BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dasar Intelligence 2.1.1 Pengertian Intelligence Walgito (1981) dalam (Ali & Asrori: 2012) Istilah inteligensi, berasal dari bahasa Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Binet (dalam Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pandangan kebenaran atau fakta ( dalam Azwar, 1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam, tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya tertentu ( Anastasi, 1997 ). Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang tidak seluruhnya bebas. Sedangkan menurut Jean Piaget inteligensi adalah seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisa, mensintesis, mengevaluasi, dan menyelesaikan persoalan-persoalan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan dimana seseorang dapat melakukan suatu pemikiran yang logis dan cepat
27
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id 2.pdfdalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak sudah mulai memahami hubungan fungsional karena
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep dasar Intelligence
2.1.1 Pengertian Intelligence
Walgito (1981) dalam (Ali & Asrori: 2012) Istilah inteligensi, berasal dari bahasa
Latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.
kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna
menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Binet (dalam
Azwar, 1996), menyatakan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu
kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan, kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri.
Terman, mengatakan bahwa inteligensi merupakan kemampuan seseorang untuk
berpikir abstrak, sedangkan Edward Lee Thorndike, mengatakan bahwa inteligensi
adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik terhadap pandangan kebenaran
atau fakta ( dalam Azwar, 1996). Inteligensi bukan kemampuan tunggal dan seragam,
tetapi merupakan komposit dari berbagai fungsi, sehingga mencakup gabungan
kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya
tertentu ( Anastasi, 1997 ).
Wechsler (1958), berpendapat bahwa inteligensi adalah kumpulan atau seluruh
kapasitas individu untuk bertindak sesuai tujuan, berpikir secara rasional dan bertindak
secara efektif dengan lingkungannya. Inteligensi sebagai suatu kumpulan atau
keseluruhan karena tersusun dari elemen-elemen atau kemampuan-kemampuan yang
tidak seluruhnya bebas.
Sedangkan menurut Jean Piaget inteligensi adalah seluruh kemampuan berpikir
dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti
berpikir, mempertimbangkan, menganalisa, mensintesis, mengevaluasi, dan
menyelesaikan persoalan-persoalan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu
kemampuan dimana seseorang dapat melakukan suatu pemikiran yang logis dan cepat
sehingga dapat bergerak serta mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar
ataupun situasi baru.
2.1.2 Tahapan Perkembangan Intelligence
Dalam buku Psikologi Remaja Jean Piaget (Bybee dan Sund, 1982) membagi
perkembangan intelek/kognitif menjadi empat yaitu
a. Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini interaksi anak dengan
lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan
otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari
lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga
dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi,
melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-
lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.
b. Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Anak sangat bersifat
egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain,
anak cenderung sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan
karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga
pada intuisi.Anak mampu menyimpan kata-kata serta menggunakannya terutama
yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka.
c. Tahap Operasional Konkret
Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, interaksinya
dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya sudah semakin berkembang
dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat
mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain
dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif. Pada tahap ini juga anak
sudah mulai memahami hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba
suatu permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan
mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang
sesuatu yang konkret. Di sini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru.
d. Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada tahap ini,
interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman
sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi
ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam berinteraksi dengan orang tua. Namun,
sebenarnya secara diam-diam mereka juga mengharapkan perlindungan dari orang tua
karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada
tahap ini ada semacam tarik-menarik anatra keinginan bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya,
mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan
abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam
suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan
kognitifnya.
Menurut Piaget remaja, seharusnya sudah berada pada tahap operasional formal
dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-
persoalan yang bersifat hipotesis. Oleh karena itu, setiap keputusan perlakuan terhadap
remaja sebaiknya dilandasi oleh dasar pemikiran yang masuk akal sehingga dapat
diterima oleh mereka.
2.1.3 Karakteristik Perkembangan Intelligence
a. Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1) Segala tindakannya masih bersifat naluriah.
2) Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra.
3) Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu
untuk mengategorikan pengalaman.
4) Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema
sensori-motorisnya.
Sebagai upaya lebih memperjelas karakteristik tahap sensori-motoris ini, Piaget
(Bybee dan Sund, 1982 dalam buku Psikologi Remaja) merinci lagi tahap sensori-motoris
ke dalam enam fase dan setiap fase memiliki karakteristik tersendiri.
1) Fase pertama (0-1 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mampu bereaksi secara refleks.
b) Individu mampu menggerak-gerakkan anggota badan meskipun belum
terkoordinir.
c) Individu mampu mengasimilasi dan mengakomodasi berbagai pesan yang
diterima dari lingkungannya.
2) Fase kedua (1-4 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mampu
memperluas skema yang dimilkinya berdasarkan hereditas.
3) Fase ketiga (4-8 bulan) memiliki karakteristik bahwa individu mulai dapat
memahami hubungan antara perlakuannya terhadap benda dengan akibat yang
terjadi pada benda itu.
4) Fase keempat (8-12 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Individu mampu memahami bahwa benda tetap ada mesipun untuk sementara
waktu hilang dan akan muncul lagi di waktu lain.
b) Individu mulai mampu mencoba sesuatu.
c) Individu mampu menentukan tujuan kegiatan tanpa tergantung kepada orang
tua.
5) Fase kelima (12-18 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mulai mampu untuk meniru.
b) Individu mampu untuk melakukan berbagai percobaan terhadap
lingkungannya secara lbih lancar.
6) Fase keenam (18-24 bulan) memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Individu mulai mampu untuk mengingat dan berpikir.
b) Individu mampu untuk berpikir dengan menggunakan simbol-simbol bahasa
sederhana.
c) Individu mampu memahami diri sendiri sebagai individu yang sedang
berkembang.
b. Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik yang menonjol sebagai
berikut :
1) Individu telah mengombinasikan dan mentransformasikan berbagai informasi.
2) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide.
3) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa
konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat.
4) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku :
a) Berpikir imajinatif
b) Berbahasa egosentris
c) Menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi
d) Perkembangan bahasa mulai pesat
c. Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Ditandai dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami
sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi,
cara berpikir individu belum menangkap belum menangkap yang abstrak meskipun
arah berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep,
individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri yang artinya mudah
memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu
yang berkaitan dengan konsep tersebut.
d. Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap ini ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
1) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi.
2) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak.
3) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis.
4) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan.
5) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri
sendiri tercapai.
6) Individu mulai mampu untuk membayangkan peranan-peranan yang akan
diperankan sebagai orang dewasa.
7) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan
masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.
2.1.4 Jenis Tes Intelligence
Jenis tes intelligence dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Tes Inteligensi individual, antara lain : Stanford-Binet Intelligence scale, Wechsler
Bellevue Intelligence Scale (WBIS), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC), Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Wechsler Preschoot and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI).
b. Tes inteligensi kelompok, antara lain :Pintner Cunningham Primary Test, The
California Test of Mental Maturity, The Henmon Nelson Test Mental Ability, Otis
Lennon Mental Ability Test dan Progressive Matrices.
c. Tes inteligensi dengan tindakan/perbuatan.
(Sunaryo, 2004)
2.1.5 Tingkat Kecerdasan
Menurut Sunaryo (2004) tingkat kecerdasan dibagi sebagai berikut :
Tingkatan IQ Deskripsi %
>140 Jenius 0.5
130-139 Sangat superior 3.0
120-129 Superior 7.0
110-119 Cerdas 14,5
100-109 Normal tinggi 25.0
90-99 Normal rendah 25.0
80-89 Bodoh (Dull) 14.5
70-79 Inferior 7.0
60-69 feebleminded 3.0
<60 0.5
50-59 Moron
20-49 Imbecile
<20 Idiot
Tabel.1 Tingkat kecerdasan
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelligence
Perkembangan intelektual dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu :
a. Faktor Hereditas
Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang
menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah membawa
kemungkinan apakah akan menjadi kemampuan berpikir setaraf normal, di atas
normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini tidak akan berkembang atau
terwujud seara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk
berkembang. Oleh karena itu, peranan lingkungan sangat menentukan perkembangan
intelektual anak.
b. Faktor Lingkungan
Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam
mempengaruhi perkembangan intelek anak, yaitu :
1) Keluarga
Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua
adalah memberi pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan
sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat bagi anak
untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan, misalnya memberi kesempatan kepada
anak untuk merealisasikan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan
dorongan keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat
keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak.
Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orang
tua.
2) Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk
meningkatkan perkembangan anak termasuk perkembangan berpikir anak. Dalam
hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak terletak
di tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik.
Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan
merasa aman sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat
dikonsultasikan dengan guru mereka.
b) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan
orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual anak. Membawa
para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek budaya dan ilmu
pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual peserta didik.
c) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan
olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi
perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu
secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan terganggu.
d) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak
maupun dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik
berpendapat atau mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan intelektual peserta didik.
(Ali & Asrori: 2012)
2.1.7 Cara Membantu Perkembangan Intelligence dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Menurut Conny Semiawaan (Ali &Asrori: 2012), penciptaan kondisi lingkungan
yang kondusif bagi pengembangan kemampuan intelektual anak yang di dalamnya
menyangkut keamanan psikologis dan kebebasan psikolgis merupakan faktor yang sangat
penting.
Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara
psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah sebagai
berikut :
a. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat
(unconditional positive regard). Artinya, apapun keberadaan peserta didik dengan
segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi
kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki kemampuan
intelektual yang dikembangkan secara maksimal.
b. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak merasa terlalu dinilai oleh
orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan berlebihan dapat
dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri.
Memang kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi
sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan
peserta didik, melainkan menjadi sarana yang dapat dikembangkan sikap kompetitif
secara sehat.
c. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan,
dan perilaku peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi peserta didik, serta
melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam suasana seperti ini,
peserta didik akan merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan
pemikiran atau ide-idenya.
d. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional
positive regard). Artinya, apapun adanya remaja itu dengan segala kekuatan dan
kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi kepercayaan bahwa pada
dasarnya setiap remaja memiliki kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan
secara maksimal.
e. Memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku remaja, menempatkan diri dalam
situasi remaja, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam
suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk mengembangkan dan
mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
f. Memberikan suasana psikologis yang aman bagi remaja untuk mengemukakan
pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani mengembangkan pemikirannya sendiri.
Di sini berusaha menciptakan keterbukaan (openness), kehangatan (warmness), dan
kekonkretan (concreteness).
(Ali & Asrori: 2012)
Anak atau remaja akan merasakan kebebasan psikologis jika orang tua dan guru
memberi kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan pikiran atau perasaannya.
Sebagai makhluk sosial, mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam tindakan yang
merugikan orang lain atau merugikan lingkungan tidaklah dibenarkan. Hidup dalam
masyarakat menuntut untuk mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku (Ali
& Asrori: 2012).
Teori Jean Piaget (Ali & Asrori: 2012) mengenai pertumbuhan kognitif sangat erat
dan penting hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas adalah sebagai unsur pokok dalam petumbuhan kognitif.
Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk memajukkan pertumbuhan kognitif,
sedangkan pengalaman belajar yang pasif dan hanya menikmati pengalaman orang lain
saja akan mempunyai konsekuensi yang minimal terhadap pertumbuhan kognitif
termasuk perkembangan intelektual.
Penting bagi pendidik untuk mengetahui isi dan ciri-ciri dari setiap tahap
perkembangan kognitif peserta didiknya sehingga dapat mengambil keputusan tindak
edukatif yang tepat. Dengan demikian, dapat dihasilkan peserta didik yang memahami
pengalaman belajar yang diterimanya. Menyesuaikan system pengajaran dengan
kebutuhan peserta didik merupakan jalan untuk meninggalkan prinsip lama, yaitu guru
tinggal menunggu sampai peserta didik siap sendiri, kemudian baru diberi pelajaran.
Sekarang tidak demikian adanya (Ali & Asrori: 2012)
Model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai peserta
didik siap sendiri, tetapi sekolahlah yang mengajar lingkungan belajar sedemikian rupa
sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik untuk berinteraksi.
Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar tersebut, proses pembelajaran
yang aktif akan terjadi sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke
taraf/tahap berikutnya (Ali & Asrori: 2012).
2.1.8 Gangguan Intelligence
a. Retardasi Mental
1) Pengertian
Dimana keadaan suatu individu dengan inteligensi kurang (abnormal)
sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak-kanak) atau keadaan
dimana individu kekurangan inteligensi sehingga daya guna sosial dan dalam
pekerjaan seseorang menjadi terganggu (Maramis, 1999).
2) Penyebab
a) Retardasi mental primer adalah kemungkinan faktor keturunan (retardasi
mental genetik) dan kemungkinan tidak diketahui (retardasi mental
simpleks)
b) Retardasi mental sekunder adalah faktor luar yang diketahui dan
memengaruhi otak (prenatal, perinatal, dan postnatal), misalnya
infeksi/intoksikasi, rudapaksa, gangguan metabolisme/gizi, penyakit otak,
kelainan kromosom, prematuritas, dan gangguan jiwa berat.
Tingkat retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi Keterbelakangan
Mental Amerika Serikat (American Association of Mental Retardation) seperti
dikemukakan oleh Sarwono Sarlito Wirawan (1999) sebagai berikut:
a) Retardasi mental lambat belajar (slow learning) – IQ = 85-90
b) Retardasi mental taraf perbatasan (borderline) – IQ = 70-84
c) Retardasi mental ringan (mild) – IQ = 55-69
d) Retardasi mental sedang (moderate) – IQ = 36-54
e) Retardasi mental berat (severe) – IQ =20-35
f) Retardasi mental sangat berat (profound) – IQ = 0-19