22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Harga Diri Konstruk harga diri pertama kali dijelaskan oleh William James (Hill, 2013) sebagai evaluasi diri terhadap penghargaan positif pada diri sendiri yang berkembang ketika individu secara konsisten memenuhi atau melampaui tujuan penting dalam hidup mereka. Definisi harga diri menurut James ini kemudian terus berkembang dan relevan, sehingga harga diri umumnya dianggap sebagai aspek evaluatif pengetahuan diri yang mencerminkan sejauh mana orang-orang menyukai diri mereka sendiri dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan ( oleh Brown, 1998; Tafarodi & Swann, 1995. Dalam Hill, 2013). Harga diri atau self-esteem, sebagaimana yang dijelaskan oleh Worchel (Dayaksini & Hudaniah, 2003) ialah komponen evaluatif dari konsep diri yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang. Kemudian menurut James (Baron & Byrne, 2003) mendefinisikan self-esteem atau harga diri sebagai bentuk evaluasi diri yang dibentuk oleh setiap individu, hal tersebut dalam rentang dimensi positif- negatif. Evaluasi diri tersebut merupakan umpan balik seseorang dari waktu ke waktu tentang kualitas performance, apakah itu kesuksesan atau kegagalan akan mempengaruhi harga diri seseorang. Individu memperoleh harga diri dari pengalaman dirinya sendiri sebagai agen penyebab yang aktif terhadap
52
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri Istri dengan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/963/3/BAB II.pdf · A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Harga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Harga Diri
Konstruk harga diri pertama kali dijelaskan oleh William James (Hill,
2013) sebagai evaluasi diri terhadap penghargaan positif pada diri sendiri
yang berkembang ketika individu secara konsisten memenuhi atau melampaui
tujuan penting dalam hidup mereka. Definisi harga diri menurut James ini
kemudian terus berkembang dan relevan, sehingga harga diri umumnya
dianggap sebagai aspek evaluatif pengetahuan diri yang mencerminkan
sejauh mana orang-orang menyukai diri mereka sendiri dan percaya bahwa
mereka memiliki kemampuan ( oleh Brown, 1998; Tafarodi & Swann, 1995.
Dalam Hill, 2013).
Harga diri atau self-esteem, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Worchel (Dayaksini & Hudaniah, 2003) ialah komponen evaluatif dari
konsep diri yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri
yang dimiliki seseorang. Kemudian menurut James (Baron & Byrne, 2003)
mendefinisikan self-esteem atau harga diri sebagai bentuk evaluasi diri yang
dibentuk oleh setiap individu, hal tersebut dalam rentang dimensi positif-
negatif. Evaluasi diri tersebut merupakan umpan balik seseorang dari waktu
ke waktu tentang kualitas performance, apakah itu kesuksesan atau kegagalan
akan mempengaruhi harga diri seseorang. Individu memperoleh harga diri
dari pengalaman dirinya sendiri sebagai agen penyebab yang aktif terhadap
23
apa yang terjadi di dunia ini dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan
serta mengatasi rintangan-rintangan atau kesulitan. Kemudian Coopersmith
(Mruk, 2006) menjelaskan bahwa harga diri (self esteem) merupakan evaluasi
yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap
menerima, menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap
kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.
Harga diri merupakan suatu hal yang sangat penting bagi individu,
seperti yang dijelaskan oleh Maslow (Alwisol, 2004) bahwa harga diri
merupakan salah satu kebutuhan hidup seseorang. Maslow (Alwisol, 2004)
juga menjelaskan bahwa harga diri pada diri seseorang ada dua jenis, yakni
menghargai diri sendiri (self-respect) mencakup kebutuhan kekuatan,
penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian dan
kebebasan. Seseorang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri,
bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup.
Kemudian jenis harga diri yang kedua adalah mendapat penghargaan dari
orang lain (respect from others), kebutuhan prestise, penghargaan dari orang
lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan,
diterima dan apresiasi. Hal ini menjelaskan bahwa seseorang membutuhkan
pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.
Dengan kualitas harga diri yang bagus, individu akan menjadi orang yang
tidak rentan terhadap stres dan emosi negatif. Kemudian di samping itu
potensi untuk membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain juga
semakin baik.
24
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
harga diri merupakan evaluasi atau penilaian yang dibuat individu dan
kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak dan
indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian,
kesuksesan dan keberhargaan yang dimilikinya.
2. Proses Pembentukan Harga Diri
Harga diri bukan merupakan suatu hal yang dibawa individu dari
lahir, namun terbentuk dari proses psikologi yang dilewati individu dalam
rentang kehidupannya. Coopersmith (Mruk, 2006) menjelaskan bahwa proses
pembentukan harga diri mencakup dua proses psikologi mendasar yaitu :
a. Proses dari evaluasi diri (self-evaluation)
Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan self-evaluation atau
evaluasi diri.
1) Perbandingan self-image dengan ideal image
Perbandingan gambaran diri dari keadaan diri yang seseorang
kenal atau kenyataan yang dirasakan dan gambaran diri yang seseorang
inginkan. Self-image individu berkenaan dengan karakteristik fisik dan
mentalnya. Proses perkembangan self-image telah ditunjukan Cooley
(Mruk, 2006) sebagai gambaran diri yang dimiliki individu melalui
interaksinya dengan lingkungan. Individu mendapat feed back dan
pengesahan mengenai perilakunya dari orang-orang sekitarnya.
Interpretasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap penilaian lingkungan
akan mempengaruhi dan membentuk harga diri. Ideal-self adalah suatu
25
set interpretasi dari individu sebagai pernyataan akan keinginan-
keinginan dan aspirasi-aspirasi sebagai bagian dari kebutuhannya.
2) Internalisasi dari society’s judgement.
Dalam pengertian ini self-evaluation ditentukan oleh keyakinan-
keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi
dirinya. Disini individu menilai dirinya sendiri sejak ia berinteraksi
dengan lingkungannya. Standar nilai yang terinternalisasikan menjadi
suatu kendala tingkah laku yang diperoleh dari lingkungan sosial sesuai
dengan tahap perkembangan.
3) Evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan
Individu melakukan evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan
dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri, hal ini tidak
hanya individu melakukan sesuatu dari apa yang membuat dirinya
merasa berarti tetapi juga secara sosial, hal ini memberikan suatu
kekuatan yang dapat meningkatkan rasa penghargaan terhadap diri.
b. Proses dari penghargaan diri (self –worth)
Proses psikologis kedua yaitu self-worth, adalah perasaan bahwa diri
atau self itu penting dan efektif serta melibatkan pribadi yang sadar akan diri
sendiri, self-worth ini akan lebih mendasar dari self-evaluation karena
melibatkan suatu pandangan dari diri seseorang dalam menguasai suatu
tindakannya, perasaan kompetisi yang muncul dalam diri (intrinsik) tidak
sekedar bergantung pada lingkungan atau pandangan yang sifatnya
eksternal. Masing-masing proses tersebut saling melengkapi satu sama lain.
26
Dari uraian mengenai pembentukan harga diri tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pembentukan harga diri seseorang mencakup dua proses
psikologi mendasar yakni proses dari evaluasi diri (self-evaluation) dan
proses dari penghargaan diri (Self-Worth).
3. Aspek-aspek Harga Diri
Komponen atau aspek harga diri merupakan hal-hal yang sangat
penting bagi terbentuknya harga diri pada individu, adapun menurut
Coopersmith (dalam Mruk, 2006), aspek-aspek harga diri mencakup power
(kekuatan), significance (keberartian), virtue (kebajikan) dan competence
(kemampuan).
a. Power (Kekuatan)
Power ialah kemampuan individu untuk mempengaruhi aksinya
dengan mengontrol tingkah lakunya sendiri dan mempengaruhi orang
lain. Dalam situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan
dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang lain, dan melalui
kualitas penilaian terhadap pendapat-pendapat dan hak-haknya. Efek dari
pengakuan tersebut adalah menumbuhkan perasaan penghargaan (sense
of appreciation) terhadap pandangannya sendiri dan mampu melawan
tekanan untuk melakukan konformitas tanpa mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan dan pendapat-pendapatnya sendiri. Masing-masing
perlakuan tersebut bisa mengembangkan control sosial, kepemimpinan,
dan kemandirian yang mampu memunculkan sikap asertif, energik,
tingkah laku, eksplorasi.
27
b. Significance (keberartian)
Keberartian dalam hal ini dilihat dari penerimaan, perhatian, dan
kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang lain. Ekspresi dari
penghargaan dan minat terhadap individu tersebut termasuk dalam
pengertian penerimaan (acceptance) dan popularitas (popularity), yang
merupakan kebalikan dari penolakan dan isolasi. Penerimaan ditandai
dengan kehangatan, responsifitas, minat, dan menyukai individu apa
adanya. Dampak utama dari masing-masing perlakuan dan kasih sayang
tersebut adalah menumbuhkan perasaan berarti (sense of importance)
dalam dirinya. Makin banyak orang menunjukkan kasih sayang, maka
makin besar kemungkinan memiliki penilaian diri yang baik.
c. Competence (kompetensi)
Keberhasilan pada area ini ditandai dengan tingkat pencapaian
yang tinggi, dengan tingkatan dan tugas yang bervariasi untuk tiap
kelompok usia. Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menunjukkan bahwa
pengalaman-pengalaman seorang anak mulai dari masa bayi yang
diberikan secara biologis dan rasa mampu (sense of efficacy) yang
memberikannya kesenangan, membawanya untuk selalu berhadapan
dengan lingkungan dan menjadi dasar bagi pengembangan motivasi
instrinsik untuk mencapai kompetensi yang lebih tinggi lagi.
d. Virtue (Kebajikan)
Kebajikan dalam hal ini ditandai oleh tingkah laku patuh pada
kode etik, moral, dan prinsip-prinsip agama. Orang yang mematuhi kode
28
etik dan agama dan kemudian menginternalisasikannya, menampilkan
sikap diri yang positif dengan keberhasilan dalam pemenuhan terhadap
tujuan-tujuan pengabdian terhadap nilai-nilai luhur. Perasaan berharga
yang muncul diwarnai dengan sentiment-sentiment keadilan dan
kejujuran, dan pemenuhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.
Buss (1995) menjelaskan bahwa komponen dari self-esteem atau harga
diri tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama pada aspek penampilan,
kemampuan dan kekuatan berkaitan dengan aspek percaya diri. Kemudian
aspek penghargaan sosial, apresiasi, dan moralitas, berkaitan dengan kecintaan
pada diri dan aspek harga diri.
Penelitian ini menggunakan pendapat Coopersmith sebagai acuan
dalam melakukan penelitian lebih lanjut. Adapun komponen tersebut yaitu,
power (kekuatan), significance (keberartian), virtue (kabajikan) dan
competence (kemampuan).
4. Ciri-ciri Harga diri
Coopersmith (Mruk, 2006) menjelaskan ciri-ciri individu sesuai dengan
tingkatan harga dirinya, sebagai berikut:
a. Harga Diri Tinggi
1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya
dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain
(aspek significance)
2) Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat
menerima kritik dengan baik (aspek power)
29
3) Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu
berjalan di luar rencana. (aspek competence)
4) Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat
mengekpresikan dirinya dengan baik. (aspek competence)
5) Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan
mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya.
6) Memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang
realistis. (aspek virtue)
7) Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. (aspek
power)
b. Harga Diri Rendah
1) Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai,
sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali
menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak
dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya. (aspek significance)
2) Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan
kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain. (aspek power)
3) Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit
baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas
baginya. (aspek comepetence)
4) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga
kurang berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat
mengekspresikan dirinya dengan baik. (aspek competence)
30
5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Harga Diri
Teori-teori dan penelitian yang telah dilakukan Coopersmith (Mruk,
2006) mengenai harga diri mengarahkannya untuk menyimpulkan 4 faktor
utama yang memberi kontribusi pada pembentukan dan perkembangan harga
diri, yakni:
a. Respectful, penerimaan, dan perlakukan yang diterima individu dari
Significant Others.
Significant Others merupakan orang yang penting dan berarti bagi
individu, dimana ia menyadari peran mereka dalam memberi dan
menghilangkan ketidaknyamanan, meningkatkan dan mengurangi
ketidakberdayaan. Serta meningkatkan dan mengurangi keberhargaan diri.
Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi
merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu
ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, dalam berinteraksi
tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan reaksi
yang ia terima dari orang lain. Seseorang yang merasa dirinya dihormati,
diterima dan diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk harga
diri yang tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan
diperlakukan buruk akan cenderung akan membentuk harga diri yang
rendah.
b. Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu.
Keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu
tersebut akan membentuk suatu penilaian terhadap diri individu,
31
berdasarkan dari penghargaan yang diterima dari orang lain. Status
merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang diindikasikan dengan
pengakuan dan penerimaan dirinya oleh masyarakat.
c. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi.
Pengalaman-pengalaman individu akan diinterpretasi dan
dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya.
Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap berbagai
bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan fungsi dari
nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan individu lain
yang signifikan dalam hidupnya. Individu pada semua tingkat harga diri
mungkin memberikan standar nilai yang sama untuk menilai
keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka
menilai pencapaian tujuan yang telah diraihnya.
d. Cara individu merespon devaluasi atau kegagalan terhadap dirinya.
Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat
perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salah
satunya adalah ketika individu mengalami kegagalan. Pemaknaan individu
terhadap kegagalan tergantung pada caranya mengatasi situasi tersebut,
tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi kegagalan akan
mencerminkan bagaimana ia mempertahankan harga dirinya dari perasaan
tidak mampu, tidak berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral. Individu
yang dapat mengatasi kegagalan dan kekurangannya dapat
mempertahankan harga dirinnya.
32
Hill (2013) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
terbentuknya dan berubahnya harga diri seseorang, yakni:
a. Menanggapi situasi dalam lingkungan
Individu yang responsif dalam menanggapi umpan balik dari lingkungan
dalam beberapa penelitian psikologi sosial berdampak pada harga diri
dalam jangka pendek, seperti yang diungkapkan oleh Dandeneau &
Baldwin, 2004 (dalam Hill, 2013) dalam kehidupan sehari-hari banyak
situasi atau kenyataan terkait dengan peran sosial tertentu, misalnya anak-
anak dan remaja dihargai dan dihukum karena perilaku tertentu di sekolah
dan di rumah. Hal ini merupakan situasi yang dapat membentuk diri,
misalnya anak yang sering gagal di tugas utama perkembangan dapat
menginternalisasikan hukuman atau umpan balik yang diterima sehingga
mengembangkan citra diri yang negatif.
b. Refleksi diri
Refleksi diri dapat menjadi salah satu faktor berubahnya harga diri pada
seseorang, perubahan kognitif seseorang menjadi salah satu faktor yang
dapat merubah harga diri. Seiring perkembangan individu dari remaja,
dewasa dan menjadi tua maka kemampuan individu secara kognitif dapat
meningkat, hal ini lah yang kemudian juga dapat mempengaruhi perubahan
dari harga diri (Hill, 2013).
c. Penilaian dari orang lain
Hill (2013) menjelaskan juga bahwa persepsi atau penilaian dari orang lain
terhadap diri seseorang dapat mempengaruhi naik dan turunnya harga diri
33
orang tersebut, misalnya penilaian dari pasangan akan mempengaruhi
penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Ketika seseorang mendapat
penilaian negatif dari pasangannya maka individu tersebut juga akan
memandang dirinya negatif begitu juga sebaliknya. Penilaian dan persepsi
negatif dari orang di luar individu itulah yang juga dapat merubah harga
diri seseorang.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas mengenai Faktor-faktor yang
mempengaruhi harga diri, maka dapat diperjelas bahwa ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi terbentuk dan berkembangnya harga diri pada
seseorang yaitu, penerimaan dari orang lain, keberhasilan yang pernah dicapai,
nilai-nilai dan harapan yang dimiliki, refleksi diri dan cara individu merespon
kegagalan dalam hidupnya.
6. Cara-cara Peningkatan Harga Diri
Ada beberapa macam teknik intervensi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan harga diri (Guindon, 2010), yaitu:
a. Social support
Harga diri berespon terhadap kehadiran dukungan sosial. Berdasarkan sudut
pandang ini, terapi terhadap harga diri seharusnya membantu klien
membentuk dan mempertahankan relasi yang suportif sekaligus
meningkatkan kemampuan dalam menghargai diri sendiri. Selain diberikan
oleh terapis melalui pendekatan client centered, social support juga dapat
diberikan oleh teman dan orangtua. Mereka dapat membantu dengan
menawarkan bantuan, memberikan waktu dan dukungan. Mereka juga dapat
34
memberikan kesempatan bagi individu untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri. Penelitian Herdiyanto (2014) hubungan antara dukungan sosial dan
harga diri pada remaja penyalahguna napza.
b. Strategi cognitive behavioral
Strategi cognitive behavioral merupakan strategi yang paling sering
digunakan untuk meningkatkan harga diri dan terbukti efektif untuk
diaplikasikan ke berbagai usia. Penelitian Sarandria (2012) tentang
efekifitas cognitive behavioral therapy (CBT) untuk meningkatkan self
esteem pada dewasa muda, hasilnya menunjukkan peningkatan harga diri
pada klien dewasa muda yang sebelumnya memiliki harga diri rendah.
c. Strategi keluarga atau kelompok
Melalui terapi keluarga, isu-isu yang berkaitan dengan berfungsinya
keluarga yang kurang baik dan pola asuh yang tidak efektif dapat diatasi.
Strategi ini dapat menjadi pilihan bagi masalah harga diri yang
dimanifestasikan dalam gangguan tidur, ADHD, dan gangguan lain yang
melibatkan peran keluarga. Konseling kelompok memberikan kesempatan
bagi klien untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tepat dan
sehat. Penelitian Nugrahawati & Nugraha (2011) tentang dukungan keluarga
terbukti meningkatkan harga diri pada ODHA.
d. Strategi kemantapan fisik
Olahraga dan bentuk aktivitas fisik lainnya dapat meningkatkan harga diri,
terutama apabila aktivitas tersebut membutuhkan pengembangan
kemampuan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Ratri Nurwati (2010)
35
kepuasan citra tubuh dengan harga diri pada laki-laki yang melakukan
fitnes.
Pada dasarnya banyak terapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan
harga diri selama terapis memiliki pengetahuan yang baik mengenai harga diri
dan mampu memilih terapi yang tepat dan sesuai dengan permasalahan subjek.
Harga diri merupakan sebuah evaluasi diri dan memiliki esensi yang terletak
pada keyakinan dasar yang negatif mengenai dirinya. Keyakinan dasar ini
melibatkan kognisi individu (Coopersmith, dalam Mruk 2006). Oleh karena itu
peneliti memilih menggunakan forgiveness therapy sebagai intervensi yang
juga sesuai untuk membantu meningkatkan harga diri pada individu.
Forgiveness therapy merupakan salah satu terapi yang menggunakan
pendekatan kognitif perilakuan, di mana rangkaian proses pemaafan lebih
banyak menggunakan pendekatan kognitif perilakuan yang menghubungkan
prinsip pemrosesan informasi dan teori belajar (Enright, Freedman & Reque,
dalam Enright & North, 1998). Asumsi dasar terapi kognitif perilakuan adalah
terdapat hubungan timbal balik antara apa yang difikirkan dengan apa yang
dirasakan, fisiologi dan perilaku.
Pendekatan kognitif perilakuan menjadi pendekatan yang paling
empiris untuk menghasilkan metode intervensi untuk harga diri. Teknik-teknik
di dalamnya dapat meningkatkan harga diri dalam berbagai cara. Pertama,
terapis menginterupsi kaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku individu
yang negatif, yang dapat mempertahankan harga diri yang rendah. Kedua,
membuat individu merasa memiliki kelebihan dan kemampuan. Ketiga, melatih
36
kebiasaan-kebiasaan baru sehingga terbentuk hubungan antara pikiran,
pengalaman dan tindakan yang lebih baik (Mruk, 2006). Hal ini sesuai dengan
tujuan dari setiap tahapan forgiveness therapy, yakni tahap membongkar, tahap
memutuskan untuk memaafkan, tahap bekerja dan tahap memperdalam. Oleh
sebab itu penulis menggunakan forgiveness therapy untuk peningkatan harga
diri pada istri dengan kekerasan dalam rumah tangga.
7. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Soeroso (2011) merupakan
sebuah pelanggaran hak salah satu anggota keluarga, yang merugikan korban
baik secara fisik, mental, ekonomi dan sosial, dapat berupa penyiksaan,
penelantaran, pemaksaan dan ancaman yang terjadi dalam lingkup rumah
tangga. Kekerasan terhadap perempuan atau wanita termasuk di dalamnya ialah
istri diperjelas oleh pasal 2 deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan
terhadap perempuan ialah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin
yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual,
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau
dalam kehidupan peribadi (Soeroso, 2011).
Berbagai macam bentuk kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah
tangga, seperti yang dijelaskan oleh Nurhayati (2012) bentuk kekerasan
tersebut mencakup kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi,
kekerasan dengan pengasingan sosial, kekerasan seksual, mengerdilkan atau
menyepelekan dan mengintimidasi. Nurhayati (2012) dan Soeroso (2011) juga
37
menjelaskan bahwa berdasarkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang mereka temui, pada umumnya yang menjadi korban dalam hal tersebut
ialah wanita termasuk di dalamnya istri. Pelaku kekerasan di dalam rumah
tangga, sebagian besar yang menjadi pelaku ialah laki-laki yang berkedudukan
lebih dominan, kuat dan menguasai, termasuk di dalamnya sosok suami.
Dampak dari sebuah kekerasan sangat beragam, termasuk kekerasan di
dalam rumah tangga yang memiliki dampak secara langsung terhadap korban.
Seperti yang dijelaskan oleh Cascardi dkk: O’leary: Shalev, Yehuda &
McFarlance: Watson dkk (dalam Nevid, 2003), selain resiko luka fisik,
kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam lingkup domestik dapat