6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Ubi Jalar Ungu Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Convolvulales Famili : Convulvulaceae Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea batatas L. (Rukmana, 1997). 2.1.2 Deskripsi Tanaman Ubi Jalar Ungu Gambar 2.1 Ubi Jalar Ungu (Montilla et al., 2011)
13
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Ubi Jalar Ungu
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convulvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas L.
(Rukmana, 1997).
2.1.2 Deskripsi Tanaman Ubi Jalar Ungu
Gambar 2.1 Ubi Jalar Ungu (Montilla et al., 2011)
7
Ubi jalar ungu tumbuh baik di daerah berikilim panas dan lembab, dengan
suhu optimum 27o C dan lama penyinaran sekitar 11 – 12 jam per hari. Tanaman
ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut. Ubi jalar
ungu juga tidak membutuhkan tanah yang subur sebagai media pertumbuhannya.
Bentuk ubi jalar ungu biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata
hingga tidak rata. Kulit ubi jalar ungu berwarna ungu kemerahan, dan daging
umbinya berwarna keunguan (Rukmana, 1997).
2.1.3 Kandungan Tanaman Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar ungu kaya akan serat, mineral, vitamin dan antioksidan, seperti
asam phenolic, antosianin, tocopherol dan β-karoten. Di samping adanya
antioksidan, karoten dan senyawa fenol juga menyebabkan ubi jalar mempunyai
berbagai warna (krem, kuning, orange, dan ungu). Ubi jalar ungu mengandung
vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti, vitamin A,
vitamin C, kalsium dan zat besi. Sumber energi yang terkandung dalam ubi jalar
ungu yaitu dalam bentuk gula dan karbohidrat. Selain itu, ubi jalar ungu memiliki
kandungan zat warna yang disebut antosianin. Kandungan antosianin pada ubi
jalar ungu ini berkisar antara 14,68 – 210 mg/100 gram bahan baku. Semakin
ungu warna ungu pada ubi jalar, semakin tinggi kandungan antosianinnya
(Hutabarat, 2010).
2.1.4 Khasiat Tanaman Ubi Jalar Ungu
Kandungan antosianin yang tinggi pada ubi jalar ungu menyebabkan ubi jalar
ungu banyak dimanfaatkan oleh manusia. Dalam industri pangan, ubi jalar ungu
sering digunakan sebagai pewarna alami (Yudiono, 2011). Sedangkan di bidang
8
kesehatan, ubi jalar ungu memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti
antimutagenik, antidiabetes (Terahara et al., 2004), memiliki aktivitas
antikarsinogenik (Katsube et al., 2003), antioksidan (Jawi dkk., 2011), antiulcer,
antiimflamasi, hepatoprotektif, imunomodulator, anttifungi, dan antimikroba
(Panda and Sonkamble, 2012).
Penelitian Jawi dkk. (2011) tentang efek antioksidan umbi ubi jalar ungu
terhadap darah dan berbagai organ pada mencit menunjukkan bahwa ubi jalar
ungu dapat mencegah timbulnya stres oksidatif. Hal ini dikarenakan sifat
antioksidan ubi jalar ungu dapat mengikat radikal bebas yang diproduksi tubuh
akibat melakukan aktivitas fisik berat, sehingga mencegah kelebihan radikal bebas
dalam tubuh yang berakibat mencegah adanya stres oksidatif.
2.2 Antosianin
2.2.1 Definisi dan Jenis Antosianin
Antosianin merupakan zat pewarna alami yang tergolong ke dalam
benzopiran. Struktur utama turunan benzopiran ditandai dengan adanya dua cincin
aromatic benzena (C6H6) yang dihubungkan dengan tiga atom karbon yang
membentuk cincin. Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat
menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta dan kuning. Pigmen ini larut
dalam air yang terdapat pada bunga, buah dan daun tumbuhan (Santoso dan
Estiasih, 2014). Molekul antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin)
yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Antosianin memiliki
warna yang kuat dan relatif stabil dalam air pada pH asam.
9
Kebanyakan antosianin ditemukan dalam enam bentuk antosianidin yaitu
pelargonidin, sianidin, peonidin, delfinidin, petunidin dan malvidin. Gugus gula
pada antosianin bervariasi namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, 8
galaktosa atau arabinosa. Gugus gula ini bisa dalam bentuk mono atau disakarida
dan dapat diasilasi dengan asam fenolat atau asam alifatis (Cretu et al., 2013).
Menurut penelitian, umbi ubi jalar ungu mengandung komponen antosianin yang
tinggi dan diketahui bahwa sianidin dan peonidin merupakan antosianidin utama
pada ubi jalar ungu (Jiao et al., 2012).
Sifat dan warna antosianin di dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti: jumlah pigmen, letak, kopigmentasi, jumlah gugus
hidroksi dan metoksi. Antosianin akan berubah warna seiring dengan perubahan
nilai pH. Pada pH tinggi antosianin cenderung bewarna biru atau tidak berwarna,
kemudian cenderung bewarna merah pada pH rendah. Kebanyakan antosianin
menghasilkan warna pada pH kurang dari 4.
Pada tanaman bunga, warna merah cerah dan ungu dari antosianin merupakan
cara menarik serangga yang membantu penyerbukan. Pada jaringan fotosintesis,
antosianin berperan sebagai tabir surya yang melindungi sel dari kerusakan dan
menyerap cahaya ultraviolet. Prior (2003) menyebutkan bahwa antosianin
memiliki manfaat antioksidan dengan berperan sebagai donor elektron atau
transfer atom hidrogen pada radikal bebas.
2.2.2 Stabilitas Antosianin
Stabilitas warna suatu bahan pangan merupakan salah satu parameter penting
dalam quality control. Warna dan stabilitas pigmen antosianin tergantung pada
10
struktur molekul secara keseluruhan. Substitusi pada struktur antosianin A dan B
akan berpengaruh pada warna antosianin. Pada kondisi asam warna antosianin
ditentukan oleh banyaknya substitusi pada cincin B. Semakin banyak substitusi
OH akan menyebabkan warna semakin biru, sedangkan metoksilasi menyebabkan
warna semakin merah (Arisandi, 2001). Adapun rumus struktur antosianin dapat
dilihat pada gambar 2.2 dan rantai samping penyusun senyawa golongan
antosianin pada tabel 2.1.
Gambar 2.2 Rumus struktur antosianin (Bqkowska-Barczak, 2005)
Tabel 2.1 Rantai Samping Penyusun Senyawa Golongan Antosianin (Bqkowska-
Barczak, 2005)
Nama Substitusi
Warna R3’ R5’
Pelargonidin H H Merah
Sianidin OH H Magenda
Delpinidin OCH3 OH Ungu
Peonidin OCH3 H Magenda
Petunidin OCH3 OH Ungu
Malvidin OCH3 OCH3 Ungu
11
Menurut Puspita, dkk. (2005) penambahan gugus hidroksil menghasilkan
pergeseran ke arah warna biru (pelargonidin → sianidin → delpinidin) dimana
pembentukan glikosida dan metilasi menghasilkan pergeseran ke arah warna
merah (pelargonidin → pelargonidin-3-glukosida; sianidin → peonidin).
Jika dibandingkan dengan pewarna sintetik pada umumnya zat warna alami
dari sumber nabati maupun hewani, memiliki tingkat stabilitas warna yang lebih
rendah. Oleh karena itu, berbagai teknologi untuk meningkatkan stabilitas zat
pewarna alami di dalam bahan pangan telah banyak dilakukan. Secara umum
stabilitas antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : struktur dan
konsentrasi antosianin, derajat keasaman (pH), oksidator, cahaya, dan suhu
(Santoso dan Estiasih, 2014).
2.2.3 Ekstraksi Antosianin
Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan zat dari bahan yang diduga
mengandung zat tersebut. Ekstraksi juga dapat didefinisikan sebagai sebuah
proses pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan bahan. Proses ekstraksi
memiliki dua bagian utama, yaitu pelarut dan bahan utama. Pelarut (solvent) ialah
zat untuk melarutkan dan memisahkan solute (zat terlarut) dari material kelarutan
lebih rendah dari zat itu sendiri. Bahan utama adalah bahan yang mengandung zat
yang ingin diekstraksi. Ekstraksi biasanya dilakukan sebagai tahap awal dalam
proses analisis suatu senyawa.
Antosianin dapat diekstraksi dengan pelarut seperti air, aseton, etanol,
metanol, atau campuran dari pelarut berair, namun antosianin tidak stabil dalam
larutan netral atau basa. Karena itu antosianin harus diekstraksi dari tumbuhan
12
dengan pelarut yang mengandung asam asetat atau asam hidroklorida dan
larutannya harus disimpan di tempat gelap serta sebaiknya didinginkan
(Hutabarat, 2010). Penggunaan asam mineral dapat menyebabkan hilangnya
gugus asil (Andersen dan Markham, 2006).
Metanol adalah pelarut yang paling umum digunakan dan pelarut yang efektif
untuk mengekstraksi antosianin, tetapi metanol adalah polutan lingkungan dan
lebih toksik dari jenis alkohol lainnya. Sehingga etanol lebih dipilih untuk
mengekstraksi antosianin dari tanaman karena sifatnya yang ramah lingkungan
dan dapat memberikan hasil perolehan kembali antosianin dengan kualitas yang
bagus (Khoddami et al., 2013). Selain itu menurut penelitian yang dilakukan oleh
Bridgers et al. (2010), metanol memang pelarut yang dapat menghasilkan
konsentrasi antosianin yang lebih tinggi, namun karakteristik etanol sebagai
pelarut lebih diinginkan dan dianjurkan oleh industri-industri makanan.
Cara tradisional yang paling sering digunakan untuk mengekstraksi
antosianin adalah dengan maserasi yaitu merendam bahan yang akan diekstrak
dalam alkohol, pada suhu rendah dengan panambahan sedikit asam seperti HCl
(Jackman dan Smith, 1996).
2.2.4 TAC (Total Anthocyanin Content)
Pigmen antosianin mengalami perubahan bentuk struktur yang reversibel
pada perubahan pH yang ditunjukkan dengan spektrum serapan yang berbeda
(Wrolstad et al., 2005). Metode perbedaan pH umum digunakan untuk menilai
kualitas dari buah-buahan dan sayuran segar maupun produk olahannya. Metode
ini dapat digunakan untuk mengukur jumlah antosianin total berdasarkan
13
perubahan struktur kromofor antosianin pada pH 1 dan 4,5. Absorbansi sampel
diukur pada λmaks larutan pigmen, dan jumlah pigmen dihitung dengan
menggunakan berat molekul dan koefisien absorptivitas molar dari antosianin
mayor dalam sampel. Metode ini digunakan dalam penelitian dan kontrol kualitas
pada produk makanan dan minuman yang mengandung antosianin (Lee et al.,
2005).
2.3 Ekstraksi Fase Padat (Solid Phase Extraction “SPE”)
Ekstraksi Fase Padat (Solid Phase Extraction “SPE”) adalah teknik yang
sangat populer saat ini, tersedia untuk persiapan sampel cepat dan selektif.
Fleksibilitas dari SPE memungkinkan penggunaan teknik ini untuk berbagai
tujuan, seperti pemurnian, penghilangan garam, derivatisasi dan fraksinasi. SPE
adalah suatu teknik pemurnian yang berdasarkan ekstraksi senyawa (atau
campuran senyawa) dari larutan melalui proses adsorpsi pada penyangga padat.
Prinsip fisika utama dalam proses ekstraksi adalah interaksi ionik antara asam dan
basa, dan interaksi polar dan/atau nonpolar tergantung dari sifat campuran yang
akan dimurnikan dan karakteristik fisik dari penyangga padat (Pignataro, 2009).
SPE memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ekstraksi cair-cair, diantaranya
efisiensi, selektivitas, perolehan kembali yang lebih tinggi, penggunaan pelarut
yang lebih sedikit, dapat mengekstraksi sampel dalam jumlah yang kecil, serta
mudah diotomatisasi (Telepchak et al., 2004).
Purifikasi senyawa antosianin dilakukan menggunakan metode SPE dengan
teknik ekstraksi multi step dimana pada teknik ini 2 tahapan ekstraksi dengan
14
eluen yang berbeda dikerjakan dalam 1 kolom secara berurutan dengan tujuan
untuk memperoleh fraksi yang berbeda. Fase diam yang digunakan adalah silika
gel 60 F254. Silika gel merupakan jenis fase diam yang paling umum digunakan.
Pada permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-OH).
Gugus silanol inilah yang bersifat sedikit asam dan bersifat polar karena gugus
silanol ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hidrogen dengan solut-
solut yang bersifat sedikit polar hingga sangat polar (Gandjar dan Rohman, 2007).
Sampel dikondisikan dengan mencampurkan ekstrak kasar dengan silika gel.
Sifat antosianin yang polar memiliki kemungkinan untuk dapat terjerap pada fase
diam yang digunakan yaitu silika gel 60 F254 yang memiliki sifat polar juga.
Sehingga purifikasi ini dilakukan dengan teknik multi step yang termodifikasi,
dimana langkah awal adalah mengelusi sampel dengan menggunakan fase gerak
yang mampu menahan antosianin agar tetap tertahan di campuran silika gel
dengan ekstrak, sedangkan pengotor-pengotor yang lain akan terbawa dengan fase
gerak. Kemudian dielusi kembali dengan menggunakan pelarut etanol-asam
dengan pH dijaga berada di bawah 4 untuk mengelusi antosianin dari silika gel.
Etanol akan membasahi fase diam dan terpenetrasi melalui gugus alkil yang
berikatan dengan fase diam, sehingga akan mempermudah air membasahi
permukaan silika secara efisien (Supelco, 1998). Penambahan asam ini bertujuan
untuk meningkatkan kestabilan dari antosianin, karena antosianin tidak stabil
dalam larutan netral atau basa (Hutabarat, 2010).
15
2.4 KLT-Spektrofotodensitmetri
2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography “TLC”) merupakan
metode yang telah digunakan secara luas dalam pemisahan dan identifikasi
senyawa-senyawa. Prinsip umum dari KLT adalah pemisahan campuran karena
adanya pergerakan fase gerak melewati permukaan datar dimana analit akan
bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari afinitasnya
terhadap fase diam dan fase gerak (Fifield and Kealey, 2000).
Fase diam pada KLT dapat berupa plat gelas, logam atau plastik yang dilapisi
oleh suatu adsorben. Adsorben ini dapat berupa silika gel, alumina, kieselgur
(tanah diatom), selulosa, poliamida dan sepadhex. Adsorben yang sering
digunakan adalah silika gel yang dicampur CaSO4 dengan kandungan air 11-12%
dari berat silika yang digunakan. Kadar air yang dibiarkan tinggi dalam plat akan
dapat mengurangi daya serap dari silika, sehingga perlu dilakukan pemanasan
untuk mengaktivasi silika dan mengurangi jumlah air yang tersedia. Pemanasan
plat tidak boleh dilakukan pada suhu lebih dari 130˚C. Hal ini dapat
mengakibatkan CaSO4 mengalami hidrasi sehingga kekuatan ikatannya terhadap
silika gel berkurang dan plat menjadi rapuh (Sherma dan Fried, 1994).
Untuk membantu visualisasi, maka selama proses pembuatan plat
Kromatografi Lapis Tipis ditambahkan zat yang berfluorosensi. Secara umum plat
Kromatografi Lapis Tipis yang telah didesain dengan penambahan zat yang
berfluorosensi dapat diamati dibawah sinar ultraviolet. Sebagian besar analit akan
16
tampil sebagai bercak yang berwarna gelap dengan dasar yang dapat
berfluorosensi.
Fase gerak adalah cairan murni yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut
yang bergerak di dalam fase diam karena ada gaya kapiler. Fase gerak biasanya
merupakan gabungan dari beberapa jenis pelarut. Beberapa sistem fase gerak
diperlukan untuk pemisahan suatu campuran. Dalam suatu pemisahan, setiap
sistem dipilih karena mempunyai nilai Rf cukup berbeda antar senyawa satu
dengan yang lainnya dan reprodusibilitas tinggi (Moffat et al., 2005). Dalam
memilih fase gerak, parameter yang perlu diperhatikan adalah polaritas, kekuatan
eluotropik, serta viskositas dari fase gerak (Stahl, 1985).
2.4.2 Spektrofotodensitometri
Evaluasi optikal secara langsung (in situ) pada plat menggunakan suatu
instrumen dapat memberikan hasil kualitatif dan hasil kuantitatif. Alat optis yang
dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif ini adalah
spektrofotodensitometer (TLC Scanner) yang dikendalikan dengan suatu program
evaluasi (WinCats®) (Hanh-Deinstrop, 2007).
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.
Untuk evaluasi bercak hasil KLT secara densitometri, bercak di-scanning dengan
sumber sinar dalam bentuk celah (slit) yang dapat dipilih baik panjangnya maupun
lebarnya. Sinar yang dipantulkan diukur dengan sensor cahaya (fotosensor).
Perbedaan antara sinyal optik daerah yang tidak mengandung bercak dengan
17
daerah yang mengandung bercak dihubungkan dengan banyaknya analit yang ada
melalui kurva kalibrasi yang telah disiapkan dalam lempeng yang sama.
Pengukuran densitometri dapat dibuat dengan absorbansi atau dengan fluoresensi
(Settel, 1997). Contoh kromatogram spektrofotodensitometri dapat dilihat pada
gambar 2.3.
Gambar 2.3 Contoh kromatogram senyawa standar dan sampel antosianin pada
plat (20 cm x 10 cm) pada panjang gelombang 555 nm (Cretu et al., 2013)
Keterangan: 1. Kromatogram Delpinidin
2. Kromatogram Malvidin dan Sianidin
3. Kromatogram Peonidin
4. Kromatogram Pelargonidin
1
2
3 4
18
Pemanfaatan KLT dapat dilihat pada analisis senyawa delphinidin 3-
glukosida pada ekstrak berry (Cretu et al., 2013). Pada penelitian tersebut, peneliti
menggunakan plat silika gel 60 F254 sebagai fase diam dan fase gerak
menggunakan campuran etil asetat : toluena : air : asam format (12 : 3 : 0,8 : 1,2
v/v). Selain itu, pada penelitian ini juga menggunakan standar senyawa antosianin
seperti delphinidin, malvidin, cyanidin, peonidin, pelargonidin sehingga pada
penelitian selain untuk analisis kualitatif dapat pula digunakan untuk analisis
kuantitatif dengan bantuan alat densitometri. Sehingga dapat dibuktikkan bahwa
KLT dapat digunakan untuk pemisahan senyawa yang dilihat dari kromatogram
yang ditunjukkan pada gambar 2.3 serta penetapan kadar dari senyawa yang
diinginkan dengan ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi berada di atas 0,95