BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008). 2.1.2 Etiologi Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007). Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi Jamur Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Aspergillus Haemophillus influenza Legionella pneumophillia Histoplasmosis Klebsiella pneumoniae Coxiella burnetii Candida Pseudomonas aeruginosa Chlamydia psittaci Nocardia Gram-negatif (E. Coli) Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab Lain Influenza Pneumocytis carinii Aspirasi Coxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoid Adenovirus Amebiasis Bronkiektasis Sinsitial respiratori Fibrosis kistik (Jeremy, 2007) 2.1.3 Patogenesis Universitas Sumatera Utara
24
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia - USU-IRrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33132/4/Chapter II.pdf · dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract
(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya
pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan
diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma,
jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua
dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).
2.1.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar mikroorganisme dan
masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (Jeremy, 2007).
Tabel 2.1 Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia
sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat
(Supandi, 1992).
2.1.9.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian
atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu
tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga
disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992).
Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma),
gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy,
2007).
2.1.9.2 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah
putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000-
40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat
normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia
laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang
, dan protein reaktif
C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas
(Jeremy, 2007). Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi
kreatinin masih dalam batas normal (Supandi, 1992).
Universitas Sumatera Utara
disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate
bilateral atau bronkopneumonia.
2.1.10 Penatalaksanaan
a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada
klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis
tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan
sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007).
b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa
(SaO2
2.2 Antibiotika
< 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas
hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan
napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi
membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).
2.2.1 Definisi Antibiotika
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman. Peresepan
antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat mengakibatkan resistensi
(Setiabudy, 2007).
2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi
Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara
berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara
pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
Universitas Sumatera Utara
sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor
biaya pengobatan (Setiabudy, 2007).
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu
dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan.
Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum pemberian
antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam keadaan
penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai dengan
memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam
praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap
terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola
kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan
ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik
dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal hasil
uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan
antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang
meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil
perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat
diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy,
2007).
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi
yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut. Memilih
antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak dibenarkan karena
Universitas Sumatera Utara
hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007).
Tabel 2.2 Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika yang digunakan
Agen Penyebab
Antibiotika Yang
Pilihan
Tanggapan Digunakan Antibiotika Lain
Legionella Eritromisin Klaritromisin dengan atau
tanpa atau azitromisin,
rifampin rifampin, siprofloksasin doksisiklin
dengan
rifampin, ofloksasin Mycoplasma Doksisiklin, Klaritromisin Selama pneumoniae eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu rifampin, siprofloksasin atau ofloksasin Chlamydia Doksisiklin, Klaritromisin Selama pneumoniae eritromisin atau azitromisin, 1-2 minggu Siprofloksasin atau ofloksasin Chlamydia Doksisiklin Eritromisin, psittaci kloramfenikol
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Sambungan
Agen Penyebab
Antibiotika Yang
Pilihan
Tanggapan Digunakan Antibiotika Lain
S. pneumonia Penisilin G atau V
Sefalosporin: Dosis untuk Sensitif terhadap sefazolin, penyakit berat: penisilin Penisilin IV: (MIC < 0,1 ug/ml) sefuroksim, 0,5 juta unit/4
jam Sefuroksim: sefotaksim, 750 mg/8 jam IV Seftriakson: seftizoksim, 2 g/hari IV Sefotaksim: seftriakson, 2 g/6 jam IV Vankomisin: sefalosporin oral 1 g/12 jam IV Resistensi sedang Penisilin G: Vankomisin Tingkat resistensi terhadap penisilin 2-3 juta unit/4
jam sedang:
(MIC 0,1-1 ug/ml) seftriakson, 0,1-1 ug/ml; 80% sefotaksim. biasanya sensitif Agen oral: terhadap makrolida, sefalosporin sefuroksim, sefodoksim Resistensi tinggi Vankomisin Imipenem Resistensi tingkat terhadap Penisilin tinggi: (MIC > 1 ug/ml) > 1 ug/ml; 20% perlu vankomisin H. influenzae Sefalosporin
generasi kedua Tetrasiklin;
atau ketiga, betalaktam- klaritromisin, betalaktamase, azitromisin, fluorokuinolon, trimetoprin-
sulfametoksazol kloramfenikol
S. aureus Nafsilin/oxasillin Sefazolin atau dengan atau
tanpa sefuroksim,
rimfapisin atau vankomisin, gentamisin klindamisin, trimetoprin- sulfametoksazol,
Universitas Sumatera Utara
fluorokuinolon Enterobakteriaceae Sefalosporin Aztreonam, (E. coli, generasi kedua imipenem, Klebsiella, atau ketiga betalaktam- Proteus, dengan/tanpa betalaktamase Enterobacter) aminoglikosida
(Barlett, 2001)
2.2.2.1 Golongan Betalaktam
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan
sefalosporin.
A. Kelompok Penisilin
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis
yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin
bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dnding sel. Efek
samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria, dan
kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi fatal (Elin, 2008).
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman Gram-positif
(khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin G tidak tahan-
asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus intravena. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t½ nya sangat singkat, hanya
30 menit dan kadar darahnya cepat menurun. Eksresinya berlangsung sebagian
besar melalui transport aktif tubuler dari ginjal dan dalam keadaan utuh.
Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam Unit Internasional (UI) (Tjay,
2007).
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan asam dan
memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G, tetapi terhadap
kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H. influenzae) 5-10 kali
Universitas Sumatera Utara
lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh asam lambung. Ikatan
dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t½ 30-60 menit. Sebagian
besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30% dieksresikan lewat kemih
dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1 jam sebelum makan, atau
2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas spektrum
kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya peka bagi
penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang memproduksi
penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin). Ampisilin
efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa suku Proteus.
Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan), plasma t½ nya 1-2
jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan daripada penisilin G
dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal yaitu 30-45% dalam
keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek samping berkaitan
dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk oral 4 dd sehari 0,5-1
g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti ampisilin.
Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua kali lipat.
Ikatan dengan protein plasma dan t½ nya lebih kurang sama, namun difusinya
ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam klavulanat
efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek samping yang
umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih jarang terjadi.
Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3 dd 10 mg/kg,
juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin, 2008).
Universitas Sumatera Utara
5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta
laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial.
Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap
bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin (Tjay, 2007).
6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis
(Tjay, 2007).
B. Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal
dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur,
khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-
keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup
enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi
tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Istiantoro,
2007; Elin, 2008).
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi dua
golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral karena
diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan
parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena
menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga
misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar
tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan
meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati sawar plasenta,
Universitas Sumatera Utara
mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial dan cairan perikardium. Pada
pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif
tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke
urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh
karena itu dosisnya harus disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin,
2008).
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi
anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang
biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi
penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan
zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis dibandingkan dengan
aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan aminoglikosida mempermudah
terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, dan
sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif. Golongan ini efektif
terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus termasuk Str. pyogenes, Str.
viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah
Clostridium perfringens, dan Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim,
sefradin, sefadroksil aktif pada pemberian per oral. Obat ini diindikasikan
untuk infeksi salura kemih yang tidak berespons terhadap obat lain atau yang
terjadi selama kehamilan, infeksi saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan