BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, peneliti mengemukakan beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang penelitian yang meliputi: 2.1 Tunagrahita Tunagrahita bukanlah sebuah penyakit, meskipun tunagrahita merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap fungsi intelektual dan fungsi adaptif (Gunarsa, 2006). 2.1.1 Pengertian Tunagrahita Tunagrahita (mental retardation) adalah keadaan dengan inteligensi yang kurang (IQ <70) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak), dan biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Tunagrahita disebut juga olegofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) (Maramis, 2009). Tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap yang ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau kecakapan (skills) selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial (DSM-IV, 1994 dalam Lombantobing, 2006). Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tunagrahita merupakan suatu keadaan dengan adanya gangguan perkembangan 12
31
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - wisuda.unud.ac.id II Skripsi.pdf · beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang ... pada waktu pranatal, perinatal atau ... perkembangan anak untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai landasan dan rujukan dalam penelitian, peneliti mengemukakan
beberapa konsep dan teori serta hasil penelitian yang terkait dengan bidang
penelitian yang meliputi:
2.1 Tunagrahita
Tunagrahita bukanlah sebuah penyakit, meskipun tunagrahita merupakan
hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran
keterbatasan terhadap fungsi intelektual dan fungsi adaptif (Gunarsa, 2006).
2.1.1 Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita (mental retardation) adalah keadaan dengan inteligensi yang
kurang (IQ <70) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak), dan
biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi
gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Tunagrahita disebut juga
olegofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) (Maramis, 2009).
Tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak
lengkap yang ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau
kecakapan (skills) selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada semua
tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial
(DSM-IV, 1994 dalam Lombantobing, 2006).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
tunagrahita merupakan suatu keadaan dengan adanya gangguan perkembangan
12
13
mental secara menyeluruh sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa
anak) ditandai dengan adanya kelemahan (impairment) keterampilan atau
kecakapan (skills) sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu
kemampuan kognitif, motorik, bahasa, dan sosial.
2.1.2 Penyebab Tunagrahita
Tunagrahita primer merupakan tunagrahita yang disebabkan oleh faktor
keturunan (retardasi mental genetik) atau bahkan faktor yang tidak diketahui
(retardasi mental simpleks). Sementara itu, penyebab tunagrahita sekunder adalah
faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor- faktor ini mempengaruhi otak
pada waktu pranatal, perinatal atau postnatal (Maramis, 2009).
2.1.3 Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik merupakan ciri khas, watak atau tabiat yang dimiliki oleh
seseorang (KBBI, 2008). Karakteristik anak tunagrahita dibedakan berdasarkan
tingkat ketunagrahitaannya. Intelligence Quotient (IQ) bukanlah satu-satunya
patokan yang dipakai untuk menentukan ringan-beratnya tunagrahita, namun
dapat juga dipakai kemampuan untuk dididik atau dilatih dan kemampuan sosial
atau kerja (vokasional). Gambaran penting tunagrahita adalah fungsi intelektual
dibawah rata-rata (IQ <70) yang disertai dengan adanya keterbatasan dalam area
fungsi adaptif seperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, keterampilan,
interpersonal atau soaial, penggunaan sumber masyarakat, tinggal di rumah,
penunjuk diri, keterampilan akademik, pekerjaan, kesehatan, dan keamanan
(King, 2000 dalam Napolion, 2010).
14
Karakteristik tunagrahita ditinjau dari segi intelektual (IQ), sosial, dan
pendidikan (DSM-IV, 1994 dalam Lumbantobing, 2006; Hallahan & Kauffman,
2006; Maramis, 2009), yaitu:
a. Tunagrahita ringan
Intellegencia Quotient (IQ) 50-70, dapat mencari nafkah secara sederhana
dalam keadaan baik, serta dapat dilatih dan dididik di sekolah khusus.
b. Tunagrahita sedang
Intellegencia Quotient (IQ) 35-49, mengenal bahaya, tidak dapat mencari
nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih.
c. Tunagrahita berat
Intellegencia Quotient (IQ) 20-34, mengenal bahaya, tidak dapat mencari
nafkah, tidak dapat dididik, namun dapat dilatih.
d. Tunagrahita sangat berat
Intellegencia Quotient (IQ) <20, tidak mengenal bahaya, tidak dapat mengurus
diri sendiri, tidak dapat dididik, dan tidak dapat dilatih.
Sebagai bahan pertimbangan untuk mempelajari tentang karakteristik anak
tunagrahita, dapat dilihat pada tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Ciri-Ciri Perkembangan Penderita Tunagrahita
Tingkat
Tunagrahita
Umur pra-sekolah :
0 -5 tahun
Pematangan dan
Perkembangan
Umur Sekolah :
6 – 20 tahun
Latihan dan
pendidikan
Masa dewasa:
21 tahun atau lebih
Kecukupan Sosial dan
Pekerjaan
Berat Sekali Retardasi berat;
kemampuan minimal
untuk berfungsi dalam
bidang sensori-motorik;
membutuhkan perawatan.
Perkembangan
motorik sedikit; dapat
bereaksi terhadap
latihan mengurus diri
sendiri secara minimal
atau terbatas.
Perkembangan motorik
dan bicara sedikit; dapat
mencapai mengurus diri
sendiri secara sangat
terbatas; membutuhkan
perawatan.
Berat Perkembangan motorik
kurang; bicara minimal;
pada umumnya tidak
dapat dilatih untuk
mengurus diri – sendiri;
keterampilan komunikasi
tidak ada atau hanya
sedikit sekali.
Dapat berbicara atau
belajar
berkomunikasi; dapat
dilatih dalam
kebiasaan kesehatan
dasar; dapat dilatih
secara sistemik dalam
kebiasaan.
Dapat mencapai
sebagian dalam
mengurus diri sendiri di
bawah pengawasan
penuh; dapat
mengembangkan secara
minimal berguna
keterampilan menjaga
diri dalam lingkungan
yang terkontrol.
Sedang Dapat berbicara atau
belajar berkomunikasi;
kesadaran sosial kurang;
perkembangan motorik
cukup; dapat mengurus
diri sendiri; dapat diatur
dengan pengawasan
sedang.
Dapat dilatih dalam
keterampilan sosial
dan pekerjaan; sukar
untuk maju lewat
kelas 2 SD dalam
mata pelajaran
akademik; dapat
belajar bepergian
sendirian di tempat
yang sudah dikenal.
Dapat mencari nafkah
dalam pekerjaan kasar
(“unskilled”) atau
setengah terlatih dalam
keadaan yang
terlindung; memerlukan
pengawasan dan
bimbingan bila
mengalami stres sosial
atau stres ekonomi yang
ringan.
Ringan Dapat mengembangkan
keterampilan sosial dan
komunikasi;
keterbelakangan minimal
dalam bidang
sensorimotoik; sering
tidak dapat dibedakan
dari normal hingga usia
lebih tua.
Dapat belajar
keterampilan
akademik sampai kira-
kira kelas 6 pada umur
belasan tahun (dekat
umur 20 tahun); dapat
dibimbing ke arah
konformitas sosial.
Biasanya dapat
mencapai keterampilan
sosial dan pekerjaan
yang cukup untuk
mencari nafkah, tetapi
memerlukan bimbingan
dan bantuan bila
mengalami stres sosial
atau stres ekonomi yang
luar biasa.
Sumber: Freedman, A.M., H.I. dan Sadock, B.J. : Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of
Psychiatry, Williams & Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis, 2009.
16
2.1.4 Dampak Keterbatasan Anak Tunagrahita
a. Orang tua
Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan
tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung
menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya
disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua
merasa tidak mampu, rendah diri gagal dan berperilaku menghindari atau menarik
diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya (Napolion, 2010). Hal tersebut
akan berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua. Adapun
tugas maladaptif orangtua yang mempunyai anak dengan tunagrahita meliputi:
1) tidak/kurang menerima keadaan anak dengan tunagrahita,
2) tidak/kurang memperhatikan dan merawat setiap kebutuhan anak tunagrahita,
3) tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan normal perkembangan anak
tunagrahita,
4) tidak/kurang mampu memenuhi kebutuhan terkait perkembangan anggota
keluarga lainnya,
5) tidak/kurang mampu mengatasi stres dan krisis periodik,
6) tidak/kurang ada upaya orang tua dalam membantu anggota keluarga dalam
mengatasi perasaan yang tidak menyenangkan,
7) tidak/kurang mampu mengajarkan anggota keluarga yang lain tentang kondisi
anak, dan
8) tidak/kurang mampu melaksanakan sistem pendukung (Dewi, 2011).
17
b. Saudara Kandung
Allen, Lowe, Moore & Brophy (2007 dalam Dewi, 2011) menemukan
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak yang
mengalami tunagrahita, beresiko tinggi gagal melakukan penyesuaian. Namun
penelitian lainnya menjelaskan bahwa ikatan hubungan saudara kandung pada
anak tunagrahita tidak memiliki resiko mengalami masalah psikiatrik berat
(O`brien, 2003 dalam Dewi, 2011).
c. Anggota keluarga besar dan masyarakat
Menurut Wong (2009), anggota keluarga yang bukan inti atau beberapa
teman dekat dapat merasakan efek dari keterbatasan anak tunagrahita. Stres dapat
muncul dari sumber eksternal keluarga, seperti teman, tetangga, atau bahkan dari
orang asing sekalipun. Ketidakmampuan untuk mengatasi pendapat atau
pandangan curiga orang lain mengenai gangguan tunagrahita dapat mendorong
kecenderungan untuk mengisolasi atau menyembunyikan anak tunagrahita dari
dunia luar (Dewi, 2011).
2.1.5 Upaya untuk Mengatasi Anak dengan Tunagrahita
Menurut Isaacs (2005), upaya untuk mengatasi anak dengan tunagrahita,
yaitu:
a. Pencegahan Primer dan Sekunder
Pencegahan dilakukan dengan imunisasi bagi anak dan ibu sebelum
kehamilan, konseling perkawinan, pemeriksaan kehamilan rutin, nutrisi yang baik,
persalinan oleh tenaga kesehatan, memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga,
pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat dan program mengentaskan
18
kemiskinan dengan tujuannya yaitu untuk meningkatkan kesehatan calon anak
(Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010). Pencegahan sekunder dilakukan dengan
deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kesulitan sekolah sehingga tindakan
tepat dapat segera diberikan dengan cara konseling individu dengan program
bimbingan sekolah dan layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami
stres (Isaac, 2005).
b. Dukungan Terapeutik
Dukungan diberikan kepada anak yang mengalami tunagrahita dengan
pikoterapi individu, terapi bermain dan program pendidikan khusus seperti
Sekolah Luar Biasa (Isaac, 2005).
c. Terapi Keluarga dan Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan untuk keluarga khususnya orang tua berisi tentang
perkembangan anak untuk tiap tahap usia dukung keterlibatan orang tua dalam
perawatan anak, bimbingan antisipasi, dan manajemen menghadapi perilaku anak
yang sulit, informasikan sarana pendidikan yang ada dan kelompok swabantu
(Arifin, 2009 dalam Napolion, 2010).
d. Farmakologi
Menurut Townsend (2003 dalam Napolion, 2010), pengobatan khusus
untuk anak dengan tunagrahita sampai saat ini belum ada, pengobatan dilakukan
jika anak mengalami keadaan khusus seperti cemas berat itupun dilakukan bukan
sebagai prioritas utama.
19
2.2 Keluarga (Orang Tua) dengan Anak Tunagrahita
2.2.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran,
dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang
umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari
tiap anggota keluarga yang terlihat dari pola interaksi yang saling ketergantungan
untuk mencapai tujuan bersama (Friedman, 1998 dalam Achjar 2010). Keluarga
merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang
yang berkumpul serta tinggal di bawah satu atap di suatu tempat dalam keadaan
saling ketergantungan (DepKes R.I., 1988 dalam Achjar, 2010). Menurut UU
No.10 (1992 dalam Napolion, 2010) tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, suami-istri dan ananknya, atau ayah
dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Keluarga disebut sebagai sebuah sistem dikarenakan beberapa alasan yaitu
pertama, keluarga memiliki subsistem seperti anggota, peran, fungsi, aturan,
budaya, dan lainnya yang dapat dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan
keluarga. Kedua, dalam sebuah keluarga terdapat saling berhubungan dan
ketergantungan antara subsistem. Ketiga, keluarga merupakan unit terkecil dari
masyarakat yang dapat mempengaruhi suprasistemnya (Friedman, 2010).
Sementara itu, pengertian orang tua adalah ayah dan ibu (KBBI, 2008).
20
2.2.2 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Menurut
Friedman (1998 dalam Achjar, 2010) terdapat beberapa fungsi keluarga, yaitu:
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga, dimana fungsi ini dapat dilihat
dari bagaimana cara keluarga mengekspresikan kasih sayang (Achjar, 2010).
Menurut Friedman (2010 dalam Dewi, 2011) peran utama orang tua dalam
keluarga dengan anak tunagrahita adalah fungsi afektif yang berhubungan
dengan:
1) pemberian kasih sayang dan rasa aman dari orang tua terhadap anak
tunagrahita,
2) pemberian perhatian di antara anggota keluarga, khususnya dalam memenuhi
kebutuhan dasar anak,
3) membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga dalam menghadapi
krisis yang mungkin muncul karena memiliki anak tunagrahita, dan
4) memberikan identitas keluarga sebagai wujud tanggung jawab kepala keluarga
dalam meningkatkan harga diri keluarga menghadapi stigma sosial tentang
anak tunagrahita.
b. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada
anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan
21
perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, serta meneruskan nilai-nilai
budaya keluarga (Achjar, 2010). Anak tunagrahita akan mengalami stigma sosial
(Wong, 2009) karena keterbatasan yang dimiliki sehingga berdampak terhadap
penerimaan masyarakat akan keberadaannya. Hal ini menjadi salah satu faktor
yang turut berkontribusi terhadap kesulitan anak tunagrahita untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya. Selain itu, menurut Allen, Lowe, Moore &
Brophy (2007 dalam Dewi, 2011), beberapa anak juga mengalami kelemahan
dalam keterampilan bersosialisasi, seperti dalam komunikasi verbal dan
perumusan bahasa yang tepat. Orang tua yang memahami dan menyadari akan
kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu
perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani, 2005 dalam Dewi, 2011).
c. Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam
melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga termasuk anggota
keluarga dengan tunagrahita serta menjamin pemenuhan kebutuhan
perkembangan fisik, mental, dan spiritual dengan cara memelihara dan merawat
anggota keluarga serta mengenali keadaan sakit setiap anggota keluarga.
Keluarga diartikan sebagi sentral pelayanan keperawatan karena keluarga dapat
menjadi sumber kritikal untuk pemberian pelayanan keperawatan, sehingga
intervensi yang dilakukan pada keluarga merupakan hal yang perlu penting
pemenuhan kebutuhan individu (Achjar, 2010).
22
d. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang,
pangan, papan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dan keluarga.
Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan
penghasilan keluarga, serta menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Menurut Sethi, Bhargava & Dhiman (2007 dalam Dewi, 2011), beban yang
dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan
ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan
dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait dengan
kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa anak tidak
mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan keterbatasan yang
dimilikinya (Hassall, Rose & Mc.Donald, 2005).
e. Fungsi Biologis
Fungsi biologis keluarga (orang tua) bukan hanya ditujukan untuk
meneruskan keturunan tetapi untuk memelihara dan membesarkan anak untuk
kelanjutan generasi selanjutnya. Beberapa keluarga dengan anak berkebutuhan
khusus akan mengalami stres dan ketegangan dalam hidupnya sehingga terkadang
tidak memiliki cukup waktu dan perhatian dalam perencanaan pengaturan anak.
Mereka akan disibukkan tentang beban yang tinggi dalam perawatan dan masa
depan anak, sehingga fungsi reproduksi dalam keluarga sering kali terabaikan
(Tsai & Wang, 2007 dalam Dewi, 2011).
23
f. Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis tercermin dari bagaimana keluarga memberikan kasih
sayang, rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga
(Achjar, 2010), termasuk pada anggota keluarga yang menyandang tunagrahita.
Kasih sayang dari keluarga/orang tua sangat dibutuhkan oleh anak tunagrahita.
Anak yang hidup di lingkungan yang penuh kasih sayang akan tumbuh lebih baik
daripada anak yang hidup di lingkungan keluarga yang tertekan dan tidak
harmonis (Napolion, 2010).
g. Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan
pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak
untuk kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Anak tungarahita dengan inteligensinya yang kurang (Maramis, 2009) akan
menjadi pekerjaan lebih bagi orang tua dalam mendidik dan melatihnya.
2.2.3 Tugas dan Peran Keluarga
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh
keluarga, komunitas, dan kultur. Perilaku diasarkan pada pola yang ditetapkan
melalui sosialisasi (Potter & Perry, 2005). Peran keluarga sangat diperlukan saat
mengahadapi masalah yang muncul pada keluarga, hal ini terkait dengan adanya
hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan setiap anggota keluarga.
Salah satu peran atau tugas keluarga adalah merawat anggota keluarga yang sakit
24
atau tidak mampu (Achjar, 2010). Mohr (2006) membagi peran keluarga yang
memiliki anak tunagrahita menjadi lima, yaitu:
1) memberikan respon terhadap setiap kebutuhan anggota keluarga terutama
kebutuhan stimulasi tumbuh kembang pada anak tunagrahita,
2) membantu mengatasi setiap masalah psikososial dalam keluarga secara aktif
akibat memiliki dan atau merawat anak tunagrahita
3) pembagian tugas dengan distribusi yang merata terkait stimulasi tumbuh
kembang anak tunagrahita,
4) menganjurkan interaksi di dalam dan di luar keluarga, serta
5) meningkatkan kualitas kesehatan pada setiap anggota keluarga.
2.3 Masalah Psikososial Orang Tua: Ansietas
Orang tua dengan anak tunagrahita akan mengalami suatu periode krisis
karena merawat anak berkebutuhan khusus. Masalah psikososial yang kerap
dialami orang tua ketika merawat anak tunagrahita yaitu ansietas (Dewi, 2011).
2.3.1 Pengertian Ansietas
Kata ansietas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau
tercekat. Respon ansietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata,
namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan
menarik diri (Maramis, 2009). Menurut Saddock & Saddock (2007), ansietas
merupakan suatu respon normal individu terhadap pertumbuhan, perubahan,
pengalaman baru, penemuan identitas, dan makna hidup. Ansietas adalah perasaan
tidak khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya atau frustasi yang akan
25
membahayakan rasa aman, keseimbangan, atau kehidupan seseorang atau
kelompok sosialnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2009 dalam Dewi, 2011),
ansietas adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena
dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian
besar tidak diketahui dan berasal dari dalam.
Setelah mencermati beberapa pengertian di atas, konsep ansietas dapat
dibedakan dengan ketakutan. Pada ansietas, sumber penyebab tidak jelas.
Sementara pada ketakutan, sumber ketakutan jelas atau individu tahu takut
terhadap apa (Maramis, 2009).
2.3.2 Faktor Predisposisi
Ansietas tidak dapat dihindarkan dari kehidupan orang tua selama merawat
anak tunagrahita. Pengalaman ansietas orang tua tidak sama pada beberapa situasi
dan hubungan interpersonal. Terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan
ansietas pada orang tua anak tunagrahita, meliputi:
a. Pandangan biologis
Ansietas diduga bersifat turunan, karena terdapat komponen yang bersifat
diwariskan dari satu generasi ke generasi sesudahnya. Disfungsi neurotransmiter
gama amino butirat acid (GABA) diyakini dapat mempengaruhi terjadinya
ansietas. Selain GABA, terdapat beberapa neurotransmiter lainnya yang turut
berperan dalam proses terjadinya ansietas, sebagaimana halnya dengan endorphin.
Selain itu telah dibuktikan bahwa status kesehatan umum seseorang mempunyai
kontribusi terhadap faktor predisposisi ansietas, karena dapat menurunkan
kapasitas seseorang dalam mengatasi stresso (Videbeck, 2007).
26
b. Pandangan psikoanalitik
Ansietas diartikan sebagai konflik emosional yang terjadi antara dua
elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan
impuls primitif seseorang sedangkan superego mencerminkan hati nurani
seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya. Ego atau aku berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi ansietas
adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya (Videbeck, 2007).
c. Pandangan Interpersonal
Menurut Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi, & Sumijatun (2005),
ansietas muncul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan
penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan perkembangan trauma,
seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.
d. Pandangan perilaku
Ansietas timbul sebagai produk frustasi, yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan
(Videbeck, 2007). Beberapa pakar menganggap ansietas sebagai suatu dorongan
untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan.
e. Pandangan keluarga
Gangguan ansietas adalah hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga
(Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun, 2005), terdapat tumpang
tindih antara gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi.
27
2.3.3 Stresor Presipitasi
Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi & Sumijatun (2005) menyatakan
bahwa stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat
mencetuskan ansietas. Stresor pencetus ansietas dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Biologi
Menurut Tarwoto & Wartonah (2010), jika seorang individu yang terkena
gangguan fisik, seperti penyakit kronis, cacat, pasca operasi, aborsi, dan
sebagainya, akan lebih mudah mengalami stres. Selain itu, gangguan fisik juga
akan lebih mudah untuk mencetuskan terjadinya ansietas, dikarenakan gangguan
integritas fisik akan mempengaruhi konsep diri individu.
b. Psikologi
Faktor pencetus ansietas meliputi identitas diri dan harga diri individu.
Ancaman eksternal terkait dengan kondisi psikologis dapat mencetuskan ansietas,
seperti peristiwa kematian, kelahiran, pernikahan, putus kerja, dan sebagainya
(Dewi, 2011).
c. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi akan mempengaruhi kemampuan individu dalam
mengelola stres, yang jika terus berlanjut dan sulit untuk diantisipasi akan
menyebabkan ansietas. Pernyataan tersebut didukung oleh Tarwoto & Wartonah
(2010) yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi dan pekerjaan akan
mempengaruhi timbulnya stres dan ansietas.
28
2.3.4 Gejala-Gejala Ansietas
Gejala-gejala ansietas terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen psikis dan
komponen fisik. Gejala psikis dapat berupa ansietas atau kecemasan itu sendiri;
ada berbagai istilah yang sering digunakan oleh orang banyak, misalnya khawatir
tau was-was. Komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang