BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan Dan Sistem Pembinaan 1. Pengertian Pidana Dan Pemidanaan Hukum pidana merupakan istilah yang berasal dari Negara Belanda yaitu istilah straafrecht, straaf berarti pidana dan recht berarti hukum.Pengertian hukum pidana banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah Soedarto yang mengemukakan bahwa hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang meningkatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu sebab-akibat yang berupa pidana. 1 Menurut Simon pidana adalah suatu penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 2 Setelah dipahami pengetian pidana ( straf), pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan pemidanaan ( veroordeling). Seperti yang telah di kemukakan di muka, bahwa menurut Sudarto perkataan pemidanaan adalah sinonim dari istilah penghukuman. Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartiakn sebagai,”menetapkan hukuman” atau “memutuskan tentang hukumannya. 1 Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005) Hlm. 12. 2 Ibid, Hlm. 13.
57
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang …repository.uir.ac.id/687/2/bab2.pdfseberapa jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga dapat mencegah narapidana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan Dan Sistem Pembinaan
1. Pengertian Pidana Dan Pemidanaan
Hukum pidana merupakan istilah yang berasal dari Negara
Belanda yaitu istilah straafrecht, straaf berarti pidana dan recht berarti
hukum.Pengertian hukum pidana banyak dikemukakan oleh para sarjana
hukum, diantaranya adalah Soedarto yang mengemukakan bahwa hukum
pidana memuat aturan-aturan hukum yang meningkatkan kepada
perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu sebab-akibat
yang berupa pidana.1
Menurut Simon pidana adalah suatu penderitaan yang ditimpakan
kepada seseorang. Penderitaan tersebut oleh undang-undang pidana
dikaitkan dengan telah terjadinya pelanggaran terhadap suatu norma,
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah.2
Setelah dipahami pengetian pidana (straf), pertanyaan selanjutnya
adalah apa yang dimaksud dengan pemidanaan (veroordeling). Seperti
yang telah di kemukakan di muka, bahwa menurut Sudarto perkataan
pemidanaan adalah sinonim dari istilah penghukuman. Penghukuman itu
berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartiakn
sebagai,”menetapkan hukuman” atau “memutuskan tentang hukumannya.
1Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2005) Hlm. 12.
2 Ibid, Hlm. 13.
Dengan demikian,pemidanaan dapat diartikan sebagai penjatuhan pidana
oleh hakim yang merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan
pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak.3
2. Pengertian sistem pembinaan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah
melakukan tindak pidana dan jatuhi vonis oleh pengadilan akan
menjalani hari-harinya didalam rumah tahanan atau Lembaga
Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam menjalankan hukum yang
diterimanya. Dalam Lembaga Pemasyarakatan itu, orang tersebut akan
menyandang status sebagai narapidana dan menjalani pembinaan yang
telah di programkan.
Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga binaan Pemasyarakatan
disebutkan bahwa “pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan
kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak
didik pemasyarakatan”.
Pembinaan narapidana yang dikenal dengan pemasyarakat untuk
peratama kalinya dikemukan oleh Suhardjo, pada waktu diadakan
konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembaga, mengenai perubahan tujuan
pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakat.4
3Ibid, Hlm. 19.
4 Serikat Putra Jaya, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Cetakan Kedua,
Universitas Dipenogoro, 2005) Hlm. 45.
Efektivitas pidana penjara terletak pada aspek pencegahan, yaitu
seberapa jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga
dapat mencegah narapidana tersebut untuk mengulangi kejahatannya
menjadi residivis R.M Jackon menyatakan, bahwa suatu pidana adalah
efektif apabila si pelanggar tindak pidana lagi dalam suatu periode
tertentu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu
pengukuran dari perbandingan anatar jumlah pelanggar yang dipidana
kembali dan tidak dipidana kembali.5 Sistem pembinaan inilah yang
menjadi alternative untuk meningkatkan efrektivitas piadana penjara
sehingga jumlah narapidana meningkatkan efektivitas pidana penjara
sehingga jumlah narapidana menjadi residivis akan semakin menurun.
Satu hal yang harus selalu diingat bahwa tindakan apapun yang
dilakukan terhadap narapidana baik dalam rangka pembinaan atau
lainnya harus bersifat mengayomi dan tidak bertentangan dengan tujuan
pemasyarakatan. Seperti yang di ungkapkan oleh bahrudin surjobroto:
dengan merupakan sistem pemasyarakatan, narapidana harus diayomi
dengan cara memberikan bekal hidup supaya ia menjadi warga yang
berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan pengayoman tersebut
jelas bahwa penjatuhan narapidana penjara bukanlah dimaksud sebagai
tindakan balas dendam dari negara.6
5 Ibid,.
6 Bahrudin Sujobroto, Suatu Tujuan Tentang Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta:
Depertem,En Kehakiman RI, 1999) Hlm .45.
Mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem
kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Dasar hukum sistem perlakuan
terhadap narapidan ialah:
1. Kita Undang-Undang Hukum pidana;
2. Gestrichen Reglemen (Reglemen Penjara);
3. Dwangopvoeding regeling (DOR).
Sistem penjara bertujuan untuk membuat narapidana jera dan
tidak mengulangi perbuatannya lagi, maka orientasi pembinaannya lebih
bersifat “top down approach” yaitu program-program pembinaan yang
diberikan kepada narapidana, penetuan program yang bersifat “top down
approach” ini landasi pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana
pembinaan, dan pandangan bahwa narapidana hanyalah objek semata,
dimana narapidana sebagai objek tidak dapat mengembangkan dirinya
sesuai dengan kebutuhannya.
Lahirnya Undang-Undang pemasyarakatan telah melalui proses
perjalanan yang panjang, rancangan, rancangan Undang-Undang
pemasyarakatan sesungguhnya telah selesai pertama kali pada tahun
1972, tetapi karena dianggap belum mendesak oleh pemerintah yang
berkuasa saat itu, maka rancangan Undang-undang tersebut tidak
dilanjutkan kembali oleh lingkungan masyarakat. Adapun pembinaan
kemandirian yang di arahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan
agar warga binaan permasyarakatan berperan kembali warga masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.
3. Pola Pembinaan Narapidana
Sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan
dengan berbagai tahapan dan dilakukan oleh para Pembina ada Pembina
khusus dibagian anak dan Pembina yang tidak khusus. Sejak narapidana
masuk ke dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka saat itu
narapidana menjalani pembinaan yang dalam pelasanaan programnya
tidak terlepas dari unsur masyarakat dan bersama-sama dengan
masyarakat itu dapat sembuh kembali dari segi-segi negatif. Jangka
waktu dari masing-masing tahap yang satu kepada tahap berikutnya tidak
sama serta dalam pelaksanaan proses pembinaan ini maju mundur
tergantung dari narapidana yang bersangkutan dan kadang-kadang ada
kalanya mengulangi lagi sebagian dari proses atau tahap yang dilalui
terutama jika belum belum mencapai hasil yang memadai. Artinya
masing-masing narapidana membutuhkan waktu yang berbeda-beda
tergantung dari keadaan narapidana yang bersangkutan.
Peraturan pemerintah Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pembinaan
dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan menyebutkan bahwa
Pembina pemasyarakat adalah petugas pemasyarakatam yang
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Lapas. Jadi hanya Pembina pemasyarakat inilah yang berhak untuk
memberikan pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Dalam sistem pemasyarakatan pembinaan dan bimbingan yang
dilakukan oleh para Pembina, melalui tahap-tahap admisi atau orientasi,
pembinaan dan asimilasi antara lain:7
a. Tahap admisi dan orientasi, dimulai sejak warga binaan
pemasyarakatan memasuki lembaga dengan suatu kegiatan, meliputi
pengenalan terhadap suasana lembaga denga suatu kegiatan, meliputi
pengenalan terhadap suasan lembaga, petugas-petugas lembaga atau
pembina tata tertib atau disiplin, hak dan kewajiban selama berada
dilembaga. Jangka waktu tahap admisi ini adalah 1 (satu) minggu bagi
tahanan dan 1 (satu) bulan bagi warga binaan pemasyarakatan. Pada
tahapan ini di kenal sebagai pengenalan dan penelitian
lingkungan(MAPENALING).
b. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½
(satu per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan
sangat ketat (maximum security) dengan tujuan agar warga binaan
pemasyarakatan dapat menyesusaikan diri dengan lingkungan dan
peraturan-peraturan yang berlaku terutama dalam hal perilaku.
c. Tahap asimilasi, pelaksanaannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3
(dua per tiga) dari masa pidananya, pada tahap ini mulai perkenalkan
warga binaan pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental,
dan iman) secara lebih mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga
7 Pasal 6 surat keputusan menteri kehakiman R.I Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007
melalui olahraga, pramuka dan lain-lain. Pada tahap ini pengawasan
agak berkurang (medium security).8
d. Tahap intergrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan
menjalani 2/3 (dua per tiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya
masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang.
Bagi warga binaan pemasyarakatan betul-betul sadar dan berkelakuan
baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan dapat
mengusulkan: citi biasa, cuti menjelang bebas, dan bebas bersyarat.
Sedang ruang lingkup prmbinaan berdasarkan keputusan Menteri
Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana/Tahanan, dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang
yakni:
1. Pembinaan kepribadian yang meliputi:
a. Pembinaan kesadaran beragama
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama
memberikan pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat
menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar-
benar dan perbuatan –perbuatan yang salah. Pembinaan kesadaran
Bergama ini bertujuan agar para narapidana dapat meningkatkan
kesadaran terhadap agama yang merka anut.
b. Pembinaan kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Usaha ini dilaksanakan melalui pembinaan pengenalan pancasila.
Untuk itu pembinaan ini diberikan dengan tujuan untuk
menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara dalam diri
para narapidana. Dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa dan
bernegara dalam diri para narapidanaa. Dengan tumbuhnya
kesadaran berbangsa dan bernegara, diharapkan setelah para
narapidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka dapat
menjadi warga binaan yang baik dapat memberikan sesuatu yang
berguna bagi bangsa dan negaranya.
c. Pembinaan kemampuan Intelektual (Kecerdasan)
Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir
warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat
menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama
masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik
melalui pendidikan formal seperti belajar disekolah anak pada
umumnya hanya saja tempat dan ruang kelasnya berbeda masih
tetap di dalam lingkungan lembaga pemasyaratan pendidikan
formal, diselengarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan
semua warga binaan pemasyarakataan dan melalui pendidikan
non formal.
d. Pembinaan kesadaran hukum
Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasayarakataan
dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang
bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi
sehingga sebagai anggota masyarakat, meraka menyadari hak
dan kewajibannya dalam rangka turut menegakan hukum dan
keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbantuknya
perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.
Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk
keluarga sadar hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada
di dalam lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali
di tengah-tengah masyarakat.
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan
kehidupan sosial kemasyarakatan yang bertujuan pokok agar
bekas narapidana mudah dapat diterima kembali oleh masyarakat
lingkungannya. Untuk mencapai ini, kepada meraka selama
dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk patuh
beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong
royong, sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat
mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi
dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.
2. Pembinaan Kemandirian
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya
kerajinan tangan, industri rumah tangga dan sebagainya
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil,
misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan
bahan alam menjadi bahan setengah jadi
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya
masing-masing, dalam hal ini bagi mereka yang memiliki
bakatnya itu. Misalnya kemampuan dibidang seni, maka
diusahakan untuk disalurkan ke perkumpulan seniman.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak
hanya memperhatikan ke masa depan mereka setelah keluar dari
Lapas. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan dan bimbingan yang
diberikan kepada narapidana meliputi bidang yang bersifat
kepribadian dan kemandirian (keterampilan).
B. Tinjauan Umum Tentang Anak
1. Pengertian anak
Anak adalah manusia yang berumur dibawah 8 (delapan) tahun,
demikian Konvensi Hak Anak (KHA) memaknai defenisi anak. Karna
usianya masih belia (menuju kedewasaan) maka anak memiliki
keterbatasan-keterbatasan dalam hal fisik dan psikologis. Oleh karnanya
KHA mengamanahkan beberapa hak anak yang harus diakui, dilindungi,
dan dipenuhi.Tidak seorangpun ataupun kekusaan apapun boleh
melanggar hak-hak tersebut.9
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pengertian anak atau
kedudukan anak yang ditetapkan dalam kebijakan pasal 34, pasal ini
mempunyai makna khusus terhadap pengertian anak dan status anak.
karna yang menjadi esensi dasar kedudukan anak, anak adalah subjek
hukum dan dibina untuk kesejahteraan anak. Pengertian anak menurut
UUD 1945 melahirkan atau menonjolkan hak-hak yang harus diperoleh
anak dan masyarakat, bangsa dan Negara. Terdapat pluralisme mengenai
kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan
mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak-anak. Pasal 45 KUHP,
mendefenisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16
(enam belas) tahun. Oleh karna itu, apabila tersangkut dalam perkara
pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan
kepada orang tuanya, wilayah atau pemeliharaanya dengan tidak
dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan
kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak mendefenisikan anak adalah yang dalam
9Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2012) Hlm. 25.
perkara anak nakal telah berusia berumur 12 tahun tetapi belum berumur
18 tahun.
2. Pengertian Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan
anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1
angka 4 UU SPPA);
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5
UU SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori
Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak
Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan
banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak
dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem
peradilan pidana.
3. Hak-hak Anak
Anak merupakan bagian dari bangsa Indonesia, yang juga
merupakan generasi penerus bangsa memiliki hak konstitusional untuk
mendapatkan perlindungan oleh Negara Oleh karena Setiap anak dalam
proses peradilan pidana berhak:10
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh anak
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani
masa pidana berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;
g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Ketentuan Umur Terdakwa dan Tersangka Anak
10
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Dapat dipastikan bahwa terdakwa dalam sidang anak adalah anak
nakal. Pengertian anak nakal ini ada dua kelompok yakni anak yang
melakukan tindak pidana dan yang melakukan perbuatan yang terlarang
bagi anak. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah merumuskan
anak nakal ini yaitu, sebagai berikut:
1) Anak yang melakukan tindak pidana; atau
2) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal
adalah umur. Dalam hal ini, masalah umur merupakan masalah yang
urgen bagi terdakwa untuk dapat diajukan dalam sidang anak. Umur
dapat berupa umur minimum maupun maksimum. Masalah umur
tentunya juga harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana.
Sehubungan masalah umur. Pasal 4 Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 menetapkan sebagai berikut:
1) Dalam pasal 1 angka 3 yaitu, Anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut sebagai anak adalah anak yang telah berumur
12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 UU SPPA diajukan ke sidang
setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan
belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,
anak tetap diajukan ke sidang anak.
Penjelasan rumusan di atas, bahwa batas umur anak nakal minimal
adalah 8 (delapan) tahun dan maksimal 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke
sidang anak adalah umur 18 tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana
belum melampaui umur 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai
umur 21 (dua satu) tahun.
Pada praktek membuktikan terjadi tindak pidana sering ada unsur
penyertaan (deelneming). Dalam hal terjadi anak melakukan tindak
pidana bersama-sama dengan orang dewasa, sebagai berikut:
1) Anak tetap diajukan ke sidang anak.
2) Orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
3) Anggota ABRI diajukan ke Mahkamah Militer.
C. Tinjauan Umum Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Berbicara tentang hukum, maka kita berbicara tentang sebuah
sistem memandang sebuah sistem sebagai keseluruhan yang terkait dan
saling berhubungan antara bagian-bagiannya. Hukum sebagai sistem
adalah serangkaian komponen-komponen yang saling terhubung satu
sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung dan membentuk
suatu pola. Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang
terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain.11
Berbicara tentang persidangan kasus pidana, maka kita juga
berbicara tentang sebuah sistem, yakni sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana merupakan subsistem dari sistem peradilan di Indonesia
di mana peradilan Indonesia juga merupakan subsistem dari sistem
hukum di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu
hierarki sistem, di mana subsistem-subsistem dari sebuah sistem tertentu
menunjukkan ciri berupa adanya interelasi satu sama lainnya.12
Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam “criminal justice system” di
Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasan ini
terbukti dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada
tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam
penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order
approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut di
kenal denga istilah “law enforcement”. Istilah tersebut menunjukkan
bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan
dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan