-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Geografi Paparan Sunda
Paparan Sunda merupakan hotspot keanekaragaman hayati di Asia
Tenggara (Meyers
dkk., 2000). Hal ini dikarenakan Paparan Sunda memiliki sejarah
iklim dan geologi yang
kompleks (Sodhi dkk., 2004). Menurut Esselstyn dkk., (2010)
bahwa Paparan Sunda terdiri
dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya,
beberapa pulau-pulau kecil,
serta Palawan yang merupakan bagian dari Filipina juga termasuk
kedalam Paparan Sunda
(Gambar 1). Paparan Sunda memisah, bergabung terjadi beberapa
kali dikarenakan naik
turunnya permukaan air laut yang membuat antar daratan menjadi
terpisah (Lohman dkk.,
2011). Daratan paparan sunda memiliki luas dua kali dari luas
daratan sekarang pada
zaman pleistosen, ketika permukaan air menurun yang menyebabkan
terjadinya
penyebaran populasi antar pulau. Fluktuasi permukaan air laut
dipengaruhi oleh perubahan
volume es di kutub.
(Lohman dkk., 2011)
Gambar 1. Peta Paparan Sunda saat ini
Paparan Sunda merupakan benua yang terdapat di ujung selatan
Eurasia pada
permulaan era Kenozoikum, diperkirakan sekitar 65 Mya. Proses
perubahan Paparan
-
6
Sunda diperkirakan terjadi sekitar 60 Mya pada masa Paleosen
hingga masa awal Pliosen
sekitar 5 Mya (Gower dkk., 2012). Sedangkan menurut Hall (1996),
proses perubahan
Paparan Sunda diperkirakan telah terjadi pada masa Paleosen
sekitar 60 Mya, masa akhir
Eosen (~40 Mya), masa pertengahan Oligosen (~30 Mya), masa awal
Miosen (~20 Mya),
masa akhir Miosen (~10 Mya), dan masa awal Pliosen (~5 Mya)
(Gambar 2.2).
Berdasarkan sejarah perubahan permukaan air laut, terjadi
penurunan permukaan air
laut yang besar pada zaman Pleistosen atau glasial maksimum
(~250.000 ya). Akibatnya
adalah penggabungan kembali Semenanjung Malaysia, Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa
menjadi satu kontinen dataran Sunda yang luas. Dataran rendah
luas dengan relief
topografi besar dan juga sungai besar serta panjang yang
mengalir ke arah Laut Cina
Selatan dan Laut Jawa terdapat pada zaman tersebut. Pemisahan
Semenanjung Malaysia,
Kalimantan, Sumatera, dan Jawa kembali terjadi dengan
berakhirnya zaman glasial
maksimum, ~10.000–17.000 ya (Molengraaf, 1916; Tjong dkk.,
2010).
Gambar 2. Pemisahan Paparan Sunda (Lohman dkk., 2011)
-
7
2.2 Morfometri Ular secara Umum
Morfometri merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menganalisis variasi
antar individu atau populasi. Morfometri adalah suatu cara untuk
mengetahui
keanekaragaman suatu spesies dengan melakukan pengujian suatu
karakter morfologi
secara umum. Sisik pada ular terbentuk karena adanya modifikasi
yang terjadi pada lapisan
epidermis. Pada setiap individu ular yang baru menetas dari
telurnya, memiliki jumlah
sisik yang tetap hingga individu tersebut dewasa. Perubahan yang
terjadi pada sisik ular
yaitu pertambahan ukuran sisik. Setiap karakter sisik yang
diamati merupakan bentuk
interaksi gen-gen yang terekspresi dan dipengaruhi oleh
lingkungan (Munshi & Dutta,
1996).
Secara umum sisik ular dibagi menjadi sisik kepala, sisik
punggung atau dorsal, dan
sisik badan (ventral dan caudal). Karakter morfometri ular yang
diukur yaitu dari ujung
mulut hingga kloaka (SVL), panjang ekor, panjang total tubuh,
panjang kepala, lebar
kepala, jarak antar mata. Karakter meristik meliputi jumlah
sisik misalnya pengukuran
jumlah sisik ventral, jumlah sisik pada ekor, dan sisik pada
kepala. Untuk lebih jelasnya
dapat melihat gambar dibawah ini.
Gambar 3. Bagian-bagian sisik pada ular, a) Sisik kepala bagian
dorsal dan
ventral, b) Perhitungan sisik dorsal, c) Perhitungan sisik
kepala
bagian dorsal lateral, c) Perhitungan sisik bagian ekor
(Malkmus
dkk., 2002).
-
8
2.3 Klasifikasi Ular Python (Linneaus, 1758)
Ular Python ada yang tergolong berekor pendek (short tail) dan
berekor panjang
(long tail). Malayopython reticulatus dan Python bivittatus
merupakan kelompok ular yang
memiliki ukuran tubuh yang besar dan panjang. Panjang tubuh
bervariasi hingga mencapat
8-9 meter (Auliya dkk., 2002). Sedangkan panjang tubuh ular
python yang tergolong short
tail yaitu dapat mencapai dua meter. Saat ini terdapat 44
spesies Python yang diakui dan
beberapa spesies telah mengalami perubahan nama seiring dengan
hasil penelitian yang
terus berkembang. Klasifikasi ular Python adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Famili : Pythonidae
2.3.1 Malayopython reticulatus SCHNEIDER, 1801
Malayopython reticulatus merupakan salah satu jenis python yang
telah berganti
nama dari nama awalnya Python reticulatus. Rawling dkk., (2008)
mendapatkan hasil yang
parafiletik dan mengusulkan nama Broghammerus reticulatus
sebagai pengganti nama dari
Python reticulatus. Hasil penelitian tersebut didukung oleh
Pyron dkk., (2013) bahwa
reticulatus dan timoriensis merupakan satu clade dari jenis
Python lainnya. Selanjutnya
Reynold dkk., (2014) menempatkan clade reticulatus dan
timoriensis pada genus baru
yaitu Malayopython (Gambar 2.7).
Panen skala besar terjadi sepanjang tahun, dengan perkiraan
340.000 individu
tertangkap dari alam liar setiap tahun (Kasterine dkk., 2012).
Studi terdahulu tentang
keberlanjutan pemanenan reticulated python termasuk review oleh
Natusch dkk., (2016),
dilakukan dalam rentang sepuluh tahun setelah studi pertama oleh
Shine dkk. (1999).
(a) (b) Gambar 2.4 Malayopython reticulatus (a) bagian dorsal,
(b) bagian ventral.
(NK Research collection).
-
9
Identifikasi Malayopython reticulatus (Python reticulatus) yaitu
tubuh yang relatif
memanjang dan ramping, exceptin individu besar; kepala berbeda
dari leher; rostral;
supralabial 12-14; supralabial I-IV dengan lubang-lubang;
suprabial VII atau VIII
memasuki orbit; infralabial 23; 2-3 anterior dan 5-6 infralabial
posterior; mata kecil; pupil
vertikal; sisik midbody 69-79; ventral 297-330; subcaudal
78-102, anal; kloaka hadir di
kedua jenis kelamin (lebih berbeda pada laki-laki). Untuk warna
punggung kuning atau
coklat dengan tanda gelap; median line hitam berjalan dari
moncong ke tengkuk; warna
kuning dengan bintik-bintik cokelat kecil. Habits dan perilaku,
mendiami hutan dan
biasanya ditemukan di tepi aliran air, di mana ia menyergap
mangsa. Juga umum
ditemukan di kota-kota, di mana ia mendiami selokan. Nokturnal
dan terestrial, dengan
beberapa aktivitas arboreal dan air. Terdiri 14-124 telur,
berukuran 90-93 x 58-62mm.
Persebaran M. reticulatus reticulatus mulai dari India hingga di
seluruh Asia Tenggara.
Terdapat tiga subspesies yang diakui yaitu M. reticulatus
reticulatus, M. reticulatus
jampeanus dan M. reticulatus saputrai (Auliya dkk., 2002).
2.3.2 Python bivittatus KUHL, 1820
Python bivittatus awalnya dikelompokkan pada subspesies P.
molurus bivittatus.
Pada tahun 2009, P. bivittatus menjadi spesies tersendiri.
Spesies ini masuk dalam kategori
rentan (Vulnerable). Spesies ini berasal dari India dan tersebar
ke Kamboja, Cina,
Hongkong, Indonesia (Jawa, Bali, dan Sulawesi), Myanmar, Laos,
Nepal, Thailand dan
Vietnam (Stuart dkk., 2012).
Gambar 5. Persebaran Python bivittatus
-
10
Populasi Python bivittatus mengalami penurunan akibat tingginya
pemanenan
dialam untuk perdagangan kulit, obat tradisional, dan hewan
peliharaan, serta degradasi
habitat (Zug, dkk., 2011). Di Vietnam spesies ini mengalami
penurunan populasi sebesar
80% (Daeng dkk., 2007). Kemudian mengalami penurunan populasi di
Cina sebesar 90%
akibat tingginya perdagangan kulit dan konsumsi untuk jenis ular
ini. Sedangkan untuk
Indonesia, masih belum memiliki data populasi, namun para
pedagang ular mengatakan
sudah kesulitan untuk mendapatkan spesies ini (Stuart, dkk.,
2012). Berbanding terbalik
dengan persebaran aslinya, ular ini di introduksi ke Florida,
dan ular ini tumbuh dan
bereproduksi dengan cepat dan menjadi spesies invasive di
Florida yang mengancam pada
spesies endemik dan kesehatan ekosistem (Dorcas dkk., 2012).
Python bivittatus memiliki panjang tubuh hingga 7,6 m.
Identifikasi untuk tubuh
tebal, silinder; kepala berbentuk tombak, berbeda dari leher;
supralabial 11-13; supralabials
dipisahkan dari orbit oleh deretan sisik subocular; infralabial
20; sensorik di rostral dan 2
lubang supralabial sebagai sensor, sisik midbody 60-75; ventrals
245-270; subcaudal 58-
73;. Warna tubuh, punggung coklat gelap atau kekuningan abu-abu
dengan serangkaian
30-40 patch coklat-abu-abu gelap yang besar, tidak teratur dan
persegi yang bermata
dengan warna hitam pada permukaan dorsal dan panggul; punggung
dan bintik-bintik
lateral yang gelap dan abu-abu gelap subocular stripe ini;
venter abu-abu dengan bintik-
bintik gelap pada scalerows luar. Salah satu subspesies adalah
Python molurus bivittatus
berdistribusi di Jawa. Habitat dan perilaku yaitu mendiami hutan
dan kadang-kadang kota
dan desa. Aktif di siang hari dan malam hari. Menunggu untuk
menyergap mangsa
berdarah panas. Telur terdiri 30-58 buah, ukuran 120x60 mm (Das,
2010).
(a) (b)
Gambar 6. Python molurus bivittatus (a) bagian dorsal, (b)
bagian ventral.
(NK Research collection).
-
11
2.3.3 Python breitensteini STEINDACHNER, 1880
Python breitensteini merupakan jenis python berekor pendek
(short tail). Ular ini
awalnya di kelompokkan sebagai subspesies dari Python curtus.
Namun dengan adanya
penelitian terkait morfologi dan analisis DNA serta geografinya,
maka menjadi suatu
spesies tersendiri yaitu P. breitensteini (Keogh dkk., 2001;
Rawlings dkk; 2008). P.
breitensteini memiliki persebaran di Indonesia (Kalimantan),
Malaysia (Sabah dan
Sarawak), serta Brunei Darussalam. Hal ini menunjukkan bahwa
persebaran P.
breitensteini hanya terdapat di Pulau Borneo (Tabel 7) (Inger
dkk., 2012).
Gambar 7. Persebaran Python breitensteini
Python breiteinsteini dapat dijumpai pada ketinggian kurang dari
1000 mdpl. Ular
ini memiliki status Least Concern karena terdistribusi luas di
Borneo. Selain itu, ular ini
dianggap mempu beradaptasi dengan habitat buatan manusia. Python
breiteinsteini banyak
diambil dari alam untuk dimanfaatkan kulit dan dagingnya serta
dijadikan hewan
peliharaan. Kuota ekspor yang diperbolehkan untuk di Kalimantan
pada tahun 2011 yaitu
sebesar 10.800 kulit dan 1.620 individu diekspor dalam keadaan
hidup untuk dijadikan
hewan peliharaan. Selain itu Python breiteinsteini juga
dijadikan makanan di pasar lokal
Sarawak. Python breiteinsteini ini dikhawatirkan terjadi
perdagangan lintas batas antara
Malaysia dan Indonesia karena kedua negara ini saling
bersebelahan (Inger dkk., 2012).
Tingginya tingkat perdagangan Python breiteinsteini membawanya
pada status Appendix
II menurut CITES.
Python breiteinsteini memiliki ukuran tubuh dapat mencapai 2 m.
Tubuh yang
pendek, kepala memanjang; loreal besar; postocular 1-4;
supralabial 9-11; infralabials 14-
-
12
19; ekor pendek; sisik midbody 50-57; ventral 154-165; subcaudal
27-33 (Keogh, 2001).
Warna tubuh bagian punggung kuning pucat atau cokelat dengan
bercak gelap, gelap
bagian posterior, atau dorsum; pucat stripe postocular ke sudut
rahang. Habitat dan
perilaku yaitu mendiami hutan hujan dataran rendah dan midhills
di ketinggian 0-1000 m.
Terdapat di tepi sungai dan rawa-rawa. Python breiteinsteini
termasuk hewan nokturnal
dan terrestrial. Dapat menghasilkan telur hingga 12 telur dan
ular ini merupakan endemik
Kalimantan (Das, 2010).
2.3.4 Python brongersmai STULL, 1938
Python brongersmai memiliki sejarah yang tidak jauh berbeda
dengan P.
breitensteini karena dulunya dikelompokkan kedalam subspesies P.
curtus. Penelitian
Keogh dkk., (2001) dan Rawlings dkk., (2008) menguatkan bahwa P.
brongersmai
menjadi spesies tersendiri berdasarkan hasil yang berbeda untuk
karakter morfologi,
analisis DNA dan persebaran (geografi). Penelitian Keogh dkk.,
(2001) tentang sistematik
dan biogeografi kelompok Python curtus menunjukkan bahwa P.
brongersmai dan P.
curtus memiliki divergensi yang hampir sama terhadap P.
reticulatus menggunakan gen
Cyt b yaitu sebesar 8, 9% dan 10, 3%. Sedangkan P. breitensteini
dari Kalimantan dengan
P. curtus dari Sumatera Barat dan Selatan memiliki hubungan yang
erat (divergensi 3%).
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan spesies atau populasi
menghasilkan perbedaan nilai
similaritas dan variabilitas diantara ketiga pulau. P.
brongersmai memiliki persebaran dari
Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Sumatera (Gerismer &
Chan, 2012).
Gambar 8. Python breitensteini bagian dorsal
(NK Research collection).
-
13
Gambar 9. Persebaran Python brongersmai.
Python brongersmai memiliki habitat rawa di dataran rendah. Di
Sumatera Utara,
spesies ini mengalami peningkatan jumlah pada daerah perkebunan
kelapa sawit (Keogh
dkk., 2001). Spesies ini dipanen untuk diperdagangkan kulitnya
pada tingkat internasional.
Pada tahun 2011, Indonesia melakukan ekspor kulit sebanyak
36.936 kulit secara legal dan
perdagangan dengan tujuan hewan peliharaan sebanyak 2.250 ekor
(Grismer & Chan.,
2012).
Python brongersmai memiliki panjang > 2m. Memiliki
postoculars 1-3; supralabial
9-13; 1-2 supralabial kontak orbit; infralabials 17-22; ekor
pendek; anterior dorsal scale
45-53, midbody scale 53-61, posterior dorsal scale 32-38,
ventrals 167-178; subcaudal 24-
36; kloaka hadir pada kedua jenis kelamin (Keogh, 2001). Warna
tubuh yaitu punggung
kecoklatan. Habitat dan perilaku yaitu mendiami hutan dataran
rendah sampai dengan
submontain. Nokturnal dan terestrial, terkait dengan sungai dan
dasar hutan. Menghasilkan
10-12 telur. Distribusi endemik Sumatera Barat dan Selatan (Das,
2010).
2.4 Keragaman Genetik
Keragaman genetik diperlukan untuk suatu populasi beradaptasi
terhadap perubahan
lingkungan. Hal ini dapat diukur menggunakan pendekatan
molekuler. Populasi yang
perkembangbiakan alaminya besar, biasanya memiliki keragaman
genetik yang luas.
Hilangnya keragaman genetik sering dikaitkan dengan berkurangnya
kemampuan
reproduksi. Saat ini, mengetahui keragaman genetik menjadi fokus
utama dalam bidang
konservasi (Frankham dkk., 2002).
Gen adalah urutan nukleotida pada segmen tertentu.
Keanekaragaman genetik
mewakili urutan nukleotida. Variasi dalam urutan nukleotida
dapat menyebabkan
-
14
perbedaan urutan asam amino didalam protein. Variasi protein
dapat menyebabkan
ketidaksamaan biokimia atau morfologi yang menyebabkan perbedaan
tingkat reproduksi,
perilaku, dan kelangsungan hidup. Adanya variasi karakter
kuantitatif yang terlihat pada
manusia dapat terlihat seperti perbedaan tinggi badan, berat,
dan bentuk tubuh. Variasi ini
dapat disebabkan oleh genetik dan lingkungan.
Tingkat keragaman genetik terbesar di dalam DNA biasanya dapat
ditemukan pada
basis yang memiliki sedikit fungsional, yang tidak mengkode,
dimana substitusi tidak
mengubah fungsi molekul. Keragaman genetik terendah dapat
ditemukan pada daerah
pengkode (Frankham dkk., 2002). Salah satu marker yang sering
digunakan adalah
mikrosatelit. Dengan melakukan studi keragaman genetik
harapannya dapat melakukan
rekomendasi terhadap manajemen konservasi dimulai dari tingkat
genetik karena
konservasi genetik bertujuan untuk meminimalkan resiko kepunahan
dari faktor genetik
(Frankham dkk., 2002).
2.5 Mikrosatelite
Mikrosatelit adalah sekuens berulang yang terdiri dari 1-6 basa
nukleotida.
Mikrosatelit dikenal juga sebagai short tandem repeat (STR),
simple sequence repeats
(SSR), dan variable number tandem repeats (VNTR). Sebuah lokus
mikrosatelit memiliki
panjang variasi pengulangan (repeat) antara 5-40 (Selkoe &
Toonen, 2006). Pengulangan
yang banyak digunakan untuk studi genetika molekuler adalah
dengan pola dinukleotida,
trinukleotida, dan tetranukleotida (Selkoe & Toonen, 2006).
Sekuens mikrosatelit dapat
ditemukan pada wilayah coding dan non-coding (Moniruzzaman dkk.,
2015). Namun,
sebagian besar sekuens mikrosatelit ditemukan pada daerah
non-coding karena memiliki
tingkat substitusi nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan di
daerah coding
(Moniruzzaman dkk., 2015). Tingkat keragaman yang tinggi
menyebabkan sulitnya
mendapatkan primer yang universal pada mikrosatelit, berbeda
dari DNA mitokondria
yang telah memiliki primer yang universal. Mikrosatelit memiliki
wilayah yang mengapit.
Wilayah yang mengapit ini umumnya dilestarikan (conserv) pada
spesies yang sama dan
pada beberapa spesies yang berbeda. Hal inilah yang memungkinkan
terjadinya cross
amplification pada spesies yang berbeda (Moniruzzaman dkk.,
2015).
Mikrosatelit merupakan penanda untuk genetika populasi, hubungan
evolusi,
estimasi keragaman genetik, sidik jari, dan pemetaan.
Mikrosatelit banyak digunakan
dalam genetika populasi. Genetika populasi merupakan studi
tentang frekuensi dan
interaksi alel dan gen dalam populasi. Hal ini karena adanya
kelimpahan alel per lokus dan
-
15
kemampuan untuk membedakan heterozigositas meningkatkan konten
informasi mereka
lebih banyak jenis penanda.
Penggunaan mikrosatellite telah banyak dikembangkan untuk
mendeteksi illegal
trade pada spesies lain seperti broad headed snakes
(Hoplocephalus bungaroides)
(Frankham dkk., 2015), Cape parrot (Poicephalus robustus)
(Pillay dkk., 2010) dan
identifikasi asal-usul spesies dari gading yang diperdagangkan
di pasar gelap Afrika
(Wasser dkk, 2004). Sedangkan penggunaan primer mikrosatelit
pada Python telah
dilakukan di negara lain seperti Australian and New Guinean
pythons (Jordan dkk., 2002),
invasive Burmes Python (Python molurus bivittatus) (Hunter &
Hart, 2013) dan keragaman
genetik Python bivittatus in Cina (Duan dkk., 2016). Banyak
penelitian yang menerapkan
mikrosatellite pada cross spesies yang menunjukkan lokus yang
polimorfik, baik pada
tingkat spesies (Yoshikawa dkk., 2011) maupun pada tingkat
genera (Lau dkk., 2016). Hal
ini menarik untuk diketahui apabila diterapkan pada spesies
python yang ada di Sundaland.
2.6 Kerangka Konsep Penelitian
Indonesia merupakan Negara yang termasuk kedalam mega
biodiversitas. Sundaland
merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hewan. Sundaland
terbagi menjadi 4 pulau
besar yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Peninsular Malaysia.
Namun pada penelitian
ini difokuskan pada ketiga pulau besar di Indonesia. Salah satu
hewan yang penyebarannya
luas di Indonesia adalah ular Python. Penelitian mengenai Python
masih sedikit dilakukan
di Indonesia. Python ini ada yang wild type (tipe liar) dan
Python yang ada di penangkaran.
Python dipenangkaran dibudidayakan untuk dimanfaatkan kulit dan
dagingnya. Tingginya
permintaan pasar membuat penangkaran kesulitan untuk memenuhi
permintaan pasar
untuk mengekspor kulit ular Python. Sehingga, diperlukan
tambahan jumlah Python yang
diambil dari alam (wild type). Jika pemanenan terus dilakukan
maka dikhawatirkan akan
terjadi kepunahan, terlebih lagi bahwa saat ini status Python
yaitu Appendix II. Untuk itu
diperlukan upaya pre-konservasi dengan menentukan keragaman
genetik Python yang
terdapat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Salah satu marka
genetik yang dapat
digunakan adalah mikrosatelit. Selain molekuler, ada juga cara
lain yaitu melalui
pengamatan morfologi. Secara molekuler tersebut dilakukan dengan
mengisolasi DNA dan
amplifikasi serta dilakukan sequencing. Selanjutnya akan
diketahui keragaman genetik ular
Python di masing-masing pulau dan hasil ini dapat digunakan
untuk strategi konservasi
dimasa mendatang.
-
16
Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 10. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan:
: Berhubungan
Jawa
Masih Sedikit
Penelitian
Sistematik Genus Python
Molekular Morfologi & Morfometri
SVL,
Ventral Scale,
Anterior Dorsal
Scale,
Mid Dorsal Scale,
Posterior Dorsal
Scale, Prefrontal,
Preocular,
postocular,
Supralabial,
Infralabial,
Subcaudal scale
17 Primer Mikrosatelit
Keragaman
Genetik
Sundaland
Genus Python
Indonesia Mega
Biodiversity Country
Sumatera Kalimantan Peninsular Malaysia
Wild Type Python Penangkaran
Python
Perdagangan
Python
Permintaan
Pasar Meningkat
Pemanenan Wild
Type Python di alam
Penurunana
Populasi Python
di Alam
Appendix II
Konservasi Python
Jumlah alel,
Frekuensi alel, Heterozigositas,
genetic different, Pola
pengulangan dan Jumlah
Illegal
Trade