26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Bank Syariah 2.1.1.1 Pengertian Bank Syariah Kata syariah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata syara’a, yang berarti jalan, cara, dan aturan. Syariah digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, syariah dimaksudkan sebagai seluruh ajaran dan norma-norma yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek kepercayaan maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Sedangkan dalam arti sempit, syariah merujuk pada aspek praktis (amaliah) dari syariah dalam arti luas, yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku konkret manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazim diidentikkan dan diterjemahkan sebagai hukum islam. Jadi “bank syariah” adalah bank yang melakukan kegiat an usaha perbankan berdasarkan “prinsip syariah” (Wangsawidjaja, 2012). Menurut muhammad (2013:5) Bank Syariah didefinisikan sebagai berikut: ”Bank Syariah merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan aturan-aturan ekonomi islami”.
45
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …repositori.unsil.ac.id/27/8/BAB II.pdf · 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Bank Syariah
2.1.1.1 Pengertian Bank Syariah
Kata syariah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata syara’a, yang berarti
jalan, cara, dan aturan. Syariah digunakan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti
luas, syariah dimaksudkan sebagai seluruh ajaran dan norma-norma yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw, yang mengatur kehidupan manusia baik dalam aspek
kepercayaan maupun dalam aspek tingkah laku praktisnya. Sedangkan dalam arti
sempit, syariah merujuk pada aspek praktis (amaliah) dari syariah dalam arti luas,
yaitu aspek yang berupa kumpulan ajaran atau norma yang mengatur tingkah laku
konkret manusia. Syariah dalam arti sempit inilah yang lazim diidentikkan dan
diterjemahkan sebagai hukum islam. Jadi “bank syariah” adalah bank yang
melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan “prinsip syariah”
(Wangsawidjaja, 2012).
Menurut muhammad (2013:5) Bank Syariah didefinisikan sebagai berikut:
”Bank Syariah merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk
menegakkan aturan-aturan ekonomi islami”.
27
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah adalah sebagai berikut:
“Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Menurut Karnaen A. Perwata Atmaja dan Syafi’i Antonio (1992) dalam
Syukri Iska (2012: 50) , bank syariah memiliki dua pengertian yaitu:
a) Bank yang beroperasi dengan asas-asas syariah islam
b) Bank yang beroperasi mengikuti aturan dan tata cara yang ada pada Al-
Qur’an dan Hadis.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah tidak
jauh berbeda dengan pengertian bank pada umunya. Perbedaan di antara
keduanya, hanya terletak pada asas operasional yang digunakannya.
2.1.1.2 Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Lahirnya bank syariah pertama di Indonesia, yaitu ditandai dengan lahirnya
Bank Muamalat Indonesia sebelum lahirnya undang-undang yang memungkinkan
pendirian bank yang sepenuhnya melakukan kegiatan yang berdasarkan prinsip
Syariah. Bank Muamalat Indonesia lahir pada tahun 1991 sebelum dibuatnya
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun
1992, dimungkinkan bagi bank untuk melakukan kegiatan usahanya bukan
berdasarkan bungan tetapi berdasarkan bagi hasil. Setelah Undang-Undang No.7
Tahun 1992 diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara tegas
disebutkan dimungkinkannya pendirian bank berdasarkan Prinsip Syariah dan
28
dimungkinkannya pendirian bank konvensional untuk memiliki Islamic windows,
dengan mendirikan unit usaha syariah. Sejak waktu itu, Indonesia menganut dual
banking system, yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan
syariah. Setelah diundangkannya Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tersebut,
yaitu setelah diberikannya dasar hukum yang lebih kuat bagi eksistensi sistem
perbankan syariah, maka perbankan syariah di Indonesia makin berkembang
pesat. Di antara tahun 1998 sampai 2001,sistem perbankan syariah berkembang
jumlah asetnya lebih dari 74% per tahun (Remy Sjahdeini, 2014:79).
2.1.1.3 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Masyarakat perlahan- lahan mulai mengenal dengan jelas tentang perbedaan
antara bank syariah dan konvensional, yaitu terutama pada sistem bunga
(interest). Artinya, bank konvensional menerapkan sistem bunga sebagai imbal
hasilnya, sedangkan bank syariah menerapkan bagi hasil (Irham Fahmi, 2015:26).
Ada perbedaan pandangan yang begitu jelas dalam memahami persoalan
perbankan konvensional dengan perbankan syariah yaitu pada persoalan bunga
(interest). Menurut Kamal Khir, Lokesh Gupta dan Bala Shanmugam (2008)
mengenai Bank islam dan Bank konvensional, merupakan lembaga keuangan
pencari laba, namun dilarang berusaha dengan riba dan terlibat dengan
perdagangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Perbedaan antara
kedua bank tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
29
Tabel.2.1
Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Bank Syariah Bank Konvensional
Melakukan investasi-investasi yang
halal saja.
Investasi yang halal dan haram.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual-
beli, atau sewa.
Memakai perangkat bunga.
Profit dan falah oriented. Profit oriented.
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan kemitraan.
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan debitor-debitor.
Penghimpun dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah
Tidak terdapat dewan sejenis.
Sumber: Antonio (2001)
2.1.1.4 Prinsip Perbankan Syariah
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.10 tahun 1998 tentang
perubahan atas undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Bab 1
dan Pasal 1 serta ayat 13 dijelaskan bahwa, Prinsip Syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk
menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan esuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
30
Menurut Irfan fahmi (2015:30), ada tiga prinsip dalam operasional bank
syariah yang berbeda dengan bank konvensional, terutama dalam pelayanan
terhadap nasabah, yang harus dijaga oleh para bankir, yaitu:
1. Prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin
keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah,
2. Prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dana, pengguna dana dan
bank memiliki hak, kewajiban, beban resiko dan keuntungan yang
berimbang, dan
3. Prinsip ketentraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan
kaidah muamalah Islam (bebas riba dan menerapkan zakat harta).
2.1.1.5 Produk operasional Bank Syariah
Secara garis besar, produk bank syariah diikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Produk Penghimpun Dana
2. Produk Penyaluran Dana
Produk Penghimpun Dana
Dalam menjalankan fungsi penghimpunan dana disini perbankan syariah
menerapkan dua prinsip, yaitu:
1) Prinsip Wadi’ah
Dalam prinsip Wadi’ah nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan
dana dan bank bertindak sebagai peminjam.
31
2) Prinsip Mudharabah
Aplikasi prinsip ini adalah bahwa pihak pertama (pemilik dana/Shahibul
maal) bertindak sebagai penyedia seluruh dana, sedangkan pihak kedua
(pengelola dana/madharib) bertindak sebagai pengelola. Dana ini
digunakan bank melakukan pembiayaan akad jual beli atau syirkah.
Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya
ditanggung oleh pemilik dana (Irfan Fahmi, 2015:39).
Produk Penyaluran Dana
Adapun bagian penyaluran dana (financing) yang memiliki hubungan kuat
dengan pembiayaan dimana ada beberapa ketentuan yang harus dipahami. Dalam
menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan
syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya (Irfan Fahmi, 2015: 39), yaitu:
1) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan
dengan prinsip jual beli (murabahah)
2) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dan dilakukan
dengan prinsip sewa (Ijarah)
3) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerjasama yang ditujukan
guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
32
2.2 Leverage
2.2.1 Pengertian Leverage
Menurut Dewi (2004:35) leverage adalah hutang sumber dana yang
digunakan perusahaan untuk membiayai asetnya diluar sumber dana modal atau
ekuitas. Untuk mendanai operasional perusahaan yang terus meningkat, kerapkali
perusahaan memakai dana pinjaman yang dikenal dengan leverage keuangan.
Leverage keuangan adalah penggunaan pembiayaan dengan hutang.
Sam’ani (2008) menjelaskan bahwa leverage merupakan hutang sumber
dana yang digunakan perusahaan untuk membiayai asetnya diluar sumber dana
modal atau ekuitas. Leverage dibagi menjadi dua yaitu leverage operasi
(operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Leverage
operasi adalah suatu indikator perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh
besarnya volume penjualan sedangkan leverage keuangan menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan equity yang dimilikinya.
2.2.2 Jenis-jenis Leverage
Leverage ada tiga macam yaitu Operating Leverage, Financial Leverage
dan Combination Leverage. Berikut penjelasan dari masing-masing leverage
tersebut:
2.2.2.1 Leverage Operasi (Operating Leverage)
Menurut Kamaruddin Ahmad (2014: 77) Leverage adalah pengungkit,
pengumpil atau pencuil. Dalam teknologi bisnis berarti mengangkat penjualan
relatif kecil untuk mendapatkan laba yang tinggi.
33
Menurut Syamsuddin (2011: 107) Operating Leverage didefinisiakan
sebagai kemampuan perusahaan dalam menggunakan “Biaya Operasi Tetap”
untuk memperbesar pengaruh perubahan volume penjualan atau EBIT.
Formula untuk mengukur tingkat Leverage Operasi:
DOL (Degree of Operating Leverage) =
atau, DOL pada penjualan tertentu =
Menurut Kamaruddin Ahmad (2014: 77) selain pengukuran diatas
leverage operasi juga mempunyai pengaruh negatif, yaitu “resiko operasi”.
Maksudnya perusahaan dengan biaya operasi tetap yang tinggi akan mempunyai
tingkat laba operasi dan BEP yang tinggi pada volume yang tinggi, dibandingkan
dengan perusahaan yang “Biaya Operasi Tetap”nya rendah. Namun penurunan
penjualan sedikit juga, akan mempengaruhi laba operasi cukup besar
dibandingkan dengan perusahaan dengan biaya operasi tetap yang relatif rendah.
2.2.2.2 Leverage Keuangan (Financial Leverage)
Financial Leverage adalah pengukuran sumber dana yang memiliki beban
tetap dengan beranggapan bahwa akan memberikan tambahan keuntungan yang
lebih besar daripada beban tetapnya sehingga akan meningkatkan keuntungan
yang tersedia bagi pemegang saham (Agus Sartono, 2014: 263).
Leverage keuangan ini timbul karena kewajiban-kewajiban yang sifatnya
tetap (Kamaruddin Ahmad, 2014: 78).
a) Bunga atas utang/pinjaman;
b) Dividen saham preferen
34
Formula Tingkat leverage keuangan:
DFL (Degree of Financial Leverage) =
DFL pada tingkat penjualan tertentu =
2.2.2.3 Leverage Gabungan (Combination Leverage)
Menurut Lukman Syamsuddin (2011: 121) Combination Leverage adalah
kemampuan perusahaan dalam menggunakan biaya tetap, baik biaya-biaya tetap
operasi maupun biaya-biaya tetap finansial untuk memperbesar pengaruh
perubahan volume penjualan terhadap pendapatan per lembar saham biasa (EPS).
Kombinasi leverage terjadi apabila perusahaan memiliki baik leverage
operasi maupun leverage keuangan dalam usahanya untuk meningkatkan
keuntungan bagi pemegang saham.
Formula Tingkat Kombinasi leverage:
DCL= DOL × DFL
2.2.3 Rasio Leverage
Rasio leverage adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam membayar hutang-hutangnya. Rasio leverage
digunakan kuntuk menjelaskan penggunaan utang untuk membiayai sebagian
daripada aktiva korporasi (Bambang Riyanto, 2010 :331). Dalam perbanakan
rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi
kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi bank (Mulyono, 2000 :97).
35
Dalam bisnis perbankan, sebagian dana yang ada dalam suatu bank berasal
dari simpanan masyarakat, baik berupa giro, tabungan ataupun deposito. Dengan
demikian, hanya sebagian kecil saja dana yang berasal dari deposan (penyimpan
dana), pada umumnya bank juga bisa memperoleh pinjaman dari lembaga-
lembaga perbankan, baik dalam maupun luar negeri, serta pinjaman dari Bank
Indonesia, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), dan fasilitas lainnya (Gading: 2011).
Menurut Jumingan (2006: 227) dengan mengetahui rasio leverage dapat
menilai tentang:
a. Posisi perusahaan terhadap seluruh kewajibannya kepada pihak lain.
b. Kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban bersifat tetap.
c. Keseimbangan antara nilai aktiva tetap dengan modal.
Menurut Agnes (2001:13) rasio pengukuran Debt to Equity Ratio (DER)
adalah rasio menggambarkan perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan
perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut
untuk memenuhi seluruh kewajiban. Debt to Equity Ratio (DER), yaitu rasio yang
digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menutup sebagian atau
seluruh hutang-hutangnya, baik jangka panjang maupun jangka pendek, dengan
dana yang berasal dari dana bank sendiri. Rasio hutang terhadap ekuitas adalah
suatu upaya untuk memperlihatkan, dalam format lain, proporsi relatif dari klaim
pemberi pinjaman terhadap hak kepemilikan dan digunakan sebagai ukuran
peranan hutang (Halfert, 1997:98) dalam penelitian Gading (2011).
36
Formulasi dari Debt to Equity Ratio adalah sebagai berikut:
Semakin tinggi rasio ini maka akan menunjukkan kinerja yang buruk bagi
perusahaan. Maka perusahaan harus berusaha agar DER bernilai rendah atau
berada di bawah standar industri yaitu 90% (Kasmir, 2008:164).
Menurut penelitian Gading (2011), sektor perbankan yang sebagian besar
operasi usahanya ditopang oleh hutang dari penyimpan (antara lain : tabungan,
deposito masyarakat), keberadaan hutang bagi bank dapat menimbulkan masalah
yang cukup serius. Hal ini disebabkan oleh keputusan-keputusan keuangan akan
diambil oleh pemilik (lewat pihak manajemen yang diangkat oleh pemilik)
sedemikian rupa sehingga apabila keputusan tersebut ternyata bekerja dengan
baik, maka manfaatnya akan dinikmati oleh seluruh pemilik perusahaan, tetapi
bila gagal, pemberi kredit (dalam industri perbankan, para penyimpan) diminta
untuk ikut menanggung kerugian tersebut.
2.2.3 Tujuan dan manfaat Leverage
Tujuan dari rasio leverage menurut Kasmir (2012: 153) adalah:
1. Untuk mengetahui posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada pihak
lain;
2. Untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang
bersifat tetap seperti angsuran pinjaman termasuk bunga;
3. Untuk menilai keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap
terhadap modal;
DER = H
d S d x 100%
37
4. Untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang;
5. Untuk menilai seberapa besar pengaruh hutang perusahaan terhadap
pengelolaan aktiva;
6. Untuk menilai atau mengukur seberapa bagian dari setiap rupiah modal
sendiri yang dijadikan jaminan hutang jangka panjang; dan
7. Untuk menilai berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih, terdapat
sekian kalinya modal sendiri yang dimiliki.
Menurut Lukman (2014) Manfaat dari penggunaan leverage dalam
perusahaan adalah:
1) Untuk memungkinkan perusahaan agar mengkhususkan pengaruh suatu
leverage dalam jumlah penjualan atas laba bagi pemegang saham biasa.
2) Memungkinkan perusahaan untuk menunjukkan hubungan ssatu sama lain
antara pengaruh operasi dan pengaruh keuangan.
38
2.3 Good Corporate Governance
2.3.1 Definisi Good Corporate Governance (GCG)
Definisi Good Corporate Governance menurut Irfan Fahmi (2014: 286)
adalah sebagai berikut:
“Good Corporate Governance (GCG) adalah sesuatu bentuk keputusan
dengan memposisikan perusahaan secara jauh lebih tertata dan terstruktur,
dengan mekanisme pekerjaan yang bersifat mematuhi aturan-aturan bisnis
yang telah digariskan serta siap menerima sanksi jika aturan-aturan
tersebut dilanggar.”
Good Corporate Governance (GCG) menurut Amir dan Rukmana
(2010:77) adalah sebagai berikut:
“Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu proses dan
struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan
akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder lain.”
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang
pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah
(UUS) menyatakan bahwa Good Corporate Governance (GCG) adalah suatu tata
kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy),