BAB II Tinjauan Teori A. Media, Politik dan Budaya 1. Wacana: Bahasa dan Pergelaran Kuasa Membahas media massa sebagai representasi kekuasaan dapat diamati dari aspek produksi wacana dalam media, praktek bahasa yang dipakai serta pengetahuan yang dihasilkan. Bagian ini akan membahas teori tentang bahasa serta kekuasaan yang dihasilkan. Bahasa dan kekuasaan biasanya dibahas secara terpisah, yang pertama masuk dalam kajian linguistik sementara yang terakhir masuk dalam ilmu politik. Dalam pandangan empiris-positivis, bahasa semata dipahami sebagai alat komunikasi atau sebuah sistem kode dan nilai yang menunjuk pada suatu realitas monolitik. Bahasa dianggap tidak memiliki kendala atau pun distorsi sejauh ia dinyatakan secara logis, sintaktis dan memiliki hubungan dengan pengamatan empiris. 7 Sementara teori politik konvensional melihat bentuk kekuasan sebagai suatu kepemilikan kedaulatan individu atau kelas, bentuk kekuasaan dianalisis dengan memfokuskan diri pada medan geopolitik dengan tipologi kekuasaannya. 8 Pandangan seperti ini ditolak oleh aliran lain semisal fenomenologi dan kritis, bahkan pembahasan lebih radikal tentang bahasa dan kekuasaan muncul dalam aliran pasca-strukturalisme, terutama melalui konsep kuasa-pengetahuan Michel 7 Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde Baru,” dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 18-19. 8 Ibid, hal: 21 10
55
Embed
BAB II Tinjauan Teori A. Media, Politik dan Budaya 1 ... · PDF fileTinjauan Teori A. Media, Politik dan Budaya 1. ... pemahaman semacam itu, ... Selain dipahami sebagai praktek dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
Tinjauan Teori
A. Media, Politik dan Budaya
1. Wacana: Bahasa dan Pergelaran Kuasa
Membahas media massa sebagai representasi kekuasaan dapat diamati dari
aspek produksi wacana dalam media, praktek bahasa yang dipakai serta
pengetahuan yang dihasilkan. Bagian ini akan membahas teori tentang bahasa
serta kekuasaan yang dihasilkan.
Bahasa dan kekuasaan biasanya dibahas secara terpisah, yang pertama
masuk dalam kajian linguistik sementara yang terakhir masuk dalam ilmu politik.
Dalam pandangan empiris-positivis, bahasa semata dipahami sebagai alat
komunikasi atau sebuah sistem kode dan nilai yang menunjuk pada suatu realitas
monolitik. Bahasa dianggap tidak memiliki kendala atau pun distorsi sejauh ia
dinyatakan secara logis, sintaktis dan memiliki hubungan dengan pengamatan
empiris.7 Sementara teori politik konvensional melihat bentuk kekuasan sebagai
suatu kepemilikan kedaulatan individu atau kelas, bentuk kekuasaan dianalisis
dengan memfokuskan diri pada medan geopolitik dengan tipologi kekuasaannya.8
Pandangan seperti ini ditolak oleh aliran lain semisal fenomenologi dan kritis,
bahkan pembahasan lebih radikal tentang bahasa dan kekuasaan muncul dalam
aliran pasca-strukturalisme, terutama melalui konsep kuasa-pengetahuan Michel
7 Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde
Baru,” dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 18-19.
8 Ibid, hal: 21
10
Foucault yang melihat pengetahuan dan kekuasaan dalam satu lingkup yang sulit
dipisahkan.
Pergeseran fokus kajian kekuasaan muncul dari perubahan pemahaman yang
mendasar terhadap bahasa. Perubahan tersebut mencakup dua dimensi, Ontologis
dan Epistemologis, bahasa dilihat sebagai praktek, paradigma dan representasi.9
Dalam dimensi Ontologis, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk
mengetahui, tapi sebagai bagian yang ada. Bahasa tidak dilihat sebagai sesuatu
yang netral dan konsisten melainkan sebagai produk zaman, kumulasi ekspresi
suatu kebudayaan, atau sebagai representasi kekuasaan. Bahasa adalah partisipan
yang turut bermain dalam proses tahu, proses budaya dan politik, bukan cermin
transparan yang menangkap dan memantulkan obyek secara jernih. Dengan
pemahaman semacam itu, terjadi dilema eksistensial dalam proses mengetahui,
karena proses mecari tahu dan menyampaikan pengetahuan sepenuhnya
berlangsung melalui bahasa, pada sisi lain distorsi penggunaan bahasa dapat
menjauhkan kita dari realitas.10 Ketika ingin mengetahui kecenderungan
kelompok lain, kita harus memakai bahasa, dan kelompok lain dapat memperjelas
atau sebaliknya mengaburkan kekuatan dan kecenderungan kelompoknya juga
melalui bahasa. Maka posisi sosial politik sebuah kelompok tergantung pada
praktek bahasa yang dipakai.
Dengan demikian, Pada dimensi Epistemologis, yang dilihat adalah bahasa
sebagai praktek, bagaimana bahasa terus menerus disebarkan dan terungkap
dalam pembicaraan dan tulisan dalam interlokusi dan peristiwa nyata, penggunaan 9 Mochtar Pabottingi, Komunikasi Politik dalam Transformasi Ilmu Politik, dalam Prisma 6, Juni
1991. hal: 14 10 Ibid.
11
bahasa macam ini oleh Ricoeur disebut discourse,11 dalam bahasa indonesia
disebut diskursus atau wacana. Jika bahasa sebagai praktek dan digunakan dalam
peristiwa nyata, maka individu yang terlibat dalam praktek bahasa dituntut
berpihak dan menentukan posisi.12
Sebagai wacana, bahasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak
universal. Wacana terikat waktu, tempat dan konteks pergulatan politis-ideologis
tertentu. Setiap jaman atau kekuasaan mempunyai praktek bahasa sendiri, dan
praktek bahasa ini menggiring kita pada jalur dan arah pemikiran tertentu, maka
bahasa di sini berfungsi sebagai Paradigma. Menurut Foucault, bahasa sebagai
paradigma bisa disamakan dengan doktrin yang mengikat orang pada jenis
praktek bahasa tertentu dan tidak memungkinkan mereka melakukan praktek
bahasa lain. Di sini terjadi penghambaan ganda, penghambaan orang pada bahasa
dan penghambaan bahasa pada sekelompok pemegang kekuasan tertentu.13
Pemahaman ini lahir dari kenyataan bahwa di mana pun kita tidak bebas
menuliskan atau mengatakan apa saja yang kita kehendaki, kita terikat oleh
‘aturan’ yang melekat pada latar atau konteks peristiwa masing-masing. Setiap
situasi mempunyai wacana sendiri, misalnya pemakaian bahasa di pengadilan
11 Dalam Mochtar Pabottingi, Ibid, hal: 16 12 Bahasa yang dimaksud agaknya lebih mirip dengan pengertian bahasa jawa dalam lingkup
kehidupan orang jawa sehari-hari. Dalam bahasa jawa ada klasifiksi penggunaan bahasa, jawa ngoko (kasar) dan krama (halus). Bahasa tidak bersifat netral sebab pengguna bahasa harus menilai lawan bicaranya melalui penggunaan bahasa, apakah lebih tua dan dihormati, mempunyai posisi sejajar dengan pembicara atau lebih rendah, apakah harus menggunakan bahasa ngoko atau krama. Penilaian terhadap lawan bicara harus dilakukan sebab jika salah menggunakan bahasa akan disebut ‘durung njawani’, bukan hanya berarti tidak bisa bahasa jawa tapi sekaligus ter-eksklusi atau dikeluarkan dari ‘dunia jawa,’ dianggap sebagai orang yang tidak tahu nilai, norma, dan belum dianggap sebagai orang jawa. Lihat pembahasan senada dalam tulisan Ariel Heryanto, Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia, Prisma No.1 tahun XVII, terutama hal: 5
13 Loc.cit.
12
berbeda dengan bahasa yang dipakai antar teman maupun di sekolah. Setiap
jaman mempunyai praktek bahasa sendiri tergantung penguasa, misalnya saat
Orde Lama bahasa Indonesia dikuasai oleh wacana ‘revolusioer’, sementara pada
masa Orde Baru wacana kita didominasi kata ‘Pembangunan’.
Selain dipahami sebagai praktek dan paradigma, bahasa juga dilihat sebagai
Representasi. Bagaimana bahasa menggambarkan sesuatu, tidak hanya obyek
benda tapi juga manusia serta peristiwa tertentu. Menurut John Fiske, representasi
dilakukan melalui tiga proses.14 Pertama, peristiwa yang ditandakan (encode)
sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh
individu. Aspek yang dilihat berkaitan dengan fisik seperti pakaian, lingkungan,
ucapan, suara ekspresi, gerak-gerik dan perilaku. Kedua, bagaimana realitas itu
digambarkan dengan menggunakan perangkat teknis seperti kata, kalimat,
proposisi, grafik dsb. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan dalam kode
representasional, bagaimana obyek digambarkan sehingga dapat dimengerti. Dan
ketiga, peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima
secara ideologis. Agar dapat dimengerti gambaran tersebut harus disesuaikan
dengan koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dan wacana dominan.
Representasi bahasa membentuk jenis subjek, tema dan strategi wacana
tertentu. Dalam bahasa tergambar hubungan-hubungan politis sebab bahasa adalah
ruang pergelaran kuasa-kuasa tertentu. Menurut Foucault tindakan manusia,
praksis yang dibentuk untuk menangkap aturan-aturan dan memberinya makna
tidak hanya dicari lewat memahami subyek dan kepentingan yang dicarinya, tapi
delegitimasi terhadap kelompok lain dapat dilakukan dengan cara misrepresentasi
atau penggambaran secara keliru. Misalnya dengan memakai standart kebenaran
sama, tapi bukan menggambarkan secara positif melainkan mengkonfrontasikan
kelompok lain sebagai kelompok yang menyimpang karena tidak sesuai dengan
standart kebenaran yang beredar dalam wacana dominan. Dalam media, awak
media dapat mendukung praktek delegitimasi dengan cara menghalangi atau
membatasi kelompok lain untuk masuk dalam media, menggambarkan kelompok
tersebut sebagai pihak yang bukan ahlinya, tidak layak sebagai sumber yang dapat
dipercaya, tidak kredibel, meragukan visi, pengetahuan serta latar belakangnya.20
Penyerangan terhadap kelompok lain juga bisa dilakukan dengan menampilkan
tokoh dari pihak lain yang dianggap otoritatif dan sah untuk membuat penilaian
serta klarifikasi. Strategi wacana semacam ini bisa menimbulkan apa yang disebut
van Dijk sebagai Inferiorisasi,21 kelompok yang terus menerus terdelegitimasi
akan menerima dirinya sebagai orang kecil, pinggiran, sebagai pihak yang
memang bersalah, tidak pantas untuk dipercaya dan dihargai.
2. Berita dalam Pandangan Cultural Studies
Salah satu ciri Cultural Studies adalah mengkaji persoalan dari sudut praktik
kebudayaan dan kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan
hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi
20 Agus Sudibyo, Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru, Yogyakarta: Bigraf, 1999.
hal.20-21 21 Ibid.
16
praktek kebudayaan.22 Menurut Raymond Williams, budaya bisa diartikan sebagai
cara hidup yang dijalankan dan dipegang teguh, makna dan nilai yang
menginformasikan tindakan manusia, diwujudkan dalam dan melalui hubungan
sosial, kehidupan politik dan lainnya.23 Namun budaya tidak turun dari langit,
agar menjadi dominan dan efektif, perlu dikukuhkan lewat institusi yang ada
dalam masyarakat misalnya institusi pendidikan, media massa serta institusi lain.
Media massa mendapat perhatian penting dalam Cultural Studies sebab saat
sekarang media massa memasuki hampir seluruh dimensi kehidupan individu dan
sosial, berpengaruh penting dalam penyebaran nilai dan pandangan tertentu
melalui pesan yang disampaikan, baik dalam bentuk berita maupun produk lain.
Sebagai produk media, berita dilihat sebagai teks kebudayaan sebab terbentuk
melalui konstruksi individu wartawan maupun institusi media yang melibatkan
pandangan, nilai dan evaluasi dalam konteks tertentu lewat bahasa. Pada akhirnya
realitas yang didefinisikan media membentuk praktek sosial tertentu dalam
masyarakat. Karena realitas terbentuk melalui praktek bahasa, maka peristiwa
yang ada dalam berita tidak dilihat sebagai cermin realitas, dan media tidak dilihat
sebagai institusi netral sebab mengukuhkan praktek sosial melalui realitas yang
didefinisikan oleh kelompok tertentu lewat praktek bahasa.
22 Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Beginners, (terj), Bandung:
Mizan, 2001, hal. 9. 23 Seperti dikutip Stuart Hall, Raymond Williams menyatakan, “culture is the way social live is
experienced and handled, meanings and values which inform human action, which are embodied in and mediate social relations, political live, etc.” Lihat Chris Newbold, “Approach to Cultural Hegemony Within Cultural Studies,” dalam Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed), Approaches to Media, A Reade,r Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 329
17
Berita adalah produk utama media massa disamping opini, iklan serta rubrik
lainnya. Menurut Micthel V. Charnley, berita adalah laporan tercepat dari suatu
fakta atau kejadian yang faktual, menarik bagi sebagian besar pembaca serta
menyangkut kepentingan mereka.24 Tidak ada definisi tunggal mengenai berita
sebab banyak faktor yang membangun sebuah berita, seperti dikemukakan Earl
English dan Clarence Hach, “News is difficult to define, because it involves many
variable factors,” (berita sulit didefinisikan sebab mencakup banyak faktor
variabel).25 Pembahasan di sini tidak terfokus pada definisi berita, tapi lebih
ditekankan pada elemen-elemen yang membangun berita serpti bahasa dan
makna, realitas serta institusi media. Uraian berikut lebih banyak didasarkan pada
pemikiran Stuart Hall, pendiri Centre for Contemporary Cultural Studies di
Univesitas Birmingham Inggris.
2.1. Bahasa dan Makna
Titik pijak Cultural Studies yang dapat dipakai dalam melihat produksi
berita adalah bahasa dan makna. Perhatiannya bukan hanya pada tataran pesan
yang disampaikan, tapi merambah bangunan makna yang ada di balik pesan.
Dalam kajian Antropologi Budaya, Sapir-Whorf mempunyai hipotesis menarik,
dia mengatakan bahwa setiap budaya mempunyai cara yang berbeda dalam
mengklasifikasikan dunia, dan akan direfleksikan dalam struktur semantik serta
linguistik yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda.26 Berdasarkan hipotesis
tersebut, Stuart Hall berpendapat bahwa kejadian dan segala sesuatu yang ada di
dunia tidak mengandung makna tunggal, utuh dan hakiki dalam dirinya sendiri
melainkan ditransfer melalui bahasa. Makna yang disampaikan lewat bahasa
adalah produksi sosial, sebuah praktek, sebab tidak ada bahasa yang bersifat
personal, bahasa senantiasa disusun dalam lingkup sosial, untuk berhubungan dan
memahami orang lain. Dengan begitu, dunia dibuat menjadi bermakna melalui
bahasa dan simbolisasi.
Karena makna tidak ada dengan sendirinya tapi diproduksi, maka agar satu
makna menjadi dominan harus diproduksi secara tetap dibanding makna lain.
Makna tersebut harus mendapat kepercayaan, legitimasi dan diterima secara
umum. Pada sisi lain, produksi makna juga menyangkut marjinalisasi, penilaian
secara rendah dan delegitimasi terhadap konstruksi makna alternatif.27 Jika makna
tidak tergantung pada bagaimana adanya tapi bagaimana sesuatu ditandakan
(signified), maka suatu kejadian dapat ditandakan dengan cara berbeda. Makna
tidak ditentukan oleh struktur realitas yang ada dalam dirinya, tapi ditentukan oleh
keberhasilan kerja pemaknaan melalui praktek sosial. Dengan begitu makna
menjadi arena perjuangan kelompok, setiap kelompok sosial bisa jadi mempunyai
makna yang berbeda terhadap satu hal, tapi agar satu makna menjadi dominan,
harus memenangkan kompetisi tersebut lewat representasi melalui bahasa.
Dengan demikian, fungsi bahasa sebenarnya tidak hanya mengambarkan dunia,
26 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam
Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 355
27 Ibid.
19
tapi mengaturnya. Bahkan John Austin mempunyai motto, “we not only say things
in words, we do things with words.”.28
Karena fakta tidak tersedia dengan sendirinya tapi digambarkan lewat
bahasa, maka satu fakta agar menjadi sebuah berita harus direpresentasikan
kembali melalui kata dan kalimat yang dapat dimengerti oleh jurnalis maupun
pembacanya. Tapi bahasa yang direpresentitasikan oleh wartawan adalah bahasa
yang menang dalam arena perjuangan makna dan pada sisi lain menyingkirkan
makna alternatif. Karena itu bahasa harus dilihat sebagai agen yang menyusun
realitas, bukan sebagai alat pengiriman netral yang secara langsung menunjukkan
sebuah dunia tanpa melalui praktek bahasa.
2.2. Realitas
Jika dunia dibentuk melalui praktek bahasa, maka realitas di dalamnya juga
tergantung pada praktek bahasa yang dilakukan. Berbeda dengan paradigma
positivistik yang melihat relitas sebagai sesuatu yang ada di luar individu dan
dapat diamati, Cultural Studies melihat realitas atau peristiwa yang diliput media
merupakan sesuatu yang ditentukan secara sosial. Menurut Stuart Hall, tidak ada
sesuatu yang hidup kecuali ada dalam dan untuk bahasa atau wacana. Meskipun
dunia hidup di luar bahasa, kita hanya bisa merasakannya melalui penerimaan
dalam wacana.29 Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-menerus
melalui praktek bahasa, dan selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif
28 Steven Connor, Theory and Cultural Value, Blackwell publisher,Oxford UK. & Cambridge
USA, hal. 103. 29 Dalam Robert A. Hackett, “Decline of A Paradigm?, Bias and Objectivity in News Media
Studies,” dalam Critical Studies in Mass Communication, Vol.1, No. 3, hal. 258
20
atas realitas yang hendak ditampilkan.30 Namun pendefinisian ini tidak hanya
dilihat sebagai bentuk distorsi atau pun refleksi dari sesuatu yang nyata,
konstruksi realitas semacam ini dilihat sebagai proses pembentukan realitas sosial
secara aktif.
Menurut Stuart Hall, berita tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai
laporan tentang seperangkat fakta yang ada dengan sendirinya, realitas yang ada
dalam berita merupakan hasil konstruksi media dengan cara tertentu. Media tidak
cuma mereproduksi tapi mendefinisikan realitas dengan memilih definisi tertentu.
Realitas tersebut ditopang dan diproduksi melalui praktek bahasa, melalui
pendefinisian secara selektif bagaimana realitas tersebut digambarkan. Dengan
demikian, berita bukan sekedar pembawa makna yang sudah ada sebelumnya.
Media dilihat sebagai pembentuk realitas yang melibatkan proses seleksi dan
presentasi, penyusunan dan penentuan, membuat sesuatu menjadi berarti. Media
menyeleksi, menyusun, menampilkan dan mengkondisikan makna. Bukan hanya
memindahkan makna yang sudah ada sebelumnya, tapi sebagai kerja aktif
membuat sesuatu lebih berarti.31
Realitas dalam media tidak dapat dilihat semata sebagai seperangkat fakta
sebab sudah terdistorsi oleh kelompok dominan, sebagai hasil ideologi atau
pandangan tertentu yang memenangkan perjuangan makna lewat praktek bahasa.
30 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal. 34 31 Tepatnya Stuart Hall menyatakan bahwa berita sebagai: “the result of a particular way of
constructing reality. The media defined, not merely reproduced, “reality”. Definitions of reality were sustained and produced through all those linguistic practices (in the broad sense) by means of which selective definitions of “the real” were represented. It implies the active work o selecting and presenting, of structuring and shaping: not merely the transmitting of an already existing meaning, but more active labour of making things mean.” Dalam Robert Hackett, op. cit, hal. 258
21
Tiap kelompok mungkin mempunyai “kebutuhan” terhadap sebuah peristiwa dan
akan berusaha mengendalikan atau mendefinisikan realitas dengan cara yang
berbeda. Karena itu bisa dimengerti kenapa satu masalah menjadi berita besar dan
kadang sama sekali disembunyikan dari publik, kenapa satu peristiwa diberitakan
dengan menonjolkan aspek tertentu. Menurut Molotch dan Lester, peristiwa
adalah apa yang biasa kita perhatikan, suatu peristiwa dinilai penting tergantung
pada manfaat yang bisa diambil oleh orang atau kelompok yang mencoba
mengendalikan pengalaman.32
2.3. Institusi Media
Institusi media mendapat perhatian utama dalam Cultural Studies sebab saat
ini media massa mengukuhkan kepemimpinannya dalam wilayah budaya secara
meyakinkan dibanding saluran budaya tradisional yang ada sebelumnya. Media
mempunyai arti penting sebab hampir keseluruhan wilayah informasi publik,
produksi dan konsumsi pengetahuan sosial tergantung pada alat komunikasi
modern tersebut. Media massa mempunyai tanggung jawab dalam menyediakan
dasar bagi kelompok sosial untuk mengkonstruksi kesan (Image) tentang
kehidupan, makna, praktek dan nilai kelompok lain. Selain itu, media massa
menyediakan kesan, gambaran serta ide tentang totalitas sosial, media massa
menyediakan sebuah konsensus. Seakan semua bagian yang ada dan terpecah-
pecah bisa disatukan sebagai satu kesatuan yang utuh.
32 Dalam Robert Hackett, Ibid. hal. 257-258.
22
Dalam pandangan Stuart Hall, media mempunyai fungsi kultural yang
sangat besar.33 Pertama, menyediakan dan mengkonstruksi kesan (image) serta
pengetahuan sosial secara selektif yang melaluinya kita dapat merasakan ‘dunia’,
melihat kehidupan orang lain, dan secara imajiner mengkonstruksi kembali
kehidupan kita dan kehidupan pihak lain dalam suatu dunia yang dapat dimengerti
secara keseluruhan, media massa membawa kita pada sebuah totalitas kehidupan.
Kedua, merefleksikan kembali kesan pluralitas yang telah dibentuk media,
menyediakan kosa kata, gaya hidup dan ideologi yang jadi tujuan bersama. Dalam
media massa, jenis-jenis pengetahuan sosial yang berbeda diklasifikasi, diurut
(ranking) dan ditertibkan, kemudian diletakkan pada konteks rujukan dalam peta
realitas yang dipilih oleh media.
Seperti dikatakan Halloran, fungsi media adalah menyediakan realitas sosial
yang belum ada sebelumnya, atau memberi arah baru pada kecenderungan yang
sudah ada. Media menyediakan kriteria mengenai sikap maupun perilaku baru
yang dapat diterima secara sosial, sedangkan kesalahan anggota masyarakat dalam
mengadopsinya digambarkan sebagai bentuk penyimpangan sosial yang tidak bisa
diterima.34 Pengetahuan sosial yang diedarkan media massa disusun dalam
klasifikasi normatif dan evaluatif, dalam makna dan interpretasi yang dipilih.
Karena tidak ada wacana, ideologi atau sistem nilai yang utuh dalam semua
pengetahuan sosial, maka seharusnya lebih banyak nilai dan makna dibandingkan
dengan apa yang didefinisikan oleh kelompok dominan. Media secara selektif
33 Stuart Hall, “Culture, The Media and Ideological Effect,” dalam James Curran, Michael
Gurevitch dan Janet Woollacott (ed), Mass Communication and Society, Beverly Hills: Sage publication, 1977. hal. 340-342
34 Dalam Stuart Hall, Ibid.
23
mengklasifikasikan sistem nilai tersebut berdasarkan pemetaan yang ditetapkan
oleh kelompok dominan. Jika dalam kehidupan sosial tidak ada pengetahuan
tunggal, maka proses seleksi yang dilakukan media massa juga menyingkirkan
pengetahuan alternatif. Di sini, kerja media bersifat ideologis sebab mengukuhkan
peraturan tiap bidang, secara aktif menguasai realitas tertentu, menawarkan
pemetaan dan kode yang menandakan wilayah dan menetapkan kejadian dalam
konteksnya masing-masing sesuai kepentingan kelas dominan dan menyingkirkan
wacana yang tidak dibutuhkan oleh kelas dominan.
Fungsi ketiga media massa adalah mengorganisasikan, menyusun dan
membawa apa yang telah secara selektif digambarkan dan diklasifikasikan. Di sini
tingkat integrasi dan kepaduan, hubungan dan kesatuan imajiner mulai dibangun,
dan pada saat yang sama kepentingan kelas, kekuasaan dan eksploitasi digelar
melalui opini publik dan konsensus. Namun media tidak begitu saja merefleksikan
dan mengokohkan konsensus secara langsung, media lebih dilihat sebagai institusi
yang membantu memproduksi konsensus yang membentuk kesadaran. Konsensus
yang terbentuk melalui media tidak dilihat sebagai sesuatu yang alamiah sebab
terjadi dalam pertukaran yang tidak seimbang antara kelompok dominan dan
pinggiran, antara massa yang tidak mempunyai akses terhadap pusat kekuasaan
versus kelompok yang mampu mengorganisir opini secara besar.
Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan secara
langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari tampak
seimbang dan independen, media tidak secara langsung mengambil petunjuk dari
penguasa maupun kelompok dominan, atau secara sadar membelokkan berita
24
untuk melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan
hanya bisa bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau
kerangka yang ‘disetujui oleh setiap orang’ untuk menjadi konsensus. Media
mengorientasikan dirinya dalam konsensus, pada saat yang sama berusaha
membentuk konsensus dan menjalankannya sesuai kebiasaan yang berkembang,
media menjadi bagian dalam proses dialektik dari produksi kesadaran. Media
membentuk sekaligus merefleksikan konsensus, lantas mengorientasikannya
dalam wilayah kekuatan kepentingan sosial kelas dominan dalam negara.35
Dari uraian di atas, bisa dilihat bagaimana proses komunikasi yang terjadi
dalam kehidupan sosial ternyata tidak berjalan seimbang sebab kelompok tertentu
mempunyai kekuasaan dan akses lebih besar dibanding kelompok lain. Pergulatan
sosial lewat praktek bahasa dan perjuangan dalam memenangkan makna yang
berlangsung dalam arena sosial dan ditopang media massa hanya mengukuhkan
dominasi kelompok tertentu dan menindas atau menyingkirkan wacana alternatif
yang dibawa kelompok lain. Realitas yang terbentuk dan dikukuhkan media sering
kali menguntungkan kelas dominan dan dilembagakan dalam wilayah kehidupan
sosial. Seperti dikemukakan oleh Stuart Hall, media massa mendefinisikan dan
mengkonstruksi hubungan sosial dan politik, menjadi sarana produksi ekonomi,
media massa menjadi kekuatan utama (Material Force) dalam sistem industri
modern, mendefinisikan teknologi dan mendominasi budaya.36
35 Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam
Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 362.
36 Stuart Hall, “Ideology and Communication Theory,” dalam Brenda Dervins et al. (ed) Rethinking Communication: Paradigm Issues. Newbury Park: Sage Publication, 1986, hal. 43.
25
3. Ekonomi Politik Media
Perspektif ekonomi politik berusaha menjelaskan bagaimana dan oleh siapa
kekuasaan dalam media dijalankan, pusat perhatian analisisnya adalah struktur
kepemilikan dan kontrol yang dijalankan dalam media. Perspektif ini mengadopsi
pendekatan Marxist yang didasarkan pada asumsi bahwa isi media serta makna
yang terkandung dalam pesan media ditentukan oleh basis ekonomi di mana pesan
tersebut diproduksi. Organisasi media komersial harus memenuhi kebutuhan
pengiklan dan membuat produk yang bisa memenuhi kebutuhan audien secara
maksimal, dengan demikian media komersial dikontrol oleh institusi politik
dominan, pemerintah tingkat menengah sampai tingkat bawah, atau kerja media
harus sesuai dengan konsesus yang ada dalam masyarakat.
Namun penjabaran secara detil mengenai pengaruh determinasi ekonomi
terhadap isi pesan media bersifat kompleks dan seringkali problematis. Menurut
James Curran, minimal ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melihat
hubungan antara determinasi ekonomi dan isi pesan media dalam perspektif
ekonomi politik. Pertama, pada level mikro dilihat melalui ideologi profesional
dan praktik kerja yang ada dalam institusi media. Kedua, pada level makro
melihat interaksi institusi media dengan lingkungan sosial politiknya.37
Kajian tentang ideologi profesional berasal dari studi tentang kepercayaan,
nilai dan prosedur kerja profesional yang berakar dari sosiologi profesi. Dalam
jurnalisme, kajian mengenai profesionalisme memunculkan tuntutan yang kuat
tentang otonomi profesional yang diturunkan dari prinsip demokrasi, yaitu 37 James Curran (et. al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver Boyd-
Barrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 66-70
26
kebebasan berkespresi dan hak untuk tahu bagi publik. Ideologi profesional juga
mengembangkan komitmen untuk menghargai nilai-nilai semacam obyektivitas,
imparsialitas (tidak memihak) dan fairness (kejujuran).
Masalah profesionalisme dalam media massa mengundang perdebatan
antara kaum pluralist dan Marxist. Kalangan pluralist percaya bahwa klaim
otonomi dan komitmen untuk menjalankan prinsip obyektivitas dan imparsialitas
sebagai panduan dan aturan kerja profesional bisa dilaksanakan. Tapi pandangan
tersebut ditolak oleh kaum Marxist, mereka menganggap klaim obyektivitas dan
imparsialitas dalam profesionalisme tunduk dalam ideologi dominan. Kontrol
terhadap proses produksi pesan dan makna oleh media profesional dibatasi dan
ditentukan oleh budaya dominan. Namun kedua kubu setuju terhadap pandangan
bahwa institusi dan kelompok yang kuat dalam masyarakat mempunyai akses
khusus terhadap media, sebab mereka dianggap lebih kredibel dan terpercaya, dan
karena mereka punya sumber dalam proses informasi mereka bisa menawarkan
pandangannya kepada media dengan cara yang atraktif dan berguna.
Pada level makro, interaksi antara media dengan sumber dari institusi politik
dan negara merupakan titik krusial yang harus dilihat dalam memahami proses
produksi dalam media. Organisasi media hidup dalam hubungan yang
menguntungkan dengan lingkungannya, bukan hanya dalam hal ekonomi tapi juga
“bahan mentah” bagi isi yang dibuat oleh media. Dalam pandangan pluralist,
saling ketergantungan antara media dan institusi dala masyarakat cenderung
seimbang. Pada satu sisi media tergantung pada institusi sentral dalam masyarakat
untuk mendapatkan “bahan mentah”, pada sisi lain institusi sosial juga tergantung
27
pada media untuk mengkomunikasikan pandangannya kepada publik. Dalam
pandangan Marxist, otonomi media cenderung bersifat relatif dan marjinal. Media
dilihat sebagai institusi yang terbelenggu dalam struktur kekuasaan berjalan
seiring dengan institusi dominan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini media
mereproduksi pandangan institusi dominan, bukan sebagai perspektif alternatif
tapi sebagai pusat perspektif yang natural dan nyata.
4. Relasi Makna Teks antara Media dan Audien
Dalam studi media terdapat dua pandangan mengenai bagaimana khalayak
menafsirkan teks. Pandangan pertama melihat khalayak sebagai pihak yang pasif.
Media dibayangkan sebagai entitas yang otonom dan aktif, sementara khalayak
sebagai entitas yang pasif. Pandangan kedua melihat khalayak sebagai entitas
yang aktif dan dinamis dalam memilih media dan berita apa yang sesuai dengan
dirinya, bahkan khalayak juga dinilai aktif dalam memaknai isi media.38 Pada
masa Perang Dunia, media dilihat sebagai agen propaganda yang mempunyai
pengaruh sangat kuat dan berperan sebagai pencuci otak bagi khalayak dan pada
sisi lain khalayak dilihat sebagai pihak yang pasif. Namun dalam masa berikutnya,
teori efek kuat semacam teori peluru maupun jarum hipodermik mulai direvisi.
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa publik bersifat aktif
dalam mengkonsumsi teks. Teori semacam uses and gratification berpendapat
bahwa publik atau audien lebih bersifat aktif menggunakan media secara variatif
sesuai dengan kebutuhannya.
38 Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta:LKiS, 2001, hal: 13-14
28
Penelitian uses and gratification mengalihkan perhatian dari ide tentang efek
“terukur” media terhadap khalayak menjadi analisis tentang bagaimana publik
menggunakan media. Penelitian ini dirintis dari bidang kajian psikologi sosial
yang memperkenalkan konsep bahwa persepsi audien terhadap pesan secara
radikal bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh pembuat pesan.
Subyektivitas audien dikonstruksi melalui interaksi dengan kondisi material
tertentu yang ada dan keragaman bentuk-bentuk simbolik. Pandangan ini biasanya
dikaitkan dengan konsepsi simbolik suatu kebudayaan dan memeriksa interaksi
makna simbolik dalam komunikasi.39
Menurut Stevenson, kajian tentang produksi makna harus dikaitkan dengan
kekuasaan. Karena itu, kajian mengenai kemampuan interpretaif audien terhadap
pesan simbolik juga harus diletakkan dalam teori sosial kritis dan normatif. Salah
satu kajian yang melihat pengaruh media terhadap audien adalah esai Stuart Hall
tentang encoding/decoding. Hall berpendapat, ada perbedaan mendasar dalam
proses sosial antara penyusunan dan penerimaan pesan atau teks media. Bentuk-
bentuk budaya diterima dan ditafsirkan melalui perpaduan antara sejarah spesifik
relasi institusional, politik, budaya, dan akses terhadap teknologi yang relevan.40
Dalam pandangan Stuart Hall, ada tiga bentuk pembacaan audien terhadap
pesan yang dibuat oleh pembuat teks.41 Pertama, posisi pembacaan dominan
(dominant-hegemonic position). Posisi ini terjadi ketika penulis menggunakan
kode-kode yang bisa diterima umum, sehingga pembaca akan menafsirkan dan
39 Nick Stevenson, Understanding Media Culture, Social Theory and Mass Communication,
menilai kebebasan saat itu sebagai kebebasan sepenuhnya yang tidak mungkin
dicapai oleh negara-negara barat sekalipun.55
Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959, pers
berada dalam kondisi terjepit. Sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Bung
Karno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri
untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) dengan syarat-syarat tertentu, misalnya
harus patuh kepada Manifesto Politik Soekarno, ikut berjuang menentang
imperialisme, kolonialisme, federalisme dan separatisme.56 ketika diberlakukan
undang-undang darurat perang, peta kekuatan pers cenderung seimbang. Hampir
semua surat kabar pernah dibredel oleh penguasa perang. Menurut Harold Crouch
dan Ulf Sundhaussen, surat kabar Harian Rakjat milik PKI tergolong surat kabar
yang paling sering dibredel. Dengan demikian, pada masa ini tidak ada pers
dominan yang bisa menciptakan opini publik secara maksimal, baik pers komunis
maupun non komunis berada dalam posisi seimbang karena sama-sama menjadi
sasaran intimidasi penguasa militer/perang.57
Ketika kekuatan politik pada masa Demokrasi Terpimpin (terutama tahun
1962-1965) didominasi oleh tiga kekuatan: Bung Karno, militer dan PKI, peta
kekuatan pers juga ikut berubah. Ketika PKI dekat dengan Bung Karno, pers
komunis dan simpatisannya (biasanya pers nasional sayap kiri) menduduki posisi
dominan dalam menciptakan opini publik dan politik serta mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah. Surat kabar Harian Rakjat tirasnya mencapai 75.000
55 Ibid. hal: 15 56 Ibid. hal: 16 57 lihat catatan kaki nomor 7 dalam Akhmad Zaini Abar, 1966-1974, Kisah Pers Indonesia,
Yogyakarta: LkiS, 1995, hal: 51
39
eksemplar pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 mencapai 85.000 eksemplar.58
Tapi domimasi pers komunis dalam menciptakan opini publik dan mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah bukan dominasi utuh. Penciptaan opini publik serta
pengaruhnya dalam menetukan kebijaksanaan politik yang dilakukan pers
komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan politis dan retoris Bung
Karno, meskipun di balik itu terselip kepentingan PKI dan simpatisan-
simpatisannya.59
Sedangkan pers yang non atau anti komunis saat itu tergolong pers periferal
atau pinggiran. Pers yang tergolong periferal meliputi pers agama, pers kelompok
BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan pers militer. Pers agama adalah pers
yang berafiliasi dengan partai agama, misalnya surat kabar Duta Masyarakat
(berafiliasi dengan Partai Nahdatul Ulama), Sinar Harapan berafiliasi dengan
Partai Kristen Indonesia (Parkindo) lahir pada 27 april 1961, serta harian Kompas
yang lahir 28 Juni 1965 berafiliasi dengan Partai Katolik. Kompas tergolong pers
yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.60
Untuk melawan pengaruh komunis yang makin meluas, Adam Malik, B.M.
Diah serta kelompok anti komunis lainnya mendirikan Badan Pendukung
Soekarnoisme (BPS). Pers kelompok BPS antara lain harian Merdeka milik B.M
Diah, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba), Indonesian observer dan Warta
Berita semuanya terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada (Medan), Suara
Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yongyakarta), Harian Suara Rakyat
(Surabaya) dan Pikiran Rakyat (Bandung) yang tergolong progresif dalam 58 Op Cit. hal: 17 59 Akhmad Zaini Abar, Loc Cit 60 Ibid, hal: 52
40
menentang aksi-aksi politik PKI.61 Konflik antara golongan komunis dengan non
komunis masuk dalam dunia pers, misalnya perseteruan antara surat kabar Harian
Rakjat dengan Merdeka. Karena Bung Karno menilai PKI lebih berguna bagi
landasan politiknya, Bung Karno melarang keberadaan BPS, dan pada periode
Februari sampai Maret 1965 sekitar 27 surat kabar pendukung BPS dibubarkan.62
Untuk mengimbangi kekuatan komunis pasca pembubaran BPS, Angkatan
Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Pada
saat yang sama Frans Seda dari Partai Katolik juga berniat mendirikan surat kabar,
Jenderal A.H. Nasution dan A.Yani mendukung gagasan tersebut. Maka lahirlah
surat kabar Kompas yang dipercayakan kepada P.K. Ojong dan Jacob Oetama.
Harian Berita Yudha terbit pada 9 februari 1965 di bawah kontrol kepala Pusat
Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan
Bersenjata terbit pada 15 maret 1965 berada di bawah kontrol Kepala Perangan
Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi
dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.63
Pada Bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan peraturan bahwa surat
kabar harus berasal dari sembilan partai politik yang ada. Aturan ini sebagai usaha
Bung Karno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai dapat langsung
mengendalikan pers.
Selama masa Demokrasi Terpimpin, meski tingkat inflasi sangat tinggi dan
harga kertas koran impor sangat mahal, jumlah tiras surat kabar saat itu cukup
tinggi. Pada tahun 1961 terdapat 61 penerbitan dengan tiras 692.500 eksemplar, 61 Ibid, hal: 52-53 62 Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 63 Akhmad Zaini Abar, Op. Cit hal: 53
41
dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 114 surat kabar dengan tiras
mencapai 1.469.350 eksemplar. 64
4. Pers Masa Orde baru
Konflik antara PKI dan militer berakhir setelah peristiwa G30S, militer
keluar sebagai pemenang. Kekuatan PKI hancur dalam waktu yang singkat, dan
kekuasaan Bung Karno diambil alih oleh Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) dan secara bertahap naik menjadi presiden Indonesia kedua.
Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen Umar Wirahadikusumah menandatangani
surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang memerintahkan kepada Panglima Daerah
Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk menguasai semua perusahaan percetakan.
Khusus untuk percetakan Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata supaya
dilakukan pengamanan fisik.65
Tribuana Said mencatat penerbitan yang dibreidel permanen karena di tuduh
terlibat dan mendukung peristiwa G30S, antara lain: Harian Rakjat, Kebudayaan
Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Gelora Indonesia, Ibu
Kota, Huo Chi Pao, Chung Cheng Pao, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, Berita
Minggu, semuanya terbit di Jakarta. Warta Bandung (Bandung); Gema Massa
(Semarang); majalah Waspada (Yogyakarta); Jalan Rakyat, Jawa Timur, Trompet
Masyarakat, Indonesia, Generasi (Surabaya); Suara Khatulistiwa, Kalimantan
Membangun, Duta Nusa (Pontianak); Pikiran Rakyat, Trikora (Palembang);
Suara Persatuan (Padang); Sinar Massa dan Berita Rovolusi (Pekan Baru); 64 Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 65 Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut
akibatnya kepengurusan PWI terpecah menjadi dua kelompok, PWI Rosihan dan
PWI Diah. Namun pada bulan Maret 1971 kedua kelompok tersebut bersatu.71
Ketika suhu politik semakin tinggi, pemerintah lebih ketat lagi dalam
mengawasi pers. Pada tahun 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mencabut
Surat Ijin Terbit (SIT) surat kabar Sinar Harapan untuk sementara dengan
tuduhan membocorkan rahasia negara karena menyiarkan isi RAPBN 19743-1974
sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi.72 Pada hari berikutnya
Kopkamtib juga memperingatkan harian Pos Kota, Kami dan Merdeka supaya
tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.
4.1. Peristiwa Malari
Meskipun sering mendapat tekanan dari pemerintah, pers masih terus
berusaha melancarkan kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh Orde Baru, dan
pada bulan Oktober 1973, pers mendapat rekan seperjuangan yaitu mahasiswa
yang bangkit kembali melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota seperti
Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Mereka mengkritik politik pembangunan yang
dipilih Orde Baru serta kebijakan ekonomi yang dijalankannya bersifat pilih kasih
sehingga hanya menguntungkan pengusaha non pribumi. Mereka juga menyoroti
keberadaan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) yang tingkah laku politik dan
ekonominya dinilai buruk dan tercela. Demonstrasi terus berlangsung sampai awal
tahun 1974. Selain mahasiswa dan pers, cendekiawan seperti Soedjatmoko,
Suhadi Mangkusuwondo dan Darojatun K. Jakti sebelumnya juga mengkritik arah
71 Ibid. 72 Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 71.
45
dan politik pembangunan yang dipilih Orde Baru. Bahkan di akhir tahun 1973
Bung Hatta melontarkan kritik tajam, pembangunan Orde Baru menurutnya telah
memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi masyarakat.
Kritik yang dilakukan pers dan mahasiswa pada paruh awal bulan Januari
1974 semakin tajam ketika harga kebutuhan pokok melonjak naik. Karena suasana
makin panas, Presiden Soeharto menerima 85 orang delegasi dari 35 Dewan
Mahasiswa yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Pertemuan tersebut
membahas berbagai masalah yang hangat dan menjadi keprihatinan masyarakat.
Mereka mengajukan beberapa tuntutan:73
1. Mengenai kepemimpinan yang hendaknya terbuka
2. Lembaga penyalur pendapat rakyat hendaknya kuat dan terbuka
3. Politik luar negeri hendaknya mementingkan kepentingan dan
kebanggaan nasional
4. Pembangunan hendaknya menjamin keseimbangan pertumbuhan
ekonomi, sosial dan politik serta distribusi hasil pembangunan yang
merata.
Hasil dialog tersebut oleh mahasiswa dianggap belum memuaskan dan
mereka bertekad untuk melanjutkan aksi-aksi mereka di jalan. Maka pada tanggal
14 januari mereka demonstrasi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma
memprotes kedatangan Tanaka, Perdana Menteri Jepang saat itu. Demonstrasi
besar juga terjadi pada hari berikutnya di Jakarta, mereka menentang masuknya
modal asing (terutama Jepang) serta tingkah laku tercela pengusaha Jepang di
73 Ibid, hal: 200
46
Indonesia. Mereka menuntut pembubaran Aspri; penurunan harga dan
pemberantasan korupsi. Namun demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan
massa. Ribuan massa di luar mahasiswa melakukan perusakan serta pembakaran
mobil atau motor merek Jepang, gedung dan lainnya. kerusuhan ini juga
merenggut 11 nyawa dan ratusan orang luka-luka.
Iklim kebebasan pers yang dirasakan pada masa awal kekuasaan Orde Baru
lenyap setelah terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974.
Malari menandai putusnya aliansi antara pemimpin Orde Baru dengan mahasiswa
dan kaum intelektual yang mendukung Soeharto dalam menjatuhkan Soekarno.
Pemerintah menangkap dan menahan sejumlah aktivis mahasiswa dan
cendekiawan yang suka mengkritik kebijakan pemerintah. Selain itu pemerintah
juga membreidel 12 surat kabar yang dianggap terlalu kritis dan berani yaitu
harian Abadi, Indonesia Raya, Kami, Pedoman, Nusantara, Jakarta Times,
mingguan Wenang, Mahasiswa Indonesia (Bandung), majalah Pemuda Indonesia,
Ekspresi, harian Suluh Berita (Surabaya), mingguan Indonesia Pos (Ujung
Pandang).
Setelah peristiwa Malari, pembredelan terhadap pers terus berlangsung.74.
Misalnya ketika mahasiswa demo besar-besaran menentang pencalonan kembali
Soeharto sebagai presiden Indonesia serta kampanye anti korupsi, pers meliputnya
secara besar-besaran. Akibatnya pada tanggal 20 Januari 1978 pemerintah cabut
izin 14 penerbitan, termasuk 7 surat kabat utama Jakarta. Pada tahun 1986 Sinar
74 Pembredelan-pembredelan terhadap media cetak bisa kita lihat dalam tahun-tahun 1978, tahun
1983, tahun 1986, tahun 1987, tahun 1990, dan tahun 1994. Baca dalam Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia”, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997, hal. 60.
47
Harapan dibredel karena menyoroti rencana pemerintah untuk mencabut izin 44
monopoli impor, surat kabar tersebut juga menjelaskan bahwa ijin impor tersebut
dimiliki keluarga Soeharto serta pengusaha yang dekat dengan penguasa Orde
Baru.75 Peristiwa Malari dan pembredelan yang masih terus dilakukan sesudah itu
membuat membuat radikalitas Pers Indonesia terus menurun, bahkan dalam tubuh
pers ada ketakutan untuk menyampaikan kritik, terutama kritik kepada penguasa
Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh penguasa membuat pers sangat akomodatif
terhadap kehendak dan kepentingan penguasa. Wajah dan bahasa kekuasaan
banyak diproduksi dan direproduksi oleh pers, baik secara sadar ataupun tidak
sadar.
4.2. Pembredelan Tempo 1994
Sejarah pembredelan terhadap pers terus mengalami pasang surut dalam
kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Namun pembredelan terhadap majalah
Tempo, Detik dan Monitor perlu dibahas di sini karena pembredelan tersebut
melahirkan fenomena menarik yakni perlawanan kaum jurnalis terhadap penguasa
dan lahirnya kelompok jurnalis oposan.
Pada tahun 1994 Menristek B.J. Habibie berencana membeli 39 kapal selam
bekas dari Jerman, namun tanpa ada konsultasi dengan pihak Angkatan Bersenjata
RI (ABRI). Ketika hendak dibawa pulang ke Indonesia, salah satu dari kapal
selam tersebut hampir tenggelam di perairan Spanyol. Saat sampai di Indonesia,
lagi-lagi terjadi masalah, anggaran dana untuk perbaikan kapal selam tidak
75 Hanazaki, Op. Cit, hal: 23
48
disetujui oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad karena dinilai terlalu besar.
Meskipun Habibie merevisi anggaran tersebut, Mar’ie masih memintanya untuk
lebih memperkecil anggaran tersebut. Masalah kapal selam dan perselisihan dua
menteri dalam masalah anggaran tersebut tidak luput dari pemberitaan pers.76
Melihat liputan pers yang cukup tajam, Soeharto dalam sebuah kesempatan
menyatakan akan menegur dengan keras pers yang dianggap mengganggu
stabilitas nasional, yaitu media yang memberitakan tentang perselisihan para
menteri.
Orang-orang kalangan pers sendiri mengira ucapan Soeharto hanya akan
diwujudkan dalam bentuk teguran keras, bukan pembredelan. Namun pada 21
Juni 1994, Subrata, Dirjen Pers dan Grafika Departemen Penerangan mengadakan
jumpa pers yang menjelaskan tentang pencabutan izin majalah Tempo, Editor dan
Detik.
Ternyata masyarakat tidak tinggal diam menghadapi pembredelan tersebut,
beberapa organisasi sosial membuat pernyataan keprihatinan atas pemberdelan
yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kalangan pers juga tidak mau kalah, ada
rasa simpati dalam rekan-rekan pers yang antara lain diwujudkan dengan
mengangkat tulisan tentang pembredelan. Bahkan para intelektual dan mahasiswa
juga mengorganisir demonstrasi di berbagai kota besar di Indonesia untuk
menentang kebijakan Orde Baru terhadap pers, aksi tersebut juga diikuti oleh
kalangan wartawan. Melihat aksi yang marak dan dilakukan oleh beberapa
kalangan, pemerintah tidak tinggal diam, pada tanggal 27 Juni pemerintah
76 Ibid, hal: 148
49
mengirimkan pasukan keamanan untuk membubarkan secara paksa para
demonstran dan menangkap para aktivis.
Namun para wartawan terus menggalang kekuatan untuk menentang represi
yang dilakukan terhadap mereka. Pada 7 Agustus 1994 para wartawan mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka mendeklarasikan pernyataan sikap
yang dikenal sebagai “Deklarasi Sirnagalih” yang berisi pernyataan menolak
segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang
mengingkari kebebasan bependapat dan hak warga negara dalam memperoleh
informasi.77 AJI lantas mendaftarkan diri sebagai anggota International Federation
of Journalist (IFJ) di Brussel. Secara terang-terangan AJI meyatakan mengambil
sikap oposisi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu
notabene berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. AJI juga mendirikan
majalah Independen pada tahun 1995, sebuah media bawah tanah yang menyoroti
kebijakan-kebijakan pemerintah, oplahnya mencapai 10.000 eksemplar.
Orde Baru tak pernah tinggal diam menghadapi pergerakan kaum jurnalis,
pemerintah terus mengekang gerakan para wartawan yang tergabung dalam AJI.
Melalui PWI, pemerintah berusaha memotong gerakan para anggota AJI dengan
mencabut keanggotaannya dari PWI dan membuat rekomendasi terhadap media
massa untuk tidak mempekerjakan wartawan yang tergabung dalam AJI.. Kuatnya
dominasi PWI saat itu membuat media mengambil kebijakan yang dinilai paling
aman. Dua reporter Jakarta Post tidak diijinkan meliput acara APEC serta tidak
memperpanjang kontrak wartawan lainnya yang ikut bergabung dalam AJI.
77 Ibid, hal.165
50
4.3. Munculnya Kapitalisme Media
Secara politis kontrol pemerintah terhadap pers memang semakin ketat.
Namun keberhasilan ekonomi Orde Baru berpengaruh terhadap kemajuan bidang
pendidikan serta standart kehidupan sehingga minat baca masyarakat juga ikut
meningkat. Pada akhir tahun 1970-an pers Indonesia telah berhasil memenuhi
syarat sebagai media massa, antara lain dilihat dari jumlah surat kabar yang
dipasarkan.78 Sebelum peristiwa Malari, pers Indonesia digerakkan oleh semangat
idealisme, dimodali oleh editor, didukung pengusaha kecil dan menengah yang
masih satu aliran dengan surat kabar yang disokongnya. Berita belum dianggap
sebagai suatu komoditi, walaupun Tempo misalnya sudah didirikan dengan
dukungan pengusaha-pengusaha besar.79
Namun pada paruh kedua perkembangan ekonomi dasawarsa 80-an,
perusahaan pers mulai tumbuh pesat, meski hanya terkonsentrasi pada beberapa
gelintir orang. Kecenderungan konglomerasi ini mengancam kelangsungan hidup
pers karena pada satu sisi perusahaan pers kecil perlahan-lahan dikuasai oleh
segelintir orang. Konglomerasi dilihat sebagai ancaman karena dengan terpusat
pada segelintir orang, media dalam satu konglomerasi cenderung mempunyai isi
yang sama, hal tersebut berpotensi untuk memonopoli wacana mapuan pendapat
umum.
Daniel Dhakidae mengatakan, pers Indonesia pada pemerintahan Orde
Baru mengalami transformasi dari sebuah wadah wacana politik menuju pers
78 Ibid, hal.26 79 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia,
Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 16-17.
51
industri komersial.80. Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dari bisnis
pers menjadi semacam pelarian bagi wartawan karena dalam situasi represif sulit
bagi wartawan untuk mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Namun
keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin
tumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan utama, prioritas
pers Indonesia adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.81
Memang secara politis penguasa Orde Baru mengekang kehidupan pers
agar tidak bersikap kritis terhadap neguasa, namun pada sisi lain pemerintah justru
mengembangkan industri media dengan memberikan lisensi untuk mendirikan
media baru. Langkah ini bisa dilihat sebagai usaha untuk tetap melanggengkan
dominasi terhadap media, sebab pemerintah hanya memberi lisensi kepada
keluarga maupun konglomerat yang dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan
memberikan lisensi kepada keluarga dan pengusaha yang dekat dengan penguasa,
pemeritah tetap bisa mengendalikan bahkan menjadikan media sebagai
perpanjangan tangan negara dalam mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat
umum masyarakat.82
Perkembangan menuju kapitalisme industri media pada era Orde Baru
yang mengarah kepada kepemilikan modal melalui proses-proses komersialisasi,
liberalisasi, dan internasionalisasi tidak lepas dari intervensi negara dalam sektor
80 Daniel Dhakidae, “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political
Economy of Indonesian News Industry” (Disertasi), sebagaimana dikutip Krishna Sen and David T Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford, University Press, 2000, hal. 51.
81 Lukas Luwarso, “Pers Indonesia: Pergulatan Untuk Kebebasan, dalam Atmakusumah” (Penyunting), 10 Pelajaran Untuk Wartawan, LSPP kerja sama dengan Kedubes Swiss dan UNESCO, Jakarta, 2000, hal. 76.
82 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 18.
52
industri media.83 Pertama, proses komersialisasi media tidak lepas dari kebijakan-
kebijakan rezim Orba, khususnya pada awal pemerintahan. Peralihan dari Pers
Perjuangan atau Pers Politik menjadi Pers Industri antara lain difasilitasi oleh
pencabutan ketentuan produk rezim Orde Lama yang mengharuskan semua media
berafiliasi dengan organisasi atau partai politik tertentu (Kepmenpen RI No.
29/1965). Pencabutan ketentuan itu mendorong pers untuk makin berorientasi ke
pasar dan dikelola secara komersial. Bila pada era sebelumnya para wartawan
lebih mementingkan idealisme pers dan cenderung menganggap urusan-urusan
teknis bisnis sebagai interupsi yang tidak menyenangkan, maka pada masa Orde
Baru para wartawan semakin menempatkan aspek bisnis sebagai bagian integral
dari kegiatan jurnalisitik mereka bila mereka tidak ingin media mereka tersingkir
dari pasar.84
Kedua, dominasi peran negara dalam proses liberalisasi industri media,
khususnya dari segi penambahan pemain dalam industri media, terlihat dari
jumlah lisensi yang diberikan untuk mendirikan perusahaan pers. Tetapi dengan
kewenangan negara untuk memberikan lisensi, barriers to entry ke pasar media
tidak sepenuhnya “alamiah”. Bagi mereka yang ingin menjadi pemain dalam
industri media, halangan yang harus mereka hadapi tidak hanya bersumber dari
kondisi persaingan pasar, melainkan juga halangan politis yang diciptakan oleh
83 Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et.
al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 143.
84 Walaupun demikian, intervensi rezim Orde Baru dalam proses komersialisasi industri media tidak di arahkan untuk membentuk industri yang mandiri. Di samping berbagai kontrol politik yang ada, penguasa Orde Baru juga menerapkan kontrol dari segi ekonomi, antara lain dengan monopoli pemasokan kertas koran oleh Aspex Papers yang di miliki oleh Bob Hasan, salah seorang kroni presiden Soeharto pada waktu itu.
53
penguasa. Kasus-kasus pemberian lisensi secara selektif, sebagaimana halnya
kasus-kasus pencabutan izin terbit yang didasarkan azas pertimbangan politis,
tercatat cukup banyak.85
Dari segi politik, masuknya para kroni dan anggota keluarga Candana ke
sektor industri media merupakan bagian dari proses political vertical integration
antara unsur-unsur elite penguasa dengan unsur-unsur pers. Terlebih lagi bila
integrasi tersebut didasarkan atas motivasi kepentingan politik. Motivasi para
kroni dan anggota keluarga Soeharto untuk melakukan investasi di sektor industri
media memang bisa didasarkan atas kepentingan ekspansi bisnis dalam sektor
tersebut.86
Keberhasilan industri pers, peningkatan tiras dan jumlah iklan yang
berjalan seiring dengan pengendalian pers oleh pemerintah membuat pers
Indonesia menjadi kurang militan dan lebih defensif. Di bawah berbagai kekangan
kebijaksanaan pers Orde Baru, menurut Todung Mulya Lubis, banyak surat kabar
menjadi mapan sebagai perusahaan bisnis, dan tidak lagi sekedar sebagai surat
kabar, pers juga tergantung dari kebaikan pemerintah.87
4.4. Kontradiksi Dalam Pers Orde Baru
Sebuah rezim yang dikenal otoriter, kuat dan berkuasa selama tiga puluh
tahun pada akhirnya harus tumbang diterjang gelombang reformasi. Faktor yang
dianggap bisa menjelaskan penyebab tumbangnya Orde Baru adalah kontradiksi
85 Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et.
al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 144.