Top Banner
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Buah Bakau( Rhizophora mucronata Lamk.) Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut. Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003). Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al. 2003). Daerah penyebaran tumbuhan ini meliputi Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia dan Kepulauan Pasifik (Duke 2006). Klasifikasi tumbuhan bakau (R. mucronata) menurut Duke (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Kelas : Magnoliopsida Ordo : Mytales Famili : Rhizophoraceae Genus : Rizhophora Spesies : Rizhophora mucronata Lamk. Gambar buah bakau (R. mucronata Lamk.) dapat dilihat pada Gambar 1.
15

BAB II Tinjauan Pustaka

Dec 31, 2015

Download

Documents

MAmin
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Buah Bakau( Rhizophora mucronata Lamk.)

Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau

genjah dan bangko. Tanaman ini termasuk ke dalam Famili Rhizophoraceae dan

banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut.

Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau

memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam,

pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai

akar tunjang (akar tongkat). Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan

karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh

menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin

yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air (Murdiyanto 2003).

Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap

dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga

berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai

kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April

sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang

umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana et al. 2003).

Daerah penyebaran tumbuhan ini meliputi Sri Lanka, seluruh Malaysia dan

Indonesia hingga Australia dan Kepulauan Pasifik (Duke 2006).

Klasifikasi tumbuhan bakau (R. mucronata) menurut Duke (2006) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Mytales

Famili : Rhizophoraceae

Genus : Rizhophora

Spesies : Rizhophora mucronata Lamk.

Gambar buah bakau (R. mucronata Lamk.) dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

4

Gambar 1 Buah bakau (R. mucronata Lamk.) (Peter et al. 2001).

2.2 Antioksidan

Secara kimia, pengertian senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi

elektron atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu

menginaktivasi berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi.

Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa

yang bersifat oksigen sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat

(Winarsi 2007).

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak

stabil dan tidak memiliki pasangan elektron pada orbit terluarnya.

Ketidakstabilan ini disebabkan atom tersebut hanya memiliki satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan. Pembentukan senyawa radikal bebas tidak

hanya terjadi dari proses kimia dalam tubuh, akan tetapi bisa terbentuk dari

senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal namun sifatnya dapat berubah

menjadi radikal. Kelompok senyawa ini sering disebut Reactive Oxygen Species

(ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) (Winarsi 2007).

Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species akan mencapai

kestabilan dengan menerima elektron dari molekul lain atau mentransfer elektron

tidak berpasangan ke molekul lain. Senyawa ini cenderung mengambil partikel

dari molekul lain, misalnya DNA, membran/selaput sel, membran liposom

(bagian sel yang mengandung enzim hidrolitik), mitokondria (tempat produksi

energi sel), enzim-enzim, lemak, protein, serta komponen jaringan lainnya.

Secara alami, ROS dan RNS terbentuk dari hasil metabolisme tubuh. Sel-sel

tubuh telah memiliki beberapa mekanisme untuk mengeluarkan senyawa tersebut.

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

5

Mekanisme ini menggunakan molekul yang disebut dengan antioksidan

(Winarno 2008).

Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat

aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan.

Menurut Zheng et al. (2011), aktivitas antioksidan dinyatakan dengan presentase

penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi

absorbansi sampel. Persen inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara

absorban DPPH dengan serapan yang diukur dengan spektrofotometer. Parameter

yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah Inhibitor

Concentration (IC50). Suratmo (2009) menyatakan bahwa IC50 adalah konsentrasi

suatu zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan 50%. Nilai IC50

yang semakin kecil menandakan bahwa sampel yang digunakan memiliki aktivitas

antioksidan yang kuat dan penggunaan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas

radikal bebas semakin sedikit. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan

Molyneux (2004) bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya

semakin tinggi.

2.2.1 Mekanisme antioksidan

Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan

yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan

minyak. Penambahan ini untuk mencegah terjadinya ketengikan pada makanan

yang disebabkan oleh adanya senyawa-senyawa yang merupakan produk akhir

dari reaksi autooksidasi. Menurut Rita et al. (2009) bahwa reaksi autooksidasi

merupakan suatu reaksi berantai dimana inisiator dan propagatornya adalah

radikal bebas.

Proses autooksidasi melalui tiga tahap reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan

terminasi. Inisiasi ditandai dengan terlepasnya atom hidrogen dari molekul asam

lemak (LH) sehingga terbentuk radikal bebas alkil (L). Tahap propagasi yaitu saat

radikal bebas alkil yang terbentuk pada tahap inisiasi bereaksi dengan oksigen

atmosfir membentuk radikal bebas peroksil (LOO-). Radikal bebas peroksil yang

terbentuk bereaksi dengan atom hidrogen yang terlepas dari asam lemak tidak

jenuh lain membentuk hidroperoksida (LOOH). Antioksidan (AH) memberikan

atom oksigen pada radikal bebas peroksil (LOO-) dan membentuk radikal lemak

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

6

yang stabil (LOOH). Hasil produk dari reaksi tersebut adalah terbentuknya

senyawa-senyawa lain misalnya : aldehid, keton, alkohol, asam dan alkali. Skema

autooksidasi lipid disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Skema autooksidasi lipid (Sampaio et al. 2006).

Proses penambahan antioksidan dapat menghalangi reaksi oksidasi pada

tahap inisiasi maupun propagasi. Antioksidan akan mengurangi peroksida yang

dapat merangsang terjadinya proses ketengikan yang terbentuk pada permulaan

autooksidasi. Antioksidan akan dioksidasi secara langsung dengan peroksida

sehingga mencegah reaksi oksidasi langsung atau tidak langsung dengan

memutuskan rantai reaksi pembentukan gugusan peroksida tersebut. Molekul

aktif dari lemak bereaksi dengan oksigen menghasilkan peroksida aktif.

Peroksida aktif memberikan energinya kepada molekul lemak lain sehingga

terbentuk reaksi rantai. Adanya antioksidan, menyebabkan sejumlah peroksida

yang aktif dipisahkan dari rantai reaksi dengan memindahkan energinya kepada

antioksidan. Molekul aktif dari antioksidan akan teroksidasi dan menjadi tidak

aktif lagi karena lemahnya pemindahan energi kepada molekul lemak tersebut

(Goutara et al. 1980).

Antioksidan berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) dibagi

menjadi 3 tipe, yaitu:

a) Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas dengan cara

menyumbangkan atom H, contohnya vitamin E dan vitamin C.

b) Tipe pengikat logam yang mampu mengikat zat prooksidan (Fe2+

dan Cu2+

),

contohnya flavonoid, asam sitrat dan Ethylene Diamine Tetra Acetat (EDTA).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

7

c) Antioksidan seluler yang mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi

bentuk stabil, contohnya pada manusia dikenal Super Oksida Dismutase

(SOD), katalase, glutation peroksidase.

Hasil penelitian Musthafa et al. (2000) menunjukkan bahwa antioksidan

mempunyai dampak positif dalam menghambat komplikasi dari penyakit diabetes

mellitus serta penyakit aterosklerosis yang sangat berperan dalam terjadinya

penyakit jantung koroner. Valko et al. (2006) menyatakan bahwa produksi

Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) yang

berlebihan dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat merusak lipid, protein

dan DNA pada sel normal.

2.2.2 Jenis-jenis antioksidan

Secara umum, antioksidan dibedakan menjadi dua kategori dasar, yaitu

antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Saat ini, ketertarikan masyarakat pada

antioksidan alami meningkat tajam baik untuk digunakan dalam bahan pangan

ataupun sebagai material obat menggantikan antioksidan sintetik. Wang (2006)

menyatakan bahwa antioksidan sintetik berbahaya bagi kesehatan karena

berpotensi menyebabkan penyakit kanker.

Antioksidan alami banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan.

Antioksidan alami antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol,

karoten dan asam askorbat yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan. Antioksidan

alami yang paling banyak ditemukan dalam minyak nabati adalah tokoferol yang

terdapat dalam bentuk α, β, γ, δ-tokoferol (Winarno 2008).

Antioksidan sintetik yang banyak digunakan adalah senyawa-senyawa

fenol. Penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, misalnya

tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan,

efektif pada konsentrasi rendah, mudah didapat, dan ekonomis. Antioksidan

sintetik yang sering digunakan adalah butylated hydroxyanisole (BHA), dan

butylated hydroxytoluene (BHT) (Winarno 2008). Struktur butylated

hydroxyanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT) disajikan pada

Gambar 3.

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Gambar 3 Struktur BHA dan BHT (FDA 2012).

2.3 Komponen Bioaktif

Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang

terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis.

Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik, misalnya

polifenol. Menurut Kannan et al. (2009) komponen bioaktif tidak terbatas pada

hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang

memberikan aktivitas biologis fungsional, misalnya protein dan peptida.

Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat dilakukan dengan

metode uji fitokimia.

Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) berarti kimia tanaman.

Fitokimia menguraikan aspek kimia dari suatu tanaman. Kajian fitokimia

meliputi uraian tentang isolasi senyawa kimia dalam tanaman, perbandingan

struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan komposisi senyawa kimia dari

bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian untuk pengembangan senyawa

kimia dalam tanaman (Sirait 2007).

2.3.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang

merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid

mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,

biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya

tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan

(misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 1984).

Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang

farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

9

(analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata),

skopolamin (sedatif/obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik),

piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin

(analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi ereksi),

mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat

kanker) (Harborne 1984). Struktur alkaloid disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Struktur alkaloid (Liaw et al. 1998).

2.3.2 Steroid/Triterpenoid

Steroid/Triterpenoid adalah senyawa dengan kerangka karbon yang

disusun dari 6 unit isoprena dan dibuat secara biosintesis dari skualen, suatu C30

hidrokarbon asiklik. Triterpenoid mempunyai struktur siklik yang relatif

kompleks, terdiri atas alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa ini

umumnya berbentuk kristalin dan mempunyai titik lebur tinggi. Steroid yang

dites dengan menggunakan reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidridat-

H2SO4 pekat), akan membentuk warna biru hijau untuk sebagian besar triterpen

dan sterolnya (Sirait 2007).

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana

perhidrofenantrena. Sterol dalam tumbuhan tingkat tinggi disebut fitosterol dan

jenis lainnya antara lain sitosterol, stigmasterol dan kampesterol. Sterol yang

terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah adalah ergosterol yang hanya terdapat

dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain yang terdapat dalam tumbuhan

tingkat rendah tetapi kadang-kadang ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi

yaitu fukosterol. Fukosterol merupakan steroid utama pada alga coklat dan

terdapat juga pada kelapa (Harborne 1984). Struktur steroid disajikan pada

Gambar 5.

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

10

Gambar 5 Struktur Steroid (Gasior et al. 1999).

2.3.3 Flavonoid

Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah,

tepung sari dan akar dalam bentuk glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi

flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,

antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007).

Senyawa flavonoid larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol

70%. Flavonoid mengandung sistem aromatik dan menunjukkan pita serapan

kuat pada daerah spektrum Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak

(Harborne 1984). Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga dilapisan amil

alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid. Gambar struktur

flavonoid disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Struktur flavonoid (Markham 1982).

2.3.4 Saponin

Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna

akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau

genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

11

diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan

glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu

sapogenin triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun.

Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis sel darah. Senyawa saponin terkadang bersifat toksik dan

menimbulkan keracunan pada ternak (misalnya saponin alfalfa) (Harborne 1984).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada

epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan

menimbulkan efek diuretika. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat

oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregangkan partikel tak larut dan

menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan

(Sirait 2007). Struktur senyawa saponin disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur saponin (Markham 1982).

2.3.5 Fenol hidrokuinon

Senyawa fenolat merupakan senyawa aromatik yang berikatan dengan

satu atau lebih gugus hidroksil dimana gugus hidroksil dapat digantikan dengan

gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen

tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan umumnya terdapat

dalam vakuola sel. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu

benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon, dan isoprenoid kuinon.

Sebagian besar kelompok kuinon memiliki sifat fenol, sedangkan

isoprenoid kuinon tidak bersifat fenol. Isoprenoid kuinon umumnya banyak

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

12

ditemukan pada saat respirasi seluler (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon)

(Harborne 1984). Struktur fenol hidrokuinon dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Struktur fenol hidrokuinon (Preechaworapun et al. 2008).

2.3.6 Tanin

Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan.

Senyawa tanin merupakan turunan polifenol dengan karakteristiknya yang dapat

membentuk senyawa kompleks dengan makromolekul lainnya. Umumnya

senyawa tanin larut dalam air (polar). Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu

tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi tersebar luas

pada tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan berkayu. Tanin terhidrolisis

penyebarannya terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harborne 1984).

Sumber tanin di Indonesia diperoleh dari tumbuhan akasia (Acacia sp.),

eukaliptus (Eucalyptus sp.), pinus (Pinus sp.) dan beberapa jenis bakau.

Senyawa tanin seringkali menyebabkan beberapa tumbuhan memiliki rasa sepat

sehingga dihindari oleh banyak hewan pemangsanya. Adanya senyawa tanin

di dalam rumen sapi menyebabkan populasi bakteri proteolitik Lotus corniculatus

mengalami penurunan. Senyawa tanin akan berikatan langsung dengan dinding

sel, membran dan protein ekstrakseluler pada bakteri. Smith et al. (2005)

menyatakan bahwa tanin dapat berikatan langsung dengan dinding sel

mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikoorganisme atau

aktivitas enzim. Struktur tanin disajikan pada Gambar 9.

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

13

Gambar 9 Struktur tanin (Oladoja et al. 2010).

2.4 Ekstraksi

Tumbuhan sudah dikenal sejak lama mengandung komponen metabolit

sekunder yang umumnya terdapat dalam daun, bunga, akar, buah dan biji.

Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan komponen metabolit sekunder, salah

satunya dengan menggunakan ekstraksi. Tiwari et al. (2011) menyatakan bahwa

ekstraksi adalah suatu pemisahan komponen aktif dalam suatu jaringan tanaman

dan jaringan hewan menggunakan pelarut yang telah ditentukan oleh standar.

Selama proses ekstraksi, pelarut akan berdifusi ke dalam material padat dan

berdifusi kepada komponen yang memiliki kepolaran yang sama. Teknik

ekstraksi yang sering dilakukan antara lain maserasi, perkolasi, soxhlet, ekstraksi

air-alkohol. Perbedaan dalam proses ekstraksi akan menghasilkan jumlah dan

komposisi metabolit sekunder yang berbeda-beda. Faktor yang mempengaruhinya

antara lain: tipe ekstraksi, waktu ekstraksi, suhu, pelarut organik, konsentrasi

pelarut dan kepolaran. Hal yang perlu dilakukan dalam menentukan pelarut yang

akan digunakan dalam proses ekstrasi antara lain: pelarut memiliki toksisitas

rendah, mudah untuk dievaporasi dalam suhu rendah, serta cepat dalam menyerap

ekstrak.

Jenis pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses

ekstraksi. Beberapa jenis pelarut yang umum digunakan dalam proses ekstraksi

menurut Tiwari et al. (2011) yaitu:

1) Air: digunakan dalam proses ekstraksi tanaman.

2) Aseton: digunakan untuk komponen hidrophilik maupun lipofilik.

3) Alkohol (etanol): jumlah polifenol yang diekstrak dengan etanol

menghasilkan aktivitas lebih tinggi dibandingkan polifenol yang diekstrak

dengan air.

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

14

4) Kloroform dan ether: digunakan untuk mengekstraksi komponen bioaktif

yang larut lemak.

Pemilihan metode ekstraksi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah

rendemen yang didapatkan dari suatu bahan. Metode ekstraksi menurut

Harborne (1984) meliputi:

1) Maserasi: metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut

dengan atau tanpa pengadukan.

2) Diakolasi: metode ekstraksi dengan penambahan tekanan udara.

3) Dekoksi (rebus): metode paling sederhana dan mudah dilakukan

menggunakan bahan yang larut air dan stabil terhadap panas.

4) Ekstraksi lengkap: metode ekstraksi yang melibatkan ekstraksi berturut-turut

menggunakan pelarut non polar, semi polar dan pelarut polar.

5) Arus balik: metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel

dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan.

6) Sonikasi: metode ekstraksi menggunakan gelombang suara atau getaran

dengan frekuensi antara 20 KHz-2000 KHz.

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

Aktivitas antioksidan pada suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai

cara antara lain, metode Nitro Blue Tetrozolium (NBT), metode tiosianat, metode

Carotene bleaching dan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Metode

pengujian antioksidan dengan menggunakan DPPH dipilih karena mudah

dilakukan, metodenya sederhana, menggunakan sampel sedikit serta dapat

digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan

sebagai antioksidan. Kristal DPPH yang digunakan dalam proses pengujian

aktivitas antioksidan umumnya dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol.

Menurut Tiwari et al. (2011) pelarut etanol cenderung banyak digunakan karena

lebih murah dan tidak toksik dibanding pelarut polar lainnya.

Senyawa 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) merupakan senyawa

radikal bebas yang stabil dalam suhu kamar dan sering digunakan untuk

mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa ekstrak bahan alam. Senyawa

radikal DPPH akan membentuk interaksi dengan antioksidan dari bahan yang

digunakan. Molyneux (2004) mengatakan bahwa senyawa DPPH dapat bereaksi

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

15

dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk senyawa

dihenylpicrylhydrazine yang berwarna kuning pucat. Struktur kimia DPPH dalam

bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2) dapat dilihat pada

Gambar 10.

Gambar 10 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH

(Molyneux 2004).

Hasil yang dicapai jika semua elektron radikal bebas DPPH menjadi

berpasangan dan menyebabkan berubahnya warna ungu menjadi kuning dapat

diukur secara stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidogen yang

ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan. Suratmo (2009)

mengatakan bahwa prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan DPPH baik secara

transfer elektron atau radikal hidrogen akan menetralkan karakter radikal bebas

dari DPPH tersebut. Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH dapat dilihat

pada Gambar 11.

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

16

Gambar 11 Mekanisme reaksi antioksidan dengan DPPH

(Suratmo 2009).

Mekanisme reaksi antara antioksidan dengan DPPH dibagi menjadi tiga

tahap yang dicontohkan dengan menggunakan senyawa manofenolat. Tahap

pertama adalah delokalisasi elektron pada gugus yang tersubtitusi dari senyawa

tersebut. Adanya atom hidrogen akan menyebabkan DPPH menjadi tereduksi.

Langkah berikutnya adalah dimerisasi antara dua radikal fenoksil yang

mentransfer radikal hidrogen yang akan bereaksi lagi dengan radikal DPPH.

Tahap yang terakhir adalah pembentukan komplek antara radikal aril dengan

DPPH. Pembentukan dimer maupun komplek antara zat antioksidan dengan

DPPH tergantung pada kesetabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya

(Brand-Williams 1955 dalam Suratmo 2009).

2.6 Mekanisme Oksidasi Lemak

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah

oksigen dengan minyak atau lemak. Reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau

tengik pada minyak dan lemak. Proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar

kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak

dalam jumlah kecilpun mudah mengalami proses oksidasi (Ketaren 1986).

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

17

Mekanisme oksidasi lemak dipengaruhi oleh kondisi oksidasi, yaitu

temperatur, tipe asam lemak, dan bentuk ikatan ganda serta jumlah oksigen yang

tersedia. Mekanisme oksidasi dibagi dalam tiga tahap dengan bilangan peroksida

sebagai indikator derajat oksidasinya. Mekanisme oksidasi lemak terdiri dari tiga

tahap, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pembentukan

radikal lipid (L1*) bila lemak (L1H) kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan

oksigen. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana pada tahap ini radikal

lipid hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida

(L1OO*). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengikat ion hidrogen dari

lemak lain (L1H) membentuk hidrogen peroksida (LOOH) dan molekul radikal

lemak baru (L1*), reaksinya akan berulang terus-menerus hingga merupakan

reaksi berantai. Tahap terakhir adalah terminasi, hidrogen peroksida (LOOH)

yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek yaitu

asam-asam lemak, aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau

tengik pada lemak (Schaich 2005). Mekanisme oksidasi lemak dapat dilihat pada

Gambar 12.

Inisiasi : L1H + O2 L1*

Propagasi : L1* + O2 L1OO*

: L1OO* + L1H LOOH + L1*

Terminasi : LOOH (produk non radikal )

Gambar 12 Mekanisme oksidasi lemak (Schaich 2005). Keterangan : L1H = Lipid

: L1* = Radikal lipid

: L1OO* = Radikal peroksida

: LOOH = Hidrogen peroksida

: Produk non radikal: aldehida, keton, alkohol dll.