6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Pengelolaan Obat Manajemen rumah sakit sangat penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan secara keseluruhan adalah pengelolaan obat yang diorganisasikan dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek keamanan, efektif, dan ekonomis dalam penggunaan obat sehingga dapat dicapai efektivitas dan efisiensi pengelolaan obat. Hal ini merupakan konsep utama yang digunakan untuk mengukur prestasi kerja manajemen. Instalasi farmasi rumah sakit adalah unit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit. Pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola instalasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Laporan dari berbagai rumah sakit menyatakan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan keuntungan dari jasa lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, manajemen obat di rumah sakit sangat penting untuk dilakukan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit (Satibi, 2014). Manajemen obat merupakan rangkaian kegiatan rumah sakit yang meliputi tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang masing-masing tahap merupakan suatu rangkaian yang terkait. Ketidakterkaitan antara masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, sehingga akan mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Obat-
32
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Pengelolaan Obatrepository.setiabudi.ac.id/3456/1/BAB II.pdf · jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah pengumpulan dan pengolahan data,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Pengelolaan Obat
Manajemen rumah sakit sangat penting dalam penyediaan pelayanan
kesehatan secara keseluruhan adalah pengelolaan obat yang diorganisasikan
dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek
keamanan, efektif, dan ekonomis dalam penggunaan obat sehingga dapat dicapai
efektivitas dan efisiensi pengelolaan obat. Hal ini merupakan konsep utama yang
digunakan untuk mengukur prestasi kerja manajemen. Instalasi farmasi rumah
sakit adalah unit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada
pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang
beredar dan digunakan di rumah sakit.
Pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar dalam anggaran
obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola
instalasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Laporan dari
berbagai rumah sakit menyatakan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di
rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan
keuntungan dari jasa lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun
pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, manajemen obat di rumah sakit sangat
penting untuk dilakukan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat
bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien
sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan
rumah sakit (Satibi, 2014).
Manajemen obat merupakan rangkaian kegiatan rumah sakit yang meliputi
tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang
masing-masing tahap merupakan suatu rangkaian yang terkait. Ketidakterkaitan
antara masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak
efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, sehingga akan
mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta
dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Obat-
7
obatan yang secara medis diperlukan sesuai dengan keadaan pola penyakit
setempat, terbukti secara ilmiah bahwa obat tersebut bermanfaat dan aman untuk
dipakai di rumah sakit yang bersangkutan. Manajemen obat di rumah sakit adalah
agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang
cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung
pelayanan yang bermutu. Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi
utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi
selanjutnya (Liliek, 1998 dalam Satibi, 2014).
Keberhasilan pengelolaan obat rumah sakit tergantung pada kompetensi
dari manajemen rumah sakit. Fungsi manajemen yaitu mengelola obat dengan
mengidentifikasi, merencanakan pengadaan, pendistribusian agar dapat berjalan
dengan efektif dan efisien (Febriawati, 2013).
Quick, et al (2012), mengatakan siklus manajemen obat mencakup empat
tahap yaitu: 1) selection (seleksi), 2) procurement (pengadaan), 3) distribution
(distribusi), dan 4) use (penggunaan). Masing-masing tahap dalam siklus
manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-
masing dapat dikelola secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus
manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar
kegiatan berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat
terjamin yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan
rumah sakit yang potensial. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor
pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi,
administrasi dan keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber
Daya Manusia (SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu
didukung oleh keempat management support tersebut sehingga pengelolaan obat
dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus manajemen obat dapat
digambarkan pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quick, et al. 2012)
1. Selection (Seleksi)
Seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat
karena melalui seleksi akan tercermin berapa banyak item obat yang akan
dikonsumsi di masa yang akan datang (Quick, et al. 2012). Kepmenkes RI Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
menyebutkan bahwa pemilihan merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau
masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi,
bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat
esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan
seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi
pembelian.
WHO (1993), menyusun pedoman proses seleksi obat yang meliputi: (a)
Memilih obat yang tepat dan terbukti efektif serta merupakan drug of choice, (b)
Memilih seminimal mungkin obat untuk suatu jenis penyakit, mencegah
duplikasi, (c) Melakukan monitoring kontra-indikasi dan efek samping obat secara
cermat untuk mempertimbangkan penggunaannya, (d) Biaya obat, yang secara
klinik sama harus dipilih yang termurah, (e) Menggunakan obat dengan nama
generik.
9
Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan
RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu
pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi,
Formularium dan Pedoman Pengobatan. Formularium dapat diartikan sebagai
daftar produk obat yang digunakan untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan
tertentu. Formularium merupakan referensi yang berisi informasi yang selektif
dan relevan untuk dokter penulis resep, penyedia/peracik obat dan petugas
kesehatan lainnya. Pedoman pengobatan yaitu standar pelayanan medis yang
merupakan standar pelayanan rumah sakit yang telah dibakukan bertujuan
mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal, melalui prosedur dan tindakan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pedoman pengobatan sebagai panduan tenaga
medis dalam memberikan pelayanan medis, yang diharapkan pengobatan menjadi
rasional (Satibi, 2014).
Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, Formularium
RS, Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon
Harga obat (DPHO), Askes dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan dari data
pemakaian oleh pemakai, standar ISO, daftar harga alat, daftar harga alat
kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang
ditetapkan oleh rumah sakit (Depkes, 2010c).
2. Procurement (Perencanaan dan Pengadaan)
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan bahwa perencanaan merupakan
proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang
sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-
dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,
kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia.
10
Metode yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan obat (Quick et al,
2012 dan Depkes, 2010a) meliputi:
a. Metode Konsumsi
Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian
dan koreksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menghitung
jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah pengumpulan dan
pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan
perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian jumlah kebutuhan
perbekalan farmasi dengan alokasi dana.
b. Metode Morbiditas/Epidemiologi
Dinamakan metode morbiditas karena dasar perhitungan adalah jumlah
kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan
(morbidity load) yang harus dilayani. Metode morbiditas adalah perhitungan
kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan
kunjungan, dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam metode ini
adalah menentukan jumlah pasien yang dilayani, menentukan jumlah
kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit 10 pedoman pengelolaan
perbekalan farmasi di RS, menyediakan formularium/standar/pedoman
perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan
penyesuaian dengan aloksai dana yang tersedia.
c. Kombinasi Keduanya
Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia. Acuan yang digunakan meliputi: DOEN,
Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard Treatment
Guidelines/STG), dan kebijakan setempat yang berlaku, data catatan
medik/rekam medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, pola
penyakit, sisa persediaan, data penggunaan periode yang lalu, dan rencana
pengembangan.
Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi untuk tahun
yang akan datang, biasanya akan diperoleh jumlah kebutuhan, dan idealnya
11
diikuti dengan evaluasi. Cara/teknik evaluasi yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Analisa nilai ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena
penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC jenis-
jenis perbekalan farmasi dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan
evaluasi lebih lanjut. Misalnya dengan mengoreksi kembali apakah
penggunaannya memang banyak atau apakah ada alternatif sediaan lain yang
lebih efisiensi biaya (misal merek dagang lain, bentuk sediaan lain, dsb).
Evaluasi terhadap jenis-jenis perbekalan farmasi yang menyerap biaya
terbanyak juga lebih efektif dibandingkan evaluasi terhadap perbekalan
farmasi yang relatif memerlukan anggaran sedikit. ABC merupakan suatu
penamaan yang menunjukkan peringkat/ranking dimana urutan dimulai
dengan yang terbaik/terbanyak. Prinsip utamanya adalah dengan
menempatkan jenis-jenis perbekalan farmasi ke dalam suatu urutan, dimulai
dengan jenis yang memakan anggaran/rupiah terbanyak. Urutan langkahnya
meliputi: Mengumpulkan kebutuhan perbekalan farmasi yang diperoleh dari
salah satu metode perencanaan, daftar harga perbekalan farmasi, dan biaya
yang diperlukan untuk tiap nama dagang, kemudian kelompokkan kedalam
jenis/kategori, dan jumlahkan biaya per jenis kategori perbekalan farmasi.
Jumlahkan anggaran total dan hitung masing-masing prosentase jenis
perbekalan farmasi terhadap anggaran total, urutkan kembali jenis- jenis
perbekalan farmasi mulai dengan jenis yang memakan prosentase biaya
terbanyak, kemudian hitung persentase kumulatif, dimulai dengan urutan 1
dan seterusnya. Langkah selanjutnya identifikasi jenis perbekalan farmasi
yang menyerap ±70% anggaran total (biasanya didominasi oleh beberapa jenis
perbekalan farmasi saja).
Perbekalan farmasi kategori A menyerap anggaran 70%, perbekalan
farmasi kategori B menyerap anggaran 20%, dan perbekalan farmasi kategori
C menyerap anggaran 10%.
12
2) Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi
VEN merupakan singkatan dari V = Vital, E = Essensial, N = Non-
Esensial. Melakukan analisis VEN artinya menentukan prioritas kebutuhan
suatu perbekalan farmasi. Dengan kata lain, menetukan apakah suatu jenis
perbekalan farmasi termasuk vital (harus tersedia), esensial (perlu tersedia),
atau non-esensial (tidak prioritas untuk disediakan).
Kriteria VEN yang umum adalah perbekalan farmasi dikelompokkan
sebagai: Vital (V) bila perbekalan farmasi tersebut diperlukan untuk
menyelamatkan kehidupan (life saving drugs), dan bila tidak tersedia akan
meningkatkan risiko kematian, esensial (E) bila perbekalan farmasi tersebut
terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit, atau mengurangi penderitaan
pasien, dan non-esensial (N) meliputi aneka ragam perbekalan farmasi yang
digunakan untuk penyakit yang sembuh sendiri (self-limiting desease),
perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang
mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan
farmasi sejenis lainnya dan lain-lain.
3) Kombinasi ABC dan VEN
Jenis perbekalan farmasi yang termasuk kategori A dari analisis ABC
adalah benar-benar jenis perbekalan farmasi yang diperlukan untuk
penanggulangan penyakit terbanyak. Statusnya harus E dan sebagian V dari
VEN. Sebaliknya, jenis perbekalan farmasi dengan status N harusnya masuk
kategori C. Digunakan untuk menetapkan prioritas untuk pengadaan obat
dimana anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan.
Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat.
Mekanismenya adalah obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas utama
untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat yang
masuk kategori NA menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan
dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang lakukan langkah
selanjutnya. Kedua, pendekatan yang sama dengan pada saat pengurangan
obat pada kriteria NC, NB, NA dimulai dengan pengurangan obat kategori
EC, EB, dan EA.
13
Tabel 2. Pendekatan dengan Pengurangan Obat
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
4) Revisi daftar perbekalan farmasi
Evaluasi cepat (rapid evaluation) adalah langkah awal bila langkah-
langkah dalam analisis ABC maupun VEN terlalu sulit dilakukan atau diperlukan
tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan, misalnya dengan
melakukan revisi daftar perencanaan perbekalan farmasi. Perlu dikembangkan
dahulu kriterianya perbekalan farmasi atau nama dagang apa yang dapat
dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomik dan medik,
tetapi juga dapat berdampak positif pada beban penanganan stok.
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan bahwa pengadaan merupakan
kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui,
melalui pembelian baik secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
dan atau secara langsung dari pabrik, distributor, pedagang besar farmasi atau
rekanan, produksi/pembuatan sediaan farmasi yang meliputi produksi steril dan
produksi non-steril, dan sumbangan/droping/hibah.
Pengadaan adalah suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional
yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan. Proses pelaksanaan rencana
pengadaan dari fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan, serta rencana
pembiayaan dari fungsi penganggaran tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan obat di setiap unit pelayanan kesehatan yang sesuai. Syarat penting
yang harus dipenuhi dalam pengadaan obat adalah sesuai rencana, sesuai
kemampuan dan sistem atau cara pengadaan sesuai ketentuan (Seto, et al. 2012).
Efisiensi dan penghematan biaya karena pengadaan merupakan faktor
terbesar yang menyebabkan pemborosan, selain itu diperlukan struktur komponen
berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, sistem
informasi yang baik, metode dan prosedur yang jelas serta didukung dengan dana
14
dan fasilitas yang memadai agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan
teratur.
Proses pengadaan perlu diperhatikan adanya:
a. Prosedur yang transparan dalam proses pengadaan
b. Mekanisme penyanggahan bagi peserta tender yang diolak penawarannya
c. Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin consignments (pengiriman)
d. Pedoman tertulis mengenai metode pengadaan bagi panitia pengadaan
e. Pernyataan dari anggota panitia pengadaan bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai konflik kepentingan
f. SOP dalam pengadaan
g. Kerangka acuan bagi panitia pengadaan selama masa tugasnya
h. Pembatasan masa kerja anggota panitia pengadaan misalkan maksimal 3
tahun
i. Standar kompetensi bagi anggota tim pengadaan, panitia harus mempunyai
Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa
j. Kriteria tertentu untuk menjadi anggota panitia pengadaan terutama:
integritas, kredibilitas, rekam jejak yang baik
k. Sistem manajemen informasi yang digunakan untuk melaporkan produk
perbekalan farmasi yang bermasalah
l. Sistem yang efsien untuk memonitor post tender dan pelaporan kinerja
pemasok kepada panitia pengadaan
m. Audit secara rutin pada proses pengadaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain: bahan baku obat harus disertai
Sertifikat Analisa, bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data
Sheet (MSDS). Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus mempunyai Nomor Izin Edar, masa kadaluarsa (expired date) minimal 2
(dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan.
15
3. Distribution (Distribusi)
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan pendistribusian merupakan
kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan
untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas
sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, serta sistem floor
stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap merupakan
kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau
desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep
perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan merupakan kegiatan
pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan
di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi
dengan sistem resep perorangan oleh apotek RS. Pendistribusian perbekalan
farmasi di luar jam kerja merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi
untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh
apotek RS atau satelit farmasi yang dibuka 24 jam dan ruang rawat yang
menyediakan perbekalan farmasi emergensi.
Sistem pelayanan distribusi meliputi:
a. Sistem persediaan lengkap di ruangan
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat
merupakan tanggung jawab perawat ruangan. Setiap ruang rawat harus
mempunyai penanggung jawab obat. Perbekalan yang disimpan tidak
dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara berkala oleh petugas
farmasi.
b. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan
dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
16
c. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda,
yang berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang
cukup untuk penggunaan satu kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada apotik rumah sakit
dengan sistem resep perorangan, satelit farmasi dengan sistem dosis unit, dan
ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan. Sistem distribusi harus
dipilih dan disesuaikan dengan kondisi yang ada, sehingga pelayanan obat dapat
dilaksanakan secara tepat dan berhasil. Tahap distribusi merupakan tahapan dari
siklus manajemen obat yang sangat penting dan kompleks, karena pada prosesnya
dapat menghabiskan komponen biaya yang signifikan dalam anggaran kesehatan.
Yang di utamakan dari tahap ini adalah obat sampai ke pengguna tepat waktu,
tepat indikasi dan dengan harga yang terjangkau.
Proses distribusi harus didukung dengan penyimpanan stok perbekalan
farmasi. Untuk memudahkan pengendalian stock, maka dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut (Depkes, 2010a):
a. Gunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First
Out) dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang
masa kadaluarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya perbekalan farmasi yang datang
lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih
tua dan masa kadaluarsanya lebih awal.
b. Susun perbekalan farmasi dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi
dan teratur.
c. Gunakan lemari khusus untuk penyimpanan narkotika.
d. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur,
udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
e. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan
perbekalan farmasi dalam dengan perbekalan farmasi perbekalan farmasi
untuk penggunaan luar.
17
f. Cantumkan nama masing-masing perbekalan farmasi pada rak dengan
rapi.
g. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan
perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing.
h. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu
dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada
di belakang sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kadaluarsa habis.
i. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatkan pada satu lokasi
walaupun dari sumber anggaran yang berbeda.
4. Use (Penggunaan)
Siregar & Amalia (2003), menyebutkan pemakaian atau penggunaan obat
adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan obat yang meliputi
pembinaan cara penggunaan obat yang benar, adanya daftar sinonim untuk obat-
obatan tertentu, adanya daftar nama seluruh obat beserta kadar obat yang tersedia
baik di gudang atau ruang pelayanan maupun di ruang dokter, lampiran, daftar
kadar obat dan adanya perlengkapan kemasan (kantong plastik atau botol, pot dan
etiket). Setiap pengeluaran obat-obatan dari ruangan pelayanan harus dicatat
dalam kartu status penderita yang kemudian dibukukan dalam buku pemakaian
obat obatan dan alat kesehatan.
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, pelayanan kefarmasian dalam
penggunaan obat dan alat kesehatan adalah pendekatan profesional yang
bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan,
keahlian, ketrampilan dan perilaku apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan
profesi kesehatan lainnya. Tujuannya meliputi meningkatkan mutu dan
memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit, memberikan pelayanan
farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi penggunaan
obat, meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
18
terkait dalam pelayanan farmasi, dan melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit
dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan dapat
menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu
pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan
tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang
baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan oleh
adanya pemberian pengobatan yang belum didasarakan pada pedoman terapi yang
telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan
diagnosa yang tepat, info yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat
yang tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari
pasien untuk meresepkan obat-obat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta
sistem perencanaan obat yang lemah (Satibi, 2014).
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan karena kemungkinan dapat terjadi dampak negatif. Berbagai
studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan
optimal dan rasional. Pada umumnya masih banyak hal yang dapat ditingkatkan
dalam pemakaian obat, khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Dampak
negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti
halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Dampak tersebut
meliputi dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, dampak terhadap
baiaya pelayanan pengobatan, dampak terhadap kemungkinan efek samping obat,
dan dampak psikososial (Satibi, 2014).
Upaya intervensi dari sisi pengelolaan (manajerial) mencakup perbaikan
sistem suplai, yakni dalam proses seleksi dan pengadaan obat, misalnya dengan
daftar obat esensial, formularium rumah sakit, penelaah pemakaian obat (drug
utilization review) sebagai umpan balik untuk para penulis resep, dan sistem
peresepan dan dispensing obat yang meliputi penyediaan pedoman atau protokol
pengobatan di unit pelayanan, formulir resep khusus misalnya dengan blangko R/
maksimal 2 (dua) dan audit terapi.
19
5. Faktor Pendukung Siklus Pengelolaan Obat
Pendukung manajemen atau management support merupakan pusat dari
siklus pengelolaan obat yang berperan penting dalam pengelolaan obat, tanpa
management support maka pengelolaan obat tidak dapat berjalan sebagaimana