26 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, PERJANJIAN KERJASAMA, APOTEKER, DAN KONSUMEN 2.1 Apotek 2.1.1 Pengertian Dan Perizinan Apotek Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 PP No. 51/2009 disebutkan bahwa Pelayanan kefarmasian adalah “suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”. Fasilitas pelayanan kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, antara lain adalah Apotek. Apotek adalah suatu tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. 1 Kata Apotek itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Apotheca, yang secara harfiah berarti “penyimpanan”. Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 13 PP No. 51/2009 juncto Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek (selanjutnya disingkat Permenkes No. 35/2014) dijelaskan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker”. Dari penjelasan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa Apotek merupakan tempat tertentu dalam melakukan pekerjaan kefarmasian yang meliputi penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 1 H. Syamsuni, 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Cet. 1, Kedokteran EGC, Jakarta, Hal. 7.
26
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, · PDF fileSalinan/foto copy Surat Izin Kerja Apoteker; ... 4 Farmasi Indonesia, 2016, “Tata Cara Pendirian Apotek”, ... hubungan-hubungan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG APOTEK, PERJANJIAN KERJASAMA,
APOTEKER, DAN KONSUMEN
2.1 Apotek
2.1.1 Pengertian Dan Perizinan Apotek
Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 PP No. 51/2009 disebutkan bahwa
Pelayanan kefarmasian adalah “suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”. Fasilitas pelayanan
kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, antara lain adalah Apotek. Apotek adalah suatu tempat tertentu untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. 1 Kata
Apotek itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu Apotheca, yang secara harfiah
berarti “penyimpanan”.
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 13 PP No. 51/2009 juncto Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek (selanjutnya disingkat Permenkes No. 35/2014) dijelaskan bahwa “Apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker”. Dari penjelasan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas maka dapat dikatakan
bahwa Apotek merupakan tempat tertentu dalam melakukan pekerjaan kefarmasian
yang meliputi penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat.
1 H. Syamsuni, 2006, Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi, Cet. 1, Kedokteran EGC,
Jakarta, Hal. 7.
27
Dari sisi ekonomi, Apotek merupakan lahan bisnis yang menggiurkan mengingat
faktor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat penting, hal
tersebut dibuktikan dengan adanya permintaan terhadap obat yang setiap tahunnya
mengalami peningkatan seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.2
Dalam memulai suatu kegiatan usaha khususnya Apotek yang bergerak dalam
bidang pelayanan kesehatan diperlukan berbagai macam persiapan. Berbagai macam
faktor perlu dipertimbangkan salah satunya adalah mengenai izin pendirian usaha.
Perizinan merupakan pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan
tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha. Izin adalah salah satu
instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi, untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.3
Menurut Pasal 4 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
(selanjutnya disingkat Kepmenkes No. 1332/MENKES/SK/X/2002), dijelaskan bahwa :
(1) Izin Apotek diberikan Oleh Menteri;
(2) Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin Apotek kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota;
(3) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan
pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin Apotek
sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
Adapun persyaratan administratif dalam mengajukan permohonan izin Apotek,
yaitu sebagai berikut :
a. Salinan/foto copy Surat Izin Kerja Apoteker;
b. Salinan/foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. Salinan/foto copy denah bangunan;
d. Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akta hak milik/sewa/
16. 3 Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, Hal. 2.
28
e. Daftar Asisten Apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus
dan nomor surat izin kerja;
f. Asli dan salinan/foto copy daftar terperinci alat perlengkapan Apotek;
g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak bekerja tetap
pada Perusahaan Farmasi lain dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek
di Apotek lain;
h. Asli dan salinan/foto copy surat izin atasan (bagi pemohon pegawai negeri,
anggota ABRI, dan pegawai instansi Pemerintah lainnya);
i. Akta perjanjian kerjasama Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik
Sarana Apotek;
j. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang obat;
k. Izin HO (Hinder Ordonatie);
l. SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan);
m. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).4
Selain persyaratan-persyaratan diatas terdapat pula beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pendirian Apotek, yaitu sebagai berikut :
a. Lokasi dan Tempat
Jarak antara Apotek tidak lagi dipersyaratkan, namun sebaiknya tetap
mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan,
jumlah penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi
Apotek, kesehatan lingkungan, keamanan dan mudah dijangkau masyarakat
dengan kendaraan;
b. Bangunan dan Kelengkapan
Bangunan Apotek harus mempunyai luas dan memenuhi persyaratan yang
cukup, serta memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek serta memelihara mutu
perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Bangunan Apotek sekurang-
kurangnya terdiri dari : ruang tunggu, ruang administrasi dan ruang kerja
Apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat,
tempat pencucian obat, kamar mandi dan toilet. Bangunan Apotek juga
harus dilengkapi dengan : sumber air yang memenuhi syarat kesehatan,
penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang berfungsi baik,
ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, papan
nama yang memuat nama Apotek, nama APA, nomor SIA, alamat Apotek,
nomor telepon Apotek;
c. Perlengkapan Apotek
Apotek harus memiliki perlengkapan, antara lain : alat pembuangan,
pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortar, gelas ukur, dll.
Perlengkapan dan alat penyimpanan, perbekalan farmasi seperti lemari obat
dan lemari pendingin. Wadah pengemas dan pembungkus, etiket dan plastic
pengemas. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan
beracun. Buku standar Farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta
4 Farmasi Indonesia, 2016, “Tata Cara Pendirian Apotek”, URL :http://pharmasindo.com.
diakses tanggal 1 September 2016.
29
kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Apotek.
Alat administrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kwitansi, salinan
resep dan lain-lain.5
2.1.2 Tugas Dan Fungsi Apotek
Tugas dan fungsi secara umum merupakan hal-hal yang harus bahkan wajib
dikerjakan oleh seorang pegawai atau pekerja dalam suatu instansi secara rutin sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan program kerja yang telah
dibuat berdasarkan tujuan, visi dan misi suatu organisasi. Tugas pokok sebagai satu
kesatuan pekerjaan atau kegiatan yang paling utama dan rutin dilakukan oleh para
pegawai dalam sebuah organisasi yang memberikan gambaran tentang ruang lingkup
atau kompleksitas jabatan atau organisasi demi mencapai tujuan tertentu.6 Sedangkan
fungsi berkaitan erat dengan wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik, atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan
hubungan-hubungan hukum.7
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, tugas serta fungsi Apotek menurut
ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 yaitu :
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta peraturan perundang-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga
Kefarmasian.
Selanjutnya menurut Pasal 2 Permenkes No. 35/2014 menjelaskan bahwa,
pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk :
5 Anton Yudi Setianto et. al., 2008, Panduan Lengkap Mengurus Perijinan Dan Dokumen
Pribadi, Keluarga Dan Bisnis, Cet. 2, Forum Sahabat, Jakarta, Hal. 169-170. 6 Muammar Himawan, 2004, Pokok-Pokok Organisasi Modern, Bina Ilmu, Jakarta, Hal. 38. 7 Prajudi Admosudirjo, 2001, Teori Kewenangan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 4.
30
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek
perlu terus melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi
dan mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek
pelayanan obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
2.1.3 Pemilik Sarana Apotek
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker. Dalam melaksanakan praktik pelayanan kefarmasian di
Apotek, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri maupun bekerjasama
dengan Pemilik Modal Apotek sebagai penyedia sarana dan prasarana maupun
perlengkapan guna menunjang kegiatan kefarmasian di Apotek. Hal tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 25 ayat 1 PP No. 51/2009 yang menjelaskan bahwa
“Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik
modal baik perorangan maupun perusahaan”.
Dalam kerjasama tersebut, Pemilik Modal Apotek/Pemilik Apotek menyediakan
sarana kefarmasian yang terdiri dari dana, perlengkapan Apotek, perbekalan kesehatan
di bidang farmasi, bangunan yang menjadi milik dan atau berada dalam penguasaan dari
31
Pemilik Apotek (Pemilik Sarana Apotek). 8 Sebagai penyedia perlengkapan maupun
sarana prasarana di Apotek, Pemilik Apotek disini dapat disebut juga sebagai pelaku
usaha dimana hal tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 8/1999 yang
menjelaskan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
2.2 Perjanjian Kerjasama
2.2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau
contract (Inggris). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah
“persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-
masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu”.9 Perjanjian
juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.10
Selain pengertian-pengertian tersebut diatas, terdapat beberapa ahli hukum yang
mengemukakan pendapat mereka mengenai rumusan pengertian perjanjian, yaitu :
Apabila dilihat dari aspek perjanjian kerjasama, maka pada prinsipnya terdapat 3
(tiga) pola perjanjian kerjasama, yaitu :
a. Joint Venture, adalah merupakan bentuk kerjasama umum, dapat dilakukan
pada hampir semua bidang usaha, dimana para pihak masing-masing
menyerahkan modal untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha
bersama;
b. Joint Oprational, adalah bentuk kerjasama khusus, dimana bidang usaha
yang dilakukan merupakan bidang usaha yang merupakan hak/kewenangan
salah satu pihak, bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah
beroperasional, dimana pihak investor memberikan dana untuk
melanjutkan/mengembangkan usaha yang semula merupakan
hak/wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai
pelaksana kegiatan usaha.
c. Single Operational, merupakan bentuk kerjasama khusus dimana bidang
usahanya berupa bangunan komersial. Salah satu pihak dalam kerjasama ini
adalah pemilik yang menguasai tanah, sedangkan pihak lain investor,
diijinkan untuk membangun suatu bangunan komersial diatas tanah milik
41
yang dikuasai pihak lain, dan diberi hak untuk mengoperasionalkan
bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian
fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu
operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan
komersial diatasnya kepada pihak pemilik yang menguasai tanah.23
2.3 Konsumen
2.3.1 Pengertian Konsumen/Pasien
Konsumen merupakan istilah yang sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi mana ia berada.24 Secara harfiah arti kata consumer adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau
konsumen.25
Di Indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis,
maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. dalam naskah-naskah akademik
dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup
banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam
lingkup perlindungan konsumen. 26 Dari naskah-naskah akademik itu yang patut
mendapat perhatian, antara lain :
a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Depertemen Kehakiman (BPHN),
menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir barang,
23
Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern,
Reika Aditama, Bandung, Hal. 42. 24 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 22. 25 Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
Hal. 3. 26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, Hal. 23.
42
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk
diperjualbelikan.
b. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :
Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia (FH-UI) bekerjasama dengan Departemen
Perdagangan RI, berbunyi :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.27
Apabila berbicara mengenai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan
medis, maka disini terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan)
dengan pasien sebagai konsumen jasa yang meliputi hubungan medik, hubungan hukum,
hubungan non hukum, hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Dari hubungan-
hubungan tersebutlah mengakibatkan adanya perbedaan pandangan dalam mengartikan
pasien dan konsumen, namun sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat
digolongkan sebagai konsumen.
Bila dilihat dari sisi perundang-undangan, didalam ketentuan Pasal 1 angka 2
UU No. 8/1999 dijelaskan bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Sedangkan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis (selanjutnya disingkat Permenkes
No. 269/MENKES/PER/III/2008) pada ketentuan Pasal 1 angka 5 dijelaskan bahwa
“pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi”.
27 Az. Nasution, op.cit, Hal. 9-10.
43
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai konsumen
adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan dalam
kaitannya dengan kesehatan. Dengan demikian, pasien dikategorikan sebagai konsumen
atau pengguna jasa medis. Orang yang menggunakan jasa tersebut adalah orang yang
menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.28 Hal
tersebut dikarenakan ada hubungan timbal balik antara pasien dan konsumen yaitu
pelaku usaha memberikan jasa dan konsumen memperoleh jasa dan membayar imbalan
atas jasa tersebut.
2.3.2 Hak Dan Kewajiban Konsumen
Setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut sebagai subyek
hukum.29 Hak merupakan sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya
tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan kewajiban merupakan sesuatu yang harus
dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana
atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum agar
masing-masing subyek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan
mendapatkan haknya secara wajar. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu
bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. dengan
kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
28 Sidharta, op.cit, Hal. 1. 29 Ida Ayu Sri Kusuma Wardhani, 2014, “Implementasi Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent) Dalam Perjanjian Terapeutik Oleh Tenaga Kesehatan Terhadap Pasien Rumah Sakit
Di provinsi Bali”, Jurnal Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Hal. 9.
44
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sedangkan kewajiban adalah pembatasan
dan beban.30
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. hak untuk memilih (the right to choose)
4. hak untuk didengar (the right to be heard).31
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization
of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan
pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain keempat Hak diatas, hak-hak konsumen juga diatur dalam Pasal 4 UU
No. 8/1999 yaitu sebagai berikut :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannyaa atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
41 Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen Dan Tindak Korporasi, Ghalia, Jakarta, Hal. 37.
50
2.4.3 Tanggung Jawab Apoteker
Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 42 Menurut hukum,
tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.43
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP No. 51/2009 dijelaskan mengenai tanggung
jawab Apoteker, yaitu :
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan
Kefarmasian sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi serta
peraturan perundang-undangan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga
kefarmasian.
Selain itu, pada ketentuan Pasal 60 UU No. 36/2014 juga menjelaskan bahwa
tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk :
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. meningkatkan Kompetensi;
c. bersikap dan berprilaku sesuai dengan etika profesi;
d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
kelompok; dan
e. melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, Apoteker dalam hal ini harus
selalu memperhatikan kepentingan pasien demi menjaga dan melindungi hak-hak
pasien. Begitu juga Apoteker harus mempertahankan dan meningkatkan mutu mengenai
pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
42 Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 26. 43 Soekidjo Notoatmojo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 56.
51
serta memberikan kepastian hukum terhadap pasien dan masyarakat serta terhadap