19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Menurut KUHPerdata Secara Umum Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian campuran antara hukum kekeluargaan dan hukum harta kekayaan/kebendaan. Hukum waris sangat erat kaitanya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa kematian. Akibat hukum yang timbul selanjutnya dengan adanya peristiwa hukum berupa kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal seseorang diatur oleh hukum waris. Pengertian hukum waris itu sendiri sampai saat ini belum ada keseragaman diantara para ahli hukum. Menurut Pitlo, hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga. 21 Hampir mirip dengan definisi tersebut Hartono Surjopratignjo mendefinisikan ”Hukum Waris adalah 21 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Jilid 1, PT Intermasa, Jakarta, 1986, h.1.
85
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Waris Menurut …repository.untag-sby.ac.id/1537/3/Bab II.pdf · memberikan definisi tentang warisan, yaitu soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Waris Menurut KUHPerdata Secara Umum
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian campuran antara hukum kekeluargaan dan
hukum harta kekayaan/kebendaan. Hukum waris sangat erat kaitanya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami
peristiwa kematian. Akibat hukum yang timbul selanjutnya dengan adanya
peristiwa hukum berupa kematian seseorang diantaranya ialah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal seseorang diatur oleh hukum
waris.
Pengertian hukum waris itu sendiri sampai saat ini belum ada
keseragaman diantara para ahli hukum. Menurut Pitlo, hukum waris adalah
kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan
oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.21
Hampir mirip dengan
definisi tersebut Hartono Surjopratignjo mendefinisikan ”Hukum Waris adalah
21
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, Jilid 1, PT
Intermasa, Jakarta, 1986, h.1.
20
keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur akibat
hukum dari meninggalnya seseorang, terhadap harta kekayaannya:
perpindahannya kepada ahli waris dan hubungannya dengan fihak
ketiga.”22
Sedangkan Wiryono Prodjodikoro sebagaimana disitir oleh Mudofir
Hadi tidak pernah memberikan definisi tentang hukum waris, namun hanya
memberikan definisi tentang warisan, yaitu soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.23
Demikian pula
dengan J.G Klassen dan J.E. Eggens, mereka memberikan pengertian tentang
pewarisan yaitu menggantikan tempat orang yang meninggal dalam hubungan-
hubungan hukum kekayaannya.24
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat Pasal-
Pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang apa yang sebenarnya
dimaksud dengan hukum waris. Kita hanya dapat memahami sebagaimana
dikatakan didalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyebutkan bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.
Sehingga dengan demikian peristiwa hukum warisan (pewarisan)
mensyaratkan adanya orang yang mati (pewaris), ada orang yang mewarisi
(ahli waris) dan adanya harta kekayaan (warisan) yang ditinggalkan.
1. Prinsip-prinsip Pewarisan
22
Hartono Soerjopratignjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1982, h.1. 23
Mudofir Hadi, Hukum Waris Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata (BW), Jilid
1, Yayasan Pencinta Ilmu Pengetahuan Hukum, Malang, 1983, h.3. 24
J.G. Klassen dan J.E. Eggens, Hukum Waris bagian 1 ( yang disadur dari Huwelijks-
Goederen en Erfrecht, ESA Study Club, Jakarta, 1979, h.1.
21
Pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "hukum
waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau
proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para
ahli warisnya".Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena
kematian. Peralihan harta kekayaan yang meliputi segala hak dan
kewajiban terjadi pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini
secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) KUHP, yaitu “sekalian
ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas
segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”.
a. Persyaratan Pewarisan
Dari definisi-definisi yang diberikan oleh para ahli hukum
tersebut di atas dapatlah disimpulkan secara sederhana bahwa terdapat
tiga persyaratan bagi terjadinya suatu pewarisan, yaitu :
1) ada seseorang yang meninggal dunia yang disebut Pewaris;
2) ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan
memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
1) Ada seseorang yang meninggal dunia yang disebut Pewaris
Menurut pasal 830 KUHPerdata pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Jadi baru ada persoalan warisan bila
ada seseorang yang meninggal dunia.
Pengertian kematian disini bukan hanya kematian menurut
kenyataan saja, melainkan juga bisa berarti kematian berdasarkan
22
dugaan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 468
KUHPerdata sebagai kelanjutan dari keadaan tidak hadirnya
seseorang (afwezigheid). Pengadilan atas permohonan keluarga
atau pihak lain yang berkepentingan dapat menetapkan dugaan
hukum seseorang telah meninggal dunia apabila ia telah
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa meninggalkan wakil/kuasa
untuk mengurus harta kekayaannya selama tenggang waktu 5 tahun
berturut-turut, dengan melalui prosedure pemanggilan melalui
iklan di surat kabar sebanyak 3 kali pemanggilan masing-masing
dengan tenggang waktu 3 bulan untuk setiap pemanggilan serta
mengumumkan isi penetapan itu di surat kabar yang sama dengan
surat kabar dimana pemanggilan atas orang tersebut diiklankan,
dalam penetapan tersebut disebutkan dengan tegas hari dugaan
kematiannya yaitu hari ketika ia meninggalkan tempat tinggalnya
atau sejak hari diketahuinya kabar terakhir tentang kehidupannya.
Sejak saat itu terbukalah warisan.25
2) Ada orang yang masih hidup sebagai ahli waris
Agar seseorang dapat disebut ahli waris dan menerima
warisan maka ia harus memenuhi syarat yang utama, yaitu ia harus
telah ada (lahir) pada saat warisan tersebut terbuka. Menurut pasal
2 KUHPerdata anak yang masih dalam kandungan seorang ibu
dianggap telah ada dan karenanya akan mendapatkan hak waris
dengan syarat bahwa ia kemudian lahir hidup.
25
Ibid. h.6.
23
3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris
Dalam hukum waris menurut KUHPerdata berlaku suatu
asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu
juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli
warisnya. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada
ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta
kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, dengan beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada
juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
- Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan
bersifat pribadi;
- Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap
menurut KUHPerdata maupun firma menurut KUHDagang,
sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah
seorang anggota/persero;
dan juga terdapat pengecualiaan ada beberapa hak yang walaupun
hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat
diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
- Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai
anak yang sah dari bapak atau ibunya.
24
Sistem waris KUHPerdata tidak mengenal istilah “harta
asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama
dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam KUHPerdata dari
siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh
dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal
warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam KUHPerdata
tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal
barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan
dalam pasal 849 KUHPerdata yaitu “Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam
suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”.
b. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau
diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima warisan
secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran
harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk
menolak warisan.
Selain itu terdapat juga Hak-hak khusus ahli waris antara lain :
1) Hak Saisine
Kata saisine berasal dari peribahasa perancis “le mort saisit
le vil”, yang berarti bahwa yang mati dianggap memberikan
miliknya kepada yang masih hidup.Maksudnya ialah bahwa para
ahli waris segera pada saat meninggalnya pewaris, mengambil alih
semua hak dan kewajibannya tanpa adanya suatu tindakan dari
25
mereka, kendatipun mereka tidak mengetahuinya.Hak ini diatur
dalam pasal 833 ayat 1 KUHPerdata “sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal”. Hak
saisine pada pewarisan dengan surat wasiat diatur dalam pasal 955
KUHPerdata. Hak saisine ini tidak dipunyai oleh negara, sehinggga
membedakan negara sebagai ahli waris dengan ahli waris lainnya.
Jadi apabila semua ahli waris sudah tidak ada, maka semua
harta warisan akan jatuh kepada negara. Namun dalam hal ini
negara terlebih dahulu harus ada keputusan dari Pengadilan Negeri
(pasal 833 ayat 3 KUH Perdata).
2) Hak Hereditatis Petitio
Hak Hereditatis Petitiodiatur dalam pasal 834 dan 835
KUH Perdata, suatu hak yangdiberikan oleh undang-undang
kepada para ahli waris terhadap mereka, baik yang atas dasar suatu
titel atau tidak menguasai seluruh atau sebagian dari harta
peningggalan seperti juga terhadap mereka yang secara licik telah
menghentikan penguasaan.Sebenarnya hak ini dapat dilihat sebagai
pelengkap daripada hak saisine, karena dengan saisine maka hak-
hak dan kewajiban-kewajiban pewaris berpindah kepada ahli waris,
termasuk hak-hak tuntut yang dipunyai dan mungkin sedang
dijalankan oleh pewaris dan juga yang belum mulai dilaksanakan.
3) Hak untuk Menuntut Pembagian Warisan
26
Hak ini diatur dalam pasal 1066 KUHPerdata bahwa “Tiada
seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tak terbagi”. Ini berarti, apabila seorang ahli waris
menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan
tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Maka
dapat dikatakan sebagai berikut :
a. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta
peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda
peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi diantara para
ahli waris yang ada;
b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut
walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat
saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat
selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih
dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 KUHPerdata tentang pemisahan
harta peninggalan dan akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa
sistem hukum waris menurut KUHPerdata memiliki ciri khas yang
berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut di
antaranya hukum waris menurut KUHPerdata menghendaki agar
harta peninggalan seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi
27
kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalau pun hendak
dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan
seluruh ahli waris.
4) Hak untuk berpikir
Jika dalam point 3 di atas diuraikan hak untuk membagi
warisan yang mana tuntutan itu datangnya dari sesama waris,
sedangkan dalam point ini diuraikan jika terdapat tuntutan atas
harta peninggalan yang berasal dari para kreditur dari si pewaris,
maka undang-undang memberikan hak kepada ahli waris untuk
menyelidiki lebih dulu keadaan harta peninggalan yang
ditinggalkan oleh si pewaris apakah peninggalan tersebut
bermanfaat baginya; dan selama jangka waktu ahli waris lagi
berpikir, ia tidak dapat dituntut untuk menentukan pilihannya
apakah ia akan menerima secara murni, menerima dengan hak
istimewa untuk melakukan pendaftaran (beneficier) atau bahkan
menolak warisan tersebut.26
Menurut pasal 1024 KUHPerdata ahli
waris diberikan hak untuk berpikir selama jangka waktu empat
bulan terhitung sejak tanggal surat pernyataan yang disampaikan
kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat dimana warisan terbuka.
5) Hak Untuk Menerima Warisan
Setiap ahli waris berhak menerima warisan secara murni
atau dengan hak istimewa pendaftaran (beneficier). Penerimaan
26
Bandingkan pasal 1023 jo pasal 1025 KUHPerdata
28
warisan secara murni dapat dilakukan secara tegas maupun secara
diam-diam. Penerimaan secara tegas harus dilakukan dengan suatu
akta otentik atau akta di bawah tangan; sedangkan secara diam-
diam dilakukan apabila ahli waris melakukan suatu perbuatan yang
menunjukkan maksudnya untuk menerima warisan dan perbuatan
tersebut memang hanya dapat dilakukan dalam kedudukannya
sebagai ahli waris.27
Akibat penerimaan warisan secara murni yaitu terhitung
sejak kematian pewaris ia berhak atas aktiva dan menjadi debitur
atas pasiva harta peninggalan. Dan akibat yang lain adalah tidak
mungkin ia menerima warisan dengan hak istimewa pendaftaran
(beneficier) maupun menolak warisan tersebut.
Penerimaan dengan hak istimewa untuk melakukan
pendaftaran mengakibatkan ahli waris tidak diwajibkan membayar
hutang dan beban warisan yang melebihi jumlah nilai dari harta
warisan itu dan harta benda pribadi si ahli waris tidak bercampur
dengan harta benda warisan, dengan kata lain si ahli waris hanya
akan menerima sisa yang menguntungkan dan harta benda
pribadinya tidak dapat dituntut oleh kreditur harta peninggalan.28
Kedua hak ahli waris yaitu hak untuk berpikir dan hak
istimewa untuk mengadakan pendaftaran adalah benar-benar suatu
hak-hak yang istimewa karena hak-hak tersebut tidak dapat
dibatasi atau ditiadakan oleh pewaris, dan setiap ketetapan /
27
Bandingkan pasal 1048 KUHPerdata 28
Bandingkan pasal 1032 KUHPerdata
29
ketentuan dari pewaris yang melarang hak-hak tersebut adalah
batal dan tidak sah.29
6) Hak untuk Menolak Warisan
Hak untuk menolak warisan diatur dalam pasal 1045 jo.
pasal 1051 KUHPerdata. Seorang ahli waris tidak harus menerima
harta warisan yang jatuh kepadanya bahkan apabila ahli waris
tersebut telah meninggal dunia maka ahli warisnyapun dapat
memilih untuk menerima atau menolak warisan.
Sedangkan kewajiban Ahli Waris antara lain, memelihara
keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi,
mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang –
hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan
melaksanakan wasiat jika pewaris meninggalkan wasiat.
Menurut ketentuan pasal 874 KUHPerdata, segala harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli
warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat
wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian,
menurut sistem pewarisan KUHPerdata dikenal 2 macam pewarisan yaitu
pewarisan karena/berdasarkan undang-undang (Ab Intestato), dan
pewarisan karena adanya ketetapan dengan surat wasiat (Testamentaire
Erfrecht).
2. Pewarisan Berdasarkan undang-undang (ab intestato)
29
Bandingkan pasal 1043 KUHPerdata
30
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya
tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika
ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka
dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal
pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
Pewarisan berdasarkan/karena undang-undang menetapkan bahwa
yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah baik
yang sah maupun luar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama.
Dalam pasal 832 KUHPerdata bermateri muatan sebagai berikut :
- Orang-orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan si pewaris
menurut ketentuan undang-undang tidak dapat menjadi ahli waris;
karenanya tidak mungkin mendapatkan warisan (kecuali kalau
ditetapkan lain dalam surat wasiat);
- Sekalipun suami atau isteri yang hidup terlama bukanlah keluarga
sedarah, tetapi ditetapkan juga sebagai ahli waris dari pasangannya
yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.
Disamping prinsip hubungan/pertalian darah, oleh undang-undang
diatur pula perihal prinsip kepatutan sebagai ahli waris; dalam hal mana
pasal 838 KUHPerdata mengatur bahwa ada orang-orang tertentu
31
walaupun memiliki hubungan/pertalian darah dengan pewaris, namun
dikecualikan dari pewarisan, yaitu :
- mereka yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba
membunuh orang yang meninggal itu;
- mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan
fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris
pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
- mereka yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan
kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali
wasiatnya;
- mereka yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan
wasiat orang yang meninggal itu.
Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita
dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofde”
dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling.” Seorangdikatakan
mewarisi “uit eigen hoofde” jika ia mendapat warisan itu berdasarkan
kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi “bij
plaatsvervuling” jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu
bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada
orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama
menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi “bij
staken,” karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu “staak” atau
cabang. Makin banyak anggota suatu cabang, semakin sedikit bagian
32
masing-masing. Dalam suatu cabang dapat terjadi satu atau beberapa
cabang lagi.
3. Golongan Ahli Waris
Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu pewarisan
berdasarkan pada hubungan/pertalian darah. Siapa yang mempunyai
hubungan darah dengan si pewaris dapat menjadi ahli waris, dan siapa
yang tidak mempunyai hubungan/pertalian darah dengan si pewaris tidak
dapat menjadi ahli waris; maka disini berlakulah prinsip orang yang
mempunyai hubungan darah lebih dekat akan mewaris dan menutup orang
yang mempunyai hubungan darah yang lebih jauh.30
Berdasarkan prinsip ini, maka para ahli waris menurut undang-
undang digolong-golongkan menjadi 4 golongan :
- Golongan I
Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris,
yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris
golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli
waris golongan kedua, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan
pertama masih ada, maka ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil.
- Golongan II
Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris,
yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru
30 Ibid. h.46.
33
tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali
dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.
Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara – saudaranya,
maka harus dikeluarkan lebih dulu untuk orang tua si pewaris, jika
masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua bagian yang
sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian
yang kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara
yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari
bagian bagi garis bapak dan bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara
yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis
bapak atau bagi garis ibu saja.
- Golongan III
Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu
kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini,
ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli
waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan
menyampingkan ahli waris golongan keempat.
- Golongan IV
Merupakan, sanak keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat ke enam dari si pewaris, yaitu paman, bibi.
4. Pewarisan Menurut Testament (Testamentaire Erfrecht)
Dalam pewarisan menurut testament apabila ditinjau dari isi
testament dikenal dua macam waris, yaitu :
34
a. Erfstelling atau Pengangkatan Waris, Pasal 954 KUHPerdata
menentukan bahwa, wasiat pengangkatan waris adalah suatu wasiat
dimana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan
harta kekayaan yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia
baik seluruhnya maupun sebagian seperti setengahnya, sepertiga. Jika
dihubungkan dengan Pasal 876 KUHPerdata, erfstelling tidak perlu
meliputi seluruh harta warisan, dengan ketentuan sebanding dengan
harta warisan, dan berkedudukan sebagai ahli waris.31
b. Legaat atau Hibah Wasiat, di dalam Pasal 975 KUHPerdata,
menentukan bahwa hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus
dimana yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa dari barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya
barang-barang bergerak atau barang-barang tak bergerak, atau hak
pakai atas seluruh atau sebagian dari harta peninggalan.32
Hibah wasiat menurut Pitlo, adalah apa yang didapat oleh penerima
hibah wasiat itu, sedangkan penerima hibah wasiat (legataris) ialah
seseorang tertentu yang berdasarkan ketetapan pewaris dalam suatu wasiat
menerima barang tertentu (zaak/zaken) atau sejumlah benda yang dapat
diganti (vervangbare zaken). Legataris termasuk kategori penerima hak
dengan atau secara hak khusus.
Pengangkatan/penunjukan sebagai ahli waris (erfstelling) berbeda
dengan hibah wasiat, karena dengan legaat kepada seseorang hanya diakui
31
Benjamin Asri dan Thabrani Asri,Dasar-dasar Hukum Waris Barat (Suatu Pembahasan
Teoritis dan Praktek ), Tarsito, Bandung, 1988, h. 136. 32
Ibid. h.138.
35
untuk memperoleh suatu benda atau lebih (zaak/zaken) atau benda jenis
tertentu. Kedudukan seorang legataris adalah sama dengan penagih utang
harta. Sedangkan kedudukan ahli waris (ab intestato dan / atau erfstelling)
bertindak sama sekali sebagai ganti dari pewaris, kepada siapa harta
pewaris akan jatuh dengan segala untung ruginya.
Meijers telah menjelaskan secara mendalam, bahwa legataris
hanya mempunyai hak pribadi, yaitu hak untuk menuntut terhadap ahli
waris, hak untuk melakukan suatu tagihan terhadap harta yang belum
terbagi, dan hak untuk melakukan pemisahan terhadap harta peninggalan
dari pewaris.33
Sedangkan kesamaan antara testament yang berisi hibah wasiat dan
yang berisi erfstelling adalah pelaksanaan dari wasiat tersebut baru
berlangsung atau dapat dilaksanakan setelah pembuat testament (pewaris)
meninggal dunia. Kesamaan kedua adalah tidak ada uraian secara tegas
dalam testament mengenai cara pewarisan ini, apakah wasiat termasuk
legaat atau erftelling, untuk itu tugas dari notarislah yang harus
menafsirkan apakah wasiat yang diberikan kepadanya termasuk jenis
wasiat yang berisi legaat atau wasiat yang berisi erfstelling.34
4. Legitime portie (Bagian Mutlak) dan Testament (wasiat)
Pada umumnya seseorang pewaris dengan suatu surat wasiat boleh
menyimpang dari ketentuan pewarisan menurut undang-undang, tetapi
untuk kepentingan beberapa orang kebebasan itu dibatasi oleh undang-
33
Ibid. h.367. 34
Ibid. h.97.
36
undang; sehingga oleh undang-undang kepada orang-orang tertentu
diberikan apa yang disebut legitime portie atau bagian mutlak, yang tidak
dapat dikurangi oleh pewaris kalau mereka menuntut bagiannya.
a. Tentang Legitime Portie
Sub bab tentang legitime portie ini akan dibagi kedalam sub-
sub bab, yang akan menjelaskan dengan lebih khusus tentang apa saja
yang berhubungan dengan legitime portie.
1) Pengertian Legitime Portie
Pengertian tentang Legitime Portie ini dapat kita temukan
dalam Pasal 913 KUHPerdata : “Bagian Mutlak atau Legitime
Portie, adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus
diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang,
terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan
sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun
selaku wasiat”.
Legitime Portie (atau wettelijk erfdeel), yang secara
harafiah diterjemahkan “bagian warisan menurut undang-undang”,
dikalangan praktisi hukum sejak puluhan tahun dikenal sebagai
“bagian mutlak” (Legitime Portie). Bagian mutlak adalah bagian
dari warisan yang diberikan undang-undang kepada ahli waris
dalam garis lurus ke bawah dan ke atas. Bagian mutlak tidak boleh
ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik
37
dengan hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun
dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling).35
Menurut Pitlo, bagian yang dijamin oleh Undang-Undang
legitime portie/wettlijk erfdel : “Merupakan hak dia/mereka yang
mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya
sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in de rechtelijn)
dan merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas bagian
yang dimaksud”.36
Sedangkan legitimaris menurut Pitlo, adalah : “Ahli waris
ab intestato yang dijamin oleh undang-undang bahwa ia akan
menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang
bersangkutan. Baik dengan jalan hibah ataupun secara pemberian
sesudah meninggal (making bij dode), pewaris tidak boleh
mencabut hak legitimaris ini”.
2) Tujuan Adanya Legitime Portie
Pada asasnya orang mempunyai kebebasan untuk mengatur
mengenai apa yang akan terjadi dengan harta peninggalannya
setelah ia meninggal dunia. Seseorang pewaris mempunyai
kebebasan untuk mencabut hak waris dari para ahli warisnya,
karena meskipun ada ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang
yang menentukan siapa-siapa akan mewaris harta peninggalannya
35
Ibid. h.112. 36
Komar Andasasmita, Notaris III, Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut
KUHPerdata, Ikatan Notaris Indonesia, Jawa Barat, 1987, h.143.
38
dan berapa bagian masing-masing, akan tetapi ketentuan-ketentuan
tentang pembagian itu bersifat hukum mengatur (aanvullend recht)
dan bukan hukum memaksa (dwingend recht).
Akan tetapi untuk ahli waris ab intestato (tanpa wasiat)
oleh Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus
diterima oleh mereka, bagian yang dilindungi oleh hukum, karena
mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si
pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak
pantas apabila mereka tidak menerima apa-apa sama sekali. Agar
orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka, maka
Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya
menghibahkan atau mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang
lain dengan melanggar hak dari para ahli waris ab intestato itu.
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian
yang dilindungi undang-undang itu dinamakan “Legitimaris”,
sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu
dinamakan “legitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana
ada legitimaris terbagi dua, yaitu “legitime portie” (bagian mutlak)
dan“beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian yang tersedia
ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh
menghibahkannya sewaktu ia masih hidup atau mewasiatkannya.
Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal
lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama
39
dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa
sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris berhak atas apa.37
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan
bagian para legitimaris bersama-sama, bilamana seorang
legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris
(onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga
bagiannya menjadi tidak dapat dikuasai (werd niet beschikbaar),
maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris lainnya. Jadi bila
masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap
diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris
menuntutnya, ini berarti bahwa apabila legitimaris itu sepanjang
tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai “beschikking-