14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Academic Burnout pada Mahasiswa yang Bekerja 1. Pengertian Academic Burnout Menurut Yang (2004) academic burnout mengacu pada stres, beban atau faktor psikologis lainnya karena proses pembelajaran yang diikuti mahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan emosional, kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang rendah. Kemudian menurut Schaufeli, dkk. (2002) menambahkan bahwa academic burnout mengacu pada perasaan lelah karena tuntutan studi, memiliki sikap sinis terhadap tugas-tugas perkuliahan, dan perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Rad, dkk. (2017) yang mendefinisikan academic burnout sebagai kurangnya minat seseorang dalam memenuhi tugas, rendahnya motivasi, dan kelelahan karena persyaratan pendidikan sehingga munculnya perasaan yang tidak diinginkan dan perasaan tidak efisien. Pendapat lain dikemukakan oleh Muna (2013) yang mengatakan bahwa academic burnout adalah suatu kondisi mental dimana seorang mahasiswa mengalami kebosanan yang amat sangat untuk melakukan aktivitas belajar, dan kebosanan tersebut membuat motivasi belajar mahasiswa menurun, timbulnya rasa malas yang besar, dan menurunnya prestasi belajar.
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Academic Burnout pada …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4582/3/BAB II.pdfmahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan emosional, kecenderungan untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Academic Burnout pada Mahasiswa yang Bekerja
1. Pengertian Academic Burnout
Menurut Yang (2004) academic burnout mengacu pada stres, beban
atau faktor psikologis lainnya karena proses pembelajaran yang diikuti
mahasiswa sehingga menunjukkan keadaan kelelahan emosional,
kecenderungan untuk depersonalisasi, dan perasaan prestasi pribadi yang
rendah. Kemudian menurut Schaufeli, dkk. (2002) menambahkan bahwa
academic burnout mengacu pada perasaan lelah karena tuntutan studi,
memiliki sikap sinis terhadap tugas-tugas perkuliahan, dan perasaan tidak
kompeten sebagai mahasiswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Rad, dkk.
(2017) yang mendefinisikan academic burnout sebagai kurangnya minat
seseorang dalam memenuhi tugas, rendahnya motivasi, dan kelelahan
karena persyaratan pendidikan sehingga munculnya perasaan yang tidak
diinginkan dan perasaan tidak efisien. Pendapat lain dikemukakan oleh
Muna (2013) yang mengatakan bahwa academic burnout adalah suatu
kondisi mental dimana seorang mahasiswa mengalami kebosanan yang amat
sangat untuk melakukan aktivitas belajar, dan kebosanan tersebut membuat
motivasi belajar mahasiswa menurun, timbulnya rasa malas yang besar, dan
menurunnya prestasi belajar.
15
Mahasiswa yang bekerja adalah individu yang menuntut ilmu pada
jenjang perguruan tinggi dan berstatus aktif yang juga menjalankan usaha
atau sedang berusaha mengerjakan suatu tugas yang diakhiri buah karya
yang dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan (Dudija, 2012).
Berdasarkan data National Center for Education Statistics (NCES), pada
tahun 2007 sebanyak 40% mahasiswa bekerja lebih dari 20 jam per minggu
(Planty et al., dalam Dadgar, 2012). Mahasiswa yang bekerja harus dapat
membagi waktu dan tanggung jawab terhadap komitmen dari kedua
aktivitas tersebut. Hal inilah yang membuat mahasiswa menghabiskan
sebagian waktu, energi serta tenaga, ataupun pikirannya untuk bekerja
(Mardelina & Muhson, 2017). Kondisi tersebut membuat mahasiswa
kesulitan dalam mengatur atau membagi waktu antara bekerja dan kuliah,
sehingga aktivitas mereka bertambah dan cenderung mengabaikan tugasnya
sebagai seorang mahasiswa untuk belajar serta mengerjakan tugas-tugas
yang diberikan oleh dosen (Mardelina & Muhson, 2017).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa academic
burnout pada mahasiswa yang bekerja adalah mahasiswa yang memiliki
perasaan lelah karena tuntutan studi dari proses pembelajaran yang diikuti
sehingga memiliki kecenderungan untuk depersonalisasi, perasaan prestasi
pribadi yang rendah, dan perasaan tidak kompeten sebagai mahasiswa.
16
2. Dimensi Academic Burnout
Menurut Yang (2004) dimensi dari academic burnout ada tiga, yaitu:
a. Kelelahan emosional, disebabkan oleh tuntutan emosional dan psikologis
yang berlebih dan biasanya berdampingan dengan perasaan frustasi dan
ketegangan.
b. Keengganan untuk studi atau sinisme, mengacu kepada ketidakpekaan
atau sikap sinis terhadap pekerjaan yang sedang dihadapi.
c. Kurangnya keinginan untuk berprestasi, berkurangnya keinginan untuk
berprestasi terjadi ketika seseorang menampilkan kecenderungan untuk
mengevaluasi diri sendiri negatif, sebuah penurunan perasaan kompetensi
kerja, dan peningkatan perasaan inefficacy.
Kemudian menurut Schaufeli, dkk. (2002) academic burnout memiliki
tiga dimensi, yaitu:
a. Exhaustion. Dimensi ini mengacu pada perasaan lelah tetapi tidak
merujuk langsung kepada orang lain sebagai sumber umum. Leiter &
Maslach (2000) menyatakan bahwa dimensi ini mengarah pada perasaan
emosional yang berlebihan dan perasaan terkurasnya sumber daya
emosional. Individu merasa kekurangan energi untuk menghadapi hari
lain atau orang lain.
b. Cynicism. Dimensi ini ditandai dengan ketidakpedulian atau sikap
menjauh terhadap perkuliahan yang dijalani, tidak harus dengan orang
lain.
17
c. Reduce of Professional Efficacy. Dimensi ini meliputi aspek sosial dan
nonsosial dalam pencapaian akademik. Leiter & Maslach (2000)
menyatakan bahwa individu akan merasa tidak berdaya, merasa semua
tugas yang diberikan berat. Ketika merasa tidak efektif maka
mahasiswa cenderung mengembangkan rasa tidak mampu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dimensi-dimensi
academic burnout menurut Yang dan Schaufeli, dkk. yang terdiri dari
kelelahan emosional, keengganan untuk studi atau sinisme, mengurangnya
keinginan untuk berprestasi, exhaustion, cynicism, dan reduce of
professional efficacy. Dalam hal ini peneliti memilih dimensi academic
burnout menurut Yang (2004) yang terdiri dari kelelahan emosional,
keengganan untuk studi atau sinisme, dan mengurangnya keinginan untuk
berprestasi yang akan digunakan untuk mengetahui academic burnout pada
mahasiswa yang bekerja karena indikator dari dimensi-dimensi tersebut
telah sesuai dengan subjek yang akan peneliti teliti dibandingkan dengan
dimensi yang disampaikan oleh Schaufeli, dkk. (2002).
3. Faktor yang mempengaruhi Academic Burnout
Menurut Maslach, et al., (2001) burnout terdiri dari 2 faktor, yaitu:
a. Faktor situasional. Pada faktor ini terdapat karakteristik pekerjaan,
karakteristik jabatan, dan karakteristik organisasi.
1) Karakteristik pekerjaan yaitu meliputi (a) keanekaragaman
keterampilan yaitu banyaknya keterampilan yang diperlukan untuk
18
melakukan pekerjaan, (b) identitas tugas adalah identitas tugas yang
memungkinkan individu untuk melaksanakan tugas seutuhnya, (c) arti
tugas yaitu tugas penting yang mengacu pada seberapa besar dampak
pekerjaan terhadap orang lain, (d) otonomi yaitu karakteristik
pekerjaan yang memberikan kebijakan dan kendali tertentu bagi
individu atas keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan (e)
umpan balik mengacu pada informasi yang memberi tahu individu
tentang seberapa baik prestasi kerja yang telah dicapai selama bekerja.
2) Karakteristik jabatan merupakan unsur dari jabatan yang dapat dilihat
dan ditentukan dari hasil kerja, bahan kerja dan perangkat yang
digunakan.
3) Karakteristik organisasi adalah suatu perilaku dan tingkah laku suatu
institusi terhadap kondisi yang ada di luar institusi itu maupun di
dalam institusi itu sendiri.
b. Faktor individual. Faktor ini meliputi karakteristik demografik,
karakeristik kepribadian, dan sikap kerja.
1) Karakteristik demografik terdiri dari jenis kelamin, latar belakang
etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan.
2) Karakeristik kepribadian terdiri dari (a) konsep diri rendah yaitu
individu yang tidak percaya diri dan memiliki penghargaan terhadap
diri sendiri yang redah (Cherniss dalam Salama, 2014), (b) kebutuhan
diri yang terlalu besar adalah aktualisasi diri, aktualisasi diri
merupakan keinginan yang dimiliki individu untuk menjadi diri
19
sepenuhnya, dan mengaktualisasikan potensi yang dimiliki (Maslow,
1970), (c) kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi,
kemampuan mengendalikan dan mengolah emosi baik dari dalam diri
maupun orang lain merupakan pengertian dari kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri
dengan orang lain secara efektif (Goleman, 2003), (d) locus of control
eksternal merupakan suatu keyakinan terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi karena alasan-alasan yang tidak ada hubungannya dengan
tingkah laku individu sehingga di luar usaha untuk mengontrolnya, (e)
introvert merupakan kepribadian individu yang tertutup sehingga
individu cenderung memilih sendiri atau bertemu sedikit orang
(Nursyahrurahmah, 2017), (f) keyakinan akan kemampuan diri oleh
Bandura disebut sebagai self efficacy (Bandura dalam Rustika, 2016).
Ugwu, dkk. (dalam Arlinkasari & Akmal, 2017) menyarankan agar
mahasiswa memiliki self-efficacy yang memadai untuk melindungi
diri dari potensi academic burnout. Konsep self-efficacy juga berlaku
dalam konteks akademis sehingga dapat disebut juga sebagai
academic self-efficacy.
Beberapa penelitian yang dipaparkan Zimmerman (dalam
Nugraheni, 2016) mendukung pernyataan Bandura (dalam Nugraheni,
2016), yaitu academic self-efficacy dapat memprediksi pilihan
aktivitas, tingkat usaha, seberapa lama bertahan dalam usahanya, dan
reaksi emosi. Shankland, dkk. (dalam Rachmah, 2013) menemukan
20
bahwa mahasiswa dengan academic self-efficacy yang tinggi akan
mampu mengatasi berbagai tuntutan sebagai mahasiswa di perguruan
tinggi. Mahasiswa juga menunjukkan kurangnya kecemasan,
rendahnya gejala depresi, kepuasan hidup yang lebih besar, dan
prestasi akademik yang lebih baik.
3) Sikap kerja merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaannya yang
mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan dalam pekerjaannya serta harapan-harapannya
terhadap pengalaman masa depan (Kenneth, 1992).
Menurut Gold dan Roth (dalam Khairani & Ifdil, 2015) burnout terdiri
dari lima faktor, antara lain:
a. Lack of Social Support (Kurangnya Dukungan Sosial)
Gold dan Roth menjelaskan bahwa kurangnya dukungan sosial telah
ditemukan dapat meningkatkan burnout pada beberapa penelitian.
Enam fungsi dukungan sosial, yaitu: mendengarkan, dukungan