam carik – carik kertas baik berupa tabel,
kuitansi, bon, tanda terima barang atau lain – lain bentuk penjualan dan
atau penyerahan barang dari toko, kedai, supermarket dan lainnya
3. Dengan pembuatan pengumuman tentang berlakunya syarat – syarat baku
ditempat tertentu, seperti ditempat parkir atau dipenginapan dengan
meletakkan pengumuman itu di meja / ruang dimana tempat itu
32
Ibid hal. 16
Page 35
73
disewakan. Contohnya : kalimat “ barang berharga yang hilang bukan
tanggung jawab kami”.
Melihat sifat dari perjanjian baku ini kesannya seperti dipaksakan maka akan
ditinjau lebih jauh dengan memakai beberapa pendapat ahli tentang keabsahannya
dimata hukum, bagaimana perjanjian ini bisa bertahan sampai saat ini dan apa
landasan yang menjadikannya sebagai suatu kebutuhan standar dalam menjalankan
kegiatan bisnis. Dalam menganalisa keabsahan ini, akan dijabarkan beberapa
pendapat sebagai berikut33
:
1. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian karena
kedudukan pengusaha adaah seperti pembentuk undang – undang
2. Pitlo berpendapat bahwaperjanjian baku adalah perjanjian paksa
3. Stein berpendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai
perjanjian fiksi adanya kemauan dan kepercayaan bahwa para pihak
mengikatkan diri pada perjanjian
4. Asser Rutten berpendapat bahwa setiap orang yang menandatangani
perjanjian bertanggung jawab atas dirinya. Tanda tangan pada formulir
perjanjian baku membangkitkan kepercayaan bahwa yang
menandatangani mengetahui dan menghendaki isi formulir perjanjian
Namun ada yang berpendapat berbeda, Hondius mengatakan bahwa perjanjian
baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan “kebiasaan” ( Gebruik ) yang
33
Sutan Remi Sjahdeini, Op Cit, hal. 70
Page 36
74
berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Sutan Remi Sjahdeini
sepakat dengan pendapat Hondius, menurutnya :34
“Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan
oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan
yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam
dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk
karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri.
Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian
baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat”.
Melihat uraian diatas maka keabsahan berlakunya perjanjian baku memang tidak
perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dibahas apakah perjanjian itu tidak bersifat
sangat berat sebelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat
memberatkan bagi pihak lainnya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian yang
menindas dan tidak adil. Maksud dari sangat berat sebelah ialah bahwa perjanjian itu
hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja (yaitu pihak yang
mempersiapkan perjanjian baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi
kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak
lainnya itu tidak disebutkan. Keabsahan dari berlakunya perjanjian tersebut tidak
perlu dipersoalkan karena secara praktek sudah diterima namun perlu diatur secara
tegas mengenai klausul – klausul atau ketentuan – ketentuan dalam perjanjian baku
baik sebagian atau seluruhnya agar mengikat pihak lainnya.
34
www.majalahhawk.com, diakses tanggal 15 Februari 2014 pukul 22.00 wita
Page 37
75
2.3. Pengertian Franchise
Istilah Franchise merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang jika
diterjemahkan dalam bahawa Indonesia akan menjadi waralaba. Istilah waralaba
pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh LPPM ( lembaga pendidikan dan
pembinaan manajemen ). Waralaba berasal dari kata wara yang berarti besar atau
istimewa dan laba yang berarti keuntungan.35
Dan jika digabungkan akan memiliki
arti kegiatan bisnis yang bertujuan untuk mengambil keuntungan yang besar dimana
istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan istilah franchiseitu sendiri.
Disamping pengertian tersebut, terdapat beberapa pengertian tentang franchise/
waralaba yaitu :
1. Pengertian waralaba sesuai dengan yang tertuang di Peraturan
Pemerintah nomor 42 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Perdagangan
nomor 53 tahun 2012 yaitu Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki
oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan
ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang
telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
2. Pengertian waralaba ditinjau dari sisi ekonomi yang dibagi menurut
kegiatannya yaitu :
a. Franchise produk dan merk dagang adalah bentuk franchise
yang palingsederhana. Dalam franchise produk dan merek
35
Barly Haliem, 2010, Mengembangkan Bisnis Tanpa Modal, Kontan, Tgl 10 januari, hal 14 kolom 3
Page 38
76
dagang ini pemberi waralabaatau franchisor memberikan hak
kepada penerima waralaba atau franchisee untuk menjual produk
yang dikembangkan oleh franchisor yang disertaidengan
pemberian izin untuk menggunakan merek dagang atau nama
dagang franchisor. Pemberian izin atau lisensi penggunaan
merek dagang atau nama dagangtersebut diberikan dalam rangka
penjualan produk yang diwaralabakan ataspemberian izin
penggunaan merek dagang dan nama dagang
Pada era tahun 1980an, Franchise menjadi suatu masa depan bagi dunia bisnis di
Indonesia. Kerja sama waralaba ini berkembang sangat pesat yang pada saat itu
dipelopori oleh perusahaan multinasional. Pilihan atau padanan kata untuk franchise
adalah “waralaba” atau keuntungan istimewa. Istilah ini diperkenalkan pertam kali
oleh lembaga pendidikan dan pengembangan manajemen ( LPPM ),36
namun untuk
lebih jelasnya akan dijabarkan beberapa pengertian tentang Franchise menurut para
ahli dan beberapa kamus :
1. Martin Mendelsohn37
Pemberian sebuah lisensi ( Franchisor) kepada pihak lain ( Franchisee),
lisensi tersebutmemberikan hak kepada Franchiseeuntuk berusaha
dengan menggunakan merk dagang Franchisor, dan untuk menggunakan
seluruh paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk
36
Adrian Suteji, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 7 37
http://www.franchise-id.com pada tanggal 10 Februari 2014 pukul 20.15
Page 39
77
membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan
bisnis dan untuk menjalankan dengan terus menerus atas dasar – dasar
yang ditentukannya.
2. Rooseno Harjowidigno38
Franchise adalah suatu sistem usaha dalam bidang perdagangan atau jasa,
mempunyai ciri khas bisnis tersendiri, baik mengenai jenis dan bentuk
produk yang diusahakan, identitas perusahaan (merek dagang, logo,
desain bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan),
rencana pemasaran dan bantuan operasional.
3. V. Winarto39
Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang relatif baru
atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan
khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung
kepada konsumen.
4. Janet Housden40
Franchise adalah suatu ikatan kontraktual terhadap suatu kepentingan
dalam mana, suatu organisasi yaitu pihak franchisor, yang telah
mengembangkan suatu formula untuk menghasilkan dan / atau menjual
produk atau servis, diperlukan haknya untuk menjalankan bisnis kepada
38
Munir Fuady, 2010, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 16 39
IbId, hal 18 40
Munir Fuady, 2009, Pembiayaan Perusahaan masa kini ( Tinjauan Hukum Bisnis ), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 136
Page 40
78
perusahaan lain, yaitu pihak Franchisee, dengan batasan – batasan dan
pengawasan tertentu. Dalam hampir semua franchise yang penting, dalam
menjalankan bisnisnya secara franchise, pihak franchisee selalu
menggunakan nama pihak franchisor sebagai nama dagangannya.
5. Dalam literatur asing terdapat pendapat mengenai pengertian franchise
yang dikemukakan dalam British Franchise Association yaitu :
”A contractual license granted by one person ( thefranchisor ) to
another ( the franchisee ) which :
1. Permits or requires the franchisee to carry on, during the period
of the franchise, a particular bussiness under or using a specific
name belonging to or associated with the franchisor;
2. Entitles the franchisor to exercise continuing control during the
period of the franchise over the manner in which the franchisee
carry on the business which is the subject of the franchise;
3. Obliges the franchisor to provide the franchisee with assistance in
carrying on the businesswhich is the subject of the franchise ( in
relation to the organization of the franchisee’s business, the
training of staff, merchandising, management, or otherwise );
4. Requires the franchisee periodically, during the period of
franchise, to pay the franchisor sums of money in conideration for
the franchise, or for goods or services provided by the franchisor
to the franchisee;
5. Which is not transaction between a holding company andits
subsidiary ( as defined in section 736 of the companies ACT
1985 ) or between subsidiaries of the same holding company,
or between an individual and a company controlled by him.
Sesuai dengan uraian mengenai franchisediatas maka franchiseadalah suatu kegiatan
bisnis yang membolehkan sang franchiseeuntuk menjalankan bisnis dengan cara
mengakomodir suatu brand atau nama milik sang franchisor serta tunduk kepada
perjanjian yang telah disetujui oleh keduanya dengan terikat kepada ketentuan dalam
isi perjanjian tersebut dimana sang franchiseeberkewajiban untuk membayar
Page 41
79
sejumlah dana kepada franchisor yang sudah membantunya dalam menjalankan
bisnis tersebut.
6. Dalam Black’s law Dictionary franchise didefinisikan sebagai41
:
“A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell
products or services. In its simple terms, a franchise is a license from
owner of a trademark or trade name permiting another to sell product or
service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has
evolved into an elaborate agreement under which the franchise undertakes
to conduct a business or sell a product or service in accordance with
methods and procedures prescribed by the franchisor, and the franchisor
undertakes to assist the franchiseethorugh advertising, promotion and
other advisory services.
Meskipun terdapat perbedaan – perbedaan antara beberapa pengertian mengenai
franchise seperti yang yang dipaparkan diatas namun disini dapat diambil kesimpulan
bahwa franchise itu adalah suatu kegiatan bisnis modern yang membolehkan pemilik
franchise ( franchisor ) untuk menunjuk penerima franchise ( franchisee ) untuk
menjalankan bisnis dengan menggunakan serta mendistribusikan nama perusahaan,
simbol – simbol komersial serta barang – barang yang dimiliki oleh franchisor
dengan syarat memberikan sejumlah dana starting point mengingat usaha yang
dijalankan oleh pihak franchisor adalah usaha yang sudah memiliki nama di
masyarakat serta bersedia untuk mengikuti metode dan aturan – aturan bisnis yang
ditetapkan oleh pihak franchisor.
2.3.1. Perkembangan Franchise di Negara Common Law
Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari
ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-
41
Bryan A. Gamer, Op Cit, hal. 34
Page 42
80
keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan
sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal
tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of
precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan
pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya.
The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti
sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang / berpatokan pada putusan-
putusan sebelumnya).42
Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa
Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat,
Kanada dan Australia.Kecuali negara bagianLousiana di Amerika Serikat dan
provinsi Quebec di Kanada yangmenganut sistem hukum civil law. Sekilas mengenai
perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law (Anglosaxon)
dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem civil law
diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada universitas - universitas, yang
menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan
perkembangan sistem common law terletak pada putusan-putusan hakim, yang bukan
hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.43
Kelahiran peraturan mengenai waralaba di Amerika Serikat terjadi di tahun
1956 yaitu dengan diterima dan diundangkannya the Automobile Dealer Franchise
42
Hardijan Rusli, 2009, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law ( Cetakan ke – III ), Pusaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal 16 43
Ibid, hal 17
Page 43
81
Act.44
Tujuan luhur dari lahirnya peraturan itu adalah untuk memelihara keseimbangan
kekuasaan antara pembuat mobil dan dealer penerima waralaba. Untuk tujuan itu,
hukum memperbolehkan dealer mengajukan tuntutan di Pengadilan Distrik Amerika
Serikat guna mendapatkan ganti rugi dari para pembuat mobil yang tidak memenuhi
persyaratan perjanjian waralaba, atau secara tidak adil membatalkan atau menolak
memperbaharui perjanjian waralaba. Walaupun pada awalnya peraturan tersebut
hanya ditujukan dalam hubungan dealer penerima waralaba dengan para pembuat
mobil, pengadilan ternyata memberlakukan undang-undang itu sebagai bentuk
“kodififkasi” dari janji untuk memberikan perlakuan adil dan pelaksanaan itikad baik
yang dapat diterapkan pada semua kontrak komersial yang berkaitan dengan
pemberian waralaba. Seperti diperkenankan oleh undang-undang 1956, 49 dari 50
negara bagian menyetujui legislasi ini dengan perbaikan disana-sini untuk menutup
kekurangan yang ada.Undang-undang yang berlaku dihampir seluruh negara bagian
ini menangani dan mengatur setiap aspek dari hubungan antara dealer dan pembuat
mobil, termasuk juga didalamnya ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan
ataupun pengakhiran lebih awal dari perjanjian waralaba. Hasilnya, para dealermobil
secara umum dapat menikmati hubungan yang cukup adildengan para pembuat mobil
yang merupakan pemberi waralaba.45
Undang - undang yang berlaku di California tersebut menyatakan tidak sah
setiap orang yang menawarkan atau menjual waralaba,dengan nama apapun di negara
44
Robert Purwin Jr, 2004, The Franchise Fraud, John Willet and Sons Inc., New York, hal 32 45
Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 14
Page 44
82
bagian California kecuali jika waralaba tersebut terdaftar pada Commissioner of
Corporations negara bagian California atau kegiatan waralaba tersebut secara tegas
dibebaskan dari kewajiban atau persyaratan untuk melakukan pendaftaran. Selain itu
ditentukan juga bahwa kegiatan menjual waralaba yang seharusnya didaftarkan
dengan, dengan nama apapun di negara bagian California adalah suatu hal yang
melanggar hukum, jika salinan prospektus dan perjanjian yang diusulkan sehubungan
dengan penjualan waralaba kepada calon penerima waralaba paling sedikit sepuluh
hari kerja sebelum pelaksanaan perjanjian atau pembayaran yang dilakukan oleh
penerima waralaba kepada pemberi waralaba dilakukan.46
Karena itu California
adalah negara bagian pertama yang mengharuskan pendaftaran dan pemberian
penjelasan atas penjualan suatu usaha waralaba.
Sebagai catatan, perlu disampaikan juga tentang perkecualian dari persyaratan
California mengenai pemberi waralaba yang :47
1. Memiliki kekayaan berisi $5 juta atau lebih (atau kekayaan bersih$1 juta
atau lebih, dan paling sedikit 80 persen dan kekayaan bersih itu dimiliki
oleh perusahaan dengan kekayaan bersih tidak kurang dari $5 juta)
2. Mempunyai paling sedikit 25 penerima waralaba yang sudah melakukan
bisnis secara terus menerus selama lima tahun berturut-turut sebelum
penawaran atau penjualan dilakukan, atau sudah melakukan bisnis yang
46
Hardijan Rusli, 2008“Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law (cetakan ke – ii), Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal 16. 47
Hardijan Rusli, Op Cit, hal 44
Page 45
83
menjadi subyek waralaba secara terus menerus paling sedikit lima tahun
sebelum penawaran atau penjualan dilakukan.
Walaupun pemberi waralaba ini tidak perlu mendaftar, namun pemberi
waralaba yang dibebaskan dari pendaftaran inipun harus menjelaskan secara
tertulis kepada calon penerima waralaba kategori informasi yang
dispesifikasikan dalam undang-undang. Penyerahan penjelasan tertulis ini
harus dilakukan paling sedikit sepuluh hari kerja sebelum dibuatnya suatu
perjanjian waralaba yang mengikat atau diterimanya suatu pembayaran oleh
penerima waralaba. Selain itu para pemberi waralaba ini diwajibkan untuk
melaporkan tentang pengecualian pendaftaran tersebut kepada the
Commissioner. Selanjutnya walaupun pemberi waralaba itu bebas dari
pendaftaran, perubahan penting apa pun pada suatu waralaba yang sudah ada
harus dijelaskan secara tertulis kepada setiap penerima waralaba.
Undang-undang yang berlaku di California itu juga mengharuskan untuk
melakukan pendaftaran dan penjelasan atas suatu modifikasi yang signifikan pada
waralaba yang telah diberikan, dengan tidak memperhatikan apakah kewajiban
pendaftaran telah disyaratkan padasaat waralaba tersebut diberikan pertama kali.
Bentuk pendaftaran danpenjelasan yang harus disampaikan ditentukan oleh the
Commissioner.48
48
Martin Mandelshon,2008, Franchising : Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, Pustak
Binaman Pressindo, Jakarta, hal 13
Page 46
84
Selain hal tersebut diatas, undang-undang tersebut juga mengatur mengenai
masalah penanganan biaya waralaba, pemeliharaan catatan dan pembukuan, serta
promosi dan iklan waralaba. Undang-undang yang berlaku di California ini tidak saja
mewajibkan pemberi waralaba bertanggung jawab atas kerusakan / kerugian yang
diderita oleh penerima waralaba atas penyampaian informasi yang tidak benar,tetapi
penerima waralaba juga diberikan hak untuk dapat menuntut pemberi waralaba
apabila waralaba itu dibatalkan atau diakhiri secara sepihak oleh pemberi waralaba.
Penerima waralaba yang merasa tertipu dapat menuntut ganti rugi dari individu (baik
orang perseorangan ataupun badan usaha) yang berasosiasi dengan pemberi waralaba
dalam hal ternyata pemberi waralaba berada dalam posisi judgement proof (yaitu
tanpa cukup aset yang dapat dipertimbangkan untuk memberikan ganti rugi), atau
pemberi waralaba sudah dinyatakan pailit.49
Menyusul diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang waralaba di
negara bagian California, sebanyak 14 negara bagian lain telah juga memberlakukan
undang - undang pendaftaran dan pemberian penjelasan atas kegiatan usaha yang
melibatkan penawaran dan penjualan waralaba. Negara-negara bagian itu adalah
Hawaii (kewajiban memberikan penjelasan saja), illinois, Indiana,Marylan, Michigan
(kewajiban memberikan penjelasan danpembuatan dokumen pemberitahuan),
Minnesota, New York, NorthDakota, Oregon (kewajiban memberikan penjelasan
saja), Rhode Island, South Dakota, Virginia, Washington dan Wisconsin (keduanya).
Perlu diketahui bahwa pada mulanya Hawaii dan Michigan memberlakukan undang-
49
Ibid, hal 22
Page 47
85
undang pendaftaran dan jugakewajiban memberikan penjelasan, tetapi kemudian
undang-undang pendaftaran tersebut dicabut kembali.50
Pada prinsipnya negara bagian yang mewajibkan pendaftaran waralaba dalam
peraturannya tersebut menyatakan bahwa hanya waralaba yang telah terdaftar secara
benar saja, yang dapat memulai melakukan penawaran, dan selanjutnya menjual
waralaba di dalam negara bagian tersebut. Meskipun seluruh dokumen yang
berhubungan dengan pendaftaran diserahkan kepada the Commissioner, dan bahwa
para pejabat negara bagian (dalam the Commissioner) tersebut pada beberapa negara
bagian tertentu seperti California dan New York akan membaca dan mengevaluasi
bahan dan edaran penawaran yang diserahkan, untuk menentukan cukup tidaknya
bahan-bahan tersebut mengandung penjelasan tentang fakta-fakta terpenting,
peninjauan tersebut sama sekali tidak mengindikasikan bahwa penawaran itusudah
“disetujui” oleh negara bagian tersebut. Pendaftaran memang sangat diperlukan dan
penting untuk mencegah penipuan, khususnya bagi yang mensyaratkan adanya
pembayaran biaya waralaba tertentu dan jumlah-jumlah uang atau biaya lain yang
dibayar. Dalam hal inimaka nilai biaya atau uang pembayaran yang dilakukan
tersebut akan ditempatkan dalam penguasaan pihak ketiga sampai kewajiban pemberi
waralaba terhadap penerima waralaba sudah dipenuhi.
2.3.2. Perkembangan dan Pengaturan Franchise Di Negara Civil Law
Sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum
Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (EropaKontinental) oleh negara-
50
Ibid, hal 25
Page 48
86
negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis danlain-lain. Berkembangnya sistem hukum
Romawi Jerman adalah berkatusaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha
menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum
Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau
private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota
masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan
nama sistem hukum civil law.51
Sehubungan dengan belum terdapatnya perundang-undangan khusus yang
mengatur mengenai waralaba, Komisi Uni Eropa mengadakan penelitian
untukmeneliti sejauh mana permasalahan yang berhubungandengan perjanjian
waralaba. Hal selanjutnya dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan
hukum persaingan Eropa. Komisi Uni Eropa mengadakan pula kerjasama dengan
European Franchise Federation dan organisasi-organisasi lain untuk mendapatkan
satu kesatuan pandangan mengenai kepastian hukum dalam perjanjian waralaba. Pada
bulan Februari 1980 ditetapkan dasar-dasar pembentukan perjanjian waralaba yang
selaras dengan European Code Of Ethics for Franchising.
European Code Of Ethics for Franchising pada dasarnya masih belum dapat
memberikan kepastian hukum, karena kode etik tersebut bersifat pedoman umum
dalam menyelaraskan perjanjian waralaba negara negara di Eropa. Hingga saat ini
tidak semua negara-negara dieropa memiliki peraturan di bidang waralaba.
Pengaturan hukum mengenai waralaba seringkali disandarkan pada hukum umum
51
Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hal 27
Page 49
87
seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum sosial masing-masing negara. Pihak
dewan Uni-Eropa (European Council) mempunyai peranan penting dalam membuat
pelaksanaan - pelaksanaan keputusan yang dijalankan oleh Komisi Eropa (European
Council), juga peraturan-peraturan waralaba.52
Keputusan Mahkamah Eropa tentang kasus Pronuptia (Pronuptia deParis
Pronuptia de Paris Irmgard Schiligalis-Hamburg Case 161/84 of28 Jaunuary 1986)
merupakan suatu keputusan penting yang dijadikan pedoman dalam persaingan di
bidang waralaba. Hal tersebut kemudian melahirkan pranata hukum yang berkaitan
dengan The Franchising Block Exemption Regulation and The Vertical Restraints
Block Excemotion Regulation. Setelah itu Komisi Eropa menghasilkan kembali 5
(lima) keputusan di bidang waralaba, dan menyusun rancangan peraturan untuk
perjanjian waralaba yang disebut The Franchising Block Exemption Regulation,
diundangkan pada tanggal 28 Desember 1988 dan mulai berlaku sejak 1 Februari
1989.53
Uni Eropa merupakan salah satu pelaku bisnis terbesar di dunia.Negara – negara
yang tergabung dalam Uni Eropa telah mengharmonisasikan beberapa segi kehidupan
mereka, seperti bidang ekonomi, standar kehidupan, juga aturan pranata hukum
termasuk didalamnya adalah pranata waralaba.
Hampir semua negara-negara anggota Uni Eropa telah melakukanupaya
harmonisasi di bidang pranata hukum waralaba melalui EuropeanCode of Ethics for
52
Douglas, J. Queen, 2007, Pedoman Membeli Dan Menjalankan Franchise ( Cetakan ke – II ), Pt.
Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 6 53
M. L. Barron,2010, Fundamentals of Bussiness Law, McGraw Hill Book Co., Sydney, hal. 33
Page 50
88
Franchising(selanjutnya disebut European Code).European Code merupakan kode
etik yang menjadi pedoman umum agarterdapat standardisasi perjanjian yang
mengatur ketentuan-ketentuan bagi para pihak dalam perjanjian waralaba.European
Code ini tidak berupa aturan yang mengikat namun dipakai sebagai acuan namun
dalampraktek sehari-hari. Kode etik ini sangat efektif dan ditaati oleh masyarakat
negara-negara Uni Eropa. Di dalam European Code ini terdapat beberapa kode etik
yang harus ditaati dan disesuaikan dengan kondisi masing – masing negara yaitu :54
a) Definiton of Franchising
b) Guiding Principles
c) Recrutment, advertising and disclosure
d) Selection of individual franchisee
e) The kontrak franchise
f) The Code OF ethics and master franchise system
Dalam pasal 2 yakni mengenai guiding principles mengatur mengenai
kewajiban kedua belah pihak. Dalam pasal 2.2 menyatakan bahwa pemberi waralaba
(franchisor) wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a) Telah menjalankan konsep bisnisnya dengan sukses, untuk jangka waktu
yang masuk akal dan sekurang – kurangnya telah mempunyai satu unit
sebelum memulai jaringan bisnis melalui pola waralaba ini
54
Susan Blake, 2008, A Practical Approach To Legal Advice & Drafting, Inns Of Court School Of
Law, London, hal 24
Page 51
89
b) Menjadi pemilik, atau mempunyai hak yang sah atas nama dagang,
merek dagang, atau identitas pembeda lainnya
c) Memberikan latihan awal dan bantuan teknik selama perjanjian
berlangsung
Ketentuan dalam pasal 2.2 huruf (a) diatas mengenai kewajiban dari pemberi
waralaba (franchisor) untuk memiliki pengalaman dalam menjalankan konsep bisnis
membuat posisi berimbang dapat terpenuhi. Posisi berimbang antara para pihak dapat
terpenuhi karena diharapkan konsep bisnis yang ditawarkan memang telah memiliki
nilai ekonomis yang cukup memadai untuk meraih kesuksesan. Dalam hal ini,
penerima waralaba (franchisee) dilindungi kepentingannya karena dengan syarat ini
diharapkan konsep bisnis yang dibeli oleh penerima waralaba (franchisee) telah
mapan dan resiko gagal dapat dieliminasi serendah mungkin. Selain itu, disyaratkan
pula pemberi waralaba (franchisor) telah mengelola minimal 1 (satu) unit bisnis
sebelum memasarkan konsep bisnisnya melalui konsep waralaba. Syarat ini dianggap
melindungi posisi penerima waralaba (franchisee) karena pemberi waralaba
(franchisor) yang menjual konsep waralaba diharapkan telah berpengalaman
mengelola bisnis sendiri. Hal ini sangat diperlukan guna meminimalisasikan risiko
yang kemungkinan ditanggung penerima waralaba ( franchisee ) akibat gagalnya
konsep bisnis yang dibelinya.
Selanjutnya pasal 2.2 huruf (b) yang pada intinya mengatur bahwa pemberi
waralaba (franchisor) harus dapat membuktikan bahwa pihaknya merupakan pemilik
hak yang sah atas hak kekayaan intelektual dari konsep bisnis waralaba bersangkutan.
Page 52
90
Hal ini tentu saja memberikan posisi berimbang bagi penerima waralaba (franchisee)
karena kepemilikan yang sah atas hak kekayaani ntelektual sangat bernilai, dimana
salah satu dasar kesuksesan daribisnis waralaba adalah adanya merek yang sudah
dikenal oleh masyarakat.
Sedangkan pasal 2.2 huruf (c) yang mengatur mengenai kewajiban dari pemberi
waralaba (franchisor) untuk memberikan bantuan kepada penerima waralaba
(franchisee) berupa pelatihan wala, bantuan teknis, bantuan berkesinambungan
selama perjanjian tertentu saja akan memberikan perlindungan bagi penerima
waralaba (franchisee).
Pasal 2.3.memuat tentang kewajiban penerima waralaba ( franchisee ) yaitu :
a) Memberikan upaya terbaik dalam menjalankan / mengembangkan
bisnis waralaba dan menjaga identitas dan reputasi jaringan
waralaba
b) Mendukung pemberi waralaba ( franchisor ) dengan data
operasional dan laporan keuangan yang benar untuk memudahkan
penentuan pekerjaan, juga sebagai pedoman manajemen yang
efektif, serta mengijinkan agen waralaba ( franchise of agent )
untuk memeriksa pembukuan dengan wajar
c) Tidak membocorkan know how uang diberikan pemberi waralaba (
franchisor ), baik selama perjanjian berlangsung dan setelah
perjanjian berakhir
Page 53
91
Pasal 2.4 memuat mengenai kewajiban yang secara terus menerus bagi kedua
belah pihak adalah melakukan transaksi yang adil satu sama lain. Franchisor harus
memberikan pemberitahuan (notice) tertulis kepada penerima waralaba (franchisee)
dalam setiap pembatalan kontrak (breach of contract), dan memberikan waktu yang
wajar untuk memberi ganti rugi (remedy default). Pasal ini mengakomodir pula
kewajiban para pihak untuk menyelesaikan protes, konflik dan perselisihan dengan
berlandaskan itikad baik dan goodwill secara wajar dan adil dengan cara menjalin
komunikasi dan negosiasi.
Yang diatur dalam pasal 1 hingga pasal 2.4 diatas merupakan kewajiban yang
sejalan dengan kepastian hukum bagi para pihak. Hal tersebut dapat dijadikan acuan
dalam menyusun hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba.
Kewajiban - kewajiban yang diatur dalam kode etik hanya merupakan kewajiban
yang umum atau pokok saja. Selain itu, masih terdapat beberapa kewajiban lain yang
dapat diperinci dan dapat dinegosiasikan dalam perjanjian waralaba, misalnya
kewajiban waralaba untuk membayar upah (fee), seperti initial fee, anual fee,
royalties, advertising fee, juga kewajiban pemberi waralaba (franchisee) untuk
menutup asuransi, kewajiban pemberi waralaba (franchisor) untuk meminjamkan
manual guide.55
Ketentuan dalam pasal 3 secara umum mengenai penerimaan (recruitment),
periklanan (advertising), pengungkapan (disclosure), dan perjanjian awal (pre-
55
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu,2009,Hukum Bisnis dalam persepsi Dunia Modern, Refika
Aditama, Bandung, hal 15
Page 54
92
contract) dapat memberikan perlindungan hukum kepada pemegang waralaba
(franchisee) sebelum menutup perjanjian maupun perjanjian awal. Perlunya
keterbukaan, informasi yang tidak menyesatkan dan tidak bermakna ganda serta
adanya waktu yang cukup bagi calon penerima waralaba (franchisee) sebelum
memasuki bisnis waralaba adalah untuk memberikan gambaran mengenai bisnis yang
akan dimasuki oleh calon penerima waralaba (franchisee) dapat menilai bonafiditas
dari penerima waralaba (franchisor), sehingga calon pemegang waralaba (franchisee)
dapat terhindar dari kegagalan usaha waralaba, dan dapat terhindar pula dari pemberi
waralaba (franchisor) yang beritikad kurang baik. Hal ini tentu saja akan memberikan
perlindungan bagi pihak penerima waralaba (franchisee) sehingga posisi berimbang
dapat tercapai.
Pasal 4 memuat mengenai kewajiban dari pemberi waralaba (franchisor) untuk
mengadakan seleksi dan menerima calon penerima waralaba (franchisee) berdasarkan
hasil pencarian mengenai kemampuan dasar, pendidikan, kualitas pribadi, dan sumber
daya keuangan untuk menjalankan bisnis waralaba. Hal ini penting dilakukan dalam
rangka menilai bonafiditas, minat dan keseriusan calon penerima waralaba
(franchisee) agar lebih menjamin keberhasilan bisnis penerima waralaba (franchisee)
yang pada akhirnya menjaga kelangsungan kegiatan bisnis waralaba. Hal ini
memberikan posisi berimbang bagi pihak pemberi waralaba (franchisor) karena
memiliki kebebasan untuk menilai calon penerima waralaba (franchisee) yang
potensial dan serius.
Page 55
93
Pasal 5 mencantumkan mengenai syarat minimum yang harus dicantumkan
dalam suatu perjanjian waralaba, antara lain :
a) The rights granted to the franchisor, yaitu hak – hak yang diberikan
kepada pemberi waralaba
b) The rights granted to the individual franchisee, yaitu hak – hak yang
diberikan kepada penerima waralaba
c) The goods and / or services to be provided to the individual franchisee,
yaitu barang / dan jasa yang disediakan bagi penerima waralaba
d) The obligations of the franchisor, yaitu kewajiban pemberi waralaba
e) The obligations of individual franchisee, yaitu kewajiban penerima
waralaba
f) The terms of payment by the individual franchisee, yaitu jangka waktu
pembayaran yang harus dilakukan oleh penerima waralaba
g) The duration of agreement whisch should be long enough to allow
individual franchisee to amortize their initial investments specific to the
franchise, yaitu jangka waktu perjanjian yang cukup agar penerima
waralaba dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan dalam
rangka memasuki bisnis waralaba
h) The basis for any renewal of the agreement the terms upon which the
individual franchisee may sell or transfer the franchised business and
the franchisor’s possible pre - emption rights in this respect, yaitu dasar
untuk pembaharuan perjanjian dan klausula yang menyatakan penerima
Page 56
94
waralaba dapat menjual atau mengalihkan bisnis waralaba, dan
kemungkinan mendapatkan penawaran terlebih dahulu bagi pemberi
waralaba atas bisnis waralaba tersebut
i) The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or changed
methods, yaitu hak dari pemberi waralaba untuk melakukan penyesuaian
atau memperbaharui, atau merubah metode
j) Provisions for termination of the agreement provisions for surrendering
promptly upon termination of the kontrak franchise any tangible and
intangible property belonging to the franchisor or other owner thereof,
yaitu ketentuan mengenai pengakhiran perjanjian, untuk penyerahan
dengan segera baik benda berwujud maupun tidak berwujud milik
pemberi waralaba atau pemilik yang berhak setelah perjanjian berakhir
Ketentuan mengenai syarat minimum yang harus tercantum dalam perjanjian
waralaba sangat relevan guna memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang
terlibat dalam waralaba, terutama bagi pihak penerima waralaba (franchisee) agar
terdapat posisi yang berimbang bagi para pihak. Selain itu, hal ini dapat digunakan
pula sebagai pedoman didalam penyusunan perjanjian waralaba yang baik dengan
memperhatikan kedudukan kontraktual yang berimbang bagi para pihak.
Pasal terakhir yakni Pasal 6 mengatur mengenai hubungan pemberi waralaba
(franchisor), penerima waralaba (franchisee), dan (masterfranchisee), yang pada
intina bahwa European Code dapat diterapkan untuk mengatur hubungan antara
Page 57
95
pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee), juga dapat
diterapkan antara (masterfranchisee) dengan penerima waralaba (franchisee).
Kode etik mengenai waralaba di negara Eropa yang tergabung dalam European
Franchise Commision bersifat sangat umum, singkat, akan tetapi telah memuat hal-
hal mendasar dalam mengatur hubungan parapihak yang berupa hak dan kewajban
secara berimbang sehingga posisi berimbang dalam hubungan kontraktual para pihak
dapat tercapai.
Posisi berimbang dapat tercapai sejak saat perjanjian awal, karena dengan
disyaratkannya pengungkapan oleh pemberi waralaba (franchisor) yang jelas,
terperinci, dan tidak mengandung kesesatan akan membuat posisi penerima waralaba
(franchisee) mempunyai akses mendapatkan informasi yang jelas dan berimbang
untuk dapat memasuki bisnis waralaba dengan tanpa keraguan apapun. Hal ini
berimbang pula dengan posisi pemberi waralaba (franchisor) untuk dapat menilai
kelayakan penerima waralaba (franchisee) yang ditawarkan oleh pemberi waralaba
(franchisor).
Posisi berimbang di dalam kontrak diharapkan dapat berlangsung dengan baik,
hal ini diakomodir dalam ketentuan yang mengatur perlindungan bagi pemberi
waralaba (franchisee), khususnya dari pemberi waralaba (franchisor) yang beritikad
buruk, memberikan kesesatan informasi, hak dan kewajiban yang tidak berimbang,
namun dipihak lain perlindungan secara berimbang diberikan pula terhadap pihak
pemberi waralaba (franchisor). Jadi posisi berimbang antara para pihak dalam hal ini
dapat tercapai saat penerima waraba (franchisee) mendapatkan suatu
Page 58
96
pengungkapanyang berisikan informasi yang jelas mengenai bisnis waralaba, namun
disisi lain pemberi waralaba (franchisor) dapat menilai kelayakan penerima waralaba
(franchisee) untuk dapat terlibat dalam bisnis waralaba.
2.3.3. Perkembangan Franchise di Indonesia
Di Indonesia waralaba dikenal sejak era 1970-an ketika masuknya Shakey Pisa,
KFC, Swensen, dan Burger King. Perkembangannya terlihat sangat pesat dimulai
sekira 1995. Setelah itu, usaha waralaba mengalami kemerosotan karena terjadi krisis
moneter. Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya karena nilai
rupiah yang terperosok sangat dalam. Hingga tahun 2000, waralaba asing masih
menunggu untuk masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi dan politik
yang belum stabil ditandai dengan perseteruan para elite.56
Pemerintah mengizinkan kegiatan usaha franchise ini dengan harapan untuk
meningkatkan kegiatan perekonomian di Indonesia. Sejalan dengan berkembangnya
usaha franchise asing, maka beberapa pengusahaI ndonesia juga mulai
mengembangkan usaha franchise lokal, seperti Es Teler 77, Califonia Fried Chicken,
Kursus bahas Inggris Oxford, Kursus Komputer Widyaloka, Ny.Tansil Fried Chicken
and Steak, Kurumaya, Laundrette (Laundry), Ristra Salon &Centre, Rudi
Hadisuwarno (Salon Kecantikan), SS Foto (cuci cetak film) dan Toys City (toko
mainan anak anak). Kalangan bisnis Indonesia umumnya memberikan nilai yang
lebih tinggi pada identitas Internasional (Franchise asing) dan yakin akan
memperoleh keuntungan lebih banyak dengan mengoperasikan bisnis franchise asing
56
Iman Sjahputra Tunggal, 2005, Franchising : Konsep dan Kasus,Harvarindo, Jakarta, hal 5
Page 59
97
tersebut.57
Padahal dengan mengoperasikan bisnis franchise lokal mereka akan
memperoleh beberapa kemudahan, antara lain biayanya lebih rendah, perbedaan
waktu dan jarak tidak menghambat komunikasi, tidak ada perbedaan bahasa dan
budaya, serta lebih sedikit kesulitan yang dihadapi dibanding dengan franchise asing,
disamping itu modal yang di pergunakan juga tidak begitu besar.
Pesatnya pertumbuhan franchise di Indonesia kini ternyata mempunyai sejarah
yang cukup panjang dan berliku berawal dari sebuah pemikiran bahwa sistem
waralaba terbukti sukses memacu perekonomian di banyak negara maju seperti
Amerika dan beberapa negara maju lainnya.58
Tidak hanya itu franchise juga mampu
menyediakan lapangan pekerjaan bagi cukup banyak tenaga kerja. Franchise di
Indonesia berawal dari upaya pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan
Republik Indonesia yang melihat sistem franchise sebagai suatu cara, usaha untuk
menggiatkan perekonomian dan menciptakan lapangan pekerjaan. Di Indonesia juga
terdapat Organisasi Perusahaan Franchise yakni disebut dengan Asosiasi Franchise
Indonesia (AFI). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1990 atas dorongan
daripemerintah Indonesia dan ILO (Internasional Labour Organisation)adapun latar
belakang pendirian organisasi ini yaitu adanya keinginan untuk mempersatukan diri
dalam suatu wadah organisasi pada tingkat nasional serta merupakan forum
kerjasama demi meningkatkan dan mengembangkan potensi dalam menjadikan
dirinya sebagai mitra pemerintahan, maupun sektor swasta lainnya. Franchisor yang
57
J. Queen, Op Cit, hal 15 58
Rooseno Harjowidigno, 2007, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah
Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, Jakarta hal 3
Page 60
98
menjadi pendirinya yaitu : PT. Trims Mustika Citra, ES Teler 77, Widyaloka,
NilaSari, Homes 21. Maka dimulailah sebuah usaha untuk mendata usaha franchise
yang ada di Indonesia dengan menggandeng International Labour Organization
(ILO).59
Secara umum perkembangan bisnis dengan menggunakan sistem franchise di
Amerika telah dimulai pada tahun 1863 yaitu dengan munculnya Singer Sewing
Machine Company.60
Perkembangan selanjutnya metode franchise tidak hanya masuk
dalam lapangan automobile dan minuman ringan (soft drink) saja. Franchising
menjadi bagian integral dalam sistem distribusi. Diperkirakan pada tahun 1985 lebih
dari 30 persen penjualan retail dilakukan melalui outlet-outlet franchise.61
Masuknya bisnis dengan menggunakan sistem franchise di Indonesia bermula
dari kebijakan atau political will pemerintah terhadap maraknya perdagangan eceran
(retail) maupun investasi asing yang ada. Perdagangan retail yang merambah
Indonesia berasal dari luar negeri masuk melalui penamaman modal asing, sedangkan
saat itu perusahaan retail lokal cukup banyak, antara lain seperti Matahari, Hero, dan
Golden Truly.62
Tampaknya pemerintah memandang perlu melakukan proteksi
terhadap perusahaan – perusahaan retail lokal dalam menghadapi persaingan bisnis
dengan perusahaan asing.
59
Pietra Saragosa, 2005, Kiat Praktis Membuka Usaha – Mewaralabakan Usaha Anda, Pt. Elex Media
Komputindo, Jakarta, hal 4 60
www.franchise-id.com pada tanggal 28 April 2015 pukul 21.00 61
www.franchise-id.com pada tanggal 27 Mei 2015 pukul 21.00 62
V. Winarto, 2010, Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia Aspek Hukum
dan Non Hukum, dalam Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum tentang Franchise dan
Perusahaan Transnasional, PT Citra Aditya Bakti , Bandung , hal 9
Page 61
99
Kebijakan atau political will melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing
nomor 1 Tahun 1967 serta Peraturan Pemerintah Nomor20 Tahun 1994 tentang
Daftar Negatif Investasi (list of sectors closedfor investment) telah membatasi atau
merestriksi perdagangan retailyang masuk 100 persen di Indonesia. Demikian pula
dengan Keputusan Presiden nomor 31 tahun 1995 tentang daftar sektor-sektoryang
tertutup bagi modal asing masuk di dalamnya, karena mengingat adanya sektor-sektor
tertentu yang masih dipandang perlu diproteksi ataupun pertimbangan lain
diantaranya segi ekonomi, sosial, politik,dan kultur. Strategi bisnis kemudian
dijalankan oleh pengusaha – pengusaha retail asing untuk melakukan penerobosan
atas restriksi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang.
2.3.4. Bentuk Dan Struktur Kontrak Franchise
Perlu diketahui bahwa istilah franchise atau yang dengan istilah Indonesianya
dikenal sebagai franchise tersebut memiliki batasan dan definisi yang sangat
bervariasi. Namun pada dasarnya variasi batasandan definisi tentang franchise
tersebut paling tidak memiliki elemen–elemendasar yang sama, baik dari aspek
perjanjian atau kontraknya,maupun dari segi hak milik intelektual yang melekat di
dalamnya.
Dari sudut franchisor (pengwaralaba), franchise dapat dianggap sebagai
sekelompok hak milik intelektual; dari sudut franchisee (pewaralaba), waralaba dapat
dianggap sebagai paket bisnis, sedangkan dari sudut hukum, franchise adalah suatu
Page 62
100
kontrak atau perjanjian kerja sama standar dan dari sudut pemerintah dan masyarakat
umum dianggap sebagai hubungan kemitraan usaha.63
Seperti yang dikemukakan oleh Douglas. J. Queen, terdapat macam – macam
bentuk franchise seperti :64
1. Franchise format bisnis
Disini franchisee memperoleh hak dan kewajiban untuk memasarkan
dan menjual produk pelayanan di wilayah tertentu dengan standar
operasional dan pemasaran. Adapun jenis format bisnis franchise terdiri
atas :
a. Franchise Pekerjaan;
b. Franchise usaha dan;
c. Franchise investasi
2. Franchise Distribusi Produk
Dalam bentuk ini, franchisee memperoleh lisensi eksklusif untuk
memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang
spesifik. Disamping itu, franchisor juga memberikan franchiseewilayah,
dimana franchisee ataupun sub pemilik franchise membeli hak untuk
mengoperasikan / menjual franchise di wilayah geografi tertentu. Sub
pemilik franchise bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh
63
Martin Mendelsohn, Op Cit , hal 4. 64
Douglas J. Queen, Op Cit, hal. 5
Page 63
101
pemasaran franchise, melatih dan membantu pemegang franchisebaru,
dan melakukan pengendalian dukungan operasi serta penagihan royalti.
Franchise wilayah memberikan kesempatan kepada pemegang
franchiseinduk untuk mengembangkan rantai usaha agar
perkembangannya lebih cepat, dimana keahlian manajemen dan resiko
terhadap financial merupakan tanggung renteng antara pemegang
franchise induk dengan sub pemegangnya.Namun demikian tentu saja
pemegang induk menarik royalti dan penjualan produk.
Adapun Lieberman, membagi operasi bisnis franchise kedalam tiga kategori,
yaitu :65
1. Distributorship or product Franchise
Melalui lisensi manufaktur seorang distributor menjual produk –
produknya, misalkan automobile dealership dan gasoline station
operation.
2. Bussiness format franchise
Franchisee menjadi bagian ( anggota kelompok ) dari usaha yang
dimiliki oleh franchisor, misalkan fast food chains, real estate
brokerages, dan beberapa firma akunting yang dijalankan dengan sistem
ini.
3. Manufacturing Plants
65
Juajir Sumardi, 2007, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 18
Page 64
102
Franchisor memberi ijin kepada franchisee untuk menjual produknya
dibawah standar yang dipersyaratkan oleh franchisor. Bentuk semacam
ini biasanya untuk barang – barang elektronik.
Begitu pula dengan Bryce Webster mengemukakan bentuk – bentuk
franchisekedalam 4 kategori, yaitu :66
1. Product Franchise
Pada bentuk ini, franchisee berdasarkan lisensi yang diperoleh dari
franchisor menjual barang-barang hasil produksi franchisor, sehingga
membawa merek dagang franchise. Hubungan yang muncul adalah
hubungan distributorship antara franchisee dengan franchisor. Franchise
bentuk ini, dewasa ini masih digunakan antara lain pada industri
automotif.
2. Manufacturing Franchises
Pada bentuk ini, franchisor memberikan bahan-bahan rahasia(secret
ingredients atau know how) yang menjadi dasar bagiproduksi
franchisor. Franchisee hanya tinggal menjual produksi barang-barang
tersebut sesuai dengan standar produksi dan merek yang telah ditetapkan
oleh franchisor. Contoh dari bentuk ini adalah pada industri soft drink,
antara lain coca cola, pepsi, dan lain-lain.
3. Bussiness Format Franchises
66
Ibid, hal. 25
Page 65
103
Sebagaimana pengertian sebelumnya, bentuk ini sangat populer dewasa
ini. Franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk
menggunakan nama franchisor. Namun dalam mengikuti metode
standar pengoperasian dan berada di bawah pengawasan franchisor. Di
samping itu, franchisee harus membayar fee atau royalti kepada
franchisor. Sebagaimana contohnya adalah fast food chain seperti
California Fried Chicken, McDonald’s, Texas Fried Chicken.
4. Bussiness Opportunity Ventures
Franchisee di sini menggunakan sistem yang dimiliki franchisor dalam
menjalankan dan menjual produknya. Bentuk franchise yang semacam
ini dapat dicontohkan antara lain seperti vending machine (penjualan
mesin).
Dari berbagai pengertian franchise diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kesamaan
yang dapat dilihat adalah bahwa penggunaan sistem kerja dengan sistem bisnis yang
telah distandarkan oleh franchisor untuk mekanisme bisnis yang akan dijalankan oleh
franchisee. Ini merupakan suatu dasar patokan bentuk – bentuk franchise yang
berbeda dimana yang menjadikannya sedikit berbeda adalah isi dari klausul kontrak
franchiseitu sendiri.
Dalam penyusunan suatu kontrak sudah sebaiknya memperhatikan struktur
kontrak itu sendiri. Kontrak seringkali tidak mudah untuk dirancang, kedua belah
pihak harus menentukan secara benar antara hak dan kewajiban sedangkan harus
tepat dimata hukum sehingga lahirlah suatu kontrak yang baik. Tidak ada bentuk
Page 66
104
kontrak yang selalu cocok dalam setiap transaksi umat manusia karena dalam dunia
bisnis, kepentingan haklah yang akan selalu diutamakan ditambah lagi dengan
kaburnya aturan – aturan hukum dalam suatu langkah – langkah perancangan kontrak
sehingga terdapat banyak sekali bentuk kontrak yang dibuat sesuai dengan selera para
pihak. Dalam praktek terdapat kecenderungan untuk mengusahakan suatu bentuk
kontrak yang relattif baik dan sistematis, penyusunan kontrak secara sistematis
berguna bagi para pihak untuk dapat melihat hukum, kepentingan serta hak dan
kewajibannya secara jelas. Secara singkat, Prof. Erman Rajagukguk mengatakan
bahwa suatu kontrak mempunyai suatu struktur sebagai berikut :67
Bagian I :
“Yang isinya harus diterapkan dalam semua kontrak yaitu antara lain:
judul, tanggal, para pihak, kata sepakat menggunankan latar belakang
(recitle), mengenai sesuatu untuk apa perjanjian diadakan, tidak
melangar hukum (sesuatu sebab yang halal) dan pasal 1 yang isinya
tentang definisi”
Bagian II :
“Merupakan bagian dari kontrak berisi tentang isi kontrak yang khas.
Bagian inilah yang membedakan isi kontrak yang satu dengan kontrak
67
www.majalahwk.com/artikel-artikel/info-usaha/187-edisi-majalah.html, pada tanggal
20 Maret 2015 pukul 10.00
Page 67
105
yang lain. Yang dapat dilakukan adalah mengkoleksi contoh-contoh
kontrak atau literatur-literatur tentang kontrak dalam suatu check list”
Bagian III :
“Merupakan suatu bagian kontrak yang berisi pasal-pasal yang harus
ada di semua kontrak yang dibuat meliputi isi kontrak yang prinsip antara
lain yaitu: wanprestasi (even of default), peringatan (notice) atau somasi,
ganti rugi atau denda, force majeure atau keadaan darurat, choice of
law/governing law/applicable law, Penyelesaian sengketa (settlement of
dispute), bahasa yang dipakai, ketentuan amandemen untuk kontrak
jangka panjang, the entire agreement (kalimat dari keseluruhan
perjanjian), penutup dan tanda tangan”