Page 1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan merupakan sistem ekskresi utama dan terdiri atas 2 ginjal
(untuk menyekresi urine), 2 ureter (mengalirkan urine dari ginjal ke kandung
kemih), kandung kemih (tempat urine dikumpulkan dan disimpan sementara),
dan uretra (mengalirkan urine dari kandung kemih ke luar tubuh (Nurachmah &
Angriani, 2011).
Gambar 2.1
Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan
Sumber: Azizahslideshare, 2010
1. Ginjal
Ginjal terletak secara retroperitoneal, pada bagian posterior abdomen, pada
kedua sisi kolumna vertebra. Mereka terletak antara vertebra torakal
keduabelas dan lumbal ketiga. Ginjal kiri biasanya terletak sedikit lebih
tinggi dari ginjal kanan karena letak hati. Ginjal orang dewasa secara rata –
rata memiliki panjang 11 cm, lebar 5 – 7,5 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Hal
10
13
Page 2
2
yang menahan ginjal tetap pada posisi di belakang peritonium parietal
adalah sebuah masa lemak peritoneum (kapsul adiposa) dan jaringan
penghubung yang disebut fasia gerota (subserosa) serta kapsul fibrosa
(kapsul renal) membentuk pembungkus luar dari ginjal itu sendiri, kecuali
bagian hilum. Ginjal dilindungi lebih jauh lagi oleh lapisan otot di
punggung pinggang, dan abdomen, selain itu juga oleh lapisan lemak,
jaringan subkutan, dan kulit (Black & Hawk, 2014).
Bila dibelah bagian dalam, ginjal mempunyai tiga bagian yang berbeda,
yaitu korteks, medula, dan pelvis. Bagian eksternal, atau korteks renal,
berwarna terang dan tampak bergranula. Bagian ginjal ini berisi glomerulus,
kumpulan kecil kapiler. Glomerulus membawa darah menuju dan membawa
produk sisa dari nefron, unit fungsional ginjal (LeMone, 2015).
Satuan fungsional ginjal disebut nefron. Setiap ginjal mempunyai lebih
kurang 1 - 1,3 juta nefron yang selama 24 jam dapat menyaring 170 – 180
liter darah dari arteri renalis (Syaifuddin, 2011). Ginjal tidak dapat
membentuk nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma ginjal, penyakit
ginjal, atau proses penuaan yang normal, akan terjadi penurunan jumlah
nefron secara bertahap. Setelah usia 40 tahun, jumlah nerfron yang
berfungsi biasanya menurun kira – kira 10 persen setiap 10 tahun; jadi, pada
usia 80 tahun, jumlah nefron berfungsi 40 persen lebih sedikit ketika usia 40
tahun. Setiap nefron terdiri atas: (1) kumpulan kapiler disebut glomerulus,
yang akan memfiltrasi sejumlah besar cairan dan darah, dan (2) tubulus
Page 3
3
panjang tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urine dalam
perjalanannya menuju pelvis ginjal (Guyton & Hall, 2014).
Gambar 2.2
Nefron dan Pembuluh Darah
Sumber: Auliyaslideshare, 2010
Pembentukan urine proses seluruhnya oleh nefron melalui tiga proses, yaitu
filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus (LeMone, 2015).
a. Filtrasi Glomerulus.
Filtrasi glomerulus adalah sebuah proses pasif, yaitu tekanan hidrostatik
mendorong cairan dan zat terlarut melewati suatu membran. Jumlah
cairan yang disaring dari darah ke dalam kapsul per menit disebut laju
filtrasi glomerulus. Tiga faktor yang mempengaruhi laju ini, yaitu total
area permukaan yang ada untuk filtrasi, permeabilitas membran filtrasi,
dan tekanan filtrasi bersih. Tekanan filtrasi bersih berperan untuk
pembentukan filtrat dan ditentukan oleh dua gaya: gaya dorong
(tekanan hidrostatik) dan gaya tarik (tekanan osmotik). Tekanan
hidrostatik glomerulus mendorong air dan zat terlarut menembus
membran. Tekanan ini dilawan oleh tekanan osmotik di glomerulus
Page 4
4
(terutama tekanan osmotik koloid protein plasma dalam darah
glomerulus) dan tekanan hidrostatik kapsul yang dikeluarkan oleh
cairan dalam kapsul glomerulus.
b. Reabsorpsi Tubulus.
Reabsorbsi tubulus adalah proses yang dimulai saat filtrat memasuki
tubulus proksimal. Pada ginjal sehat, hampir semua nutrien organik
(seperti glukosa dan asam amino) direabsorpsi. Namun, tubulus secara
konstan mengatur dan menyesuaikan laju serta tingkat reabsorpsi air
dan ion sebagai respon terhadap sinyal hormonal. Reabsorbsi dapat
terjadi secara aktif dan pasif. Zat yang didapat kembali melalui
reabsorpsi tubulus aktif biasanya bergerak melawan gradien listrik dan/
atau kimia. Zat – zat ini, termasuk glukosa, asam amino, laktat, vitamin,
dan sebagian besar ion, membutuhkan ATP-dependent carrier untuk
dipindahkan ke ruang interstisial. Pada reabsorpsi tubulus pasif, yang
mencakup difusi dan osmosis, zat bergerak di sepanjang gradiennya
tanpa mengeluarkan energi.
c. Sekresi Tubulus.
Proses akhir pembentukan urine adalah sekresi tubulus, yang
merupakan reabsorpsi balik yang penting. Zat seperti ion hidrogen dan
kalium, kreatinin, amonia, dan asam organik bergerak dari darah di
kapiler peritubulus menuju tubulus itu sendiri sebagai filtrat. Dengan
demikian, urine terdiri atas zat yang disaring dan disekresi. Sekresi
tubulus sangat diperlukan untuk membuang zat yang tidak ada dalam
Page 5
5
filtrat, seperti obat – obatan. Proses ini membuang zat yang tidak
diinginkan yang telah direabsorpsi oleh proses pasif dan menghilangkan
ion kalium tubuh yang berlebihan. Sekresi tubulus juga merupakan
kekuatan penting dalam pengaturan pH darah.
Glomerulus Filtrasi Rate (GFR) terukur dianggap sebagai cara yang paling
akurat mendeteksi perubahan fungsi ginjal. Nilai normal GFR adalah 90 –
120 mL/menit. Estimate GFR (eGFR) dapat digunakan untuk menghitung
fungsi ginjal berdasarkan pada kreatinin serum, usia, dan jenis kelamin.
National Kidney Foundation merekomendasi bahwa eGFR dapat dihitung
secara otomatis setiap kali dilakukan pemeriksaan kreatinin (LeMone,
2015).
Hormon paratiroid dari kelenjar paratiroid dan kalsitonin dari kelenjar tiroid
bersama – sama mengatur reabsorbsi kalsium dan fosfat. Hormon
antidiuretik (ADH) dari lobus posterior kelenjar hipofisis meningkatkan
permeabilitas tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus, meningkatkan
reabsorpsi air. Aldosteron, disekresi oleh korteks adrenal, meningkatkan
reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium. Peptida natriuretik atrial disekresi
oleh atrium jantung dalam berespons terhadap peregangan dinding atrium,
penurunan reabsorpsi natrium dan air di tubulus kontortus proksimal dan
duktus kolektivus. Hormon ini juga menghambat sekresi ADH dan
aldosteron (Nurachmah, 2011).
Page 6
6
2. Ureter
Ureter membentuk cekungan di medial pelvis renalis pada hilus ginjal.
Biasanya sepanjang 25 – 35 cm di orang dewasa, ureter terletak di jaringan
penghubung ekstraperitoneal dan memanjang secara vertikal sepanjang otot
psoas menuju ke pelvis. Setelah masuk ke rongga pelvis, ureter memanjang
ke anterior untuk bergabung dengan kandung kemih di bagian
posterolateral. Pada setiap sudut ureterovesika, ureter terletak secara oblik
melalui dinding kandung kemih sepanjang 1,5 – 2 cm sebelum masuk ke
ruangan kandung kemih (Black & Hawks, 2014).
Ureter mempunyai tiga penyempitan sepanjang perjalanannya, yaitu: (1)
ditempat pelvis renalis berhubungan dengan ureter, (2) di tempat ureter
melengkung pada waktu menyilang apertura perlvis superior, (3) di tempat
ureter menembus dinding vesica urinaria (Snell, 2011). Pembuluh darah
yang memperdarahi ureter adalah arteri renalis, arteri spermatika interna,
arteri hipogastrika, dan arteri vesikalis inferior. Persarafan ureter cabang
dari pleksus mesenterikus inferior, pleksus spermatikus, dan pleksus pelvis.
Sepertiga bawah dari ureter terisi sel – sel saraf yang bersatu dengan rantai
aferen dan nervus vagus. Rantai aferen dari nervus torakalis XI, XII, dan
nervus lumbalis (Syaifuddin, 2011).
3. Kandung Kemih
Kadung kemih adalah organ kosong yang terletak pada separuh anterior dari
pelvis, di belakang simfisis pubis. Jarak antara kandung kemih dan simfisis
pubis diisi oleh jaringan penghubung yang longgar, yang memungkinkan
Page 7
7
kandung kemih untuk melebar ke arah kranial ketika terisi. Peritonium
melapisi tepi atas dari kandung kemih, dan bagian dasar ditahan secara
longgar oleh ligamen sejati. Kandung kemih juga dibungkus oleh sebuah
fasia yang longgar (Black & Hawks, 2014).
Dinding ureter mengandung otot polos yang tersusun dalam berkas spiral
longitudinal dan sirkuler. Kontraksi peristaltik teratur 1 – 5 kali/menit
menggerakan urine dari pelvis renalis ke vesika urinaria, disemprotkan
setiap gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding vesika
urinaria untuk menjaga ureter tertutup kecuali selama gelombang peristaltik
dan mencegah urine tidak kembali ke ureter (Syaifuddin, 2011).
4. Uretra dan Meatus
Uretra adalah sebuah saluran yang keluar dari dasar kandung kemih ke
permukaan tubuh. Uretra pada laki – laki dan perempuan memiliki
perbedaan besar. Uretra perempuan memiliki panjang sekitar 4 cm dan
sedikit melengkung ke depan ketika mencapai bukaan keluar, atau meatus,
yang terletak di antara klitoris dan lubang vagina. Pada laki – laki, uretra
merupakan saluran gabungan untuk sistem reproduksi dan pengeluaran
urine. Uretra pada lakui – laki memiliki panjang sekitar 20 cm, dan terbagi
dalam 3 bagian utama. Uretra pars prostatika menjulur sampai 3 cm di
bawah leher kandung kemih, melalui kelenjar prostat, kedasar panggul.
Uretra pars membranosa memiliki panjang sekitar 1 – 2 cm dan berakhir di
mana lapisan otot membentuk sfingter eksterna. Bagian distal adalah
Page 8
8
kavernosa, atau penis uretra. Sepanjang sekitar 15 cm, bagian ini melintas
melalui penis ke orifisum uretra pada ujung penis (Black & Hawks, 2014).
B. Konsep End stage renal disease (ESRD)
1. Pengertian
End stage renal disease (ESRD) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
sehingga menyebabkan uremia. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal
pada penyakit ginjal kronik. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal
lebih dari 3 bulan dan laju filtrasi glomerulus sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,7m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik (Black &
Hawks, 2014).
End stage renal disease adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat
fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal) (Nursalam, 2011). End stage renal disease adalah
perburukan fungsi ginjal yang lambat, progresif, dan irrefersibel yang
menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang produk sisa dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Akhirnya ini
mengarah ke penyakit ginjal stadium akhir dan membutuhkan terapi
pengganti ginjal untuk mempertahankan hidup (Patricia, 2011).
Page 9
9
Penyakit end stage renal disease adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya,
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati,
2014)
Penyakit ginjal kronik adalah suatu kondisi ginjal yang mengalami
penurunan fungsi disebabkan yang beragam, menyebabkan kerusakan
jaringan ginjal progresif dan kehilangan fungsi. Unit nefron hilang dan masa
ginjal berkurang, dengan perburukan progresif pada filtrasi glomerulus,
sekresi tubulus, dan reabsorpsi. Ginjal tidak dapat mengekskresikan sisa
metabolik dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit secara adekuat,
kondisi yang disebut sebagai gagal ginjal atau penyakit ginjal stadium akhir/
end stage renal disease (LeMone, 2015).
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan
ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic,
cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik
dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus
urinarius dan ginjal.
Page 10
10
2. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, penyebab utama dan
insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat adalah diabetes meletus,
hipertensi, glomerulonefritis, nefritis interstisialis, dan penyakit lain (Setiati,
2014). Sedangakan, Perhimpunan Nefrologi Indonesia mencatat penyebab
gagal ginjal adalah glomerulonephritis, diabetes mellitus, obstruksi dan
infeksi, hipertensi dan sebab lain. Yang dikelompokkan dalam sebab lain
adalah nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (Sudoyo, 2009).
Penyebab gagal ginjal beragam diantaranya adalah glomerulonefritis kronis,
ARF, penyakit ginjal polikistik, obstruksi, pielonefritis berulang, dan
nefrotoksin. Penyakit sistemik, seperti diabetes meletus, hipertensi, lupus
eritematosus, dan poliarteritis dapat menyebabkan end stage renal disease
(Black & Hawks, 2014).
3. Manifestasi Klinis
Penyakit ginjal kronik seringkali tidak teridentifikasi hingga tahap uremik
akhir tercapai. Uremia, yang secara harfiah berarti urine dalam darah, adalah
sindrom atau kumpulan gejala yang terkait dengan end stage renal disease.
Pada uremia, keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu, pengaturan dan
fungsi endokrin ginjal rusak, dan akumulasi produk sisa secara esensial
memengaruhi setiap sistem organ lain. Manifestasi awal uremia mencakup
mual, apatis, kelemahan, dan keletihan, gejala kerap kali keliru dianggap
sebagai infeksi virus atau influenza. Ketika kondisi memburuk, muntah
Page 11
11
sering, peningkatan kelemahan, letargi, dan kebingungan muncul (LeMone,
2015).
Pada insufisiensi ginjal, dapat timbul polyuria karena ginjal tidak mampu
memekatkan urin. Pada gagal ginjal, pengeluaran urin turun akibat
Glomerular Filtration Rate (GFR) yang sangat rendah. Hal ini
menyebabkan peningkatan beban volume, ketidakseimbangan elektrolit,
asidosis metabolik, azotemia, dan uremia. Pada penyakit ginjal stadium
akhir, terjadi azotemia dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk,
yang secara mencolok merangsang kecepatan pernafasan. Timbul hipertensi,
anemia, osteodistrofi, hyperkalemia, ensefalopati uremik, dan pruritus.
Dapat terjadi gagal jantung kongestif dan pericarditis. Tanpa pengobatan
maka akan terjadi koma dan kematian (Corwin, 2001).
Gambaran klinik klien end stage renal disease menurut Sudoyo (2009)
meliputi;
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi dan
hiperurikemia, dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anorexia, mual dan
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
pericarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit.
Page 12
12
4. Stadium End stage renal disease
Stadum penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologis. Menurut Sudoyo (2009),
stadium berdasarkan derajat penyakit, dibuat atas dasar Laju Filtrasi
Glomerulus (GFR) yang dihitung dengan mempergunakan rumus Cockroft-
Gault sebagai berikut:
LFG(
mlmnt
1,73m2) =
(140 − umur)xBerat Badan
72 x kreatinin plasma mg/dl
Cat: Pada perempuan dikalikan dengan 0,85
Rumus diatas dapat digunakan untuk mengetahui secara cepat stadium end
stage renal disease dengan melihat hasil kreatinin, umur, jenis kelamin,
berat badan. Hasil dari perhitungan dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1
Stadium End stage renal disease (ESRD)
STAGE GFR
(ml/min/1.73m2) Deskripsi dan Manifestasi
1 ≥90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
Asimtomatik; BUN dan kreatinin normal
2 60-89
Penurunan ringan GFR
Asimtomatik, kemungkinan hipertensi; pemeriksaan darah
biasanya dalam batas normal
3 30-59
Penurunan sedang GFR
Hipertensi; kemungkinan anemia dan keletihan, anorexia,
kemungkinan malnutrisi, nyeri tulang; kenaikan ringan BUN dan
kreatinin serum
4 15-29
Penurunan berat GFR
Hipertensi, anemia, malnutrisi, perubahan metabolisme tulang;
edema, asidosis metabolik, hiperkalsemia; kemungkinan uremia;
azotemiadengan peningkatan BUN dan kadar kreatinin serum
5 <15 Penyakit ginjal stadium akhir
Gagal ginjal dengan azotemia dan uremia nyata
Sumber: National Kidney Foundation dalam LeMone (2015)
Page 13
13
5. Patofisiologi.
Patofisiologi end stage renal disease beragam, tergantung pada proses
penyakit penyebabnya. Proses patologi umum yang menyebabkan
kerusakan nefron, end stage renal disease, dan gagal ginjal. Tanpa melihat
penyebab awal, glomeruloklerosis dan inflamasi interstisial dan fibrosis
adalah ciri khas end stage renal disease dan menyebabkan penurunan fungsi
ginjal (Copstead & Banasik, 2010). Seluruh unit nefron secara bertahap
hancur. Pada tahap awal, saat nefron hilang, nefron fungsional yang masih
ada mengalami hipertofi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat
dalam nefron ini dan lebih banyak partikel zat terlarut disaring untuk
mengkompensasi massa ginjal yang hilang. Kebutuhan yang meningkat ini
menyebabkan nefron yang masih ada mengalami sklerosis (jaringan parut)
glomerulus, menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya. Proteinuria
akibat kerusakan glomerulus diduga menjadi penyebab cedera tubulus.
Proses hilangnya fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus berlangsung
meskipun setelah proses penyakit awal telah teratasi (Fauci et al., 2008).
Perjalanan end stage renal disease beragam, berkembang selama periode
bulanan hingga tahunan. Pada tahap awal, seringkali disebut penurunan
cadangan ginjal, nefron yang tidak terkenan mengkompensasi nefron yang
hilang. GFR sedikit turun dan pada pasien asimtomatik disertai BUN dan
kadar kreatinin serum normal. Ketika penyakit berkembang dan GFR turun
lebih lanjut, hipertensi dan beberapa manifestasi insufisiensi ginjal dapat
muncul. Serangan berikutnya pada ginjal di tahap ini (misalnya infeksi,
dehidrasi, atau obstruksi saluran kemih) dapat menurunkan fungsi dan
Page 14
14
memicu awitan gagal ginjal atau uremia nyata lebih lanjut. Kadar serum
kreatinin dan BUN naik secara tajam, klien menjadi oliguria, dan
manifestasi uremia muncul. Pada end stage renal disease tahap akhir, GFR
kurang dari 10% normal dan terapi pengganti ginjal diperlukan untuk
mempertahankan hidup (LeMone, 2015).
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif, yang ditandai oleh peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, klien masih belum
merasakan keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada klien
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, klien memperlihatkan gejala
dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Klien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan klien sudah memerlukan
terapi pengganti ginjal antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan in klien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Sudoyo,
2009).
Page 15
15
6. Penatalaksanaan.
Pada umumnya keadaan sudah sedemikian rupa sehingga etiologi tidak
dapat diobati lagi. Usaha harus ditunjukan untuk mengurangi gejala,
mencegah kerusakan/ pemburukan faal ginjal (Yuli, 2015).
a. Pengaturan Minum
Pengaturan minum dasarnya adalah memberikan cairan sedemikian rupa
sehingga dicapai diurisis maksimal. Bila cairan tidak dapat diberikan per
oral maka diberikan per parental. Pemberian yang berlebihan dapat
menimbulkan penumpukan di dalam rongga badan dan dapat
membahayakan seperti hipervolemia yang sangat sulit diatasi.
b. Pengendalian Hipertensi
Tekanan darah sedapat mungkin harus dikenadalikan. Pendapat yang
menyatakan penurunan tekanan darah selalu memperburuk faal ginjal
tidaklah benar. Dengan obat tertentu tekanan darah dapat diturunkan
tanpa mengurangi faal ginjal, misalnya dengan beta bloker, alpa
metildopa, vasoldilator. Mengurangi intake garam dalam rangka ini
harus hati – hati karena tidak semua renal failure disertai retensi
Natrium.
c. Pengendalian K dalam Darah
Pengendalian kalium darah sangat penting, karena peninggian K dapat
menimbulkan kematian mendadak. Yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia karena tindakan kita sendiri seperti
obat – obatan, diet buah dan lain – lain. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosa dengan EEG dan EKG. Bila
Page 16
16
terjadi hiperkalemia maka pengobatannya dengan mengurangi intake K,
pemberian Na Bikarbonat dan pemberian infuse glukosa.
d. Penanggulangan Anemia
Anemia merupakan masalah yang sulit ditanggulangi pada end stage
renal disease. Usaha pertama harus ditujukan mengatasi faktor
defisiensi, kemudian mecari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat
diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meningkatkan Hb. Transfusi darah hanya dapat diberikan bila indikasi
yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner.
e. Penanggulangan Asidosis
Pada umumnya asidosis baru bergejala pada taraf lebih lanjut. Sebelum
memberi pengobatan yang khusus faktor lain harus diatasi terlebih
dahulu, khususnya dehidrasi. Pemberian asam melalui makanan dan
obat – obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan per
oral atau parenteral. Pada pemulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi
intravena perlahan – lahan, kalau perlu diulang. Hemodialisa dan dialisis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
f. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi
Ginjal yang sakit lebih mudah mengalami infeksi dari pada biasanya.
Klien end stage renal disease dapat ditumpangi pyelonefritis di atas
penyakit dasarnya. Adanya pyelonefritis ini tentu memperburuk lagi faal
ginjal. Obat – obat antimikroba diberi bila ada bakteri uria dengan
perhatian khusus karena banyak diantara obat – obat yang toksik
terhadap ginjal atau keluar melalui ginjal. Tindakan yang mempengaruhi
saluran kencing seperti kateterisasi sedapat mungkin harus dihindarkan.
Page 17
17
Infeksi ditempat lain secara tidak langsung dapat pula menimbulkan
permasalahan yang sama dan pengurangan faal ginjal.
g. Pengurangan Protein dalam Makanan
Protein dalam makanan harus diatur. Pada dasarnya jumlah protein
dalam makanan dikurangi, tetapi tindakan ini jauh lebih menolong juga
bila protein tersebut dipilih. Diet dengan rendah protein yang
mengandung asam amino esensial, sangat menolong bahkan dapat
dipergunakan pada klien end stage renal disease untuk mengurangi
jumlah dialisis.
h. Pengobatan Neuropati
Neuropati timbul pada keadaan yang lebih lanjut. Biasanya neuropati ini
sukar diatasi dan merupakan salah satu indikasi untuk dialisis. Pada
klien yang sudah dialisispun neuropati masih dapat timbul.
i. Dialisis
Dasar dialisis adalah adanya darah yang mengalir dibatasi selaput semi
permiabel dengan suatu cairan (cairan dialisis) yang dibuat sedemikian
rupa sehingga komposisi elektrolitnya sama dengan darah normal.
Dengan demikian diharapkan bahwa zat – zat yang tidak diinginkan dari
dalam darah akan berpindah ke cairan dialisis dan kalau perlu air juga
dapat ditarik kecairan dialisis.
j. Transplantasi
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pembuluh darah pada klien
end stage renal disease maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang
baru. Ginjal yang sesuai harus memenuhi beberapa persyaratan yang
utama adalah bahwa ginjal tersebut diambil dari orang/ mayat yang
Page 18
18
ditinjau dari segi imunologik sama dengan klien. Pemilihan dari segi
imunologik ini terutama dengan pemeriksaan HLA.
C. Hemodialisa
1. Pengertian
Hemodialisa adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisa. Hemodialisa merupakan salah satu
bentuk terai pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisa dilakukan
pada penderita penyakit ginjal kronik stadium V dan pada klien dengan AKI
(Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal (Daurgirdas,
2011).
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada klien dalam
keadaan sakit akut memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau klien dengan penyakit ginjal stadium
terminal/End Stage Renal Disease yang membutuhkan terapi jangka
panjang atau terapi permanen (Smeltzer C, 2002).
Hemodialisa dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan
komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran
semipermiabel (membran dialisis). Saat ini terdapat berbagai definisi
hemodialisa, tetapi pada prinsipnya hemodialisa adalah suatu proses
pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu
Page 19
19
membran yang semipermiabel yang dilakukan pada klien dengan gangguan
fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (Setiati, 2014).
Hemodialisa merupakan tindakan atau terapi yang digunakan pada klien
yang mengalami gangguan ginjal atau end stage renal disease. Fungsinya
adalah untuk mengeluarkan hasil metabolisme tubuh yang tidak berguna.
Hemodalisa tidak menyembuhkan gagal ginjal tetapi hanya
mempertahankan kesehatan klien. Hemodialisa dilakukan 2 atau 3x
seminggu, selama 4 – 5 jam perkali terapi, ini tergantung dengan kebutuhan
klien.
Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat – zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah klien ke dializer tempat darah terebut dibersihkan
dan kemudian dikembalikan ketubuh klien. Ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Bagi penderita end
stage renal disease, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun
demikian, hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan
penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas
metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari gagal
ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup klien (Cahyaningsih, 2009).
2. Proses Hemodialisa
Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah kedalam suatu tabung
(dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah klien
dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput
Page 20
20
semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat.
Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi
larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah terpisah
akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi
zat terlarut sama dikedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air
juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan
dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada
kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi
(Sudoyo, 2009).
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih
lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan
perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi
di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di
kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan
dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan
darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya
berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama
dikedua kompartemen (Sudoyo, 2009).
Page 21
21
3. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari tindakan hemodialisa adalah
(Kuhman, 2004):
a. Nyeri dada: dapat terjadi karena terjadi penurunan PCO2 bersamaan
dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh
b. Pruritus: dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
c. Gangguan keseimbangan dialisis: terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serang kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
d. Malnutrisi: akibat kontrol diet dan kehilangan nutrien selama
hemodialisa, 60% klien end stage renal disease yang menjalani
hemodialisa menderita malnutrisi.
e. Fatigue dan kram: klien end stage renal disease yang menjalani
hemodialisa mudah mengalami fatigue akibat hipoksia yang disebabkan
oleh edema pulmoner. Edema pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan
sodium, sedangkan hipoksia bisa terjadi akibat pneumonitis
uremik/pleuritis uremik.
f. Gangguan tidur: gangguan tidur umum dialami klien yang menjalani
hemodialisa, dengan faktor penyebab yang beragam. Penyakit ginjal
kronik dapat menyebabkan gangguan tidur akibat dari kondisi uremik
yang dialami klien. Sedangkan pada klien yang menjalani terapi
hemodialisa gangguan tidur dapat terjadi akibat tidak adekuatnya dialisis
Page 22
22
dan berbagai faktor lain yang berpengaruh akibat dari kondisi penyakit
dan terapinya.
Klien end stage renal disease yang menjalankan terapi hemodialisa juga
akan memiliki gejala fatigue akibat malnutrisi/defisiensi nutrisi berkaitan
dengan anemia, kurangnya istirahat dan inefektivitas aktivitas. Untuk
memahami konsep fatigue, dapat diuraikan pada konsep berikut.
D. Fatigue
1. Pengertian
Fatique adalah bahasa latin “fatigare” yang berarti hilang lenyap (waste
time). Secara umum dpat diartikan sebagai perubahan dari keadaan yang
lebih kuat keadaan yang lebih lemah. Work Cover New South Wales dalam
menerapkan peraturan di tahun 2006 pada fatigue, mendefinisikan fatigue
sebagai perasaan letih yang berasal dari aktivitas fisik tubuh atau
kemunduran mental tubuh. Fatigue mempengaruhi kapasitas fisik, mental
dan tingkat emosional seseorang dimana dapat mengurangi kurangnya
kewaspadaan, ditandai dengan kemunduran reaksi pada sesuatu dan
berkurangnya kemampuan motorik (Australian Safty and Compensation
Council, 2006).
Fatigue dapat juga didefinisikan sebagai penurunan kapabilitas untuk
bekerja fisik atau mental, atau perasaan subjektif sehingga seseorang tidak
dapat lagi mengerjakan tugasnya, dan merupakan fungsi dari kurangnya
tidur, perubahan ritme sirkadian dan waktu bertugas. Fatigue juga
Page 23
23
didefinisikan sebagai perasaan lelah secara fisik atau mental yang dialami
oleh seseorang baik ditunjukkan oleh perasaan subjektif maupun penurunan
kinerja (Horigan, 2012). Fatigue sebagi rasa lelah yang dirasakan seseorang.
Menurutnya dalam kondisi fisiologi normal, fatigue dapat berupa perasaan
merasa lemah atau lelah sebagai dampak dari penggunaan tenaga berulang
atau berupa penurunan respon sel, jaringan, atau organ setelah stimulasi
yang berlebihan.
2. Klasifikasi Fatique
Fatigue umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatnya (Priyanto,
2010), diantaranya:
a. Physical fatique, dapat terjadi ketika seseorang mulai mengurangi
kemampuan fisik yang digunakan dari biasanya karena jenis pekerjaan
yang sangat banyak pada setiap jam kerjanya. Pada umumnya seseorang
dapat berkerja secara terus menerus dalam waktu 50 menit perjam atau
35% pada 8 jam kerja digunakan sebagai aktivitas fisik maksimal untuk
menghindari adanya fatigue.
b. Circadian fatique, ditandai dengan denyut nadi yang lemah, pelan atau
cepat.
c. Acute fatique, terjadi pada suatu aktivitas tubuh/otot, terutama
dikarenakan banyak menggunakan otot, gangguan kebisingan dan
sebagainya. Hal ini disebabkan karena suatu organ atau seluruh tubuh
bekerja secara terus menerus dan melebihi kapasitas tubuh. Fatigue ini
akan hilang dengan istirahat cukup atau menghilangkan gangguan –
gangguannya.
Page 24
24
d. Commulative Fatique, adalah fatigue yang disebabkan fatigue fisik
atau mental yang terjadi pada periode waktu tertentu. Salah satu
penyebab fatigue ini adalah kurangnya waktu istirahat.
Fatigue yang dialami klien end stage renal disease yang menjalankan
hemodialisa dapat dikategorikan fatigue fisik dan fatigue mental (Horigan,
2012). Fatigue fisik adalah kurangnya kekuatan fisik dan energi yang
membuat mereka merasa lemas, lelah seperti tidak bertenaga. Fatigue fisik
timbul disebabkan oleh terjadinya anemia, kurang nafsu makan, aktivitas
rutin yang berlebihan. Fatigue mental adalah fatigue mental yang membuat
klien merasa bosan dalam menjalani terapi hemodialisa secara terus
menerus dan merasa tidak memiliki harapan hidup. Chronic fatique,
merupakan fatigue yang terus menerus terakumulasi dalam tubuh akibat dari
tugas yang terus menerus tanpa pengaturan jarak tugas yang baik atau
teratur. Fatigue ini berlangsung setiap hari, berkepanjangan dan bahkan
telah terjadi sebelum memulai suatu pekerjaan. Fatigue ini diperoleh dari
tugas terdahulu yang belum hilang hingga diteruskan dengan tugas kerja
selanjutnya, berkelanjutan setiap harinya dan tingkat fatiguenya akan
semakin bertambah.
Penelitian yang dilakukan Sulistini (2012) tentang faktor – faktor yang
mempengaruhi fatigue pada klien yang menjalani hemodialisa
menyimpulkan bahwa pasien yang menjalani hemodialisa cenderung
mengalami fatigue dan banyak faktor yang berhubungan dengan kondisi
tersebut seperti faktor fisik, sosial ekonomi, demografi dan situasional.
Page 25
25
Peran perawat dalam memberikan intervensi keperawatan selalu
menggunakan pendekatan yang holistic untuk mendapatkan hadil yang
efektif dalam pemberian asuhan keperawatan. Penelitian yang dilakukan
Sodikin dan Suparti (2015) tentang fatigue pada gagal gnjal terminal yang
menjalani hemodialisa menyimpulkan bahwa sebagian responden
mengalami fatigue sedang (67%), diikuti masing – masing mengalami
fatigue ringan dan berat (16,5%). Tidak ada hubungan antara usia, jenis
kelamin, pendidikan, akses hemodialisa dan lamanya hemodialisa terhadap
tingkat fatigue dengan p value > 0,05. Sedangkan ada hubungan antara
riwayat olahraga klien dengan tingkat fatigue pasien hemodialisa dengan p
value < 0,02.
3. Alat Ukur Fatigue
Alat ukur fatigue dapat dilakukan dengan pengukuran Visual Analogue
Scale for Fatigue (VAS - F) adalah jenis pengukuran untuk menentukan
derajat atau tingkat kelelahan dari seseorang, pengukuran ini dilakukan
dengan cara responden mengisi skala dari angka 0 - 10 yang sudah
disediakan oleh peneliti, nilai 0 adalah nilai normal sedangkan nilai 10
adalah kondisi sangat lelah. 0 = tidak merasa lelah, 1-3 = merasa lelah
ringan, 4-6 = merasa lelah sedang, 7-9 = merasa lelah berat, 10 = lelah
sangat berat (Stanford, 2012).
Page 26
26
Gambar 2.3
Visual Analogue Scale for Fatigue (VAS - F)
Sumber: Kim et al., 2010
Fatigue merupakan masalah keperawatan yang sering muncul pada klien
end stage renal disease yang menjalani hemodialisa. Perlunya intervensi
keperawatan untuk mengatasi atau mengurangi fatigue pada klien
hemodialisa. Intervensi keperawatan yang dapat dikembangkan adalah
management self care fatigue.
E. Konsep Management Self Care Fatigue.
1. Pengertian
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem’s adalah “Suatu
pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu sendiri
untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahaankan kehidupan, kesehatan
dan kesejahteraannya sesuai dengan keadaan, baik sehat maupun sakit “
(Aligood Tomey, 2010). Self care yang didasarkan kemauan untuk hidup
sehat dalam diri sendiri dapat membantu individu untuk melakukan praktik
mengatasi masalah keperawatannya dengan baik.
Teori yang disampaikan oleh Dorothea E. Orem mengenal “self Care”
adalah teori keperawatan yang menekankan pada kemampuan individu
Page 27
27
untuk memenuhi kebutuhan self carenya secara mandiri, selama masih
memungkinkan kondisisnya dan menekankan supaya individu menjadi agen
self care bagi dirinya sendiri (Hidayati, 2013). Definisi self-care menurut
(Riegel et.al 2004 dalam Yuliana 2012) adalah sebuah proses pengambilan
keputusan secara naturalistic terhadap pemilihan tingkah laku untuk
mempertahankan stabilitas fisiologi (self-care maintenance) dan respon
terhadap gejala yang dialami (self-care management). Self care
didefinisikan sebagai aktivitas praktek seseorang untuk berinisiatif dan
menunjukan dengan kesadaran dirinya sendiri untuk memelihara kehidupan,
fungsi kesehatan, melanjutkan perkembangan dirinya, dan kesejahteraan
dengan menemukan kebutuhan untuk pengaturan fungsi dan perkembangan
(Alligood & Tomey, 2010). Jika dilakukan secara efektif, upaya perawatan
diri dapat memberikan konstribusi bagi integritas structural fungsi dan
perkembangan manusia.
Area hermodialisis merupakan salah satu area praktik keperawatan untuk
mengaplikasikan teori self-care orem ini dimana aplikasi ini akan sesuai dan
penting sekali untuk klien untuk aktif terlibat dalam perawatan dirinya.
Tujuan utama praktek keperawatan adalah untuk membantu klien
menyiapkan diri untuk berperan serta secara adekuat dalam perawatan
dirinya dengan cara meningkatkan outcame klien dan kualitas hidup.
Sebagai perawat, kita dapat melakukan hal tersebut dengan membentuk
hubungan saling percaya antara perawat dan klien, menyediakan dukungan
dan edukasi, memperbolehkan klien mengontrol beberapa situasi dengan
Page 28
28
berparsitipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong klien untuk
aktif berparsitipasi dalam treatmen hemodialisa (Simmons, 2009).
Diagnosa keperawatan menurut NANDA tentang kesiapan meningkatkan
kesehatan manajemen diri adalah salah satu diagnosa yang ada kaitannya
dengan management self care fatigue. Perawat dapat membuat intervensi
berdasarkan Nursing Care Plann untuk mengatasi masalah tersebut salah
satunya adalah dengan edukasi, sehingga klien mampu melakukan
perawatan secara mandiri (Herdman, 2015).
Sistem perawatan didasarkan pada sistem kebutuhan perawatan mandiri dan
kemampuan klien melakukan aktivitas perawatan dirinya. Apabila individu
yang mengalami kurang perawatan diri berarti terdapat kesenjangan antara
hal-hal yang dapat dilakukan individu (self care agency) dan yang
dibutuhkan individu (self care demand) klien dalam perawatan diri, supaya
dapat berfungsi secara optimal sehingga diperlukan perawatan (Alligood &
Tommey, 2010).
Sistem perawatan didesain berupa sistem tindakan yang dilakukan oleh
perawat untuk melatih/meningkatkan self care agency seseorang yang
mengalami keterbatasan dalam pemenuhan self care. Terdapat tiga
tingkatan/kategori sistem keperawatan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan self care klien sebagai berikut (Alligood & Tommey, 2010):
Page 29
29
a. Wholly Compensatory system
Merupakan situasi dimana individu tidak dapat melakukan tindakan
perawatan diri secara mandiri dan mengontrol pergerakan atau dalam
penalaksanaan medis supaya tidak melakukan aktifitas. Ada tiga kondisi
yang masuk dalam kategori ini adalah: 1) Tidak dapat melakukan
tindakan perawatan diri secara mendiri, 2) Bisa melakukan aktivitas,
tetapi tidak boleh karena kondisinya, dan 3) Tidak mampu memberikan
alasan perawatan diri, tapi dapat dengan bimbingan, seperti pada klien
gangguan kognitif
b. Partially Compensatory System
Merupakan situasi dimana perawat dan klien bersama-sama melakukan
aktivitas sehari-hari, perawatan diri dan atau ambulasi. Perawat
mengambil alih beberapa aktivitas yang tidak dapat dilakukan oleh klien
dalam pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya, misalnya pada klien
lansia, klien paraplegia, dan lain-lain.
c. Supportif Educatif System
Merupakan kondisi dimana klien mampu dan dapat belajar untuk
melakukan perawatan diri yang dibutuhkan, tetapi memerlukan bantuan.
Pada sistem ini klien melakukan semua kebutuhan perawatan dirinya,
tetapi klien membutuhkan bantuan untuk pembuatan keputusan,
mengendalikan perilakunya dan mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan.
Tujuan dari penerapan teori self care Orem pada penelitian ini pada klien
gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa terhadap management self
Page 30
30
care fatigue adalah diharapkan klien mampu memenuhi semua kebutuhan
perawatan dirinya dalam mengatasi masalah keperawatan fatigue secara
mandiri. Sistem keperawatan yang digunakan untuk memenuhi perawatan
diri klien adalah dengan sistem supportif educatif. Penerapan sistem ini
diharapkan klien mampu melakukan secara mandiri terhadap apa yang telah
diajarkan oleh peneliti. Salah satu supportif educatif yang berikan oleh
peneliti adalah memberikan edukasi grup.
2. Intervensi Management Self Care Fatigue pada Klien End stage renal
disease yang Menjalani Hemodialisa.
Fatigue adalah gejala mengganggu bagi banyak klien yang menjalankan
terapi hemodialisa. Banyak intervensi telah dieksplorasi dalam upaya untuk
mengurangi dampak fatigue. Rhicard (2006) mengembangkan management
self care pasien hemodialisa dengan cara pembatasan cairan, akses vaskular,
terapi medis, program diet. Adapun intervensi yang dapat digunakan untuk
mengurangi keluhan fatigue pada klien end stage renal disease yang
menjalankan terapi hemodialisa (Horigan, 2012), antara lain:
a. Latihan Fisik
Melakukan latihan fisik secara teratur berhasil mengurangi fatigue pada
klien dialisis (Chang, 2010). Latihan fisik didefinisikan sebagai
pergerakan terencana, terstruktur yang dilakukan untuk memperbaiki
atau memelihara satu atau lebih aspek kebugaran fisik (Orti, 2010).
Latihan fisik penting untuk mempertahankan dan meningkatkan
kesehatan tubuh secara keseluruhan. Secara umum tiga metode latihan
yang dapat dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
Page 31
31
yaitu program latihan di pusat rehabilitasi dengan supervisi, program
rehabilitasi latihan di rumah dan program latihan selama satu jam
pertama pada saat dilakukan hemodialisa di unit hemodialisa (Knap et
al, 2005). Latihan fisik yang dilakukan selama dialisis dapat
meningkatkan aliran darah pada otot dan memperbesar jumlah kapiler
serta memperbesar luas permukaan kapiler sehingga meningkatkan
perpindahan urea dan toksin dari jaringan ke vaskuler kemudian
dialirkan ke dializer atau mesin hemodialisa (Parson et al, 2006).
Latihan fisik dilakukan pada saat pasien menjalani hemodialisa. Latihan
dapat dilakukan selama 30 sampai dengan 45 menit dan secara umum
diberikan sebelum hemodialisa selesai dilakukan (Cheema et al, 2006;
Parsons, 2006).
Adanya pengurangan aktivitas akan dapat menyebabkan penurunan
kekuatan dan lebih lanjut mengakibatkan fatigue. Pada saat dilakukan
hemodialisa aktivitas pasien adalah berbincang – bincang dengan
keluarga atau pasien yang lain, makan, minum dan tidur. Latihan fisik
merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kapasitas kerja fisik dan
mengurangi keterbatasan fungsi. Olahraga adalah strategi penting untuk
mengurangi fatigue. Olahraga dapat dilakukan pada saat sesi
hemodialisa dengan menggunakan sepeda statis (Black & Hawks,
2014).
Penelitian yang dilakukan (Yurtkuran, 2007) bahwa sesi yoga juga
dapat dilakukan selama 30 menit, dua kali seminggu, dimodifikasi
Page 32
32
dengan latihan rentang gerak di rumah mengakibatkan penurunan
signifikan tingkat fatigue dibandingkan dengan hanya melakukan
latihan rentang gerak saja. Berpartisipasi dalam latihan seperti
peregangan sederhana pada sesi hemodialisa dan program latihan di
rumah seperti jalan kaki selama 10 menit dua kali sehari pada hari-hari
non-dialisis juga telah efektif dalam mengurangi fatigue (Wilson,
2006). Penelitian yang dilakukan Rahayu (2015) menemukan bahwa
terapi exercise berpengaruh terhadap tingkat fatigue pada klien
hemodialisa dengan p value 0,00. Penelitian yang dilakukan Sullivan
dan McCarthy (2009) menyatakan bahwa pasien hemodialisa yang tidak
aktif melakukan latihan fisik, 14% akan mengalami fatigue, menurut
Jhamb, et al. (2009) bahwa dengan melakukan latihan fisik, fatigue
dapat menurun 62,3%. Penelitian yang dilakukan Mollaglu (2009)
menyatakan ada hubungan antara riwayat olahraga dengan level fatigue
dengan p value 0,02, yang menunjukan semakin aktif klien maka
semakin rendah tingkat fatigue. Penelitian Sulistini (2012) didapatkan
hasil bahwa latihan fisik memiliki hubungan yang signifikan terhadap
tingkat fatigue pada klien hemodialisa dengan nilai p value 0,027.
b. Program Diet
Management self care pada diet klien end stage renal disease penting
untuk mempertahankan status nutrisi dan keseimbangan elektrolit. Hal
penting yang perlu diperhatikan adalah kepatuhan terhadap program
diet yang telah ditentukan karena program tersebut telah disusun
dengan tepat dan sesuai dengan kondisi ginjal serta kecukupan kalori
Page 33
33
dan nutrisi yang diperlukan tubuh klien yang menderita end stage renal
disease (Nurmala, 2013). Penelitian Sulistini (2012) menunjukan
tingkat fatigue akan berkurang 0,44, bila terjadi peningkatan
hemoglobin 1 mg/dl, hemoglobin berkaitan dengan status nutrisi yang
baik. Jhamb, et al. (2008) menyatakan bahwa fatigue sering
dihubungkan dengan kondisi fisiologi, yaitu malnutrisi, kurangnya
karbohidrat, komposisi lemak akan mengurangi energi klien.
Diet end stage renal disease yang menjalani hemodialisa (Kemenkes,
2011) merupakan diet yang diberikan pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal tahap akhir dengan terapi pengganti ginjal. Tujuan diet
adalah untuk: 1) mencukupi zat gizi sesuai kebutuhan perorangan agar
status gizi optimal, 2) menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, 3)
menjaga agar penumpukan produk sisa metabolisme protein tidak
berlebihan, 4) pasien mampu melakukan aktivitas normal sehari – hari.
Syarat diet: 1) energi 30 – 35 kkal/kg BB/hari, 2) protein 1,1 – 1,2 gr/kg
BB/hari, 50% protein hewani dan 50% protein nabati, 3) kalsium 1000
mg/dl, 4) batasi garam terutama bila ada penimbunan air dalam jaringan
tubuh (edema) dan tekanan darah tinggi, 5) kalium dibatasi terutama
bila urine kurang dari 400 ml atau kadar kalium darah lebih dari 5,5
mEq/L, 6) jumlah asupan cairan = jumlah urine 24 jam + (500ml –
750ml).
Pengaturan makanan bedasarakan pedoman oleh Kemenkes (2011)
terbagi menjadi dua yaitu bahan makanan yang dianjurkan dan bahan
Page 34
34
makanan yang dibatasi. Bahan makanan yang dianjurkan adalah: 1)
sumber karbohidrat seperti nasi, roti putih, mie, makaroni, spageti,
sagu, lontong, bihun, jagung, makanan yang terbuat dari tepung –
tepungan, gula madu, sirup, permen, 2) sumber protein: telur, ayam,
daging, ikan, hati, susu, es krim, yogurt, kerang, cumi, udang, kepiting,
lobster, harus sesuai anjuran, 3) buah – buahan: nanas, pepaya, jambu
biji, sawo, pear, strawberi, apel, anggur, jeruk manis, harus sesuai
anjuran, 4) sayur – sayuran: ketimun, terung, tauge, buncis, kangkung,
kacang panjang, kol, kembang kol, wortel, dalam jumlah sesuai anjuran.
Sedangkan bahan yang dibatasi adalah yang mengandung kalium tinggi
seperti: alpokat, belimbing, durian, nangka, daun singkong, paprika,
bayam, daun pepaya, jantung pisang, kelapa, kacang tanah, kacang
hijau, kacang kedelai, coklat, kentang ubi, singkong, pengganti garam
yang menggunakan kalium. Air minum dan kuah sayur yang
berlebihan.
Adapun hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan diet end
stage renal disease yang menjalani hemodialisa (Kemenkes 2011),
antara lain:
1) Makanan secara teratur, porsi kecil tetapi sering
2) Diet hemodialisa ini harus direncanakan perorangan karena nafsu
makan pasien umumnya rendah sehingga perlu diperhatikan
makanan kesukaan pasien
Page 35
35
3) Untuk membatasi banyaknya jumlah cairan, masakan sebaiknya
dibuat tidak berkuah misalnya:ditumis, dikukus, dipanggang,
dibakar, digoreng
4) Bila ada edema, tekanan darah tinggi, perlu mengurangi garam dan
menghindari bahan makanan sumber natrium lainnya seperti:
minuman bersoda, kaldu instan, ikan asin, telur asin, makanan yang
diawetkan, bumbu instant
5) Hidangkan makanan dalam bentuk menarik sehingga menimbulkan
selera makan
6) Makanan tinggi kalori seperti sirup, madu, permen, dianjurkan
sebagai penambah kalori, tetapi hendaknya tidak diberikan dekat
waktu makan, karena mengurangi nafsu makan
7) Agar meningkatkan cita rasa, gunakanlah lebih banyak bumbu-
bumbu seperti bawang, jahe, kunyit, salam, dll
8) Cara untuk mengurangi kalium dari bahan makanan : cucilah
sayuran, buah, dan bahan makanan lain yang telah dikupas dan
dipotong-potong kemudian rendamlah bahan makanan dalam air
pada suhu 50-60 derajat celcius (air hangat) selama 2 jam,
banyaknya air 10 kali bahan makanan. Air dibuang dan bahan
makanan dicuci dalam air mengalir selama beberapa menit. Setelah
itu masaklah. Lebih baik lagi jika air yang digunakan untuk
memasak banyaknya 5 kali bahan makanan.
Page 36
36
c. Pengaturan Tidur.
Gangguan tidur pada klien hemodialisa disebabkan oleh ketergantungan
klien terhadap mesin hemodialisa yang merupakan stressor sehingga
dapat menimbulkan depresi pada klien hemodialisa dengan prevalensi
15-69%. Kondisi depresi dapat mempengaruhi fisik klien sehingga
timbul fatigue dan gangguan tidur mempengaruhi kualitas tidur dari
segi tercapainya jumlah atau lamanya tidur. Kualitas tidur adalah
kepuasan seseorang terhadap tidur yang dapat ditentukan oleh
seseorang mempersiapkan pola tidur pada malam hari, seperti
kedalaman tidur, kemampuan untuk tetap tertidur, kemudahan untuk
tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik dapat
memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak
mengeluh gangguan tidur (Potter & Perry, 2013). Penelitian yang
dilakukan Horigan (2012) menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk
memiliki hubungan dengan terjadinya fatigue, dengan tidur yang cukup
secara siginifikan berkorelasi dapat menurunkan tingkat kelelahan.
Penanganan gangguan tidur yang dapat dilakukan pada klien end stage
renal disease yang menjalankan hemodialisa dengan meningkatkan
waktu tidur dan kualitas tidur melalui perilaku tidur sehat, misalnya:
melakukan pengaturan pada jadwal tidur baik saat mulai tidur atau saat
bangun tidur, hindari tidur siang yang terlalu lama, tidak tidur dalam
kondisi perut lapar dan hindari makan sesaat sebelum tidur, melakukan
latihan/olahraga ringan seperti relaksasi otot progresif, hindari rasa
Page 37
37
cemas dengan berdoa sebelum tidur, buat ruangan tidur yang nyaman
dan tenang.
d. Sumber Support.
Melibatkan orang terdekat merupakan bagian usaha untuk melakukan
management self care fatigue dengan baik. Sumber support dari
keluarga, orang tua dan teman terdekat dapat memberikan motivasi
yang baik dalam menjalankan kehidupan. Bentuk support dari berbagai
sumber dari orang terdekat dapat membantu mengurangi depresi pada
klien yang menjalani hemodialisa. Penelitian yang dilakukan Nurmala
(2013) terhadap 8 partisipan dengan metode kualitatif menemukan
bahwa dukungan keluarga seperti pasangan suami/ istri, orang tua dan
sesama klien yang menjalankan hemodialisa terhadap tingkat fatigue
pada klien yang menjalankan hemodialisa dapat memberikan semangat
klien dalam melakukan management self care dengan baik.
3. Faktor yang Mempengaruhi Management Self Care Fatigue.
a. Usia
Penambahan usia mengakibatkan berkurangnya fungsi organ, dan bila
diringi dengan patologi end stage renal disease akan mengakibatkan
fisik mengalami fatigue. Usia mempunyai hubungan yang positif
terhadap self care. Semakin meningkat usia maka akan terjadi
peningkatan aktifitas self care. Peningkatan usia menyebabkan
terjadinya peningkatan kedewasaan/kematangan seseorang sehingga
klien dapat berfikir secara rasionaltentang manfaat yang akan dicapai
Page 38
38
jika klien melakukan aktvitas self care secara adekuat dalam
kehidupannya sehari – hari (Sousa et al, 2005). Penelitian yang
dilakukan Sulistini (2012) pada klien hemodialisa disajikan dalam data
numerik didapatkan usia minimum 21 tahun dan maksimum 73 tahun
dengan rata – rata usia 45 tahun. Sedangkan penelitian Sodikin dan
Suparti (2015) didapatkan hasil usia < 48 tahun sebanyak 30 orang dan
≥ 48 tahun sebanyak 50 orang. Penelitian yang dilakukan Nasution
(2013) didapatkan hasil usia responden dari 18 sampai 65 tahun dan
menyimpulkan bahwa semakin meningkat usia maka akan semakin
meningkat manajemen diri yang dilakukan oleh pasien selama
menjalani hemodialisa.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin memberikan kontribusi yang nyata terhadap self care.
Dijelaskan bahwa klien dengan jenis kelamin perempuan menunjukan
perilaku self care lebih baik dibandingkan dengan klien berjenis
kelamin laki – laki. Aktivitas self care harus dilaksanakan oleh klien
baik laki – laki maupun perempuan, hanya saja pada kenyataannya
perempuan tampak lebih peduli terhadap kesehatannya sehingga ia
berupaya secara optimal untuk melakukan perawatan mandiri terhadap
penyakit yang dialaminya (Sousa et al, 2005). Pasien berjenis kelamin
laki – laki lebih banyak mengalami end stage renal disease
dibandingkan dengan wanita diungkapkan oleh Sodikin (2015) laki –
laki berjumlah 54,4% dan diikuti oleh wanita 45,6%. Penelitian juga
dilakukan oleh Sulistini (2012) menunjukan hal yang sama bahwa laki
Page 39
39
– laki lebih banyak mengalami end stage renal disease sebesar 54,9%
daripada wanita sebesar 45,1%. Mollaogu (2009) menyatakan bahwa
jenis kelamin wanita lebih banyak mengalami fatigue dibandingkan
dengan laki – laki. Perempuan lebih mudah membicarakan tentang
penyakit dan masalah yang dialami sehingga mudah mendeteksi terjadi
fatigue. Hasil penelitian Nasution (2013) bahwa tidak ada hubungan
antara jenis kelemin terhadap manajemen diri pada klien hemodialisa p
value (0,546). Pada dasarnya manajemen diri dilakukan oleh semua
pasien yang menjalani hemodialisa baik laki – laki maupun wanita,
penelitiannya menunjukan kedua jenis kelamin memiliki manajemen
diri yang baik.
c. Pendidikan.
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap
menuju perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang tinggi akan
memudahkan seseorang memperoleh dan mencerna informasi untuk
kemudian menentukan pilihan dalam perawatan kesehatannya dan
menerapkan pola hidup sehat (Callaghan, 2005). Didukung oleh
penelitian Sulistini (2012) bahwa ada hubungan tingkat pendidikan
terhadap fatigue, hal ini berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
perawatan diri yang dilakukan sehingga mampu mengelola fatigue yang
dialami, penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh
Mollauglu (2009).
Page 40
40
d. Pengetahuan.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui panca
indra manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2012). Domain kognitif mempunyai 6 tingkatan: dapat diterima melalui
informasi atau edukasi grup pada klien hemodialisa sehingga menjadi
tahu dari materi yang dipelajari seluruhnya (tahu/know), dari informasi
yang diterima dapat memahami materi terebut (memahami/
comprehension), dapat melakukan tindakan dari pemahaman materi
yang diberikan (aplikasi/ application), kemampuan dalam menganalisis
pada setiap tindakan yang dilakukan (analisis/ analysis), kemampuan
dalam menghubungkan tindakan mengatasi masalah sehingga tercapai
(sintesisi/ synthesis), keberhasilan dalam melakukan tindakan yang
dilakukan dalam mengatasi fatigue (evaluasi/ evaluation):. Pengukuran
pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian
atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau
kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan diatas (Notoatmodjo,
2012).
Kurangnya pengetahuan akan mempengaruhi klien end stage renal
disease yang menjalani hemodialisa untuk melakukan management self
care fatigue. Sulit untuk mengenal tanda dan gejala fatigue yang
dirasakan, sulit mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi
Page 41
41
masalah fatigue. Memiliki hambatan dalam melakukan strategi
management self care fatigue seperti latihan fisik, pengaturan diet, tidur
yang cukup dan adanya dukungan orang terdekat. Terdapat penelitian
terkait dengan hubungan pengetahuan terhadap management self care
pada pasien hemodialisa yang dilakukan Triana (2015) didapatkan hasil
p value = 0,003 menyimpulkan bahwa pengetahuan yang baik sebagai
dasar untuk melakukan tindakan yang baik. Pengetahuan yang baik bisa
didapatkan melalui informasi yang diterima oleh pasien, informasi
tersebut dapat diperoleh dengan berbagai metode, salah satunya adalah
dengan metode edukasi.
F. Konsep Edukasi.
Pada jaman yang makin maju, di Amerika Serikat mulai dikenalkan metode
edukasi kesehatan yang bersifat formal, oleh Lamuel Shuttuck, ia menyusun
pelajaran edukasi untuk diajarkan di sekolah – sekolah. Sejalan dengan
perkembangan lmu Kesehatan Masyarakat, maka disiplin ilmu ini pun menjadi
bagian kegiatan dari kesehatan masyarakat. Selanjutnya materi dari ilmu edukasi
makin membentuk jaringan sistemnya. Ilmu komunikasi, ilmu perilaku manusia,
ilmu belajar mengajar, kemudian digabungkan menjadi satu sistem untuk
mendukung kesuksesan sistem kegiatan edukasi masyarakat (Machfoedz, 2009).
Di Indonesia, dari catatan sejarah mengenai edukasi secara formal, pada jaman
penjajahan Belanda tidak tampak jelas adanya kegiatan edukasi tersebut. Kini
memasuki abad ke – 21, telah dicanangkan Gerakan Pembangunan Berwawasan
Page 42
42
Kesehatan yang dilandasi paradigma baru di bidang kesehatan, yaitu disebut
paradigma sehat (Machfoedz, 2009).
1. Pengertian Edukasi
Edukasi merupakan salah satu peran keperawatan yang penting. Masa rawat
inap yang semakin pendek, peningkatan tuntunan waktu bagi perawat,
peningkatan jumlah klien dengan penyakit kronis, dan kebutuhan untuk
memberikan informasi yang tepat bagi klien dengan penyakit akut, semakin
menekankan kepentingan kualitas edukasi klien (Patricia, 2009). Sedangkan
edukasi kesehatan atau Health Education mengacu pada NIC (Nursing
Intervention Classification) adalah mengembangkan dan menyediakan
instruksi dan merupakan pengalaman belajar untuk memfasilitasi adaptasi
terkontrol pada perilaku yang kondusif untuk hidup sehat, pada individu,
keluarga, group atau komunitas (Dotchterman, 2008).
Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya
pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan
baru, sikap, serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman
tertentu (Potter & Perry 2013). Edukasi merupakan suatu proses dimana
proses tersebut mempunyai masukan (in put) dan keluaran (out put) di
dalam suatu proses edukasi yang menunuju tercapainya tujuan pendidikan
yakni perubahan prilaku, di pengaruhi oleh faktor masukan, metode dan
faktor materi atau pesananya, pendidikan yang dapat dipakai agar dicapai
suatu hasil yang optimal. Maka faktor-faktor tersebut harus bekerja sama
secara harmonis (Notoatmodjo, 2012).
Page 43
43
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa edukasi merupakan
pemberian pengalaman yang berupa informasi tentang kesehatan yang
diperlukan untuk meningkatkan perilaku individu, keluarga dan masyarakat
untuk hidup sehat. Edukasi pada klien dirumah sakit adalah pemberian
infomasi tentang kesehatan yang diperlukan untuk melanjutkan program
pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan
yang dapat dilakukan dirumah sakit sehingga dapat mengembalikan dan
meningkatakan status kesehatan dalam mencapai derajat kesehatan yang
optimal.
2. Tujuan Edukasi
Menurut Edelman tahun 2002 dalam Delaune, 2006, tujuan edukasi
kesehatan adalah membantu individu mencapai tingkat kesehatan yang
optimal melalui tindakannya sendiri. Memberikan edukasi adalah salah satu
fungsi penting perawat dalam memenuhi kebutuhan klien terhadap
informasi. Tanggung jawab perawat adalah menjembatani kesenjangan yang
terjadi antara pengetahuan klien dengan kebutuhan klien akan informasi
untuk mencapai kesehatan yang optimal. Tujuan edukasi dalam keperawatan
adalah untuk meningkatkan status kesehatan, mencegah timbulnya penyakit
dan bertambahnya masalah kesehatan meningkatkan derajat kesehatan yang
sudah ada, memaksimalkan fungsi dan potensi selama dirumah sakit serta
membantu klien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan.
Edukasi bertujuan untuk mengubah prilaku individu atau masyarakat dan
prilaku yang tidak sehat menjadi sehat. Prilaku yang tidak sehat merupakan
Page 44
44
salah satu penyabab dari masalah kesehatan, dan edukasi diharapkan
mampu mengubah perilaku individu sehingga mampu mencapai kondisi
sehat. Menurut Bloom perilaku manusia terdiri dari 3 domain yang meliputi
kognitif, afektif dan psikomotor. Terbentuknya perilaku manusia pada
dasarnya diawali pada domain kognitif (perubahan pengetahuan) kemudian
diikuti dengan respon batin dalam bentuk sikap dan menimbulkan respon
yang lebih jauh beruapa tindakan (Notoadmodjo, 2012). Berdasarkan teori
tersebut menjelaskan bahwa program edukasi klien bertujuan untuk
mengurangi resiko yang menggangu kesehatan.
Adapun tujuan khusunya meliputi :
a. Memberi pengetahuan bagi klien.
Pada klien mengetahui tentang kondisi penyakit, semua berhubungan
dengan penyakit yang dideritanya serta keterampilan yang diperlukan
untuk perawat secara mandiri. Pemberian edukasi akan menyebabkan
klien mengenal dan mengambil tindakan yang tepat yang berhubungan
dengan penyakitnya.
b. Mengurangi kecemasan dan ketakutan
Kurang pengetahuan terhadp penyakit yang dideritanya sering kali
menyebabkan klien menjadi cemas, gelisah takut dan merasa tidak
berdaya. Edukasi tentang kondisi penyakitnya diharapkan mampu
mengurangi atau menghilangkan perasaan cemas, karena jaminan
kepastian yang mereka miliki.
c. Memberikan kepuasan klien terhadap perawatan
Pengetahuan yang dimiliki klien setelah pemberian edukasi merupakan
pedoman bagi klien untuk berprilaku. Klien akan merasa puas jika
Page 45
45
mereka telah mengenal dan memilki pedoman perilaku untuk melakukan
perawatan mandiri dan berkelanjutan guna mencapai peningkatan status
kesehatan.
d. Meningkatkan kepercayaan klien dan menolong dirinya sendiri
Edukasi akan mengubah pengetahuan dan kemampuan klien
berhubungan dengan penyakitnya. Pengetahuan dan kemampuan yang
telah dimilki menyebabakan klien merasa lebih percaya bahwa dirinya
mampu menolong dirinya sendiri sebatas kewenangannya. Rasa percaya
diri dapat pula membantu klien dalam menjalankan program pengobatan,
perawatan dan rehabilitasi
e. Memenuhi rencana pengobatan masalah kesehatan klien
Perubahan pengetahuan klien setelah mendapatkan informasi tentang
rencana pengobatan dan perawatan, dapat menyebabkan klien lebih
mudah untuk dia ajak kerjasama dalam program pengobatan. Hal ini
karena klien telah mengetahui tujuan dan mamfaat program pengobatan
yang memberikan keuntungan bagi mereka
f. Meningkatkan pengetahuan tentang gejala dan komplikasi dan
pertolongan darurat.
Edukasi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
klien dan kelurganya dalam mengenal gejala dan tanda komplikasi dari
penyakit yang diderita. Mereka juga diharapkan lebih mengenal tindakan
darurat yang diperlukan sehingga dapat mencegah terjadinya kecacatan
dan kematian dini.
Page 46
46
3. Metode Edukasi
Metode yang digunakan dalam edukasi didasarkan pada tujuan yang akan
dicapai (Maulana, 2009). Ada beberapa metode dalam memberikan edukasi,
yaitu :
a. Metode Ceramah
Ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seseorang pembicara
didepan sekelompok pengunjung. Ada beberapa keunggulan metode
ceramah :
1) Dapat digunakan pada orang dewasa.
2) Penggunaan waktu yang efisien.
3) Dapat dipakai pada kelompok yang besar.
4) Tidak terlalu banyak melibatkan alat bantu pengajaran.
5) Dapat dipakai untuk memberi pengantar pada pelajaran atau suatu
kegiatan.
b. Metode Diskusi Kelompok (Edukasi Grup).
Diskusi kelompok adalah percakapan yang direncanakan atau
dipersiapkan di antara tiga orang atau lebih tentang topik tertentu dengan
seseorang pemimpin. Edukasi grup dapat dibagi menjadi kelompok kecil
berjumlah 3-5 orang, dan kelompok besar berjumlah 3-15 orang atau
lebih. Ada beberapa keunggulan metode kelompok :
1) Memberi kemungkinan untuk saling mengemukakan pendapat.
2) Merupakan pendekatan yang demokratis, mendorong rasa kesatuan
3) Dapat memperluas pandangan atau wawasan.
Page 47
47
4) Problem kesehatan yang dihadapi akan lebih menarik untuk dibahas
karena proses diskusi melibatkan semua anggota termasuk orang-
orang yang tidak suka berbicara.
Penggunaan metode diskusi kelompok atau edukasi grup menekan
ketentuan berikut: peserta diberi kesempatan saling mengemukakan
pendapat, problema dibuat menarik, peserta dibantu mengemukakan
pendapatnya, problema perlu dikenal dan diolah, ciptakan suasana
informasi, orang yang tidak suka bicara diberi kesempatan. Metode ini
memiliki perbedaan dengan metode yang hampir mirip seperti panel dan
forum panel, dimana metode tersebut menggunakan beberapa
narasumber atau pemateri. Sedangkan metode kelompok hanya memiliki
satu narasumber. Sehingga metode tersebut memerlukan moderator yang
dapat membawa suasana diskusi lebih menarik (Maulana, 2009).
Proses edukasi grup merupakan salah satu strategi intervensi
keperawatan yang dilakukan bersama – sama dengan klien melalui
pembentukan suatu kelompok yang memiliki permasalahan yang sama.
Beberapa kelompok di masyarakat dkembangkan sesuai dengan inisiatif
dan kebutuhan masyarakat setempat. Intervensi pada edukasi grup
berfokus pada penyelesaian masalah dan manajemen diri. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan Relawati, dkk (2015) tentang
self help group terhadap kualitas hidup pasien hemodialisa didapatkan p
value 0,001, artinya ada pengaruh self help group terhadap kualitas
hidup. Penelitian ini sama dengan metode secara edukasi grup. self help
Page 48
48
group (SHG) adalah suatu kelompok dimana setiap anggotanya saling
berbagi masalah baik fisik maupun emosional. Tujuan SHG adalah agar
setiap anggota kelompok bersosialisasi, menceritakan masalah yang
mereka alami dan saling berbagi pengalaman kepada sesama anggota
kelompok. Penelitian juga dilakukan pada kelompok klien diabetes
meletus oleh Rosmawati (2013) didapatkan hasil bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan edukasi grup.
Penelitian yang dilakukan Shrader et al (2013), Wulp et al (2012)
menemukan program edukasi pada klien diabetes meletus yang dilakukan
secara kelompok efektif dalam pengontrolan gula darah. Edukasi
kelompok berfokus pada penyelesaian masalah dan manajemen diri,
terdapat banyak ide yang muncul serta sharring pengalaman, berlatih
keterampilan berkomunikasi dan memberikan dukungan sosial.
c. Metode panel
Panel adalah pembicaraan yang sudah direncanakan di depan pengunjung
tentang sebuah topik dan diperlukan tiga panelis atau lebih serta
diperlukan seorang pemimpin.
Beberapa keunggulan metode panel :
1) Dapat membangkitkan pemikiran.
2) Dapat mengemukakan pandangan yang berbeda-beda.
3) Mendorong para anggota untuk melakukan analisis.
4) Memberdayakan orang yang berpotensi.
Page 49
49
d. Metode Forum Panel
Forum panel adalah panel yang didalamnya individu ikut berpartisipasi
dalam diskusi. Ada beberapa keunggulan metode forum panel :
1) Memungkinkan setiap anggota berpartisipasi.
2) Memungkinkan peserta menyatakan reaksinya terhadap materi yang
sedang didiskusikan.
3) Membuat peserta mendengar dengan penuh perhatian.
4) Memungkinkan tanggapan terhadap pendapat panelis.
e. Metode permainan Peran
Permainan peran adalah pemeran sebuah situasi dalam kehidupan
manusia dengan tanpa diadakan latihan, dilakukan oleh dua orang atau
lebih untuk dipakai sebagai bahan analisa oleh kelompok. Ada beberapa
keunggulan dari metode permainan peran :
1) Dapat dipakai pada kelompok besar dan kecil.
2) Membantu anggota untuk menganalisa situasi/masalah.
3) Menambah rasa percaya diri peserta.
4) Membantu anggota mendapat pengalaman yang ada pada pikiran
orang lain.
f. Metode symposium
Symposium adalah serangkaian pidato pendek di depan pengunjung
dengan seorang pemimpin. Pidato-pidato tersebut mengemukakan aspek-
aspek yang berbeda dari topik tertentu. Ada beberapa Keunggulan
metode ini yaitu :
Page 50
50
1) Dapat dipakai pada kelompok besar maupun kecil.
2) Dapat mengemukakan banyak informasi dalam waktu singkat .
3) Pergantian pembicara menambah variasi dan menjadikan lebih
menarik.
g. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran yang menyajikan suara
prosedur atau tugas, cara menggunakan alat, dan cara berinteraksi.
Demonstrasi dapat dilakukan secara langsung atau menggunakan media,
seperti radio dan film. Keunggulan metode demonstrasi adalah :
1) Dapat membuat proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan lebih
konkret.
2) Lebih mudah memahami sesuatu karena proses pembelajaran
menggunakan prosedur atau tugas dengan dibantu dengan alat
peraga.
3) Peserta didik dirangsang untuk mengamati.
4) Menyesuaikan teori dengan kenyataan dan dapat melakukan sendiri
(rekomendasi).
4. Macam-Macam Alat Peraga Dalam Edukasi
Alat peraga merupakan alat bantu dalam melakukan edukasi yang
digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan (Maulana,
2009). Ada beberapa alat peraga yang dapat digunakan dalam melakukan
edukasi, yaitu :
Page 51
51
a. Alat bantu lihat (visual aids)
Membantu dalam menstimulasi indra mata (penglihatan) pada waktu
terjadinya proses pendidikan. Misalnya slide, film, gambar peta, bola
dunia dan sebagainya.
b. Alat bantu dengar (audio aids)
Yaitu alat yang dapat membantu untuk menstimulasikan indera
pendengar pada waktu proses penyampaian bahan
pendidikan/pengajaran. Misalnya : piring hitam, radio, pita suara, dan
sebagainya.
c. Alat bantu lihat-dengar (audio visual aids)
Yaitu alat yang dapat membantu menstimulasikan indera penglihatan dan
pendengaran pada waktu proses penyampaian bahan pendidikan.
Misalnya : televisi dan video cassete.
5. Media Edukasi
Media edukasi merupakan alat bantu pendidikan yang disampaikan dengan
tujuan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan (Maulana,
2009). Media kesehatan tersebut antara lain :
a. Media cetak
1) Booklet, adalah media untuk menyampaikan pesan kesehatan dalam
bentuk buku, baik berupa tulisan maupun gambar.
2) Leaflet, adalah bentuk penyampaian informasi atau pesan kesehatan
melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi dalam bentuk kalimat
maupun gambar atau kombinasi.
3) Flyer (selebaran), bentuknya seperti leaflet tetapi tidak berlipat.
Page 52
52
4) Flip chart (lembar balik), media penyampaian pesan atau informasi
kesehatan dalam bentuk lembar balik.
5) Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang
membahas suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan.
6) Poster ialah bentuk media cetak yang berisi pesan atau informasi
kesehatan, yang biasanya ditempel ditembok-tembok, di tempat-
tempat umum, atau di kendaraan umum.
b. Media elektronik
1) Televisi, informasi yang disampaikan bisa dalam bentuk sandiwara,
sinetron, forum diskusi atau tanya jawab sekitar masalah kesehatan,
pidato (ceramah), TV spot dan sebagainya.
2) Radio, informasi yang disampaiakan dalam bentuk obrolan (tanya
jawab), sandiwara radio, ceramah, radio spot dan sebagainya.
3) Video
4) Slide
5) film strip
c. Media papan (Billboard)
Media papan (Billboard) yang dipasang di tempat-tempat umum dapat
diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan.
Page 53
53
Wholliy Compensatory
Sistem
Partially Compensatory
Sistem
Supportive Educatif
Sistem: Edukasi Grup
Sumber: Orem dalam
Alligood & Tomey,
2010
G. Kerangka Teori
Skema 2.1
Kerangka Teori
Penurunan aliran darah ke ginjal
(DM, Hipertensi, Glomerulonefritis, dsb)
LFG < 15%
ESRD
Hemodialisa (HD)
Peningkatan kadar
ureum dan
kreatinin darah
Gangguan
metabolisme
protein
Anemia
Gangguan
keseimbangan
asam basah Intake
nutrisi menurun
mual muntah
(Sumber: Black &
Hawks, 2014,
LeMone, 2015)
Komplikasi Hemodialisa (HD)
Fatigue / Fatigue
Intervensi Keperawatan
Farmakologi Non Farmakologi
Edukasi Grup
Management Self Care
Fatigue
Sumber: (Rhicard,2006
Horigan, 2012)
Faktor mempengaruhi:
Usia
Jenis Kelamin
Tingkat Pendidikan
Pengetahuan
Sumber: (Sousa, 2005,
Callaghan, 2005,
Notoatmodjo, 2012) Fatigue berkurang