BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Anatomi dan Histologi Sistem Urinaria Sistem urinaria terdiri atas dua ginjal dan dua ureter bermuara pada satu vesika urinaria kemudian keluar dengan satu uretra. Organ ginjal berbentuk seperti kacang letaknya retroperitoneal dinding posterior cavum abdomen. Di atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal yang terbenam dalam jaringan ikat. Tepi medial ginjal yang cekung adalah hilus, terdapat arteri (renalis), vena renalis dan pelvis renalis berbentuk corong. Irisan sagital ginjal, bagian luar disebut korteks, bagian dalam disebut medula, medula terdiri atas piramid renal berbentuk kerucut. Dasar setiap piramid menyatu dengan korteks, apeks bulat setiap piramid disebut papila renalis, dikelilingi kaliks minor berbentuk corong. Kaliks minor bergabung membentuk kaliks mayor, dan akhirnya bergabung membentuk pelvis renalis. Setiap pelvis renalis keluar sebagai ureter (Guyton dan Hall, 1995 ; Eroschenko, 2000). Gambar 1. Anatomi ginjal (Eroschenko, 2000) 6
23
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1. Anatomi dan Histologi Sistem ... · Glomerulus terletak di korteks kemudian menyambung tubulus kontortus proksimal masih berada di korteks, selanjutnya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Anatomi dan Histologi Sistem Urinaria
Sistem urinaria terdiri atas dua ginjal dan dua ureter bermuara pada satu
vesika urinaria kemudian keluar dengan satu uretra. Organ ginjal berbentuk
seperti kacang letaknya retroperitoneal dinding posterior cavum abdomen. Di
atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal yang terbenam dalam jaringan ikat.
Tepi medial ginjal yang cekung adalah hilus, terdapat arteri (renalis), vena
renalis dan pelvis renalis berbentuk corong. Irisan sagital ginjal, bagian luar
disebut korteks, bagian dalam disebut medula, medula terdiri atas piramid
renal berbentuk kerucut. Dasar setiap piramid menyatu dengan korteks, apeks
bulat setiap piramid disebut papila renalis, dikelilingi kaliks minor berbentuk
corong. Kaliks minor bergabung membentuk kaliks mayor, dan akhirnya
bergabung membentuk pelvis renalis. Setiap pelvis renalis keluar sebagai
ureter (Guyton dan Hall, 1995 ; Eroschenko, 2000).
Gambar 1. Anatomi ginjal (Eroschenko, 2000)
6
7
Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Setiap ginjal
terdapat kurang lebih satu juta nefron (Guyton dan Hall, 1995; Eroschenko,
2000).
Tiap nefron terdiri dari :
a) Korpuskula renal terdiri atas glomerolus merupakan anyaman kapiler
dan dibungkus oleh kapsul glomerular (Bowman)
b) Tubuli renal terdiri atas : Tubulus kontortus proksimal, Ansa henle dan
Tubulus kontortus distal.
Glomerulus terletak di korteks kemudian menyambung tubulus
kontortus proksimal masih berada di korteks, selanjutnya menjadi ansa henle
terletak di medulla, menyambung tubulus kontortus distal terletak di korteks
kemudian menyambung ke tubulus koligens (Guyton dan Hall, 1995;
Eroschenko, 2000).
Gambar 2. Nefron (Eroschenko, 2000)
8
Bila glomerolus dipotong melintang akan terlihat gambaran endotel
pembuluh darah dengan Fenestrae sebagai lubang untuk filtrasi, sel
mesangial terletak di bagian sentral, sel visceral yang berbatasan langsung
dengan endotel dibatasi oleh membran basalis. Bagian tepi dari sel visceral
membentuk kaki podosit. Kaki podosit bersama sama dengan dinding endotel
membentuk Fenestrase. Sebelah luar dari sel visceral terdapat parietal.
Antara sel visceral dan sel parietal merupakan suatu ruangan untuk
memproses terjadinya urin yang akan bermuara pada lumen tubulus
proksimal (Robbins dan Cotran, 2005).
Gambar 3. Penampang Glomerolus (Robbins dan Cotran, 2005)
Gambaran histologi pada ginjal normal baik bagian korteks maupun
medula. Bagian korteks terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, tubulus
9
distal sedangkan bagian medula terdiri dari ansa henle dan tubulus koligens
yang akan bermuara ke dalam pelvis ginjal. Pembuluh darah yang masuk ke
dalam glomerolus disebut vasa aferen kemudian bercabang cabang
membentuk kapiler kemudian bersatu lagi membentuk vasa aferen akan
mengelilingi tubulus proksimal ansa Henle, tubulus distal (Guyton dan Hall,
1995; Eroschenko, 2000).
Gambar 4. Histologi Ginjal (Eroschenko, 2000)
2. Nefritis Lupus
Systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun yang
heterogen, mempengaruhi 1 dari 2.000 individu di Amerika Serikat
10
diantaranya 90% adalah kaum perempuan. Hal ini ditandai oleh produksi
autoantibodi terhadap antigen nukleus dan mempengaruhi beberapa organ
dan jaringan (Rahman dan Isenberg, 2008). Di Amerika, prevalensi SLE
adalah 1 kasus per 2.000 penduduk pada populasi umum. Karena kesulitan
diagnosis dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi, sebagian besar
peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih mendekati ke 1 kasus
per 500-1.000 populasi (Askanase dkk, 2012).Data prevalensi SLE di
Indonesia sampai saat ini belum ada. Jumlah penderita SLE di Indonesia
menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai dengan tahun 2005
diperkirakan mencapai 5.000 orang.
Nefritis lupus merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pasien SLE. Berdasarkan konsensus secara umum 60% pasien SLE akan
berkembang menjadi nefritis lupus (Appel dkk.,2007). Nefritis lupus tampak
jelas secara histologis pada kebanyakan pasien dengan SLE, bahkan mereka
yang tidak menunjukkan manifestasi klinis penyakit ginjal. Sehingga
pengenalan dan terapi dengan segera penyakit ginjal sangat penting, karena
respon awal terapi berkaitan erat dengan outcome yang baik (Bertsias
dkk,2008).
a. Patogenesis nefritis lupus
Nefritis lupus diprakarsai oleh deposisi kompleks imun di glomerulus
yang memicu kaskade kejadian inflamasi termasuk aktivasi reseptor Fc dan
komplemen, perekrutan sel inflamasi dan akhirnya terjadi fibrosis. Kompleks
imun juga mengaktifkan sel ginjal melalui Toll-like receptors (TLRs) untuk
menghasilkan mediator inflamasi. Kerusakan mikrovaskuler ginjal dan
trombosis juga terjadi, terutama pada pasien dengan antibodi anti-fosfolipid
(Schwartz,2007).
Beberapa jenis sel ginjal termasuk sel-sel endotel, podosit, sel
interstitial dan sel dendritik ginjal menjadi fokus kajian baru pada
nefritis(Gambar 5). Migrasi dari sel-sel inflamasi di ginjal membutuhkan
aktivasi sel endotel. Hipoksia, karena hilangnya glomerulus dan kapiler
dkk,2008). Sehingga penelitian lebih lanjut tentang mekanisme yang terlibat
dalam aktivasi intrinsik sel ginjal, radang ginjal interstisial dan perekrutan
jalur fibrosis mengarah pada strategi-strategi baru untuk perlindungan ginjal
dari konsekuensi deposisi antibodi.
Nefritis lupus terjadi ketika antibodi (antinuclear antibody) dan
komplemen terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses
peradangan. Hal tersebut biasanya mengakibatkan terjadinya sindrom
nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat progresi cepat menjadi gagal
ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah. LES menyerang
berbagai struktur internal dari ginjal, meliputi nefritis interstitial dan
glomerulonefritis menbranosa. Nefritis lupus mengenai 2 dari 10 ribu orang.
Pada anak dengan LES, sekitar setengahnya akan mengakibatkan terjadinya
progresifitas menjadi gagal ginjal. LES paling sering terjadi pada wanita usia
20-40 tahun (Lee dkk.,2010).
Gambar 5. Patogenesis nefritis lupus(Davidson dan Aranow,2010).
Deposisi autoantibodi di ginjal, paparan mediator inflamasi sirkulasi dan aktivasi
kaskade komplemen memulai program inflamasi yang melibatkan peningkatan
regulasi molekul adhesi pada sel endotel, aktivasi sel ginjal intrinsik, induksi kemokin dan perekrutan sel inflamasi yang merilis sitokin dan molekul lain. Hasil
cedera podosit berupa proteinuria dan penurunan produksi membran basalis
13
glomerular, yang merusak pembuluh darah.Trombosis mikrovaskular dan kematian
sel endotel berkontribusi terhadap hipoksia ginjal, yang pada gilirannya
menyebabkan atrofi tubulus.Peradangan yang progresif semakin meningkatkan
beragam mediator inflamasi yang memperkuat cedera.Aktivasi sel endotel dan aktivasi sel dendritik ginjal reversibel pada nefritis tahap awal, namun aktivasi jalur
fibrosis dan sel miofibroblas otot polos, dan hilangnya podosit yang progresif
akhirnya mengakibatkan kerusakan ginjal ireversibel.Jalur ini semua bisa untuk intervensi terapeutik.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan letak
lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Lokasi kompleks imun
ditentukan oleh spesifisitas, afinitas, dan aviditas antibodi yang terbentuk,
kelas dan subkelas, ukuran dan valensi kompleks. Deposit kompleks imun
dapat terletak pada mesangial, subendotel atau subepitel (terkadang pada
ketiga lokasi tersebut secara simultan). Deposit pada mesangial dan
subendotel terletak proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga
mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan
mengaktifkan komplemen, yang kemudian membentuk kemoatraktan C3a
dan C5a. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit
pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran
mesangial, proliferatif fokal, dan proliferatif difus, secara klinis memberi
gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel
dan granuler), proteinuria, dan sering disertai penurunan fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitelial tidak mempunyai hubungan dengan
pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus
sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara
histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara
klinis hanya memberi gambaran proteinuria (Dooley,2007; Rus dkk,2007).
b. Terapi Nefritis Lupus
Prinsip dasar pengobatan adalah menekan reaksi inflamasi lupus,
memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal
agar tidak bertambah buruk. Pengobatan sebaiknya diberikan setelah
didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari ginjal (Dooley, 2007).
14
Medikamentosa berupa kortikosteroid dan agen imunosupresif. Dialisis dapat
dilakukan untuk mengontrol gejala gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga
direkomendasikan (pasien dengan lupus yang aktif tidak boleh dilakukan
transplantasi ginjal) (McPhee dan Papadakis, 2011).
Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan
pada mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif
dapat menginduksi remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus
proliferatif, tetapi sebagian proporsi dari mereka- berkisar antara 27-66%
pada berbagai studi-akan mengalami flare. Flare merupakan masalah karena
bahaya kerusakan kumulatif yang dapat menurunkan fungsi ginjal dan juga
toksisitas akibat imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan
azathioprine, mycophenolate mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya
direkomendasikan. Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau
nefrotik dan bisa ringan atau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare
dapat pulih fungsi ginjalnya, bila didiagnosis dan diobati segera (McPhee dan
Papadakis, 2011).
3. N-Asetil Sistein
N-Asetil Sisteinbekerja sebagai direct antioxidant karena mempunyai
gugus thiol (SH) bebas yang dapat berinteraksi langsung dengan elektron dari
ROS. Interaksi N-Asetil Sisteindengan ROS menyebabkan pembentukan
radikal N-Asetil Sistein thiol dan N-Asetil Sistein disulfid sebagai produk
akhir utama. Selain itu N-Asetil Sistein juga berperan sebagai antioksidan
tidak langsung di mana N-Asetil Sistein akan dimetabolisme sebagai sistein
yang merupakan prekursor gluthatione intrasel sehingga akan meningkatkan
aktifitas enzim gluthatione S-transferase mensuplai gluthatione untuk
gluthatione peroksidase (Marcelo dkk, 2010).
15
Sistein N-Asetil Sistein (NAC)
Gambar 6. Struktur molekul N-Asetil Sistein (Heloisa dkk, 2005)
Antioksidan melindungi DNA didalam gen dari serangan radikal bebas.
Pertahanan antioksidan yang kuat dapat menghentikan radikal bebas sebelum
mereka dapat menyerang DNA (Hayakawa dkk, 2003).
Farmakodinamik N-Asetil Sistein:
1. N-Asetil Sistein sebagai pre-cursor Glutation (GSH) atau indirect
antoxidant, direct antioxidant menetralisir oxidant (ROS dan RNS)
menghilangkan keadaan stress-oksidatif dan membaiki disfungsi sel
Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang translokasi ke dalam inti dan
mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad7. Smad7 adalah penghambat
Smad yang berfungsi untuk memblokir aktivasi Smad 2/3 dengan mendegradasi
TβRI dan Smads dan menghambat respons inflamasi yang digerakkan NF-kB dengan menginduksi IκBα (penghambat NF-kB).Perhatikan bahwa Ang II dan
AGEs dapat mengaktifkan Smads yang tidak tergantung TGF-β1 melalui jalur
crosstalk ERK/p38/MAPK. Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif atau pelindung, sedangkan panah merah (simbol) merupakan jalur regulasi positif
atau patogenik (Lan, 2011).
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa TGF-β1 merupakan
mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal karena TGF-β1 sangat
ditingkatkan pada penyakit ginjal dengan fibrosis ginjal berat. TGF-β1
menjadi perantara fibrosis ginjal progresif dengan merangsang produksi
sekaligus menghambat degradasi ECM. Selain itu, TGF-β1 juga menjadi
perantara fibrosis ginjal dengan menginduksi transformasi sel epitel tubular
menjadi miofibroblas melalui EMT. Peran fungsional TGF-β1 dalam EMT
dan fibrosis ginjal ditunjukkan oleh kemampuan pemblokiran TGF-β1
dengan antibodi TGF-β1 untuk mencegah atau memperbaiki fibrosis ginjal
baik secara in vivo dan in vitro. Bukti langsung peran TGF-β1 pada fibrosis
ginjal berasal dari penelitian bahwa tikus yang mengekspresikan bentuk aktif
TGF-β1 dalam hati akan berkembang fibrosis hati dan ginjal yang progresif
(Huangdkk., 2008; Lan, 2011).
22
Gambar 10. Inflamasi dan TGF-β mendorong transisi mesensimal
Epithelial-mesenchymal transition (EMT) berlangsung selama perkembangan, dan berperan dalam invasi kanker dan pembentukan miofibroblas yang berkontribusi
terhadap fibrosis. Sebagai respons terhadap cedera, sel-sel inflamasi dan fibroblas
aktif menghasilkan faktor pertumbuhan seperti TGF-β1 dan FGF-2, serta MMP dan
kemokin. TGF-β1 dan faktor-faktor lain memicu kaskade sinyal pada sel epitel yang menyebabkan perubahan dari epitel ke fenotipe mesensimal (Lopez-Novoa dan
Nieto, 2009).
5. Mikroalbuminuria
Albuminuria merupakan petanda dini (marker) terjadinya disfungsi
endotel secara umum meliputi pembuluh darah renal, kardial, maupun
serebral. Adanya albuminuria yang secara mudah dapat diteksi lewat urin,
dapat menjadi marker disfungsi endotel pembuluh darah di seluruh tubuh.
Dengan mengetahui albuminuria yang dimulai dengan mikro-albuminuria,
kita menjadi lebih dini mengetahui disfungsi endotel tersebut sehingga
prognosisnya lebih baik karena disfungsi endotel tersebut masih reversibel
(Weir, 2007; Loscalzo, 2009).
Albuminuria sesuai dengan hukum homeostasis akan direabsorbsi oleh
sel-sel tubulus proksimal. Albuminuria yang terus menerus akan
menyebabkan sel-sel tubulus proksimal bekerja keras mereabsorbsi protein
tersebut akibatnya sel-sel tubulus proksimal mengalami stresor dan akan
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6 dan TGF-β1).
Sitokin-sitokin tersebut akan merusak ginjal baik melalui mekanisme
fibrosis. apoptosis, onkosis, maupun nekrosis (Robbins dan Cotran, 2005; De
Zeeuw dkk, 2006; Loscalzo, 2009).
23
Gambar 11. Fenestra (Robbins dan Cotran, 2005).
Tabel 1. Klasifikasi Ekskresi Albumin Urin (Weir, 2007).
Albuminuria
24 jam
(mg/24 jam)
Albuminuria
overnight
(mg/24 jam)
Spot Urine
Albumin Albumin/Creatinine Ratio
Gender mg/mmol mg/g
Normal <15 <10 <10 M <1.25 <10
F <1.75 <15
High Normal 15 to <30 10 to <20 10 to <20 M 1.25 to <2.5 10 to <20
F 1.75 to <3.5 15 to <30
Micro-
albuminuria 30 to <300 20 to <200 20 to <200 M 2.5 to <25 20 to <200
F 3.5 to <35 30 to <300
Macro-
albuminuria >300 >200 >200 M >25 >200
F >35 >300
B. Penelitian yang relevan
Transforming growth factor-beta1 (TGF-β1) memiliki peran besar
dalam pengendalian autoimunitas. Produksi TGF-β1 oleh limfosit berkurang
pada LES. Penurunan kadar TGF-β1 mungkin berkaitan dengan kerentanan
Struktur FenestraStruktur Fenestra
Robbin, 2005
24
penyakit, aktivitas dan kerusakan organ pada LES. Jumlah total kadar TGF-
β1 berkorelasi negatif dengan laju endap eritrosit dan berkorelasi positif
dengan trombosit darah. Total kadar TGF-β1 lebih rendah pada pasien LES
dengan aktivitas penyakit yang tinggi dan kerusakan organ yang parah.
Tingkat keparahan kerusakan ginjal dikaitkan dengan penurunan kadar TGF-
β1 serum, hal ini menunjukkan bahwa TGF-β1 terlibat dalam pathogenesis
kerusakan ginjal yang disebabkan oleh lupus nephritis (Jin dkk., 2012).
Selain itu, hasil penelitian Hammad dkk, 2006 didapatkan kadar TGF-
β1 serum pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih rendah
daripada kontrol. Kadar TGF-β1 serum berkorelasi negatif dengan Systemic
Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI). Sebaliknya, kadar
TGF-β1 urin pada anak dengan penyakit aktif secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Kadar TGF-β1 urin berkorelasi positif dengan titer
anti-ds DNA dan berkorelasi negatif dengan kadar C3 serum. Pasien nefritis
simptomatis secara signifikan kadar TGF-β1 urin lebih meningkat
dibandingkan dengan nefritis asimptomatis. Dari data ini kita menyimpulkan
bahwa penurunan kadar TGF-β1 menggambarkan disfungsi imunitas sistemik
pada anak dengan lupus aktif sementara peningkatan produksi TGF-β1 ginjal
tampaknya memiliki peran dalam presentasi klinis lupus nephritis (Hammad
dkk, 2006).
Hasil laporan kasus dan telaah pustaka dari Tewthanom dkk (2010),
memperlihatkan pemberian N-acetylcysteine (NAC) yang memiliki aktivitas
antioksi dan kuat dapat memberikan hasil yang memuaskan ketika
ditambahkan pada terapi standar. Dilaporkan kasus seorang pasien lupus
nefritis 46 tahun yang diberikan 1.800 mg NAC secara oral, menunjukkan
kadar glutation yang lebih tinggi, dan kadar malondialdehid yang normal.
Selain itu, kadar protein urin, jumlah sel darah lengkap dan pemeriksaan fisik
dari organ yang terkena menunjukkan perbaikan. Namun, masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi nilai manfaat NAC
dosis tinggi pada pasien lupus nefritis (Tewthanom dkk., 2010).