perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Zona laut menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan peraturan perundang undangan Indonesia Wilayah merupakan suatu unsur pokok dari suatu negara. Hal ini ditegaskan dalam konvensi Montevideo pada tahun 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban Negara. Konvensi tersebut menentukan adanya empat syarat yang harus dimiliki oleh suatu negara sebagai suatu subjek di dalam hukum internasional. Keempat syarat tersebut adalah penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintah dan kemampuan untuk memasuki pergaulan Internasional (a capacity to enter into relations with other states) (Dimyati Hartono, 1977: 39). Tidak ada negara tanpa wilayah, karena itu adanya wilayah adalah hal yang mutlak bagi negara. Agar wilayah dikatakan tetap, maka harus ada batas-batasnya. (Jawahir Thontowi, 2006:108). Dengan adanya wilayah, negara dapat mengejawantahkan kedaulatannya melalui, salah satunya, penerapan aturan sekaligus mengefektifkan sanksi dari aturan tersebut. Di sini kita lihat adanya korelasi yang jelas antara kedaulatan, wilayah dan negara. (Jawahir Thontowi, 2006:177) Kedaulatan negara atas wilayah terdiri atas kedaulatan wilayah darat, udara dan laut. Maksud dari kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan kewenangannya (Tuhulele, 2011: 1). Wilayah laut sendiri adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut terdiri dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh suatu negara (negara pantai) dengan laut yang tidak dikuasai oleh negara (Sefriani, 2010: 212). Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan negara atas wilayah laut yang paling pokok adalah United
43
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. perundang undangan … · (Adji Samekto, 2009: 17). Dalam mengukur dan menentukan luas wilayah laut diperlukan garis pangkal. Garis pangkal adalah garis-garis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Zona laut menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dan peraturan
perundang undangan Indonesia
Wilayah merupakan suatu unsur pokok dari suatu negara. Hal ini
ditegaskan dalam konvensi Montevideo pada tahun 1933 tentang Hak-Hak
dan Kewajiban Negara. Konvensi tersebut menentukan adanya empat syarat
yang harus dimiliki oleh suatu negara sebagai suatu subjek di dalam hukum
internasional. Keempat syarat tersebut adalah penduduk yang tetap, wilayah
tertentu, pemerintah dan kemampuan untuk memasuki pergaulan
Internasional (a capacity to enter into relations with other states) (Dimyati
Hartono, 1977: 39).
Tidak ada negara tanpa wilayah, karena itu adanya wilayah adalah
hal yang mutlak bagi negara. Agar wilayah dikatakan tetap, maka harus ada
batas-batasnya. (Jawahir Thontowi, 2006:108). Dengan adanya wilayah,
negara dapat mengejawantahkan kedaulatannya melalui, salah satunya,
penerapan aturan sekaligus mengefektifkan sanksi dari aturan tersebut. Di
sini kita lihat adanya korelasi yang jelas antara kedaulatan, wilayah dan
negara. (Jawahir Thontowi, 2006:177)
Kedaulatan negara atas wilayah terdiri atas kedaulatan wilayah darat,
udara dan laut. Maksud dari kedaulatan atas wilayah laut adalah
kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan
kewenangannya (Tuhulele, 2011: 1). Wilayah laut sendiri adalah laut beserta
tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut terdiri dasar laut dan
tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai
oleh suatu negara (negara pantai) dengan laut yang tidak dikuasai oleh
negara (Sefriani, 2010: 212).
Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang
kedaulatan negara atas wilayah laut yang paling pokok adalah United
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) atau yang
sering disebut dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Indonesia mengesahkan
Konvensi Hukum Laut tahun 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun
1985. Sampai bulan Juli tahun 2014 ini Konvensi Hukum Laut tahun 1982
sudah diratifikasi oleh 166 negara (www.un.org/depts/los/reference_files
/status2010.pdf diakses tanggal 18 Juli 2014, Pukul 7:47 WIB).
Dalam membahas wilayah perairan (laut) suatu negara, ada negara
yang memiliki laut ( coastal state atau litoral state) dan ada negara yang
tidak memiliki laut (landlocked State). Contoh negara tidak berpantai atau
tidak memiliki laut, seperti Laos, Nepal, Swiss, Hongaria, dan Austria. (Adji
Samekto, 2009: 17).
Dalam mengukur dan menentukan luas wilayah laut diperlukan garis
pangkal. Garis pangkal adalah garis-garis yang menghubungkan titik-titik
pangkal untuk kepentingan pengukuran lebar laut tertentu. Cara menentukan
titik-titik pangkal adalah dengan menentukan bagian dari suatu daratan yang
paling menjorok ke laut kemudian ditentukan titik pangkalnya pada waktu
yang berbeda (saat pagi, siang dan malam). Tahap selanjutnya adalah antara
satu titik dan titik berikutnya dihubungkan menjadi garis-garis pangkal.
Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, secara garis besar ada tiga jenis garis
pangkal, yaitu garis pangkal normal (normal baselines) yang mengikuti
lekuk-lekuk pantai sebagaimana yang ditandai pada peta skala besar yang
secara resmi diakui oleh negara pantai tersebut yang diuraikan dalam Pasal 5
dan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari suatu
pantai dalam Pasal 7, serta garis pangkal kepulauan yang menghubungkan
titik-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, dan
karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada garis air rendah
pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang
berdampingan pada Pasal 47 Konvensi Hukum Laut 1982.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 melahirkan delapan zonasi
pengaturan (regime) hukum laut. Secara garis besarnya, Konvensi ini
membagi laut ke dalam dua bagian zona maritim yaitu zona-zona yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berada di bawah dan di luar yurisdiksi nasional. Zona-zona yang berada di
bawah yurisdiksi nasional dibagi lagi ke dalam zona-zona maritim yang
berada di bawah kedaulatan penuh suatu negara pantai, dan zona-zona
maritim bagian-bagian di mana negara pantai dapat melaksanakan
wewenang-wewenang serta hak-hak khusus yang diatur oleh Konvensi (Etty
R Agoes dalam Dikdik Mohammad Sodik, 2011: 18)
Zona-zona maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh adalah:
a. Perairan Pedalaman ( internal waters)
Perairan pedalaman diatur dalam pasal 8 Konvensi Hukum
Laut 1982 yaitu perairan yang terletak ke arah dalam, dari garis
batas pengukur teritorial. Secara umum terdiri dari teluk, muara,
dan pelabuhan dan perairan-perairan yang tertutup oleh garis
pangkal lurus.
Ketentuan dalam hukum nasional mengenai zona perairan
dibawah kedaulatan penuh Indonesia pemerintah menetapkan
Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
sebagai landasan hukumnya sejak tanggal 8 Agustus 1996. Pada
pasal 3 ayat 4 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak
pada sisi darat (dalam) dari garis air rendah dari pantai- pantai
Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian perairan
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
pada mulut sungai, kuala teluk, anak laut dan pelabuhan.
Perairan pedalaman ini terdiri dari laut pedalaman dan
perairan darat seperti sungai dan danau. Di perairan pedalaman ini
negara pantai mempunyai kedaulatan mutlak seperti wilayah
daratan. Pada umumnya di perairan pedalaman tidak ada hak
lintas damai bagi kapal asing, Namun kalau perairan pedalaman
ini terbentuk karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka
hak lintas damai di perariran tersebut dapat dinikmati oleh negara-
negara lain. (Jawahir Thontowi, 2006: 186)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
b. Perairan Kepulauan (archipelagic waters)
Perairan kepulauan diatur dalam pasal 46 sampai 54
Konvensi Hukum Laut 1982. Perairan kepulauan merupakan
perairan yang dimiliki negara kepulauan. Negara kepulauan
menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain. Untuk menentukan perairan
kepulauan tersebut digunakan garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan
karang-karang kering terluar dengan syarat perbandingan wilayah
laut dengan daratan termasuk pulau karang adalah 1:1 sampai
dengan 9:1 sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat (1) Konvensi
Hukum Laut 1982. Selain itu, panjang garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali
bahwa 3% (tiga persen) dari jumlah keseluruhan garis pangkal
dapat melebihi hingga kepanjangan maksimum 125 mil laut.
Status hukum dari perairan kepulauan diatur dalam pasal
49 Konvensi yang menetapkan bahwa:
1) Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup
oleh garis pangkal kepulauan sebagaimana diatur dalam pasal
47 disebut sebagai perairan kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai;
2) Kedaulatan ini selain meliputi ruang udara di atasnya juga
dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya.
3) Rezim hak lintas alur-alur laut kepulauan tidak akan
mempengaruhi status hukum perairan kepulauan, termasuk
alur-alur laut dan pelaksanaan kedaulatan negara kepulauan
atas perairan kepulauan, dan ruang udara di atas perairan
kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Dalam peraturan perundang-undangan nasional, pengaturan
mengenai perairan kepulauan sama dengan ketentuan dalam
Konvensi Hukum Laut tahun 1982. Namun dalam UU No. 6 Tahun
1996 tentang Perairan Indonesia diatur lebih spesifik tentang hak
lintas melewati alur kepulauan di perairan kepulauan Indonesia.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 Undang-undang,
bahwa kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai
dapat menikmati hak lintas damai di perairan kepulauan. Dalam
melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu melalui alur-
alur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran
dan penerbangan di atasnya. Untuk keperluan hak lintas alur
kepulauan ini Pemerintah Indonesia menentukan alur-alur laut rute
penerbangan di atasnya serta dapat juga menetapkan skema
pemisah untuk keperluan keselamatan navigasi atau pelayaran.
Dalam menetapkan alur laut dan rute penerbangan ini ditentukan
dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai
dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan kepulauan
dan laut teritorial yang berhimpit dengannya.
Penentuan alur-alur laut dan rute penerbangan ini
dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilakukan lintas yang
langsung dan terus menerus serta dengan menempuh jarak yang
terdekat. Selain dari itu untuk menjamin keselamatan pelayaran
dan juga menetapkan skema pemisah di daerah yang rawan
kecelakaan.
Sesuai pasal 53 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 yang
menyatakan negara kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute
penerbangan di atasnya, yang cocok untuk lintas kapal dan pesawat
udara asing secara tak terputus dan cepat melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan.
Sehubungan dengan itu, pada tahun 1996 Indonesia telah
mengusulkan kepada IMO (International Maritime Organization)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan
Indonesia yaitu
1) ALKI I : Selat Sunda, Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut
China Selatan.
2) ALKI II : Selat Lombok, Selat Makasar, dan Laut Sulawesi
3) ALKI III A: Laut Sawu, Selat Ombai, Laut Banda-Laut Seram-
Laut Maluku. Samudera pasifik.
4) ALKI III-B : Laut Timor, Selat Leti, Laut Banda dan terus ke
ALKI III-A
5) ALKI III-C : Laut Arafura, Laut Banda terus ke Utara ke ALKI
III-A
Sesuai dengan pasal 53(5) Konvensi Hukum Laut 1982
yang menyatakan alur laut dan rute penerbangan di atasnya
merupakan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai
dari tempat masuk rute hingga tempat keluar. Kapal dan pesawat
udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulaun tidak boleh
menyimpang lebih dari 25 mil laut pada sisi garis sumbu tersebut,
dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak
boleh berlayar atau terbang lebih dekat ke pantai dari 10% jarak
antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan
dengan alur laut tersebut.
Sesuai saran IMO Indonesia telah melakukan pendekatan
kepada International Hydrographic Organization (IHO), guna
membahas segi-segi teknis pemetaan untuk menggambarkan
ALKI-ALKI tersebut pada peta-peta pelayaran. Akhirnya usul
penetapan ketiga ALKI Utara-Selatan tersebut diterima secara
resmi pada tanggal tanggal 19 Mei 1998 oleh sidang Pleno MSC-
60 (Maritime Safety Committee). Indonesia mengundangkannya
dalam peraturan nasional melalui PP No. 37 tahun 2002. Menurut
kesepakatan dengan IMO, ALKI tersebut akan mulai berlaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
minimal enam bulan sejak diundangkannya oleh Indonesia. (Boer
Mauna, 2011: 398).
Sedangkan menurut Kresno Buntoro, ALKI tersebut akan
mulai berlaku setelah enam bulan pemberitahuan kepada IMO
yaitu pada bulan Juli tahun 2003 sehingga berlaku mulai Desember
tahun 2003. Hal ini dikarenakan pengumuman Indonesia tentang
rencana pemberlakuan alur kepulauan Indonesia pada bulan
Desember 2002 mendapat reaksi keras dari beberapa anggota
International Maritime Organization (IMO). Mayoritas anggota
IMO percaya bahwa ketentuan tentang persyaratan waktu enam
bulan pemberlakuan dihitung pada saat Indonesia
menginformasikan kepada IMO telah diundangkannya alur laut
kepulauan dalam peraturan nasional (Kresno Buntoro, 2012: 98).
Hak dan kewajiban kapal asing dalam melaksanakan lintas
melalui alur laut kepulauan Indonesia secara terperinci diatur
dalam PP No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal
dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan.
Kewajiban-kewajiban kapal asing dalam melaksanakan
lintas alur kepulauan tersebut diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 dan
Pasal 6 yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas
Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau
terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata
mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung,
cepat, dan tidak terhalang.
2) Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur
laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih
dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu
alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan
pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara
titik titik yang terdekat pada pulau pulau yang berbatasan
dengan alur laut kepulauan tersebut.
3) Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman
atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau
dengan cara lain apapun yang melanggar asas asas Hukum
Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa
Bangsa.
4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu
melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh
melakukan latihan perang perangan atau latihan menggunakan
senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.
5) Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau
mondar mandir, kecuali dalam hal force majeure atau dalam hal
keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang
atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah.
6) Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas
Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau
melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak
boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau
kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah
Indonesia.
7) Kapal atau pesawat udara asing, termasuk kapal atau pesawat
udara riset atau survey hidrografi, sewaktu melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan kegiatan
riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan
mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil
contoh, kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
8) Kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan, sewaktu
melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh
melakukan kegiatan perikanan dan menyimpan peralatan
penangkap ikannya ke dalam palka.
9) Kapal dan pesawat udara asing, sewaktu melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh menaikkan ke atas
kapal atau menurunkan dari kapal, orang, barang atau mata
uang dengan cara yang bertentangan dengan perundang
undangan kepabeanan, keimigrasian, fiskal, dan kesehatan,
kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam keadaan
musibah.
10) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan wajib menaati peraturan, prosedur, dan praktek
internasional mengenai keselamatan pelayaran yang diterima
secara umum, termasuk peraturan tentang pencegahan tubrukan
kapal di laut.
11) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan tidak boleh menimbulkan gangguan atau kerusakan
pada sarana atau fasilitas navigasi serta kabel kabel dan pipa
pipa bawah air.
12) Kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
kepulauan dalam suatu alur laut kepulauan di mana terdapat
instalasi instalasi untuk eksplorasi atau eksploitasi sumber daya
alam hayati atau non hayati, tidak boleh berlayar terlalu dekat
dengan zona terlarang yang lebarnya 500 (lima ratus) meter
yang ditetapkan di sekeliling instalasi tersebut.
13) Kapal asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan dilarang membuang minyak, limbah minyak, dan
bahan bahan perusak lainnya ke dalam lingkungan laut, dan
atau melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dan standar internasional untuk mencegah, mengurangi, dan
mengendalikan pencemaran laut yang berasal dari kapal.
14) Kapal asing bertenaga nuklir, atau yang mengangkut bahan
nuklir, atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya
berbahaya atau beracun yang melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan, harus membawa dokumen dan mematuhi
tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian
internasional bagi kapal kapal yang demikian.
c. Laut teritorial (teritorial waters)
Dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, laut teritorial
diatur dalam pasal 2-32, pasal 220, pasal 230 ayat (2), serta pasal
234.
Pada pasal 2 Konvensi dinyatakan bahwa setiap negara
berhak menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas maksimum
12 mil laut dari garis pangkal pantai (baselines). Lebar laut
teritorial ditetapkan dari batas air-rendah (surut) di sekitar pantai
negara. Penetapan lebar laut tersebut merupakan prinsip tradisional
menurut hukum kebiasaan internasional dan ditegaskan kembali
dalam pasal 3 Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Zona
Berdekatan tahun 1958 dan pasal 5 Konvensi Hukum Laut 1982
(Malcolm Shaw QC, 2013: 550)
Di laut teritorial ini kapal-kapal dari semua negara
memperoleh hak lintas damai untuk melayari atau melintasi laut
teritorial yang diatur dalam pasal 17 sampai pasal 32 Konvensi
Hukum Laut tahun 1982.
Hak lintas damai mengacu pada pasal 18 Konvensi Hukum
Laut 1982 dapat diartikan sebagai pelayaran melalui laut teritorial
dengan tujuan hanya untuk melintas tanpa memasuki perairan
pedalaman atau singgah di tempat bongkar muat barang di laut atau
pelabuhan yang berada di luar perairan pedalaman, dan lintas itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
harus dilakukan dengan terus-menerus dan cepat kecuali ada force
majuer atau menolong pihak yang mengalami bahaya di laut