BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Definisi Konsep dan Pendakatan Teori 2.1.1 Teori-Teori Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan teori sebagai suatu susunan yang saling berkaitan tentang hipotesis, konsep, dan prinsip pragmatis untuk memberikan kerangka acuan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan atau menjawab dan/atau menjelaskan atas pertanyaan tentang suatu permasalahan dan/atau fenomena tertentu (Harahap, 2011). McDonald dalam Harahap (2011) memberikan tiga elemen teori, yaitu: 1. membuat kode sebagai simbol fenomena; 2. mengombinasikannya sesuai dengan peraturan, dan; 3. menerjemahkannya ke dalam fenomena yang sebenarnya terjadi. Menurut Deegan (2004) dalam Suaryana (2011) terdapat beberapa teori yang melandasi perlunya pengungkapan aspek lingkungan di dalam laporan keuangan perusahaan. Memang, di Indonesia belum terdapat peraturan yang menerangkan secara khusus soal penyampaian pertanggungjawaban lingkungan kepada publik. Teori stakeholder dan teori legitimasi dapat digunakan sebagai dasar perlunya pengungkapan aspek lingkungan dalam laporan keuangan perusahaan. 9
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Definisi Konsep dan Pendakatan Teori
2.1.1 Teori-Teori
Webster’s Third New International Dictionary mendefinisikan teori
sebagai suatu susunan yang saling berkaitan tentang hipotesis, konsep, dan prinsip
pragmatis untuk memberikan kerangka acuan yang digunakan untuk memecahkan
permasalahan atau menjawab dan/atau menjelaskan atas pertanyaan tentang suatu
permasalahan dan/atau fenomena tertentu (Harahap, 2011). McDonald dalam
Harahap (2011) memberikan tiga elemen teori, yaitu:
1. membuat kode sebagai simbol fenomena;
2. mengombinasikannya sesuai dengan peraturan, dan;
3. menerjemahkannya ke dalam fenomena yang sebenarnya terjadi.
Menurut Deegan (2004) dalam Suaryana (2011) terdapat beberapa teori
yang melandasi perlunya pengungkapan aspek lingkungan di dalam laporan
keuangan perusahaan. Memang, di Indonesia belum terdapat peraturan yang
menerangkan secara khusus soal penyampaian pertanggungjawaban lingkungan
kepada publik. Teori stakeholder dan teori legitimasi dapat digunakan sebagai
dasar perlunya pengungkapan aspek lingkungan dalam laporan keuangan
perusahaan.
2.1.1.1 Teori Stakeholder
Dalam teori stakeholder, sebuah perusahaan tidak hanya beroperasi untuk
kepentingan bisnisnya sendiri, namun juga kepada keberlangsungan pihak-pihak
lain yang terkait dengan perusahaan tersebut (stakeholder). Dengan demikian,
keberhasilan operasional suatu perusahaan bergantung pada kepedulian
perusahaan tersebut terhadap pemangku kepentingannya (Ghazali dan Chariri,
2007).
Freeman dan Reed (1983) dalam Freeman (1993) menyatakan bahwa
dalam stakeholder, terdapat dua pengertian. Pengertian yang pertama adalah
stakeholder dalam arti sempit, yakni pihak-pihak yang mempunyai peran vital dan
9
Universitas Bakrie
memengaruhi keberlanjutan suatu organisasi dalam usaha mencapai
kesuksesannya. Dalam pengertian yang kedua, atau dalam arti luas, stakeholder
didefinisikan sebagai pihak-pihak yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu
organisasi. Gambar 2.1 di bawah ini menunjukkan hubungan suatu organisasi
dengan stakeholder-nya, yang oleh Freeman (1993) disebut masih konvensional.
Gambar 2.1 Stakeholder Model of the Corporation
Sumber: Freeman, R. E. (1993). Stakeholder Theory of the Modern Corporation. New York:
Columbia University Press.
Selanjutnya, Freeman (1993) mengajukan konsep teori stakeholder dalam
korporasi modern (stakeholder theory of the modern corporation). Pada batasan
ini, nilai-nilai normatif dimasukkan ke dalam teori stakeholder. Nilai-nilai
normatif ini meliputi doctrain of fair contracts, feminist standpoint theory, dan
ecological principles. Doctrain of fair contracts merupakan pandangan yang
masih berkaitan dengan konsep stakeholder konvensional, atau masih dalam
kerangka bisnis secara umum. Feminist standpoint theory mengajukan
pemahaman bahwa setiap perusahaan harus senantiasa memerhatikan value-
creating activity, sehingga mampu menciptakan rasa peduli kepada sosial.
Ecological principles memasukkan unsur lingkungan ke dalam konsep teori
stakeholder, karena menurut Mark Starik dalam Freeman (1993), salah satu
10
The Corporation
Management
Local Communities
Customers
Employees
Suppliers
Owners
Universitas Bakrie
landasan dasar diperlukannya teori stakeholder adalah karena perusahaan
mengesampingkan aspek lingkungan dalam setiap kegiatan bisnisnya. Ketiga
konsep ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Tiga Konsep Pokok dalam Teori Stakeholder Modern
Corporations ougth to be governed...
Managers ought to act...
The value disciplines of “value
creation” are...Doctrine of fair contracts
...in accordance with the six principles.
...in the interests of stakeholders.
-business theories-theories that explain stakeholder behavior
Feminist standpoint theory
...in accordance with the principles of caring/connection and relationships.
...to maintain and care for relationships and networks of stakeholders.
-business theories-feminist theory-social science understanding of networks
Ecological principles
...in accordance with the principles of caring for the earth.
...to care for the earth.
-business theories-ecology-other
Sumber: Freeman, R. E. (1993). Stakeholder Theory of the Modern Corporation. New York:
Columbia University Press.
Dengan demikian, lingkungan merupakan salah satu aspek bisnis yang
tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Perusahaan mempunyai kepentingan terhadap
lingkungannya, khususnya tempat perusahaan itu melakukan kegiatannya.
Hal ini sama dengan konsep triple bottom line yang sekarang ini menjadi
perhatian utama setiap perusahaan. Organisasi asal Inggris, SustainAbility, dalam
Holmes (2002) menjelaskan triple bottom line sebagai konsep yang
mengupayakan perusahaan untuk tidak hanya fokus pada usaha pencarian
keuntungan semata, namun juga kepada sosial dan lingkungannya. Hal ini
menjadi penting karena konsep ini akan mengubah suatu perusahaan menjadi
perusahaan yang mempunyai sustainalibity yang bagus. Hal ini diperkuat dengan
adanya teori legitimasi yang diajukan oleh beberapa pakar (yang akan dijelaskan
pada subbab selanjutnya).
Dalam ilmu manajemen strategik, Barney dan Hesterly (2010) juga
menjelaskan bahwa kemauan dan kemampuan suatu perusahaan dalam
mempertahankan lingkungan sekitarnya merupakan strategi perusahaan yang
11
Universitas Bakrie
ditempuh sebagai salah satu cara untuk meningkatkan citra perusahaan di mata
publik. Dengan meningkatnya citra perusahaan di mata publik, maka perusahaan
akan memiliki akses yang lebih besar untuk mendapatkan konsumen, sehingga
pendapatan perusahaan pun juga akan ikut meningkat.
2.1.1.2 Teori Legitimasi
Suchman (1995) dalam Tilling (2004) memberikan definisi legitimasi
sebagai berikut ini: “Legitimacy is a generalized perception or assumption that
the actions of an entity are desirable, proper, or appropriate within some socially
constructed system of norms, values, beliefs, and definitions.”
Beberapa ahli juga memberikan batasan terkait legitimasi, seperti oleh
Matthew (1993) dan Hybels (1995). Matthew (1993) menjelaskan posisi suatu
organisasi dengan legitimasi yang akan diterimanya sebegai berikut:
“Organisations seek to establish congruence between the social
values associated with or implied by their activities and the norms
of acceptable behaviour in the larger social system in which they
are a part. In so far as these two value systems are congruent we
can speak of organisational legitimacy. When an actual or
potential disparity exists between the two value systems there will
exist a threat to organisational legitimacy.”
Sama halnya seperti Suchman (1995) dan Matthew (1993), Hybels (1995)
memberikan penjelasan mengenai legitimasi dengan lebih detail sebagai berikut:
“Legitimacy often has been conceptualized as simply one of many
resources that organizations must obtain from their environments.
But rather than viewing legitimacy as something that is exchanged
among institutions, legitimacy is better conceived as both part of
the context for exchange and a by-product of exchange. Legitimacy
itself has no material form. It exists only as a symbolic
representation of the collective evaluation of an institution, as
evidenced to both observers and participants perhaps most
convincingly by the flow of resources. … resources must have
symbolic import to function as value in social exchange. But
12
Universitas Bakrie
legitimacy is a higher-order representation of that symbolism – a
representation of representations.”
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan umum
bahwa teori legitimasi menyatakan suatu perusahaan membutuhkan legitimasi
(pengakuan dari pihak lain) terkait dengan usaha yang dilakukannya agar
perusahaan tersebut mampu menjalankan operasinya secara berkelanjutan. Untuk
mndapatkan legitimasi ini, suatu perusahaan harus melakukan berbagai tindakan
seperti melaksanakan peraturan, baik yang ditentukan oleh peemrintah maupun
masyarakat setempat, hingga kegiatan yang berhubungan dengan konservasi
lingkungan. Dengan demikian, suatu perusahaan akan mendapatkan legitimasi
sehingga dapat menjalankan usahanya dengan lancar.
2.1.2 Ruang Lingkup Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu aspek yang senantiasa harus
diperhatikan oleh organisasi maupun akuntan. Alasan mengapa organisasi dan
akuntan harus memerhatikan lingkungan adalah karena banyak para stakeholder
perusahaan baik dari sisi internal maupun eksternal menunjukkan peningkatan
kepekaannya terhadap kinerja lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan,
khususnya perusahaan sektor swasta. Hal ini menyebabkan adanya tekanan
lingkungan pada perusahaan. Tekanan lingkungan ini sebenarnya menjadi peluang
yang baik bagi perusahaan untuk menciptakan stratagi yang baru serta mendorong
efisiensi biaya untuk mengelola dan meminimalisasi dampak lingkungan. Secara
internasional, tekanan lingkungan yang ada meliputi beberapa hal berikut ini,
seperti dikutip dari Ikhsan (2009):
1. Tekanan supply chain, seperti perusahaan besar yang mengharuskan
peralatan mereka sesuai dengan standar sistem manajemen lingkungan
(SML) berlandaskan pada standar organisasi internasional.
2. Tekanan pengungkapan dari berbagai stakeholder terhadap perusahan-
perusahaan untuk melaporkan kinerja lingkungan publik mereka pada akun
keuangan tahunan dan pelaporan atau dalam pengungkapan laporan kinerja
lingkungan perusahaan, sebagai contoh lewat Guidelines of the Global
Reporting Initiative; contoh lainnya adalah tekanan keuangan lewat
13
Universitas Bakrie
worldwide growth of socially responsible investment (SRI) funds, sistem
rating investasi seperti the Dow Jones Sustainability Index dan kebijakan
yang mengharuskan pengungkapan investasi.
3. Tekanan pengendalian regulasi, sebagai contoh the RoHS Directive, a
European Union regulation yang secara langsung digunakan pada subtansi
hazardous tertentu dalam peralatan listrik dan elektrik yang dijual di
Eropa.
4. Tekanan pajak lingkungan, sebagai contoh, pemerintah mengenakan pajak
terkait lingkungan seperti pajak karbon, pajak penggunaan energi, pajak
tanah, dan pembayaran emisi lainnya.
5. Tekanan cap dan perdagangan, seperti cap emisi dan aspek perdagangan
dari Protokol Kyoto.
Pada dasarnya, lingkungan, baik itu udara (armosfer), air (hidrosfer), tanah
(litosfer), maupun organisme (biosfer), merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebagai contohnya, suatu kejadian pada lingkungan tanah dapat
berdampak pada lingkungan air, dan begitu seterusnya hingga membentuk suatu
siklus. Elemen-elemen lingkungan tersebut tidak dapat dipisahkan secara mutlak
karena merupakan suatu kesatuan ekosistem (Soemirat, 2011).
Manusia sebagai salah satu faktor yang berperan penting dalam
lingkungan, mengambil peran yang signifikan bagi keberlanjutan lingkungan.
Bagaimanapun juga, manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan untuk setiap
kegiatan yang dilakukannya. Perkermbangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diprakarsai oleh manusia menciptakan hubungan yang semakin serius antara
manusia dengan lingkungan. Suatu pola hubungan timbal balik antara
pembangunan yang dilakukan oleh manusia dengan lingkungan dapat dilihat
dalam Gambar 2.2 berikut (Soemirat, 2011).
14
Universitas Bakrie
Gambar 2.2 Hubungan Timbal Balik Lingkungan dan Pembangunan
Sumber: Soemirat, J. (2011). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Pemerintah Indonesia juga mempunyai berbagai program lingkungan yang
dirancang untuk dapat mengakomodasi keperluan di masa mendatang. Program-
program yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, serta dikoordinasikan oleh
Bapedal meliputi (Ikhsan, 2009):
1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
2. Program Kali Bersih (PROKASIH)
3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
4. ADIPURA
5. Produksi Bersih (PRODUKSIH)
6. Program Penilaian Kinerja Lingkungan (PROPER)
7. Pengembangan Audit Lingkungan
8. Pengendalian Dampak Skala Kecil
9. Pengendalian Kerusakan Lingkungan
10. Pengendalian Pencemaran Kerja
11. Pengendalian Pencemaran Laut dan Pesisir
12. Pembinaan Laboratorium Lingkungan
15
ManusiaFloraFauna
Teknologi
Limbah
Barang
Jasa
Limbah
Kesejahteraan Masyarakat
dan Keseimbangan
Lingkungan
Universitas Bakrie
13. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan di Bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan
14. Ekolabel
15. Sistem Informasi Bapedal
16. Pengembangan Instrumen-Instrumen Ekonomi
2.1.2.1 Lingkungan Udara (Atmosfer)
Atmosfer adalah lingkungan udara, yakni udara yang melingkupi planet
Bumi ini, dan mempunyai mempunyai komposisi yang didominasi oleh nitrogen
(N2) dan oksigen (O2) serta beberapa kandungan gas lain dalam komposisi yang
lebih sedikit, seperti air (H2O) dan karbondioksida (CO2) (Soemirat, 2011;
Ahrens, 2009). Atmosfer memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup
manusia karena di dalamnya terdapat gas oksigen yang digunakan untuk bernapas.
Karena atmosfer ini adalah udara, maka manusia tidak dapat melihat gas, namun
bisa merasakan gerakan udara dalam bentuk angin (Ahrens, 2009).
Struktur komposisi gas yang membentuk atmosfer, khususnya yang dekat
dengan permukaan Bumi dapat dilihat dari Tabel 2.2 berikut ini (Ahrens, 2009).
16
Universitas Bakrie
17
Universitas Bakrie
2.1.2.1.1 Kerusakan Lingkungan Udara
Sebagai lingkungan yang berinteraksi langsung dengan kegiatan manusia,
atmosfer sangat rentan terhadap pencemaran yang dilakukan oleh manusia.
Sebagai salah satu contohnya, saat ini lapizan ozon (lapizan yang mengabsorbsi
sebagian sinar ultraviolet dan secara tidak langsung mengubahnya menjadi panas;
lapisan ozon merupakan lapisan udara yang berada pada lapisan stratosfer, satu
lapisan di atas lapisan troposfer, dan di bawah mesosfer dan termosfer) di
Antartika telah menipis sebesar 90%. Penipisan yang signifikan ini diperkirakan
mempunyai luas sebesar daratan Amerika Serikat, dan dikenal dengan lubang
ozon (ozone hole). Dengan demikian, jumlah sinar ultraviolet yang sampai ke
permukaan Bumi menjadi semakin banyak (Rowland, 1987, dalam Soemirat,
2011).
Penyebab utama penipisan pada lapisan ozon ini adalah Chloro-Fluoro-
Carbon (CFC) yang sintetis. CFC mulai diproduksi pada tahun 1920 dan
digunakan oleh sektor industri sejak tahun 1930. Beberapa jenis CFC yang sering
digunakan adalah sebagai berikut (Soemirat, 2011):
1. CFC12 banyak digunakana sebagai zat pendingin lemari es dan pendingin
ruangan (air conditioner).
2. CFC11 yang dipakai dalam proses busa pada pembuatan karet busa, baik
yang lunak maupun yang keras.
3. CFC13 yang digunakan sebagai pembersih peralatan elektronik karena
kemampuannya untuk memasuki celah-celah yang kecil dan melarutkan
minyak.
4. Kombinasi CFC11 dan CFC12 yang digunakan dalam aerosol.
Selain itu, terdapat pula beberapa zat kimia yang menjadi pencemar udara.
Beberapa zat itu antara lain (Soemirat 2011): sulfur dioksida (SO2) yang
bersumber dari gunung api, pembusukan bahan organik oleh mikroba, dan reduksi
sulfat secara biologis; nitrogen oksida (N2O) yang berasal dari proses
pembakaran, khususnya pembakaran pada kendaraan bermotor; karbon
monoksida (CO) yang berasal dari pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-
bahan yang mengandung karbon atau oleh pembakaran di bawah temperatur dan
tekanan tinggi seperti yang terjadi dalam mesin (internal combustion engine);
18
Universitas Bakrie
hidrogen sulfida (H2S) yang berasal dari gunung berapi dan dekomposisi zat
organik; hidrokarbon yang berasal dari hampir setiap kegiatan serta proses alami
yang dilakukan oleh manusia. Selain itu terdapat pula partikulat, jelaga,
mikroorganisme, dan kebisingan yang sama-sama mampu mengurangi kualitas
udara.
Beberapa bencana pencemaran udara yang terkenal di dunia antara lain
dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah ini:
Tabel 2.3 Bencana Udara Terkenal di Dunia
Lokasi Sumber/Jenis Pencemar
Jumlah Penderita/Kematia
n
Kelainan
Meuse Valley, Belgia, 1930
Industri baja, dll/ SO2, F, Oksida
6000/60 Peradangan jaringan paru-paru
Yokohama, Jepang, 1946
Industri, pemanas rumah
Tidak diketahui Asthma, Emphysema
Donora, USA, 1949
Logam, debu industri baja, dll/ SO2, sulfat
5910/20 Kelainan jaringan paru-paru
London, Inggris, 1952
Industri, pemanas rumah
Tidak diketahui/4000 Kelainan jaringan paru-paru
New York, USA, 1953
Industri, kendaraan bermotor, pemanas rumah
Morbiditas naik/165 Kelainan paru-paru dan jantung
Poza Rica, Mexico, 1950
Kilang minyak 320/22 Kelainan paru-paru, susunan saraf pusat
New Orleans, USA, 1955
Industri gandum 200 per hari/2 Asthma
Sumber: Purdom, (1971), Setrn, (1977), dan Soemirat (2011) dalam Soemirat (2011)
2.1.2.1.2 Pengelolaan Lingkungan Udara
Setiap ada pembicaraan mengenai kebersihan kualitas udara maupun
pencemaran udara, terdapat tiga kelompok manusia, yaitu, (i) mereka yang selalu
menginginkan udara bersih, (ii) mereka yang ingin memanfaatkan udara dengan
kapasitas membersihkan dirinya (self purification process), sebagai tempat untuk
19
Universitas Bakrie
membuang segala sesuatu yang dapat dimasukkan ke dalam atmosfer, sampai
terjadi efek buruk yang nyata, (iii) dan mereka yang baru saja mengerti tentang
baik-buruknya kedua pendapat di atas (masyarakat luas). Oleh karena itu,
diperlukan suatu kesepakan bersama dalam melakukan pengelolaan udara
(Soemirat, 2011).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dikenal sebagai peraturan
mengenai pengelolaan lingkungan secara umum. Terkait dengan udara, Lampiran
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 memberikan
standar khusus untuk beberapa parameter zat kimia tertentu. Standar tersebut
dikenal dengan istilah baku mutu udara. Dengan diberlakukannya baku mutu ini,
maka berarti bahwa unsur-unsur yang melebihi standar akan disebut tercemar, dan
bukan lagi terkotori, sehingga tidak akan terjadi lagi gangguan kesehatan terhadap
manusia, hewan, dan tumbuhan karena kadar berbagai zat yang tidak terlampaui
(Soemirat, 2011).
Selain itu, sarana dan prasarana juga diperlukan sebagai fasilitas untuk
dapat mengendalikan kualitas udara, termasuk pula alat-alat pembersih gas buang.
Alat-alat pembersih gas buang sekarang sudah banyak tersedia, antara lain filter,