Top Banner

of 25

BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

Jul 06, 2018

Download

Documents

Pirna
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    1/25

    5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. 

    DIABETES MELITUS

    Diabetes melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

    metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya

    kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid

    dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi

    insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh

    sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, dan atau disebabkan oleh kurang

    responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

    Adapun faktor resiko DM antara lain : usia lebih dari 45 tahun, berat

     badan lebih (BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2), hipertensi ( 

    140/90 mmHg), riwayat DM dalam garis keturunan, riwayat abortus

     berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan lahir bayi lebih dari 4000

    gram, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl, dan atau trigliserida  250 mg/dl, adanya

    riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa

    terganggu (GDPT) sebelumnya dan memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

    (Gutaviani, 2006; Soegondo, 2009).

    Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut Perkeni (2006) adalah

    sebagai berikut :

    1. 

    Diabetes melitus tipe 1

    Pada diabetes tipe 1 ini, terjadi destruksi sel beta yang umumnya

    menjurus ke defisiensi insulin absolut. Keadaan ini dapat terjadi melalui

     proses imunologik (autoimun) ataupun idiopatik.

    2.  Diabetes melitus tipe 2

    Pada diabetes tipe ini, etiologinya bervariasi, mulai yang predominan

    resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang

     predominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    2/25

    6

    3. 

    Diabetes melitus tipe lain, terbagi atas :

    a.  defek genetik fungsi sel beta,

     b.  defek genetik kerja insulin,

    c. 

     penyakit eksokrin pankreas,

    d.  endokrinopati,

    e.  karena obat atau zat kimia,

    f. 

    infeksi,

    g.  sebab imunologik yang jarang, dan

    h.  sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.

    4. 

    Diabetes melitus gestasional

    A.1.  Patogenesis

    A.1.a.  Diabetes Melitus tipe 1

    Diabetes Melitus tipe 1 terjadi sebagai akibat interaksi sinergis dari

    faktor genetik, lingkungan, dan imunologi yang akhirnya merusak sel beta

     pankreas. Individu dengan kecendrungan genetik memiliki sel beta normal

     pada saat lahir namun kemudian mulai kehilangan sel beta sebagai akibat

    sekunder dari kerusakan secara autoimun yang terjadi dalam bulan-

    tahunan. Proses autoimun ini diduga dipicu oleh stimulus infeksi atau

    lingkungan. Pada sebagian besar individu, marker imunologik muncul

    setelah rangsangan terjadi tetapi sebelum klinis diabetes menjadi nyata.

    Massa sel beta mulai berkurang, dan sekresi menjadi terganggu secara

     progresif, walaupun toleransi glukosa normal tetap dipertahankan.

    Kecepatan penurunan massa sel beta bervariasi antar individu dengan

     beberapa pasien berkembang secara cepat menjadi diabetes dan lainnya

     berkembang lebih perlahan.

    Gambaran klinis diabetes tidak muncul sebelum sebagian besar sel

     beta rusak. Pada saat tersebut, fungsi sel beta yang tersisa masih ada tetapi

    tidak sanggup untuk mempertahankan toleransi glukosa. Kejadian yang

    memicu perubahan dari intoleransi glukosa menjadi diabetes seringkali

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    3/25

    7

    dihubungkan dengan peningkatan kebutuhan insulin, misalnya pada infeksi

    dan pubertas (Powers, 2010). 

    A.1.b. 

    Diabetes Melitus tipe 2

    Diabetes Melitus tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Gen

    mayor yang memicu kelainan ini belum teridentifikasi, tetapi jelas

     penyakit ini bersifat poligenik dan multifaktorial. Tidak hanya defek

    genetik pada sekresi insulin atau kerja insulin saja yang akan

     bermanifestasi menjadi DM, akan tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan

    (nutrisi dan aktifitas fisik). Kemungkinan terjadinya DM pada kembar

    identik jika salah satunya merupakan penderita DM adalah 70-90%.

    Seorang dengan salah satu orang tuanya penderita DM mempunyai resiko

    lebih besar dan jika kedua orang tuanya penderita DM maka resiko anak

    yang dilahirkan menderita DM mencapai 40 % (Powers, 2010). 

    Patogenesis diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi

    insulin perifer, gangguan produksi glukosa di hati, dan penurunan fungsi

    sel beta, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel beta (Suyono,

    2009).  Dasar seluler dan molekuler resistensi insulin masih belum

    sepenuhnya dimengerti.

    Terdapat tiga sasaran utama kerja insulin yaitu jaringan lemak, otot,

    dan hati. Insulin meningkatkan penyerapan glukosa di jaringan lemak dan

    otot, sedangkan di hati, insulin bekerja dengan menekan produksi glukosa.

    Insulin bekerja pada sasarannya pertama-tama dengan berikatan dengan

    reseptornya. Ikatan antara insulin dengan reseptor ini akan memicu

    aktifitas intrisik tirosin kinase, yang kemudian memicu autofosforilasi dan

    keluarnya intercellular signaling molecules, seperti IRS ( Insulin Receptor

    Substrates). IRS dan beberapa protein penghubung lainnya akan

    menginisiasi kaskade reaksi fosforilasi dan defosforilasi. Sebagai contoh,

     pengaktifan salah satu jalur IRS seperti jalur  phosphatidilinositol-3’ -

    kinase, akan menstimulasi translokasi dari salah satu transporter glukosa

    (sebagai contoh GLUT4) menuju ke permukaan sel. Mekanisme ini sangat

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    4/25

    8

     berperan penting dalam pemasukan glukosa pada sel-sel otot dan lemak.

    Pengaktifan jalur resptor insulin lainnya pada kaskade ini akan

    menginduksi sintesis glikogen, protein, lipogenesis, serta penghambatan

    glukoneogenesis (Powers, 2010).  Pada prinsipnya resistensi insulin dapat

    terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal

    (pascareseptor) yang diaktifkan oleh ikatan insulin ke reseptornya (Salzler

    et al ., 2007). 

    Terdapat beberapa predisposisi terjadinya resistensi insulin yaitu

    obesitas, diet tinggi lemak dan karbohidrat, kurang aktifitas tubuh, dan

    faktor keturunan. Pada gambar 1, stadium prediabetes diawali dengan

    timbulnya resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan

    sekeresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin tersebut agar

    kadar glukosa darah tetap normal. Semakin lama sel beta akan tidak

    sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa

    darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat itulah diagnosis

    diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung

    secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi

    menyekresikan insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1

    (Suyono, 2009). 

    Gambar 1. Perjalanan penyakit penderita DM tipe 2

    (Sumber : Suyono, 2009)

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    5/25

    9

    Penurunan fungsi sel beta secara progresif pada DM beberapa dapat

    dijelaskan sebagai akibat pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien

    diabetes tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin,

    komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan

    oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai

    respon terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan

    oleh resistensi insulin pada fase awal diabetes tipe 2 menyebabkan

     peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid

    di islet. Amilin yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta

    sedikit refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Selain itu pula, amiloid

     bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan dalam

    menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe 2

    tahap lanjut (Salzler, 2007).

    Keadaan lingkungan metabolik disekitar sel beta islet pankreas

    akibat DM juga memiliki dampak buruk terhadap keberlangsungan sel

     beta pankreas. Sebagai contoh pada keadaan hiperglikemia, secara

     paradoksikal terjadi gangguan fungsi islet akibat  glucose toxicity  yang

    kemudian semakin memperburuk keadaan hiperglikemia. Selain itu pula,

     peningkatan asam lemak bebas sebagai akibat glukoneogenesis dapat

    memperburuk fungsi dari islet pankreas (Powers, 2010). 

    A.2.  Diagnosis

    Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

    darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria saja.

    Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan

    adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma

    vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood ), vena ataupun kapiler

    tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria

    diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk

    tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan

     pemeriksaan glukosa darah kapiler (Perkeni, 2006). 

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    6/25

    10

    Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.

    Uji diagnostik DM dilakukan pada orang yang menunjukkan gejala/tanda

    DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

    mereka yang tidak bergejala, yaitu orang yang memiliki faktor resiko.

    Kemudian akan dilakukan serangkaian uji diagnostik pada mereka yang

    hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis

    definitif (Soegondo, 2009). 

    Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

    Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik

    DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang

    tidak dapat dijelaskan sebabnya serta keluhan tambahan lain seperti lemah

     badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta

     pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2006).

    Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika

    keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu  

    200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan

     pemeriksaan glukosa plasma puasa (puasa diartikan pasien tidak

    mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam), lebih mudah dilakukan,

    mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini

    dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan Tes Toleransi Glukosa Oral

    (TTGO). Prinsip pemeriksaan TTGO adalah pasien diminta berpuasa paling

    sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan, kemudian pasien diberikan glukosa

    anhidrat 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak) yang

    dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Setelah itu

     pasien diminta berpuasa kembali selama 2 jam, kemudian diperiksa kadar

    glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa. Meskipun TTGO lebih

    sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,

    namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan

     berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan.

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    7/25

    11

    Adapun kriteria diagnosis Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :

    a.  Ditemukan gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma

    sewaktu  200 mg/dl

     b.  Ditemukan gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma

     puasa  126 mg/dl

    c.  Ditemukan hasil pemeriksaan kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO

     200 mg/dl.

    Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,

    maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu

    (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) dengan kriteria sebagai

     berikut:

    a.  Diagnosis TGT ditegakkan setelah pada pemeriksaan TTGO

    diadapatkan glukosa plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140-199

    mg/dl.

     b.  Diagnosis GDPT ditegakkan setelah pada pemeriksaan glukosa plasma

     puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.

    Adapun untuk pemeriksaan penyaring pada kelompok orang dengan

    resiko, dapat melalui pemeriksaan kadar glukosa plasma sewaktu atau kadar

    glukosa plasma puasa. Kadar glukosa plasma sewaktu dan puasa sewaktu

    sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM dapat dilihat pada tabel 1

    (Perkeni, 2006).

    Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring

    dan diagnosis DM

    Bukan

    DM

    Belum

    pasti DMDM

    Kadar GDS

    (mg/dl)

    Plasma vena < 100 100-199  200

    Darah kapiler < 90 90-199  200

    Kadar GDP

    (mg/dl)

    Plasma vena < 100 100-125  126

    Darah kapiler < 90 90-99  100

    (Sumber : Perkeni, 2006)

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    8/25

    12

    A.3. 

    Tatalaksana

    Dalam hal pengelolaan pasien diabetes melitus, evaluasi sejak dini

    mengenai terapi yang telah dijalani sangat penting. Hal ini sangat penting

    untuk memberikan pengelolaan pasien yang optimal (ADA, 2011).

    Hal yang perlu diperhatikan pula dalam pengelolaan DM adalah

    memberikan informasi/edukasi kepada penderita, pengaturan pola makan,

    latihan jasmani, dan dilakukan intervensi farmakologi bila diperlukan.

    Tujuan pengelolaan tersebut secara umum adalah untuk meningkatkan

    kualitas hidup penderita DM. Tujuan jangka pendek untuk menghilangkankeluhan DM, sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah serta

    menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan

    neuropati. Tujuan akhir pengelolaan DM adalah menurunkan angka

    morbiditas dan mortalitas akibat DM.

    Edukasi sangat penting bagi keberhasilan pengelolaan DM, karena

     peran aktif keluarga dan penderita sangat menentukan kualitas hidup

    selanjutnya. Perubahan perilaku dan motivasi harus didasari pengertian dan

     pengenalan yang baik tentang :

    a.  Penyakit (gejala dan komplikasi jangka panjang).

     b.  Perlunya pengendalian dan pemantauan kadar glukosa darah, profil

    lipid, dan fungsi ginjal.

    c.  Pengetahuan tentang intervensi non farmakologis (pengaturan diet, tidak

    merokok, dan olahraga).

    d.  Pengetahuan tentang farmakologis (dosis, cara pemberian, serta efek

    samping obat antidiabetes).

    Hal-hal di atas sangat menentukan keberhasilan pengelolaan pasien DM.

    Dalam perencanaan makan, standar yang dianjurkan adalah makanan

    dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan

    lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik yaitu : karbohidrat (45-

    60%), protein (10-20%), dan lemak (20-25%). Jumlah kalori disesuaikan

    dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    9/25

    13

    kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.

    Untuk menentukan status gizi digunakan indeks massa tubuh (IMT), yaitu :

    () () 

    Tabel 2. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT

    Klasifikasi IMT Nilai IMT (kg/m )

    Berat badan kurang < 18,5

    Berat badan normal 18,5  –  24,9

    Berat badan lebih  25,0

    Pre obesitas 25,0  –  29,9

    Obesitas I 30,0  –  34,9

    Obesitas II 35,0  –  39,9

    Obesitas III  40,0

    (Sumber : Waspadji, 2009) 

    Untuk kepentingan klinis praktis dan untuk penentuan jumlah kalori

    dipakai rumus Broca, yaitu :

    ( )  

    Tabel 3. Klasifikasi berat badan berdasrkan berat badan idaman

    Klasifikasi Berat

    Badan% BB idaman

    Berat badan kurang 18,5  –  24,9

    Berat badan normal  25,0

    Berat badan lebih 25,0  –  29,9

    (Sumber : Waspadji, 2009) 

    Jumlah kalori yang dipelukan dihitung dari berat badan idaman

    dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kgBB untuk laki-laki dan 25

    Kkal/kgBB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori

    untuk aktivitas (10-30%, untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak,

    sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status

    gizi dan kalori yang dibutuhkan untuk menghadapi stess akut sesuai dengan

    kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu

    hamil, diperlukan perhitungan sendiri.

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    10/25

    14

    Latihan jasmani yang dianjurkan dilakukan secara teratur (3-4 kali

    seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE

    (continuous, rhytmical, interval, progessive, endurance training ). Sedapat

    mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal, disesuaikan

    dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga

    ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah

     berjalan cepat selama 20 menit, dan olahraga berat misalnya  jogging  

    (Waspadji, 2009). 

    Intervensi farmakologi ditambahkan dalam pengelolaan DM jika

    dengan intervensi non farmakologis target glukosa darah belum tercapai.

    Umumnya pemberian obat oral DM diberikan diawali dengan satu macam

    obat dengan dosis terkecil yang efektif, jika belum tercapai dilakukan

     peningkatan dosis secara bertahap. Penambahan insulin dilakukan jika pada

    DM tipe 2 dimana terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian

    kadar glukosa darah, atau pada keadaan stress berat seperti pada infeksi

     berat, tindakan pembedahan, infark miokard akut dan stroke. 

    Adapun sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa :

    a.  Obat hipoglikemik oral

    1. 

    Pemicu sekresi insulin, seperti sulfonilurea dan glinid.

    2.  Penambah sensitifitas terhadap insulin, seperti biguanid dan

    tiazolidindion.

    3. 

    Penghambat glukoneogenesis, seperti metformin.

    4.  Penghambat absorbsi glukosa (penghambat glukosidase alfa).

     b. 

    Insulin

    A.3.a.  Obat hipoglikemik oral (OHO)

    1.  Golongan sulfonilurea

    Cara kerja obat golongan ini hingga saat ini tetap terus diteliti, tetapi

     pada umumnya dikatakan adalah meningkatkan sekresi insulin oleh

    sel beta pankreas.

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    11/25

    15

    Obat golongan ini merupakan pilihan kedua setelah metfomin untuk

     pasien diabetes dewasa baru tanpa memandang berat badan serta tidak

     pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya

    tidak diberikan pada penderita penyakit hati, ginjal dan tiroid.

    Termasuk obat golongan ini antara lain klorpropamid, glibenklamid,

    glikasid, glikuidon, glipisid, dan glimepirid.

    2. 

    Glinid

    Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan

    sulfonilurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.

    Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu repaglinid dan

    nateglinid.

    3.  Biguanid

    Biguanid tidak merangsang sekresi insulin dan terutama bekerja di

    hati dengan mengurangi  hepatic glucose output dan menurunkan

    kadar glukosa darah sampai normal (euglikemia) serta tidak pernah

    menyebabkan hipoglikemia. Obat golongan ini saat ini banyak dipakai

    sebagai terapi awal diabetes sesudah diagnosis ditegakkan. Contoh

    obat golongan ini adalah metformin.

    4. 

    Thiazolindion/glitazon

    Thiazolindion berikatan pada pada peroxisome proliferator activated

    receptor gamma  suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Obat

    golongan ini memperbaiki sensitifitas terhadap insulin dengan

    memperbaiki transpor glukosa kedalam sel. Contoh obat golongan ini

    yaitu pioglitazon (actoz) dan rosiglitazon (avandia). Kedua obat ini

    dapat menyebabkan pertambahan berat badan dan edema tungkai,

    terutama pada dosis yang lebih besar atau bila digunakan bersama

    insulin atau insulin sekretagok.

    5.  Penghambat alfa glukosidase/acarbose 

    Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang

    terletak pada dinding usus halus. Enzim alfa glukosidase adalah

    maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase berfungsi untuk

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    12/25

    16

    hidrolisis gula pada dinding usus halus (brush border ). Inhibisi sistem

    enzim ini secara efektif dapat mengurangi penyerapan karbohidrat

    kompleks, sehingga pada orang dengan diabetes dapat mengurangi

     peningkatan kadar glukosa post-prandial. 

    Acarbose juga menghambat alfa-amilase pankreas yang berfungsi

    melakukan hidrolisis tepung-tepung kompleks di dalam lumen usus

    halus.

    Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak   flatus 

    dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan

    lebih lama (Soegondo, 2009).

    A.3.b.  Insulin 

    Insulin diperlukan pada keadaan :

    1.   penurunan berat badan yang cepat,

    2.  hiperglikemia berat disertai ketosis,

    3.  ketoasidosis diabetik,

    4. 

    hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,

    5.  hiperglikemia dengan asidosis laktat,

    6. 

    gagal terapi diabetes dengen kombinasi OHO dosis hampir maksimal,

    7.  stres berat,

    8.  kehamilan dengan DM yang tidak terkendali dengan perencanaan

    makan,

    9.  gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan

    10. 

    kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

    Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis yaitu :

    1.  Insulin kerja cepat (rapid acting insulin). 

    2. 

    Insulin kerja pendek ( short acting insulin). 

    3.  Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin). 

    4.  Insulin kerja panjang (long acting insulin). 

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    13/25

    17

    Adapun efek samping terapi insulin adalah sebagai berikut :

    1.  Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

    2.  Efek samping lain berupa reaksi imunologik terhadap insulin yang

    dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (Perkeni,

    2006).

    A.4. Komplikasi

    Menurut WHO (2006) komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi

    dua, yaitu :A.4.a.  Komplikasi akut :

    1.  Hipoglikemia,

    2.  Krisis hiperglikemia, dan

    3.  Infeksi.

    A.4.b.  Komplikasi kronik :

    1.  Aterosklerosis

    2.  Retinopati,

    3.  Nefropati diabetik, dan

    4.  Neuropati diabetik.

    B.  PENGATURAN KADAR GLUKOSA DARAH

    Karbohidrat adalah sumber kalori utama dalam makanan untuk

    sebagian besar populasi di dunia. Proses pencernaan karbohidrat sudahdimulai di rongga mulut oleh enzim ptialin dalam air liur, yang memecah

    karbohidrat rantai panjang. Karbohidrat yang struktur molekulnya lebih

     pendek seperti glukosa, galaktosa, sukrosa, dan laktosa melewati mulut tanpa

    mengalami pencernaan oleh enzim ptialin. Hasil pencernaan di mulut

    kemudian, masuk ke lambung. Di dalam lambung, pencernaan karbohidrat

    akan berhenti sampai masuk ke dalam usus kerena amilase tidak aktif dalam

    suasana asam. Di dalam usus, campuran karbohidrat dengan keasaman yang

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    14/25

    18

    tinggi akan dinetralkan oleh bikarbonat yang disekresikan oleh pankreas,

    sehingga enzim amilase dapat bekerja kembali. Enzim berikutnya yang

    mencerna karbohidrat adalah enzim amilase dari pankreas, yang bekerja

    memecah polisakarida menjadi karbohidrat yang lebih sederhana yaitu

    disakarida. Diskarida (malatosa, laktosa, dan sukrosa) oleh enzim alfa-

    glukosidase di dinding usus halus dipecah menjadi monosakarida (glukosa,

    galaktosa, dan fruktosa) untuk kemudian diserap (Guyton dan Hall, 2008). 

    Glukosa masuk sel melalui difusi terfasilitasi, atau di usus dan ginjal

    melalui secondary active transport  (transpor terfasilitasi yang diperantai oleh

     Na+). Pada otot, jaringan lemak, dan beberapa jaringan lainnya, insulin

    memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel dengan peningkatan jumlah

    transporter glukosa di dalam membran sel.

    Molekul glukosa bersifat sangat polar dan tidak dapat berdifusi

    menembus lapisan ganda fosfolipid hidrofilik pada membran sel. Oleh karena

    itu, glukosa masuk ke dalam sel melalui pengikatan dengan protein

    transporter, yaitu protein yang menembus membran dan berikatan dengan

    molekul glukosa di satu sisi membran dan melepaskannya di sisi yang

     berlawanan. Pada sel usus terdapat dua jenis protein transporter glukosa yaitu

    transporter glukosa dependen Na+ dan transporter glukosa fasilitatif.

    Transporter glukosa dependen Na+  yang terletak di sisi mukosa,

    memungkinkan sel mengkonsentrasikan glukosa di lumen usus konsentrasi

     Na+ intrasel yang rendah dipertahankan oleh Na+ K - ATPase di sisi serosa sel

    yang menggunakan energi dari pemutusan ATP untuk memompa Na+ keluar

    dari sel ke dalam darah. Dengan demikian, transpor glukosa dari konsetrasi

    rendah di dalam lumen ke konsentrasi tinggi di dalam sel ditunjang oleh

    kotranspor Na+ (transpor aktif sekunder).

    Transpor aktif fasilitatif terletak di sisi serosa sel. Glukosa berpindah

    dengan bantuan transpor fasilitatif dari konsentrasi glukosa tinggi di dalam

    sel ke konsentrasi rendah di dalam darah tanpa mengeluarkan energi (Marks

    et al ., 2000).

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    15/25

    19

    Glukosa di dalam darah merupakan kunci utama regulasi sekresi insulin

    oleh sel beta, meskipun asam amino, keton, peptida gastrointestinal juga

     berperan dalam regulasi tersebut.

    Stimulasi glukosa terhadap sekresi insulin dimulai ketika glukosa di

    masukkan ke dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa, GLUT2.

    Seperti model yang ditampilkan pada gambar 2, setelah glukosa masuk,

    glukosa akan mengalami fosforilasi oleh glukokinase yang kemudian akan

    menghasilkan glukosa-6-fosfat. Glukosa-6-fosfat ini kemudian melalui

    glikosis menghasilkan ATP, yang menghambat aktifitas dari kanal kalium

    yang sensitif terhadap ATP. Penghambatan ini akan menginduksi depolarisasi

    sel beta pankreas, kemudian akan membuka kanal kalsium dan merangsang

    sekresi insulin. Bersamaan dengan itu, incretins, peptida dari sel

    neuroendokrin gastrointestinal, akan memperkuat stimulus untuk

     penyekresian insulin yang distimulasi oleh glukosa (Powers, 2010)

    Gambar 2. Stimulasi sekresi insulin oleh glukosa

    (Sumber : Powers, 2010)

    Insulin memiliki efek yang penting terhadap berbagai transpor molekul

    yang memudahkan perpindahan glukosa menyebrangi membran sel.

    Transporter-transporter ini memegang peranan pada etiologi dan manifestasi

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    16/25

    20

    DM. Sebagai contoh GLUT4, secara kuantitatif sangat penting sebagai faktor

    yang menurunkan kadar glukosa dalam darah, dimana GLUT4 berperan

    dalam masuknya glukosa ke dalam membran otot dan sel lemak oleh insulin

    (Karam, 1998). 

    Tabel 4. Transporter glukosa

    Trasnporter Jaringan

    GLUT1 Semua jaringan, terutama sel darah merah, otak

    GLUT2 Sel beta pankereas, hati, ginjal, usus

    GLUT3 Otak, ginjal, plasenta, jaringan lain

    GLUT4 Otot, jaringan lemak

    GLUT5 Usus, ginjal

    (Sumber : Karam, 1998)

    Pemeliharaan homeostasis glukosa darah diperankan sangat penting

    oleh pankreas. Konstentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh

    keseimbangan yang ada antara proses-proses berikut ini, antara lain :

    1. 

     penyerapan glukosa dari saluran pencernaan,

    2. 

    transportasi glukosa ke dalam sel,

    3.   pembentukan glukosa oleh sel (terutama di hati),

    4. 

     pengeluaran glukosa secara abnormal (melalui urin) (Sherwood, 2001).

    C.  TERUNG UNGU (Solanum melongena Linn.)

    Terung ungu (Solanum melongena Linn.) merupakan hasil panen utama

     pada negara-negara tropis dan subtropis. Adapun sistematika taksonomi

    tanaman terung ungu adalah sebagai berikut :

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Spermathophyta

    Sub Divisi : Angiospermae

    Kelas : Dycotyledoneae

    Famili : Solanaceae

    Genus : Solanum

    Spesies/ binomial : Solanum melongena/ Linn.(MEF, 2010)

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    17/25

    21

    Tanaman ini tumbuh dengan tinggi mencapai 40-150 cm.Tanaman ini

    memiliki karakteristik daun antara lain simetris, besar, dan terdiri atas satu

    lobus yang kasar. Adapun ciri-ciri bunga yaitu besar, berwarna ungu hingga

     biru, dan terdiri atas 2-5 kelopak. Buah terung ungu besar, dan berbentuk dari

    lonjong hingga menuju bulat. Perubahan warna buah seiring kematangan

     buah mulai dari ungu muda, kemudian menjadi lebih gelap (MEF, 2010;

    Parany, 2010). 

    Terung ungu diperkirakan berasal dari benua asia, lebih tepatnya

     berasal dari India dan Sri Lanka. Terung ungu sangat erat hubungannya

    dengan tomat dan kentang. Terdapat setidaknya 2000 spesies yang memiliki

    famili  solanaceae. Terung ungu umum dikonsumsi sebagai sayuran. Daging

     buah terung ungu sendiri mengandung rendah lemak dan kalori, kandungan

    utamanya adalah air, beberapa protein, serat, dan karbohidrat. Komposisi

    nutrisi dalam 100 gram daging buah terung ungu dapat dilihat pada tabel 5. 

    Tabel 5. Komposisi per 100 gram daging buah terung ungu

    Kalori 24,0 Sodium (mg) 3.0

    Karbohidrat (%) 92,7 Tembaga (mg) 0,12

    Protein (g) 1,4 Potassium (mg) 2,0

    Lemak (g) 0,3 Sulfur (mg) 44,0

    Serat (g) 1,3 Klorin (mg) 52,0

    Asam oksalat (mg) 18,0 Vit A (I.U.) 124,0

    Kalsium (mg) 18.0 Asam folat (ug) 34,0

    Magnesium (mg) 15,0 Tiamin (mg) 0,04

    Fosfor (mg) 47,0 Riboflavin (mg) 0,11

    Besi (mg) 0,38 B- karoten (ug) 0,74

    Seng (mg) 0,22 Vitamin C (mg) 0,22

    (Sumber : MEF, 2010)

    Tanaman ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat india sebagai obat

    tradisional untuk mengobati segala penyakit. Berbagai bagian dari tanaman

    ini sangat bermanfaat untuk mengobati ulkus hidung, kolera, bronkitis dan

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    18/25

    22

    asma, walau belum ada penelitian yang membuktikan hal tersebut (Gul et al .,

    2011). Akan tetapi efek antioksidan (Sudheesh et al ., 1999; Jung et al ., 2011),

    analgesik dan antipiretik (Mutalik et al., 2003), serta hipolipidemik

    (Sudheesh, 1997; Sofian, 2011) dari tanaman ini telah dibuktikan.

    Gambar 3. Tanaman terung ungu

    Gul et al . (2011) berhasil membuktikan ekstrak air, kloroform, dan

    etil asetat dari daging buah terung ungu memiliki efek antiplatelet dan

    antioksidan. Aktivitas antioksidan dari terung ungu ini diperkirakan berasal

    dari kandungan fitokimia yang terkandung di dalamnya, dimana kandungan-

    kandungan tersebut dapat bertindak sebagai antioksidan pemutus rantai

     pembentukan radikal bebas (Sudheesh et al ., 1999; Tiwari, 2001; Tapas et

    al ., 2008; Singh et al ., 2009).  Sedangkan efek antiplatelet pada ekstrak

    terung ungu diperkirakan berasal dari solasonin yang terkandung di dalam

    daging buah terung ungu (Tang et al ., 2008).

    Melalui percobaan pada tikus putih hiperlipidemia, Sofian (2011)

     berhasil membuktikan bahwa ekstrak etanol daging buah terung ungu

    dengan dosis 10 mg/kgBB dapat menurunkan kadar kolesterol total dan

    dengan dosis 20 mg/kgBB dapat menurukan kadar trigliserida tikus dengan

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    19/25

    23

    signifikan pada hari ke-4. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Gulmaráes

    et al . (2000), dimana dibuktikan bahwa infusa daging buah Solanum

    melongena dapat menurunkan kadar kolesterol total, akan tetapi penurunan

    kolesterol total yang terjadi hanya besifat sementara.

    Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, terung ungu mengandung

    serat yang cukup tinggi, salah satu jenis serat yang terkandung di dalamnya

    adalah pektin. Mekanisme penghambatan penyerapan glukosa oleh pektin

    diperkirakan dengan meningkatkan viskositas cairan dalam saluran

     pencernaan, sehingga dapat menurunkan waktu pengosongan lambung serta

    akan menekan penyerapan glukosa di usus (Cummings et al ., 1979; Tiwari

    dan Rao, 2002).  Selain itu pula, mengonsumsi serat dapat meningkatkan

    metabolisme glukosa dan sensitifitas insulin (Wolfram dan Ismail, 2011). 

    Terung ungu juga mengandung berbagai antioksidan, dan kandungan

    kimia lain seperti flavonoid, alkaloid, tanin, dan saponin (Miean dan

    Mohamed, 1998; Gulmaráes et al ., 2000; Agoreyo et al ., 2012). Sedangkan

    untuk jenis flavonoid yang terdeteksi dalam terung ungu adalah myricetin,

    quercetin dan kaemferol (Miean dan Mohamed, 2000; Singh et al ., 2009). 

    Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang terdapat dalam semua

     jenis tumbuhan berpembuluh yang biasanya ditemukan berikatan dengan

    gula (glikosida), sedangkan jenisnya tergantung pada jenis tanaman.

    Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, sehingga tidak

     pernah ditemukan di dalam sebuah tanaman hanya terdapat satu jenis

    flavonoid (Harborne, 1987; Ross dan Kasum, 2002). Bio-flavonoid sangat

    terkenal dalam berbagai manfaat termasuk sebagai antidiabetes

    (Brahmachari, 2011). Secara garis besar bentuk aktivitas flavonoid terkait

     perannya sebagai antidiabetes adalah sebagai berikut :

    1.  Meningkatkan sekresi insulin.

    2.  Meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer (Brahmachari, 2011).

    3.  Menghambat penyerapan glukosa dengan baik melalui aktivitas inhibisi

    kompetitif terhadap alfa glukosidase, beta glukosidase, dan alfa

    manosidase di saluran pencernaan maupun melalui penghambatan

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    20/25

    24

     penyerapan glukosa di tubulus proksimal renalis (Lukacinova et al .

    2008; Tapas et al ., 2008; Hsieh et al ., 2010; Brahmachari, 2011).

    4.  Meningkatkan toleransi glukosa (Tapas et al ., 2008).

    5. 

    Menghambat glukoneogenesis (Tzeng, 2010).

    6.  Memperbaiki resistensi insulin sebagai akibat defek pada jaras sinyal

     pasca reseptor insulin (Tzeng, 2010; Liu dan Cheng, 2011).

    7. 

    Sebagai antioksidan, baik dalam penghambatan resistensi insulin

    maupun penghambatan perusakan sel beta pankreas sebagai akibat

    radikal bebas (Hassiq et al ., 1999; Coskun et al ., 2005; Song et al .,

    2005; Lukacinova et al ., 2008; Tapas et al ., 2008).

    8.  Menghambat glikasi non enzimatik (Jung et al ., 2006; Stefek, 2011).

    9.  Menghambat komplikasi kronik mikrovaskular dari diabetes melitus

    (Lukacinova, 2008). 

    Setiap aktivitas flavonoid di atas tergantung dari jenis flavonoidnya.

    Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder terbesar.

    Alkaloid sering kali beracun dan banyak yang mempunyai kegiatan

    fisiologis yang menonjol, jadi sering kali digunakan secara luas dalam

     bidang pengobatan (Harborne, 1987).  Alkaloid juga diketahui memiliki

    aktifitas antidiabetes (Islam et al ., 2009; Sneha dan Chaudhari, 2011). 

    Adapun mengenai mekanisme antidiabetes atau hipoglikemik dari alkaloid

     belum sepenuh diketahui. Beberapa mekanisme umum terkait aktivitas

    alkaloid sebagai antidiabetes adalah sebagai berikut :

    1.  Menghambat penyerap glukosa di saluran pencernaan dengan

    menginhibisi alfa glukosidase (Jung et al ., 2006; Geng et al ., 2007).

    2.  Menstimulasi ambilan glukosa oleh adiposit (Jung et al ., 2006).

    3.  Menstimulasi glikogenesis (Ponnachan et al , 1993).

    4.  Memperkuat induksi glukosa dalam penyekresian insulin (Jung et al .,

    2006; Badole et al ., 2006).

    Setiap aktivitas alkaloid di atas tergantung dari jenis alkaloidnya.

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    21/25

    25

    Selain dua fitokimia di atas, saponin juga terbukti memiliki efek

    hipoglikemik (Bnouham et al ., 2006; Islam et al ., 2009; Alexiou dan

    Demopoulos, 2010). Adapun kemungkinan mekanisme kerja saponin dalam

    menurunkan kadar glukosa darah adalah penghambatan transpor glukosa di

    saluran cerna (Atangwho et al ., 2009; Singh et al ., 2011) dan perangsangan

    sekresi insulin pada sel beta pankreas (Meliani et al ., 2011).

    D.  METFORMIN

    Metformin merupakan obat hipoglikemik oral golongan biguanid.Metformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transpor glukosa

    ke dalam sel otot yang dirangsang oleh insulin. Obat ini dapat memperbaiki

    ambilan glukosa sebesar 10-40 %. Metformin menurunkan produksi glukosa

    hati dengan jalan mengurangi glikogenolisis dan glukoneogenesis. Metformin

     juga dapat memperbaiki profil lipid dengan mekanisme yang masih belum

    dapat dimengerti sepenuhnya (Suherman, 2012). Menurut penelitian

    sebelumnya, metformin dimungkinkan dapat bekerja dengan meningkatkan

    utilisasi glukosa di sel target, meningkatkan jumlah reseptor insulin di sel

    darah (eritrosit dan monosit), serta penghambatan secara minimal penyerapan

    glukosa di saluran pencernaan (Klip dan Leiter, 1990; Ikeda et al ., 2000).

    Metformin berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan

    sekresi insulin dan tidak menaikkan berat badan.

    Metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa sebanyak 60

    mg/dl dan HbA1c 1,8 %, jadi hampir sama efektifnya dengan sulfonilurea.

    Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah-muntah, kadang-

    kadang diare, oleh karena itu lebih baik diberikan kepada pasien yang gemuk,

    sebab tidak merangsang sekresi insulin, yang seperti diketahui mempunyai

    efek anabolik. Sebenarnya obat ini baik sekali bila diingat sifatnya yang

    hanya merupakan  euglycemic agent,  jadi tidak terdapat bahaya terjadinya

    hipoglikemia.

    Mengonsumsi metformin memiliki risiko terjadi asidosis laktat

    walaupun sangat jarang (1/30.000 orang/tahun) dan terjadi bila dikonsumsi

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    22/25

    26

    oleh mereka yang termasuk dalam kontra indikasi. Kontra indikasi yang

    dimaksud antara lain:

    1.  Gangguan fungsi ginjal (kreatinin: > 1,5 mg/dl bagi laki-laki dan > 1,4

    mg/dl bagi perempuan).

    2.  Dehidrasi.

    3.  Gangguan fungsi hati.

    4. 

    Asidosis metabolic.

    5.  Usia lanjut.

    6.  Gagal jantung (Soegondo, 2009).

    Metformin oral akan mengalami absorbsi di usus. Dalam darah

    metformin tidak terikat protein plasma dan ekskresinya melalui urin dalam

    keadaan utuh. Waktu paruh metformin sekitar 2 jam.

    Dosis awal 2 x 500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance

    dose) 3 x 500 mg, sedangkan dosis maksimal konsumsi metformin perharinya

    adalah 2,5 gram. Obat diminum pada waktu makan. Pasien DM yang tidak

    memberikan respon dengan sulfonilurea dapat diatasi dengan metformin, ataudapat pula diberikan sebagai terapi kombinasi dengan insulin atau

    sulfonilurea (Suherman, 2012).

    E.  INFUSA

    Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari bahan nabati

    dengan air pada suhu 90o celcius selama 15 menit (Duin, 1947; Depkes RI,

    1986).Sedangkan infundasi adalah proses penyarian yang umumnya

    digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang terlarut dalam air dari

     bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak

    stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang

    diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI,

    1986)

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    23/25

    27

    Infusa dibuat dengan mencampur bahan nabati yang telah dibersihkan

    dan dipotong secukupnya dicampur dengan air yang pada umumnya 2 kali

     bobot bahan dalam sebuah panci yang kemudian dipanaskan di atas pemanas

    air selama 15 menit dihitung mulai suhu mencapai 90o  sambil sekali-kali

    diaduk. Serkai ketika infusa masih dalam keadaan panas melalui kain flanel,

    tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume

    infus yang dikehendaki (Duin, 1947).

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    24/25

    28

    F. 

    KERANGKA TEORI

    Kadar

    lukosa darah

    stress

    Asu an makanan

    Jenis kelamin

    usia

    Kekurangan

    glukosa dalam sel

    Glukoneogenesis

       T  r  a  n  s  p  o  r  g   l  u   k  o  s  a   k  e  s  e   l

       t  a  r  g  e   t  m  e   l  a   l  u   i   d  a  r  a   h

    Pembebanan glukosa

    Transpor

    glukosa dari luar

    ke dalam sel

    target(b) 

    Penyerapan

    glukosa di usus

       t  r  a  n  s  p  o  r  g   l  u   k  o  s  a

    Sel beta

     pankreas

    Sekresi

    insulin(a) 

    stimulasi

    Menghambat

    glukoneogenesis

    Metformin

    Meningkatkan

    ambilan glukosa

    oleh sel target

    Infusa terung ungu

    Mengandung

    flavonoid,

    alkaloid, tanin,

    saponin

    Meningkatkan

    sensitifitas sel

    target terhadapinsulin

    Meningkatkan

    sekresi insulin

    Menghambat

     penyerapanglukosa

    Menghambat

    glukoneogenesis

    Aktivitas fisik Genetik

    Meningkatkan

    sensitifitas sel

    target terhadap

    Menghambat

     penyerapan

    glukosa

  • 8/17/2019 BAB II Tinjauan Pustaka V3.1a

    25/25

    29

    G. KERANGKA KONSEP

    Variabel dalam penelitian dituangkan dalam kerangka konsep dibawah ini:

    Variabel Bebas

    Variabel Terikat

    Variabel luar

    H. HIPOTESIS

    Infusa daging buah terung ungu (Solanum melongena .L) dapat menurunkan

    kadar glukosa darah tikus putih ( Rattus norvergicus) jantan galur wistar yang

    dibebani glukosa.

    Kadar glukosa darah tikus

    Pemberian infusa

    terung ungu

    - Asupan makanan

    - Galur, jenis kelamin,

    usia, dan berat badan

    tikus

    Pembebananglukosa anhidrat

    Pemberian

    metformin

    Keterangan gangguan yang disebabkan DM :

    Diabetes melitus

    Tipe I :

    -  Destruksi sel beta pankreas defisiensi insulin(a) 

    - Tipe II :

    Defisiensi insulin (a) 

    -  Resistensi insulin (b)