15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Altruisme 1. Pengertian Altruisme berasal dari kata "alter" yang artinya "orang lain". Secara bahasa altruisme adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain. Comte membedakan antara perilaku menolong yang altruis dengan perilkau menolong yang egois. Menurut Comte dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif (dorongan), yaitu altruis dan egois. Kedua dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberikan pertolongan. Perilaku menolong yang egois tujuannyan justru mencari manfaat dari orang yang ditolong, sedangkan perilaku menolong yang ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong (Taufik, 2012). Altruisme diartikan oleh Aronson, Wilson dan Akert (Taufik, 2012) sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa mengharap balasan (manfaat) apa pun dari orang lain dan tidak memberikan manfaat apa pun untuk dirinya. Baron dan Byrne (2005), menyatakan altruisme yang sejati adalah kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain. Pendapat lain dikemukakan Schroeder, Penner, Divido dan Piliavin (Taylor, dkk., 2009), yang menyatakan altruisme adalah tindakan sukarela untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekedar beramal baik.
25
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Altruisme 1. Pengertianeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1686/2/BAB II.pdf15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Altruisme 1. Pengertian Altruisme berasal dari kata
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Altruisme
1. Pengertian
Altruisme berasal dari kata "alter" yang artinya "orang lain". Secara
bahasa altruisme adalah perbuatan yang berorientasi pada kebaikan orang lain.
Comte membedakan antara perilaku menolong yang altruis dengan perilkau
menolong yang egois. Menurut Comte dalam memberikan pertolongan,
manusia memiliki dua motif (dorongan), yaitu altruis dan egois. Kedua
dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberikan pertolongan.
Perilaku menolong yang egois tujuannyan justru mencari manfaat dari orang
yang ditolong, sedangkan perilaku menolong yang ditujukan semata-mata
untuk kebaikan orang yang ditolong (Taufik, 2012).
Altruisme diartikan oleh Aronson, Wilson dan Akert (Taufik, 2012)
sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa mengharap
balasan (manfaat) apa pun dari orang lain dan tidak memberikan manfaat apa
pun untuk dirinya.
Baron dan Byrne (2005), menyatakan altruisme yang sejati adalah
kepedulian yang tidak mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan
orang lain. Pendapat lain dikemukakan Schroeder, Penner, Divido dan Piliavin
(Taylor, dkk., 2009), yang menyatakan altruisme adalah tindakan sukarela
untuk membantu orang lain tanpa pamrih, atau ingin sekedar beramal baik.
16
Menurut Myers (2012) altruisme adalah motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan pribadi seseorang.
Orang yang altruisme peduli dan mau membantu meskipun jika tidak ada
keuntunngan yang ditawarkan atau tidak ada harapan akan mendapatkan
kembali. Menurut Dovidio (Manstead, 1996), altruisme sebagai kesukarelaa
dan sengaja membantu orang lain dengan tujuan mengurangi kesulitan orang
lain, sedangkan menurut Einsberg, Fabes dan Spinrad (King, 2010), altruisme
adalah ketertarikan tanpa pamrih dalam menolong orang lain.
Batson (Sarwono dan Meinarno, 2009) menyatakan bahwa altruisme
adalah motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. Pada altruistik,
tindakan seseorang untuk memberikan bantuan pada orang lain bersifat tidak
mementingkan diri sendiri (selfless) bukan untuk kepentingan diri sendiri
(selfish). Untuk mengetahui motivasi yang mendasari tingkah laku menolong,
selfless atau selfish, sampai batas tertentu adalah sulit. Sebagian karena
manusia tidak selalu tepat dalam menyimpulkan penyebab tingkah laku
seseorang (Fiske & Taylor, dkk. dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) dan
sebagian lagi karena manusia cenderung menampilkan diri mereka dengan
cara-cara yang dapat diterima secara sosial (Durken dalam Sarwono &
Meinarno, 2009).
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa altruisme adalah motif
untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan
pribadi seseorang. Orang yang altruisme peduli dan mau membantu meskipun
17
jika tidak ada keuntunngan yang ditawarkan atau tidak ada harapan akan
mendapatkan kembali.
2. Dimensi – dimensi Altruisme
Cohen (Sampson, 1976), mengungkapkan ada tiga dimensi altruisme,
yaitu:
a. Empati
Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses berpikir
seseorang mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan seseorang
tersebut berada pada posisi orang lain itu. Selanjutnya, Kohut menegaskan
bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan
terdalam dari orang lain. Contoh remaja ikut merasa sedih ketika temannya
mengalami musibah.
b. Keinginan memberi
Keinginan memberi ini bersifat menguntungkan bagi orang lain yang
mendapat atau yang dikenai perlakuan dengan tujuan memenuhi kebutuhan
atau keinginan orang lain, perilaku ini dapat berupa barang atau yang
lainnya. Contoh remaja yang memberikan uang kepada seorang pengemis
yang cacat.
c. Sukarela
Sukarela adalah tindakan yang dilakukan semata untuk kepentingan dan
kebutuhan orang lain, tidak ada keinginan untuk memperoleh imbalan.
18
Contoh memberikan bantuan tanpa mengharapkan balasan dari orang yang
ditolong.
Leeds (Taufik, 2012) menjelaskan bahwa suatu tindakan pertolongan
dapat dikatakan altruisme jika memenuhi tiga ciri, yaitu:
a. Memberikan manfaat bagi orang yang ditolong atau berorientasi untuk
kebaikan orang yang akan ditolong, karena bisa jadi seseorang berniat
menolong, namun pertolongan yang diberikan tidak disukai atau dianggap
kurang baik oleh orang yang ditolong. Contoh: Memberikan bantuan saat
tetangga mengadakan hajatan.
b. Pertolongan yang telah diberikan berproses dari empati atau simpati yang
selanjutnya menimbulkan keinginan untuk menolong, sehingga
tindakannya itu dilakukan bukan karena paksaan melainkan secara
sukarela diinginkan oleh yang bersangkutan. Contoh menyumbangkan
pakaian kepada korban banjir.
c. Hasil akhir dari tindakan itu bukan untuk kepentingan diri sendiri, atau
tidak ada maksud-maksud lain yang bertujuan untuk kepentingan si
penolong. Contoh menolong korban kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa dimensi altruisme ialah
empati, keinginan memberi, sukarela, memberikan manfaat bagi orang yang
ditolong atau berorientasi untuk kebaikan orang yang akan ditolong, simpati,
dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. Berdasarkan ciri-ciri altruisme di
atas, penelitian ini menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Cohen
(dalam Sampson, 1976), yaitu empati, keinginan memberi, sukarela. Hal ini
19
dikarenakan sesuai dengan kondisi yang akan diungkap dalam penelitian ini,
yaitu altruisme pada remaja akhir. Dalam usia remaja, diharapkan dapat
mencapai tugas-tugas perkembangan yaitu berpartisipasi sebagai individu
dewasa yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat dan mampu
menjunjung nilai-nilai moral dalam bertingkah laku sosial (Hurlock, 2003).
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Altruisme
Menurut Sarwono dan Meinarno (2009) altruisme dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor situasional dan faktor personal. Adapun faktor
situasional dibagi menjadi enam, yaitu bystander, daya tarik, atribusi terhadap
korban, adanya model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban, sedangkan
faktor personal dibagi menjadi lima, yaitu suasana hati (mood), sifat, jenis
kelamin, tempat tinggal dan pola asuh. Semua faktor yang mempengaruhi
perilkau altruisme akan dibahas secara rinci dibawah ini.
a. Faktor Situasional
Faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme
adalah:
1) Bystanders
Bystanders atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian
mempunyai peran sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat
memutuskan antara menolong atau tidak ketika dihadapkan pada
keadaan darurat. Efek bystander terjadi karena adanya pengaruh sosial
(social influence), yaitu pengaruh dari orang lain yang dijadikan
20
sebagai acuan dalam menginterpretasikan situasi dan mengambil
keputusan untuk menolong, seseorang akan menolong jika orang lain
juga menolong. Kedua, hambatan penonton (audience inhibition),
yaitu merasa dirinya dinilai oleh orang lain (evaluation apprehension)
dan risiko membuat malu diri sendiri karena tindakannya menolong
yang kurang tepat akan menghambat orang untuk menolong. Ketiga,
penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) membuat
tanggung jawab untuk menolong menjadi terbagi karena hadirnya
orang lain.
2) Daya tarik
Seseorang cenderung akan menolong orang yang dalam beberapa hal
mirip dengan dirinya. Oleh karena itu, pada umumnya orang akan
menolong orang lain (out-group) karena sebagai sutau kelompok
tentunya ada beberapa kesamaan dalam diri kelompok tersebut.
3) Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang
lain jika diasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah di
luar kendali korban. Jadi, seseorang tidak akan memberikan
pertolongan jika mengasumsikan kejadian yang kurang
menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban sendiri
(atribusi internal).
4) Adanya model
21
Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat
mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang
lain. Baron dan Byrne (2005) menegaskan bahwa selain model sosial
dalam dunia nyata, model-model yang menolong dalam media juga
berkontribusi pada pembentukan norma sosial yang mendukung
tingkah laku sosial. Menurut Heinich (Nursalim, 2013) media
merupakan alat saluran komunikasi. Heinich mencontohkan media ini
seperti film, televisi, diagram, bahan tercetak (printed materials),
komputer, dan instruktur. Berdasarkan contoh media di atas, media
yang dipilih dalam penelitian ini adalah film. Dinyatakan oleh
Sukiman (2012), film merupakan media komunikasi sosial yang
terbentuk dari penggabungan dua indera, penglihatan dan
pendengaran yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang
banyak mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar
lingkungan tempat film itu sendiri tumbuh.
Gentile et al. (2009), menegaskan bahwa konten yang dikandung oleh
sebuah film akan sangat berefek dalam meningkatkan keterampilan
khusus yang mendidik. Penonton menjadi terpengaruh melalui
perilaku yang digambarkan melalui film. Pengaruh ini disebabkan
oleh stimulus yang diberikan oleh tayangan yang ditampilkan oleh
film.
Sumarno (1996), membagi film dalam beberapa jenis, salah satunya
adalah film drama. Dinyatakan oleh Widagdo (2007) film drama
22
adalah jenis yang populer di kalangan masyarakat penonton film.
Faktor perasaan dan realitas kehidupan nyata ditawarkan dengan
senjata simpati dan empati penonton terhadap tokoh yang diceritakan.
Menurut Kushartati (Nugroho, 2005) jenis film drama yang disukai
remaja adalah jenis film drama yang menceritakan kehidupan pribadi
remaja dengan lingkungan yang ada disekitar remaja, seperti bertema
keluarga, teman atau sahabat.
Film bertema persahabatan yang dipilih dalam penelitian ini, secara
operasional didefinisikan sebagai film yang menceritakan tentang
pentingnya persahabatan antara dua orang atau lebih yang ditandai
dengan berinteraksi dalam berbagai situasi, saling memberikan
dukungan emosional, saling menolong, adanya rasa hormat, serta
adanya kepercayaan yang mendalam.
Sullivan (Santrock, 2012), berpendapat bahwa selama masa remaja,
sahabat juga menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
sosial. Remaja juga lebih bergantung pada teman-teman sebaya
daripada orangtua untuk memenuhi kebutuhan remaja akan
pertemanan, dukungan yang berharga, dan keintiman. Menurut Berndt
(Anggraini & Cucuani, 2014) sahabat yang baik didefinisikan sebagai
individu yang memiliki persahabatan dengan kualitas yang tinggi.
Baron dan Byrne (2005), memaparkan persahabatan adalah hubungan
yang membuat dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi
dalam berbagai situasi, tidak mengikutkan orang lain dalam hubungan
23
tersebut, dan saling memberikan dukungan emosional. Berdasarkan
pendapat di atas disimpulkan bahwa film bertema persahabatan adalah
film yang menceritakan tentang pentingnya persahabatan antara dua
orang atau lebih yang ditandai dengan berinteraksi dalam berbagai
situasi, saling memberikan dukungan emosional, saling menolong,
adanya rasa hormat, serta adanya kepercayaan yang mendalam.
5) Desakan waktu
Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong,
sedangkan orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinan
untuk memberikan pertolongan kepada yang memerlukannya.
6) Sifat kebutuhan korban
Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban
benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban
memang layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of
need), dan bukanlah tanggung jawab korban untuk memerlukan
bantuan dari orang lain.
b. Faktor Personal
Faktor-faktor personal yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme
adalah:
1) Suasana hati (mood)
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk
menolong. Emosi positif secara umum meningkatkan tingkah laku
24
menolong, namun jika situasinya tidak jelas (ambigu), maka orang
yang sedang bahagia cenderung untuk mengasumsikan bahwa tidak
ada keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif,
seseorang yang sedang sedih mempunyai kemungkinan menolong
yang lebih kecil.
2) Sifat
Orang yang mempunyai sifat pemaaf (forgivness), akan mempunyai
kecenderungan mudah menolong (Karremans, dkk. dalam Sarwono &
Meinarno, 2009). Orang yang mempunyai pemantauan diri (self
monitoring) yang tinggi juga cenderung lebih penolong, karena
dengan menjadi penolong, akan memperoleh penghargaan sosial yang
lebih tinggi. Beberapa karakteristik lainnya yang mendukung tingkah
laku menolong adalah kebutuhan akan persetujuan (need for
approval). Bierhoff, Klein dan Kramp (Baron dan Byrne, 2005) telah
mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian
altruistik, yaitu adanya empati, kepercayaan terhadap dunia yang adil,
rasa tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control dan
egosentrisme yang rendah.
3) Jenis kelamin
Peranan gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong
sangat bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang
dibutuhkan. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktivitas
menolong pada situasi darurat yang membahayakan, hal ini terkait
25
dengan peran tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat
dan lebih mempunyai keterampilan untuk melindungi diri, sedangkan
perempuan, menolong pada situasi yang bersifat memberi dukungan
emsoi, merawat dan mengasuh.
4) Tempat tinggal
Orang yang tinggal di daerah pedesaan cenderung lebih penolong
daripada orang yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dapat
dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu orang-orang
yang tinggal di perkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari
lingkungan. Dengan demikian, orang yang tinggal di perkotaan
selektif dalam menerima paparan informasi yang sangat banyak agar
bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Maka dari itu, di
perkotaaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan
kesulitan orang lain karena sudah overload dengan beban tugasnya
sehari-hari.
5) Pola asuh
Pola asuh demokratis secara signifikan memfasilitasi adanya
kecenderungan anak untuk tumbuh menjadi seorang yang mau
menolong, yaitu melalui peran orang tua dalam menetapkan standar-
standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong. Pola asuh
orang tua yang demokratis juga turut mendukung terbentuknya
internal locus of control, yang merupakan salah satu sifat dari
kepribadian altruistik, karena orang yang suka menolong memiliki
26
locus of control internal lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
tidak suka menolong.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi altruisme ialah faktor situasional dan faktor personal.
Faktor situasional meliputi, bystander, daya tarik, atribusi terhadap korban,
adanya model, desakan waktu dan sifat kebutuhan korban, sedangkan faktor
personal, meliputi suasana hati (mood), sifat, jenis kelamin, tempat dan tinggal.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih pada salah satu subfaktor situasional
yang mempengaruhi perilaku altruisme, yaitu film bertema persahabatan
sebagai variabel bebas. Film bertema persahabatan ini dipilih dengan tujuan
setelah remaja akhir menonton film, remaja akhir dapat menjadikan tokoh
dalam film sebagai model perilaku sosial. Trianton (2013) menegaskan bahwa
film dapat dijadikan salah satu alternatif media dan model pembelajaran. Pery
dan Furukawa (Nursalim, 2002) mendefinisikan modeling sebagai proses
belajar observasi bahwa perilaku individu atau kelompok model bertindak
sebagai suatu perangsang gagasan, sikap, atau perilaku pada orang lain yang
mengobservasi penampilan model. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Friedrich dan Stein (Rushton, 1976) yang difokuskan untuk anak-anak TK
menunjukkan bahwa model dalam film dapat menghasilkan penetahuan umum
dan dapat meningkatkan perilaku menolong.
27
4. Altruisme Pada Remaja Akhir
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karmakar dan Ghosh (2012)
tentang perilaku altruisme pada remaja, diketahui bahwa altruisme pada remaja
awal lebih rendah dibandingkan nilai altruisme pada remaja pertengahan.
Dinyatakan oleh Mappiare (1982) ketika beranjak pada usia 17/18
tahun sampai dengan 21/22 tahun individu berada pada masa remaja akhir.
Konopka (Pikunas; Ingersol dalam Agustiani, 2009) menyatakan remaja pada
masa ini memiliki keinginan yang kuat untuk diterima dalam kelompok teman
sebaya dan orang dewasa.
Hurlock (2003) menyatakan pencapaian perilaku sosial yang
bertanggung jawab termasuk dalam tugas perkembangan remaja akhir. Sejalan
dengan hal tersebut, Monks (Pitaloka & Ediati, 2015) menambahkan
keputusan melakukan sesuatu dipengaruhi oleh prinsip moral. Memberi
pertolongan pada orang lain dikemudikan oleh tanggung jawab batin pribadi.
Loyalitas dan kemauan untuk melayani orang lain merupakan dasar
bagi tingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Remaja harus
mengembangkan ideologi yang harmonis dengan nilai-nilai dan kenyataan-
kenyataan di lingkungan sosial (Agustiani, 2009). Artinya, remaja dapat ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai orang dewasa yang bertanggung
jawab, menghormati serta mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
lingkungannya, baik regional maupun nasional (Havighurst dalam Panuju &
Umami, 1999).
28
Remaja pada usia akhir memiliki altruistik yang tinggi. Remaja siap
untuk berpikir dan bertindak yang remaja pikir baik untuk lingkungan
sosialnya. Remaja mengasumsikan bahwa hal tersebut merupakan tanggung
jawab sosial (Agustiani, 2009).
B. Film Bertema Persahabatan
1. Pengertian
Definisi film menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 adalah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-
dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita
seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi
lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat
dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
eletronik, dan/atau lainnya. Sebuah film, juga disebut gambar bergerak, adalah
serangkaian gambar diam atau bergerak. Hal ini dihasilkan oleh rekaman
gambar fotografi dengan kamera, atau dengan membuat gambar menggunakan
teknik animasi atau efek visual.
Menurut Nursalim (2013), film disebut juga gambar hidup (motion
pictures), yaitu serangkaian gambar diam (still pictures) yang meluncur secara
cepat dan diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak.
Sementara Sukiman (2012), menyatakan film merupakan media komunikasi
sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indera, penglihatan dan
29
pendengaran yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak
mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat film
itu sendiri tumbuh.
Arsyad (2013), mengemukakan bahwa film atau gambar hidup
merupakan gambar-gambar dalam frame yang frame demi frame tersebut
diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar
terlihar gambar hidup. Yazici et al. (2014) mengemukakan bahwa film dibuat
dengan tujuan utama untuk menghibur, tetapi kini film dibuat untuk
meningkatkan kesehatan perilaku individu.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan film adalah media komunikasi
sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indera, penglihatan dan
pendengaran yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak
mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat film
itu sendiri tumbuh.
Sumarno (1996), membagi film dalam beberapa jenis, salah satunya
adalah film drama. Menurut Kushartati (Nugroho, 2005) jenis film drama yang
disukai remaja adalah jenis film drama yang menceritakan kehidupan pribadi
remaja dengan lingkungan yang ada disekitar remaja, seperti bertema keluarga,
teman atau sahabat.
Dinyatakan oleh Santrock (2003), sahabat adalah sekumpulan kawan
yang terlibat dalam kebersamaan, saling mendukung dan memiliki keakraban
(intimasi). Sullivan (Santrock, 2012), berpendapat bahwa selama masa remaja,
sahabat juga menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial.
30
Baron dan Byrne (2005), memaparkan persahabatan adalah hubungan
yang membuat dua orang menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam
berbagai situasi, tidak mengikutkan orang lain dalam hubungan tersebut, dan
saling memberikan dukungan emosional. Mussen dkk. (Nashori, 2008) juga
menegaskan persahabatan adalah hubungan pribadi yang menyangkut
keseluruhan pribadi berdasarkan kepercayaan yang mendalam dengan saling
membagikan sesuatu, menerima sesuatu dan merupakan kesempatan untuk
memperluas diri. Lebih lanjut Mappiere (1982) menjelaskan dari adanya
persahabatan remaja dapat bekerja sama dan mengisi waktu luang. Lebih
penting lagi, bahwa dalam persahabatan remaja dapat merasa dibutuhkan,
dihargai dan dengan demikian remaja dapat merasa adanya kepuasan dalam
interaksi sosialnya.
Menurut Ahmadi (Fauziah, 2014) persahabatan adalah suatu hubungan
antar pribadi yang akrab atau intim yang melibatkan setiap individu sebagai
suatu kesatuan. Sementara itu, De Vito (Fauziah, 2014) memaknai
persahabatan sebagai hubungan interpersonal di antara dua orang yang saling
menghasilkan dan memiliki karakteristik positif yang saling menghormati.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa film bertema
persahabatan adalah film yang menceritakan tentang pentingnya persahabatan
antara dua orang atau lebih yang ditandai dengan berinteraksi dalam berbagai
situasi, saling memberikan dukungan emosional, saling menolong, adanya rasa
hormat, serta adanya kepercayaan yang mendalam.
31
2. Jenis-jenis Film
Dalam perkembangannya, baik karena kemajuan teknik-teknik yang
semakin canggih maupun tuntutan massa penonton, pembuat film semakin
bervariasi. Menurut Sumarno (1996), film dapat dikelompokkan ke dalam dua
pembagian besar, yaitu:
a. Film teaterikal (Teatrical film)
Film teaterikal atau disebut juga film cerita, merupakan ungkapan cerita
yang dimainkan oleh manusia dengan unsur dramatis dan memiliki unsur
yang kuat terhadap emosi penonton. Cerita dengan unsur dramatis ini
dijabarkan dengan berbagai tema. Lewat tema inilah film teaterikal terbagi
dalam berbagai jenis yaitu:
1) Film laga (action film)
Film ini bercirikan penonjolan filmnya dalam masalah fisik dalam
konflik. Dapat dilihat dalam film yang mengeksploitasi peperangan
atau pertarungan fisik, semacam film perang, silat, koboi, kepolisian,
gengster dan semacamnya.
2) Film drama
Film drama adalah jenis yang populer di kalangan masyarakat
penonton film. Faktor perasaan dan realitas kehidupan nyata
ditawarkan dengan senjata simpati dan empati penonton terhadap
tokoh yang diceritakan (Widagdo, 2007). Jenis film drama yang
disukai remaja adalah jenis film drama yang menceritakan kehidupan
pribadi remaja dengan lingkungan yang ada disekitar remaja, seperti
32
bertema keluarga, teman atau sahabat (Kushartati dalam Nugroho,
2005). Film bertema persahabatan adalah film yang menceritakan
tentang pentingnya persahabatan antara dua orang atau lebih yang
ditandai dengan berinteraksi dalam berbagai situasi, saling
memberikan dukungan emosional, saling menolong, adanya rasa
hormat, serta adanya kepercayaan yang mendalam.
3) Film horor
Film horror adalah sebuah jenis khusus dunia perfilman, karena
cakupannya sempit dan berkisar pada hal yang bias saja. Hal tersebut
disebabkan keingintahuan manusia pada sebuah dunia yang membuat
selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia
lain (Widagdo, 2007).
4) Film fiksi-ilmiah
Berlatar masa depan atau luar angkasa. Biasanya ada alien atau robot
yang menjadi tokoh pembantu.
5) Film komedi
Film komedi adlaah jenis film yang mengandalkan kelucuan sebagai
factor penyajian utama. Jenis film komedi tergolong paling disukai
dan bias merambah usia segmentasi penonton (Widagdo, 2007).
6) Film musikal
Film ini tumbuh bersamaan dengan dikenalnya teknik suara dalam
film, dengan sendirinya film jenis ini mengeksploitasi musik. Tetapi
harus dibedakan antara film-film yang didalamnya terkandung musik
33
dan nyanyian. Film yang bersifat musikal adalah yang dicirikan oleh
musik yang menjadi bagian internal cerita, bukan sekedar selingan.
b. Film Non-teaterikal (Non-teatrical film)
Film jenis ini merupakan film yang diproduksi dengan memanfaatkan
realitas asli, dan tidak bersifat fiktif. Selain itu juga tidak dikmaksudkan
sebagai alat hiburan. Film-film jenis ini lebih cenderung untuk menjadi
alat komunikasi untuk menyampaikan informasi (penerangan) maupun
pendidikan. Terdapat dua tipe dalam film non-cerita, yaitu:
1) Film faktual
Film faktual umunya hanya menampilkan fakta. Pada film faktual ini
di zaman sekarang tetap hadir dalam bentuk sebagai film berita dan
film dokumentasi. Film berita menitikberatkan pada segi pemberitaan
suatu kejadian actual, misalnya film berita yang banyak dalam siaran
televisi.
2) Film dokumenter
Film dokumenter, selain mengandung fakta, film ini juga
mengandung subjektivitas pembuat. Subjektivitas diartikan sebagai
sikap atau opini terhadap peristiwa. Film documenter bukan cerminan
pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan
yang dilakukan oleh pembuat film dokumenter.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis
film adalah film teaterikal dan film non-teaterikal. Film teaterikal terdiri dari
film laga, film drama, film horor, film perang, film fiksi-ilmiah, film komedi,
34
film musikal dan film koboi. Film non-teaterikal terdiri dari film faktual dan
film dokumenter. Dalam penelitian ini, jenis film yang digunakan adalah film
drama, karena dalam film drama ini merupakan jenis yang populer di kalangan
masyarakat penonton film. Faktor perasaan dan realitas kehidupan nyata
ditawarkan dengan senjata simpati dan empati penonton terhadap tokoh yang
diceritakan (Widagdo, 2007).
C. Pengaruh Penyajian Film Bertema Persahabatan Terhadap Altruisme
Pada Remaja Akhir
Film bertema persahabatan adalah film yang menceritakan tentang
pentingnya persahabatan antara dua orang atau lebih yang ditandai dengan
berinteraksi dalam berbagai situasi, saling memberikan dukungan emosional, saling
menolong, adanya rasa hormat, serta adanya kepercayaan yang mendalam.
Menurut Trianton (2013), film termasuk media audio-visual yang efektif
menunjang tujuan belajar. Arsyad (2013) menyatakan, belajar dengan
menggunakan indera pandang dan dengar akan memberikan keuntungan bagi
siswa. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera
dengar sangat menonjol perbedaanya. Baugh (Achsin, 1986) berpendapat kurang
lebih 90% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang danhanya
sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagi dengan indera lainnya ().
Sementara itu, Dale (Arsyad, 2013) memperkirakan bahwa pemerolehan hasil
belajar melalui indera pandang berkisar 75%, melalui indera dengar sekitar 13%
dan melalui indera lainnya sekitar 12%.
35
Smithikrai, Longthong, & Peijsel (Niva, 2016) menyatakan bahwa
sinema/film mampu menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan karakteristik
positif dan mengurangi karakter negatif. Hal ini disebabkan oleh film yang
bersangkutan menceritakan wilayah yang diinginkan dan diketahui. Wilayah
tersebut ingin dicapai individu agar hidupnya berkualitas dan wilayah tersebut akan
dihubungkan ke dalam dirinya hingga menghasilkan perasaan yang lebih baik, lebih
kuat, dan lebih sejahtera ke dalam perilaku yang sehat. Di lain pihak, Gentile et al.
(2009) mengemukakan bahwa konten yang dikandung oleh sebuah film akan sangat
berefek dalam meningkatkan keterampilan khusus yang mendidik. Penonton
menjadi terpengaruh melalui perilaku yang digambarkan melalui film. Pengaruh ini
disebabkan oleh stimulus yang diberikan oleh tayangan yang ditampilkan oleh film.
Hurlock (2003) menyatakan pencapaian perilaku sosial yang bertanggung
jawab termasuk dalam tugas perkembangan remaja akhir. Sejalan dengan hal
tersebut, Monks (Pitaloka & Ediati, 2015) menambahkan keputusan melakukan
sesuatu dipengaruhi oleh prinsip moral. Memberi pertolongan pada orang lain
dikemudikan oleh tanggung jawab batin pribadi.
Loyalitas dan kemauan untuk melayani orang lain merupakan dasar bagi
tingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Remaja harus mengembangkan
ideologi yang harmonis dengan nilai-nilai dan kenyataan-kenyataan di lingkungan
sosial (Agustiani, 2009). Artinya, remaja dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
sosial sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta mentaati
nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya, baik regional maupun nasional
(Havighurst dalam Panuju & Umami, 1999).
36
Remaja pada usia akhir memiliki altruistik yang tinggi. Remaja siap untuk
berpikir dan bertindak yang remaja pikir baik untuk lingkungan sosialnya. Remaja
mengasumsikan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab sosial (Agustiani,
2009). Sullivan (Santrock, 2012) berpendapat, bahwa selama masa remaja, sahabat
juga menjadi sangat penting utnuk memenuhi kebutuhan sosial. Remaja juga lebih
bergantung pada teman-teman sebaya daripada orangtua untuk memenuhi
kebutuhan remaja akan pertemanan, dukungan yang berharga, dan keintiman.
Adapun dinamika hubungan film bertema persahabatan dengan altruisme
pada remaja akhir dapat dilihat pada bagan berikut:
Penyajian film bertema persahabatan ini dipilih dengan tujuan setelah
remaja menonton film, remaja dapat menjadikan tokoh dalam film sebagai model
perilaku sosial. Sarwono dan Meinarno (2009) menegaskan bahwa modeling
melalui penyajian film dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan
pada orang lain. Pery dan Furukawa (Nursalim, 2002) mendefinisikan modeling
sebagai proses belajar observasi perilaku individu atau kelompok model bertindak
sebagai suatu perangsang gagasan, sikap, atau perilaku pada orang lain yang
mengobservasi penampilan model.
Film Bertema Persahabatan
Altruisme
Empati Keinginan memberi Sukarela
37
Film yang digunakan dalam penelitian ini adalah film “Sang Pemimpi”.
Film “Sang Pemimpi” adalah sebuah film Indonesia tahun 2009 yang diadaptasi
dari novel kedua dalam tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, karya Andrea
Hirata. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deliani (2015) yang
berjudul “Gambaran Nilai Persahabatan Dalam Novel Sang Pemimpikarya Andrea
Hirata: Pendekatan Sosiosastra” yang menunjukkan bahwa nilai persahabatan yang
terdapat dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata antara lain: kebersamaan,
kesetiaan, saling membantu dan berbagi, rasa percaya, empati, kejujuran,
pengorbanan, saling memengaruhi, keegoisan, kerinduan, saling memahami dan
menerima, saling mendukung, dan saling pengertian.
Dalam film ini, berisi cerita tentang kehidupan Ikal dan sahabat-sahabatnya
di Belitong. Ikal adalah pencerita dalam novel tersebut, sedangkan Arai adalah
saudara jauhnya yang menjadi yatim piatu ketika masih kecil. Ikal memanggil Arai
dengan nama Simpai Keramat karena dalam keluarganya, Arai adalah orang
terakhir yang masih hidup. Jimbron adalah sahabat Arai dan Ikal yang sangat
terobsesi dengan kuda dan gagap bila sedang antusias terhadap sesuatu atau
ketika gugup. Ketiganya melewati kisah persahabatan yang terjalin dari kecil
hingga mereka bersekolah di SMA Negeri di Magai, SMA pertama yang berdiri di
Belitong bagian timur (Deliani, 2015).
Bertalian dengan hal tersebut, dinyatakan oleh Myers (2012) altruisme
adalah motif untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk
kepentingan pribadi seseorang. Orang yang altruisme peduli dan mau membantu
meskipun jika tidak ada keuntunngan yang ditawarkan atau tidak ada harapan akan