8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Panjang Kacang panjang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India dan Afrika Tengah. Tanaman ini menyebar diseluruh daerah Asia Tropika sehingga banyak dikenal kacang panjang jenis lokal yang sesuai dengan keadaan lingkungan tempatnya tumbuh (Haryanto et al.,1999). Kacang panjang termasuk dalam tumbuhan divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, ordo Rosales, family Leguminosa, genus Vigna, spesies Vigna sinensis, L. (Haryanto et al.,1999). Bunga kacang panjang berbentuk kupu- kupu,warna bunga ada yang putih, biru atau ungu. Bunga kacang panjang dapat menyerbuk sendiri. Ibu tangkai bunga keluar dari ketiak daun. Setiap ibu tangkai bunga mempunyai 3 sampai 5 bunga. Penyerbukan dengan serangga dapat terjadi dengan kemungkinan 10%. Buah kacang panjang berbentuk polong bulat panjang dan ramping. Panjang polong sekitar 10-80 cm. Warna polong hijau muda sampai hijau keputihan. Setelah tua warna polong putih kekuningan dan polong menjadi liat. Pada satu polong berisi 8-20 biji kacang panjang (Nazaruddin, 2003). Kacang panjang dapat tumbuh didataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Kacang panjang biasanya digolongkan sebagai sayuran dataran rendah karena tanaman ini tumbuh lebih baik dan banyak diusahakan di dataran rendah pada ketinggian kurang dari 600 m dpl. Suhu harian yang sesuai untuk tanaman kacang panjang adalah sekitar
28
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kacang Panjang · cabai dapat berupa gejala mosaik yang parah. Pada ... sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ... Teknik serologi merupakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kacang Panjang
Kacang panjang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari
India dan Afrika Tengah. Tanaman ini menyebar diseluruh daerah Asia Tropika
sehingga banyak dikenal kacang panjang jenis lokal yang sesuai dengan keadaan
lingkungan tempatnya tumbuh (Haryanto et al.,1999).
Kacang panjang termasuk dalam tumbuhan divisi Spermatophyta, kelas
Angiospermae, ordo Rosales, family Leguminosa, genus Vigna, spesies Vigna
sinensis, L. (Haryanto et al.,1999). Bunga kacang panjang berbentuk kupu-
kupu,warna bunga ada yang putih, biru atau ungu. Bunga kacang panjang dapat
menyerbuk sendiri. Ibu tangkai bunga keluar dari ketiak daun. Setiap ibu tangkai
bunga mempunyai 3 sampai 5 bunga. Penyerbukan dengan serangga dapat terjadi
dengan kemungkinan 10%. Buah kacang panjang berbentuk polong bulat panjang
dan ramping. Panjang polong sekitar 10-80 cm. Warna polong hijau muda sampai
hijau keputihan. Setelah tua warna polong putih kekuningan dan polong menjadi
liat. Pada satu polong berisi 8-20 biji kacang panjang (Nazaruddin, 2003).
Kacang panjang dapat tumbuh didataran rendah maupun dataran tinggi
dengan ketinggian antara 0-1500 m di atas permukaan laut (dpl). Kacang panjang
biasanya digolongkan sebagai sayuran dataran rendah karena tanaman ini tumbuh
lebih baik dan banyak diusahakan di dataran rendah pada ketinggian kurang dari
600 m dpl. Suhu harian yang sesuai untuk tanaman kacang panjang adalah sekitar
9
18-32° C dengan suhu optimim 25° C. Kacang panjang dapat ditanam sepanjang
musim, baik musim kemarau maupun musim hujan. Tanaman kacang panjang
membutuhkan curah hujan sekitar 600-2000 mm/tahun dan membutuhkan banyak
sinar matahari. Oleh karena itu lahan terbuka di dataran rendah lebih disukai,
sedangkan apabila dinaungi produksinya kurang memuaskan (Hutapea,1994).
Jenis tanah yang cocok untuk tanaman kacang panjang adalah tanah
berstektur liat berpasir dengan pH optimal yang dibutuhkan adalah 5,5-6,5. Tanah
yang terlalu asam dibawah pH 5,5 dapat menyebabkan tanaman tumbuh kerdil
karena keracunan garam aluminium (Al) yang larut dalam tanah (Nazzarudin,
2003).
Produksi rata-rata kacang panjang Indonesia pada tahun 1997 sampai
tahun 2000 adalah 400.66 ton, sedangkan produksi rata-rata pada tahun 2011
sampai tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 313.743 ton (BPSRI , 2014).
penurunan produksi kacang panjang disebabkan karena luasan panen mengalami
penurunan sebanyak 12% (sekitar 70.000 ha), produktivitas tanaman yang rendah
yakni 10,09 ton/ha, penggunaan benih dengan mutu yang kurang baik, dan
gangguan hama penyakit tanaman.
2.2 Hama dan Penyakit Tanaman Kacang Panjang
Hama penting yang dilaporkan menyerang kacang panjang antara lain,
tungau merah Tetranychus bimaculatus (Acarina: Tetranychidae), kutukebul
2005). Upaya yang banyak dilakukan untuk mengendalikan hama-hama tersebut
adalah dengan melakukan pergiliran tanaman, melakukan pengendalian secara
biologi dengan menggunakan musuh alaminya yaitu kumbang Scymnus sp dan
laba-laba.
Beberapa penyakit yang menyerang tanaman kacang panjang diantaranya
layu cendawan (Fusarium sp.), Antraknosa (Colletotricum lindemuthianum), puru
akar (Meloidogyne sp), penyakit sapu (Cowpea Witches-broom Virus/Cowpea
Stunt Virus), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) dan penyakit mosaik
yang disebabkan oleh Bean common mosaic virus (BCMV), Bean yellow mosaic
virus (BYMV) dan Cowpea aphis borne mosaic virus (CABMV) (Anwar et al.,
2005). Penyakit mosaik vein banding yang dilaporkan oleh Damayanti et al.,
(2009) disebabkan oleh Bean common mosaic virus (BCMV) dan Cucumber
mosaic cucumovirus (CMV).
2.3 Penyakit Mosaik Vein Banding pada Kacang Panjang
Penyakit mosaik vein banding pada tanaman kacang-kacangan merupakan
penyakit yang disebabkan oleh virus yang dikenal dengan nama BCMV (Bean
common mosaic virus). Virus ini umumnya menginfeksi tanaman kacang-
kacangan seperti pada buncis (Phaseolus vulgaris), kacang tunggak (Vigna
unguiculata), kacang hijau (V.radiata) dan dari family Leguminosae lainnya
(Morales & Bos,1988).
Penyakit mosaik yang disebabkan oleh BCMV merupakan penyakit
penting pada tanaman kacang-kacangan. BCMV mempunyai kisaran inang tidak
11
terbatas pada tanaman Phaseolus spp., tetapi dapat juga menyerang tanaman
leguminosae yang lain (Palukaitis et al., 1997). BCMV dapat ditularkan secara
mekanis melalui beberapa spesies kutu daun secara nonpersisten dan melalui
benih. Adapun yang dapat menjadi vektor BCMV antara lain Aphis gossypii,
Aphis craccivora, Myzus persicae dan M.solanifolii.
Variasi gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV tergantung dari
strain BCMV, suhu dan genotip inang. Lebih dari 15 strain BCMV yang telah
diketahui diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan
NL8 (Morales & Bos, 1988). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa
perubahan warna daun yang memperlihatkan warna hijau tua dan hijau muda,
dan terjadi penebalan pada tulang daunnya (vein banding). Tanaman yang
terinfeksi secara sistemik, khususnya dari infeksi benih menunjukkan gejala daun
dengan pola mosaik, daun menggulung dan mengkerut sepanjang tulang daun
(malformasi). Secara umum tanaman yang diinokulasi dengan virus biasanya akan
muncul gejala pada 7-10 hari setelah inokulasi (Dijkstra & Dejeger , 1998).
Cucumber mosaic virus (CMV) termasuk dalam kelompok Cucumovirus,
bersama-sama dengan Peanut stunt virus (PStV) dan Cabaio aspermy virus
(CAV). Virus ini mempunyai kisaran inang terluas diantara virus tanaman yang
diketahui saat ini, dan dilaporkan dapat menginfeksi lebih dari 800 spesies
tumbuhan dan dapat menyebabkan kerugian besar pada berbagai jenis tanaman
(Palukaitis et al., 1997). Gejala yang ditimbulkannya oleh CMV beragam karena
memiliki kisaran inang yang luas (Siregar, 1996). CMV mempunyai kisaran inang
12
yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, hias dan buah-buahan. Selain
menyerang mentimun, CMV juga menyerang tanaman melon, labu, cabai, bayam,
tomat, seledri, bit, polong-polongan, pisang, tanaman famili crucifereae,
delphinium, gladiol, lili, petunia, tulip, zinia, dan beberapa jenis gulma (Agrios,
2005).
Infeksi CMV pada cabai dapat menyebabkan berbagai perubahan pada
daun seperti perubahan warna (mosaik/mosaic atau belang/mottle); perubahan
bentuk (menggulung,menyempit, mengkerut atau berubah seperti tali
sepatu/shoestring, berukuran lebih kecil), dan mengalami nekrosis (membentuk
cincin-cincin nekrotik). Gejala pada batang adalah batang menjadi kerdil. Gejala
pada buah berupa distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot,
bercak dan cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok. Gejala CMV pada daun
cabai dapat berupa gejala mosaik yang parah. Pada daun yang lebih tua akan
tampak gejala nekrotik cincin, buah akan mengalami malformasi bentuk, serta
terdapat bercak atau cincin berwarna kuning di tengah, pada buah dari tanaman
yang terserang CMV (Clark dan Adams, 1997).
Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies kutu daun,
khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini
bisa ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu
kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kira-
kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat
dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu
13
tetapi tetap dapat ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies
gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus
bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV
dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma tahunan (Agrios, 2005).
2.4 Karakter Umum Potyvirus
Bean common mosaic virus (BCMV) termasuk dalam famili Potyviridae
dan genus Potyvirus (Agrios, 2005). Potyvirus merupakan grup terbesar dari 34
grup virus tanaman . Genus ini terdiri dari setidaknya 180 anggota definitif (91
spesies resmi dan 89 spesies tentatif. Sebanyak 30% dari semua virus tanaman
yang diketahui menyebabkan kerugian signifikan dalam bidang pertanian,
tanaman pakan ternak, tanaman hortikultura dan tanaman hias adalah Potyvirus
(Ward & Shukla 1991).
Partikel Potyvirus berbentuk filamen lentur (Gambar 2.1), tanpa envelop
berukuran panjang 680-900 nm dan lebar 11-15 nm. Material genetik Potyvirus
berupa poliprotein tunggal, untai tunggal, utas positif dengan panjang 10 kb.
14
Gambar 2.1. Partikel Potyvirus (Sumber :Winterhalter 2005)
Genom RNA terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang
mengekspresikan satu poliprotein prekusor berukuran 350 kDa. Prekursor
poliprotein tersebut kemudian ditranslasi menjadi tujuh protein kecil yang
memiliki berbagai fungsi, dinotasikan sebagai P1, helper component (HC), P3,
cylindrical inclusion (Cl), nuclear inclusion A (Nla), nuclear inclusion B (Nlb),
capsid protein (CP), serta dua protein putatif kecil yang dikenal sebagai 6K1 dan
6K2 (Shukla et al.,1994) (Tabel 2.1 dan Gambar 2.2). Pada bagian terminal 3
diakhiri dengan motif poly-A tail (Hari et al.,1979; Takahashi, et al., 1997).
15
Tabel 2.1 Organisasi Genom Potyvirus
Protein Fungsi P1 Proteinase; Cell-to-cell movement. HC-Pro transmission oleh Aphid, Proteinase; Cell-to-cell movement. P3 Belum diketahui Cl Replikasi genome (RNA helicase); Membrane attachment,
stimulasiasam nukleat aktivitas ATPase ; Cell-to-cell movement. CP EncapsidaRNA; berperan dalam transmisi oleh vektor; Cell-to-
cell-movement. Nla-VPg Replikasi genome (Primer untuk inisiasi sintesis RNA). Nla-Pro Proteinase Nlb Replikasi genome (RNA-dependent RNA polimerase [RdRp]). 6K1 & 6K2 Belum diketahui, namun diduga berperan pada: Replikasi RNA,
pengatur untuk penghambatan translokasi nuclear Nla, membran pengikat proses replikasi.
(Sumber: Winterhalter, 2005).
Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom
virus. Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan
struktural sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma.
Selama dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang
berasal dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh
genom virus diproses menjadi 10 protein fungsional oleh tiga jenis enzim
proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002).
P1 HC-Pro P3 Cl VPg Nla-Pro Nlb CP
Gambar 2.2. Organisasi Genom Potyvirus (Shukla et al., 1994)
Protein inklusi (CI) dan protein selubung (CP) berguna untuk pergerakan
dari satu sel inang ke sel inang lainnya melalui plasmodesmata. CP juga
digunakan untuk pergerakan virion protein dalam jaringan vaskuler melalui
VPg
6K1 6K2 JUTR
Poly-A
16
interaksi dengan Hc-Pro pada domain C- dan N- terminalnya.HC-Pro dengan
menggunakan antiviral yang disebut RNA silencing, berfungsi menekan
mekanisme pertahanan tanaman. Viral genome-linked protein (VPg) merupakan
protein multifungsi yang berperan pada saat amplifikasi dan pergerakan virus
yang berada pada ujung 5 genom virus. Protein ini merupakan bagian N-proximal
dari protein inklusi inti (NIa) dan terpisah secara autokatalik dari domain C-
proximal proteinase (NIa-Pro). VPg berikatan secara kovalen dengan ujung 5'
RNA virus melalui ikatan fosfodiester pada residu asam amino tirosin yang
terletak di bagian N-proximal. VPg mempunyai peranan penting untuk proses
infeksi virus. VPg juga berinteraksi dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E),
dan diperlukan untuk infeksi secara sistemik. Genom Potyvirus mempunyai
bagian yang tidak berubah (conserved) dan daerah yang bervariasi. Hc-Pro dan
Nlb merupakan bagian yang tidak berubah. Daerah yang bervariasi adalah PI,
P3, dan CP (Ward & Shukla, 1991).
Penelitian keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak
dilakukan berdasarkan gen-gen yang terlibat didalam pembentukan selubung
protein dan daerah 3'UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang
bervariasi diantara kelompok Potyvirus. Shukla & Ward (1988) menggunakan
runutan asam amino selubung protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan
berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Kesamaan runutan asam amino CP
38% hingga 71% untuk strain virus yang berbeda, dan tingkat kesamaannya
mencapai 90% sampai 99% untuk strain dari virus yang sama.
17
2.5 Identifikasi dan Deteksi Virus
Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala
yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala
tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat
mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang
berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga
berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull, 2002).
Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya
dilakukan dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan
sifat asam nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi dsDNA/dsRNA serta
PCR/RT-PCR (Foster & Taylor 1992; Hull, 2002).
2.5.1 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi suatu
patogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik anatara antigen
dan antiserum (Crowther, 1995). Metode ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat umum
digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalamn
tanaman. Kegunaan yang lain dari uji serologi ini adalah untuk menentukan
konsentrasi virus dalam jaringan tanaman, mendeteksi virus tumbuhan dalam
tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus
(Agrios, 2005).
18
Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik
seperti antiserum, dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Antiserum
adalah serum yang mengandung antibodi (Noordam,1973). Antobodi adalah
molekul immunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem imun dari hewan sebagai
tanggapan terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen) (Crowther, 1995).
Clark & Adams (1997) memperkenalkan ELISA untuk ilmu penyakit
tanaman. Sejak saat itu, ELISA sering digunakan untuk pengujian virus tanaman
dan patogen tanaman lainnya (Sutula et al.,1986). Pada ELISA, antigen atau
antibodi melekat pada sumuran pelat mikrotiter (Dijkstra & De Jager, 1998). Pelat
mikrotiter polistiren selain sebagai wadah sekaligus juga sebagai substrat
pengikat antigen atau antibody karena permukaannya mempunyai molekul-
molekul yang bermuatan positif (Wahyuni, 2005).
Prosedur ELISA dibagi menjadi dua metode yaitu direct-ELISA dan
indirect-ELISA. Pengujian direct-ELISA atau (DAS)-ELISA dalam virologi
tumbuhan biasanya memiliki dua atau tiga tahap penggunaan antibodi. Antibodi
dimasukkan secara langsung pada pelat mikrotiter untuk pengikatan antibodi
dengan tujuan untuk mengikat antigen secara spesifik ke pelat mikrotiter.
Antibodi kedua (biasanya dari sumber yang sama dengan antibodi pertama)
dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai pendeteksi antibodi (Martin
1998). Kerugian direct-ELISA adalah harus disiapkan konjugat secara terpisah
untuk masing-masing virus yang diuji. Pada metode indirect-ELISA, keberadaan
antigen-antibodi pertama terdeteksi oleh antibody yang diproduksi pada spesies
19
hewan yang berbeda dengan hewan sumber antibody pertama. Antibodi tersebut
biasanya disebut antibodi kedua yang telah dilabel enzim. Antibodi kedua dapat
digunakan untuk mendeteksi virus-virus yang berbeda. Antibodi tersebut
merupakan konjugat “universal”. Kespesifikan reaksi indirect-ELISA biasanya
lebih rendah dari pada metode DAS-ELISA (Dijkstra & De Jager, 1998).
Reaksi positif antara antigen dan antibody ditandai dengan perubahan warna
cairan kompleks antigen dan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim menjadi
kuning atau biru toska, tergantung pada macam substrat yang digunakan.
Misalnya reaksi menggunakan p-nitrophenil phosphate akan menjadi berwarna
kuning. Intensitas warna yang bervariasi mencerminkan konsentrasi virus yang
terkandung dalam cairan tersebut. Intensitas warna yang terjadi dikonversikan
menjadi angka oleh spektrum cahaya pada A 405 nm dan alat untuk membacanya
disebut ELISA-reader. Inkubasi dengan enzim substrat berkisar 20 sampai 40
menit, dan tidak boleh lebih dari dua jam karena kontrol negatif akan ikut berubah
warnanya (Wahyuni, 2005).
2.5.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Karakterisasi virus tanaman dapat dilakukan juga melalui sifat asam
nukleat virus tersebut. Saat ini metode deteksi dan identifikasi virus yang akurat
banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yang telah
berkembang sangat pesat. Teknik PCR merupakan cara cepat untuk
mengamplifikasi DNA secara invitro, sangat berguna dalam mengidentifikasi
virus yang menginfeksi tanaman, hewan dan manusia. Identifikasi virus dengan
20
teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik (Sambrook et al., 1973).
Oleh karena itu penentuan primer sangat menentukan spesifik hasil deteksi.
PCR adalah suatu metode enzimatis dan banyak digunakan untuk berbagai
macam manipulasi dan analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu
molekul DNA. Dengan metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan
hingga jutaan kali lipat dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR
adalah bahwa reaksi dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam
jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg,
oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa
dilakukan dalam volume 50- 100 μl (Yuwono, 2006).
Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut
melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan
nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum
daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah
target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian
molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase (Muladno, 2010). Reaksi
pelipatgandaan suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari tiga tahapan
atau tiga reaksi, yaitu denaturasi, penempelan primer (annealing), dan
pemanjangan primer (extension).
21
Denaturasi. Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi DNA
cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan
terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan
dengan menggunakan panas (95ºC) selama 1-4 menit (Yuwono 2006). Denaturasi
yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA
untai ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR.
Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas
enzim Taq polymerase (Muladno 2010).
Penempelan Primer (Annealing). Tahap kedua yaitu penempelan primer
(annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang
dilakukan pada suhu 55ºC selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen
primer (Yuwono 2006). Pada tahapan ini, primer forward yang runutan
nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel
pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada
untai tunggal lainnya (Muladno 2010).
Pemanjangan Primer (Extension). Setelah kedua primer menempel pada
posisinya masing-masing, enzim Taq polymerase mulai mensintesis molekul
DNA baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno 2010).
Sintesis DNA ini terjadi pada suhu 72ºC selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA
polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan
informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim Taq DNA
polymerase (Yuwono 2006).
22
Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk
jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk
dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA
baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu
inkubasi menjadi 95ºC. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan
berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya. Ketiga tahapan
9tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir siklus akan
didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam
jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang
digunakan (Yuwono 2006)
Identifikasi secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting
untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit tersebut.
Untuk virus yang memiliki tipe genom RNA digunakan teknik RT-PCR.