BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang pengelolaan lingkungan sangat mudah ditemukan dan telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dipublikasikan. Umumnya penelitian tentang lingkungan banyak dalam bentuk mengevaluasi dampak lingkungan dari kegiatan operasional perusahaan, baik itu di industri yang memproduksi barang, industri jasa, dan juga di pariwisata. Kondisi ini berbeda dengan penelitian yang membahas dampak kegiatan operasional hotel pada lingkungan sekitarnya. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian pengelolaan pariwisata dan perhotelan yang berdampak pada lingkungan yang sudah dipublikasikan. 2.1.1. Penelitian Pengelolaan Lingkungan dan Dampaknya pada Pariwisata Devis dan Cahill (2000), melakukan studi tentang dampak lingkungan dari industri pariwisata, Industri ritel ketiga terbesar di Amerika Serikat, khususnya pada dampak industri pariwisata terhadap kualitas lingkungan. Penelitian ini menggunakan kerangka yang dikembangkan dari konsep ekologi industri untuk menilai dampak industri pariwisata terhadap lingkungan. Tiga kategori dampak yang dibahas: dampak hulu, yang dihasilkan dari kemampuan penyedia layanan perjalanan untuk mempengaruhi pemasok; dan dampak hilir, di mana penyedia layanan dapat mempengaruhi pola perilaku atau konsumsi pelanggan. Studi ini mengidentifikasi dampak dari wisatawan terkait transportasi, termasuk pesawat 17
39
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Sebelumnya BAB II.pdfindustri pariwisata, Industri ritel ketiga terbesar di Amerika Serikat, khususnya pada dampak industri pariwisata terhadap
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang pengelolaan lingkungan sangat mudah ditemukan dan
telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dipublikasikan. Umumnya penelitian
tentang lingkungan banyak dalam bentuk mengevaluasi dampak lingkungan dari
kegiatan operasional perusahaan, baik itu di industri yang memproduksi barang,
industri jasa, dan juga di pariwisata. Kondisi ini berbeda dengan penelitian yang
membahas dampak kegiatan operasional hotel pada lingkungan sekitarnya.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian pengelolaan pariwisata dan perhotelan
yang berdampak pada lingkungan yang sudah dipublikasikan.
2.1.1. Penelitian Pengelolaan Lingkungan dan Dampaknya pada Pariwisata
Devis dan Cahill (2000), melakukan studi tentang dampak lingkungan dari
industri pariwisata, Industri ritel ketiga terbesar di Amerika Serikat, khususnya
pada dampak industri pariwisata terhadap kualitas lingkungan. Penelitian ini
menggunakan kerangka yang dikembangkan dari konsep ekologi industri untuk
menilai dampak industri pariwisata terhadap lingkungan. Tiga kategori dampak
yang dibahas: dampak hulu, yang dihasilkan dari kemampuan penyedia layanan
perjalanan untuk mempengaruhi pemasok; dan dampak hilir, di mana penyedia
layanan dapat mempengaruhi pola perilaku atau konsumsi pelanggan. Studi ini
mengidentifikasi dampak dari wisatawan terkait transportasi, termasuk pesawat
17
2
terbang, mobil, dan rekreasi darat dan kapal pesiar; dalam kaitan wisatawan dan
pembangunan, kegiatan wisatawan, dan dampak langsung industri penginapan dan
pelayaran. Hasilnya menunjukan bahwa kesempatan untuk meningkatkan industri
pariwisata dari hulu ke hilir cukup besar. Hotel bisa mempengaruhi pemasoknya
untuk menyediakan produk yang ramah lingkungan, seperti penyediaan
perlengkapan untuk mandi dari bahan daur ulang. Demikian pula, industri
pelayaran dapat menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan pemasok untuk
meningkatkan kualitas lingkungan dari produknya. Agen perjalanan dan Biro
Perjalanan Wisata dapat mempengaruhi dan mendidik wisatawan tentang
bagaimana cara untuk meminimalkan dampak kegiatannya terhadap lingkungan.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Baysan (2001), dimana perbedaan
dalam kesadaran lingkungan pada wisatawan sangat terkait dengan perbedaan
kebangsaan, dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan wisatawan.
Hasil analisisnya menyatakan bahwa wisatawan Jerman lebih sadar lingkungan
dari pada wisatawan Rusia maupun Turki. Juga ada perbedaan kebangsaan dalam
kesediaan untuk membayar proses pelestarian lingkungan. Penelitian ini
mensurvei responden wisatawan yang berkebangsaan Jerman, Rusia dan Turki,
kuesionernya diterjemahkan ke dalam tiga bahasa asal responden tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa ada kepedulian wisatawan mengenai dampaknya pada
lingkungan pariwisata, khususnya kesediaan wisatawan untuk membayar dan
sikapnya terhadap lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan
di daerah pariwisata Kemer, Antalya, di Turki.
3
Selanjutnya analisis Buultjens dan Davis (2001:40) mulai mengkaitkan
aktivitas wisatawan dengan pemanasan global, dimana dinyatakan bahwa sudah
banyak bukti yang membuktikan bahwa pemanasan global adalah hasil dari
aktivitas wisatawan dan hal ini cenderung memiliki konsekuensi serius dalam
waktu yang relatif dekat. Pariwisata berbasis alam memiliki potensi untuk
menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan jika terus dilakukan tanpa
manajemen yang efektif. Manajemen yang efektif ini adalah menggunakan
berbagai instrumen perencanaan untuk menentukan berkelanjutan tingkat
pemanfaatan, dan instrumen ekonomi juga berharga dalam memastikan
pemanfaatan sumber daya lingkungan, dan bagaimana hal ini dapat digunakan
bersama-sama untuk menentukan bentuk pengelolaan yang berkelanjutan.
Sonak (2004:2) melangkah lebih maju lagi dengan mengembangkan metode
baru dengan menggunakan konsep The Ecological Footprint of Tourism (jejak
ekologis pariwisata) untuk menilai dampak lingkungan dari kegiatan industri
pariwisata. Konsep ini menyajikan sebuah pendekatan untuk memperkirakan jejak
produksi kegiatan pariwisata di tingkat lokal. Jejak ekologis pariwisata merupakan
indikator dampak dan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur
keberlanjutan kegiatan pembangunan, membangun strategi manajemen, yang
memperhitungkan kesehatan ekosistem, sederhana untuk dipahami dan dapat
digunakan oleh para pembuat kebijakan.
Lebih lanjut dari sekedar menyajikan sebuah pendekatan untuk
memperkirakan jejak produksi kegiatan pariwisata menggunakan jejak ekologis
pariwisata, Cetron (2007:37) menyatakan banyak yang mencari cara untuk
4
mengurangi dampak lingkungan dari perjalanan wisatwan dalam industri
perjalanan dan industri pariwisata, diantaranya dengan mengurangi emisi karbon
industri perjalanan, menghemat energi, dan pada saat yang sama, lebih peduli
dengan industri yang semakin hijau, karena meningkatnya jumlah wisatawan yang
melakukan perjalanan wisata juga adalah salah satu penyebab terjadinya
pemanasan global saat ini. Jika ditelusuri lebih dalam ternyata wisatawan juga
bertanya-tanya bagaimana cara mereka dapat mengurangi kontribusi dari aktivitas
perjalanan mereka terhadap masalah pemanasan global ini. Terryn (2011:143)
melakukan pengkajian hal ini dengan menggunakan the Ecological Modernisation
Theory (EMT) sebagai paradigma kebijakan lingkungan. Untuk mengatasi
tantangan dan ancaman pariwisata saat ini, sangat penting menurutnya untuk men
setting kembali sebuah model kebijakan yang inovatif, untuk membawa perspektif
baru, interaksi antara para pemangku kepentingan dan instrumen kebijakan untuk
menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan masalah lingkungan. Untuk itu
dalam industri pariwisata diperlukan pengenalan teknologi baru dan strategi
manajemen ditingkat perusahaan untuk membawa manfaat ekonomi dan
lingkungan, karena destinasi pariwisata yang memiliki daya saing, sukses secara
komersial, dan berkelanjutan adalah tujuan utama yang dikehendaki semua orang.
Faraji rad dan Aghajani (2010), menyimpulkan semuanya dengan
menyatakan bahwa kebutuhan melestarikan aset dunia untuk generasi yang akan
datang menjadi agenda penting tidak hanya untuk industri pariwisata dan Biro
Perjalanan Wisata, tetapi juga untuk semua industri lain yang menggunakan
sumber daya alam di Bumi. Hal ini dinyatakannya untuk menjawab bagaimana
5
hubungan antara pariwisata dan lingkungan. Pariwisata sebagai salah satu industri
tercepat perkembangannya di dunia, memiliki banyak dampak, baik positif dan
negatif pada lingkungan. Dampak negatif akan muncul jika jumlah pengunjung
melampaui daya dukung lingkungan. Dampak positif akan muncul jika setiap
wisatawan memahami konsep utama dari pelestarian lingkungan dan pariwisata
yang berkelanjutan dengan hati, bukan hanya dengan mendiskusikannya.
2.1.2. Penelitian Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan
Industri perhotelan selama ini dikenal sebagai salah satu industri yang
paling pesat perkembangannya dan industri ini hanya sedikit yang dipengaruhi
oleh peraturan lingkungan, dan sejauh mana hotel merespon masalah lingkungan.
Lorente et al. (2003), menganalisisnya menggunakan teori stakeholder (pemangku
kepentingan) untuk mengeksplorasi sejauh mana praktik pengelolaan lingkungan
pada 279 hotel Spanyol didorong oleh (i) upaya untuk meningkatkan legitimasi
perusahaan, dan (ii) respon terhadap tekanan yang timbul dari para pemangku
kepentingan yang kuat. Hasilnya menunjukkan bahwa praktik pengelolaan
lingkungan hotel merupakan respon hotel sebagai sebuah organisasi terhadap
tuntutan lingkungan dari pemangku kepentingan, dan hal ini tergantung pada (i)
kekuatan pemangku kepentingan menyelesaikan isu-isu lingkungan, (ii) untuk
melindungi lingkungan, dan (iii) dirasakan adanya keuntungan ekonomi dari
kegiatan pengelolaan lingkungan.
6
2.1.2.1. Penelitian Sertifikasi Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan
Lebih lanjut terkait dengan kekuatan pemangku kepentingan menyelesaikan
isu-isu lingkungan, untuk melindungi lingkungan Rivera (2004:779),
mengidentifikasi bagaimana kekuatan institusional, seperti tekanan peraturan dan
pemangku kepentingan, terkait dengan perilaku lingkungan proaktif dengan
fasilitas hotel yang berpartisipasi dalam Certification for Sustainable Tourism,
program lingkungan sukarela didirikan oleh pemerintah Kosta Rika. Program ini
adalah salah satu inisiatif pertama pihak ketiga berbasis kinerja sertifikasi
lingkungan diterapkan pada negara berkembang. Temuan menunjukkan bahwa
program-program lingkungan sukarela yang mencakup standar berbasis kinerja
dan pemantauan pihak ketiga efektif dalam mempromosikan kepatuhan perilaku
lingkungan ketika program-program lingkungan ini dilengkapi oleh adanya
tekanan kelembagaan pemerintah dan asosiasi (pemangku kepentingan). Anehnya,
temuan juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan hotel lokal, kinerja
lingkungan hotel chain dan multinasional tidak signifikan berkorelasi dan
memiliki partisipasi yang lebih tinggi/unggul.
Lebih lanjut Bohdanowicz et al. (2005:1642), juga mengkonfirmasi temuaan
yang hampir sama setelah membandingkan empat skema benchmarking
berdasarkan alat yang dikembangkan oleh berbagai organisasi diantaranya Green
Globes 21 (GG21), the Green Globes Canada (GGC), International Hotel
Environmental Initiative (IHEI) benchmark hotel, and Hilton Environmental
Reporting (HER), dan diikuti dengan diskusi tentang relevansi dan kegunaannya
untuk sektor perhotelan. Hasil yang didapatkannya menyatakan bahwa potensi
7
menerapkan praktek-praktek yang lebih berkelanjutan di sektor hotel
membutuhkan ketersediaan alat yang dapat diandalkan untuk penilaian dan
benchmarking kinerja lingkungan dari hotel tersebut. Sejumlah alat tersebut telah
dikembangkan oleh organisasi lingkungan internasional, asosiasi-asosiasi cabang
organisasi lingkungan internasional dan bahkan hotel itu sendiri. Skema-skema
tersebut berbeda terkait dengan kondisi geografis/iklim daerah tersebut, termasuk
jenis fasilitas hotel, detail informasi lingkungan yang diperlukan, metode
benchmarking, keramahtamahan user dan biaya pelaksanaan skema tersebut.
Mengembangkan dan membuat alat yang dapat diandalkan tersedia untuk
benchmarking kinerja lingkungan adalah langkah-langkah penting dalam upaya
untuk keberlanjutan fasilitas hotel.
Sesuai dengan hasil sebelumnya terkait dengan benchmarking kinerja
lingkungan Vähätiitto (2010:1) meneliti tentang model bagaimana cara hotel non-
chain di Lapland Finlandia mengelola aspek lingkungan bisnis dan meningkatkan
kualitas lingkungan, dilihat dari bagaimana status pengelolaannya saat ini,
penanganan isu-isu lingkungan dalam bisnis perhotelan, dan juga definisi konsep
kualitas lingkungan, menggunakan teori Total Quality Management Lingkungan
(TQM), Environmental Management Systems (EMS) seperti ISO 14001 dan
European Union’s Environmental Management and Audit Scheme (EMAS) dan
skema eco-label yang bersertifikat (the Nordic eco-label Swan), serta parameter
fisiknya adalah data energi, air, limbah dan konsumsi bahan kimia di hotel. Hasil
analisis menunjukkan bahwa Hotel K5 Levi sebenarnya hotel yang cukup ramah
terhadap lingkungan dilihat dari tingkat konsumsi energi dan air. Namun, untuk
8
analisis dampak lingkungan pengelolaan limbah dan penggunaan bahan kimia
beberapa sistem pengukuran tetap harus dikembangkan, serta perlu ada bimbingan
untuk mengembangkan pengelolaan lingkungan pada tingkat strategis di hotel.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa tidak ada kualitas lingkungan dan
manajemen bersadarkan teori yang dianalisis yang menawarkan solusi siap untuk
sebuah hotel untuk mulai mengelola kualitas lingkungan. Skema The Nordic eco-
label Swan tampaknya paling komprehensif diantara yang lain namun tidak
mempertimbangkan biaya lingkungan.
Hasil yang sama juga dinyatakan oleh Priego et al. (2011:361) yang
menganalisis proses pengambilan keputusan oleh manajemen terhadap lingkungan
dari sudut motivasi dan proses pengambilan keputusan, untuk memahami alasan-
alasan perilaku pro-lingkungan oleh manajemen pada hotel-hotel yang
bersertifikat EMAS di Spanyol. Metode Mixed methods untuk mempelajari
persepsi manajemen pada hotel-hotel yang bersertifikat EMAS dan alasan untuk
menjadi bersertifikat, dengan triangulasi, wawancara ahli dan bukti dokumenter.
Empat kelompok hotel dibedakan: Hotel Strategis (22%) (dengan tingkat
pengelolaan lingkungan terpadu), Pengikut (48%), Greenwashers (11%), dan
Laggers (19%) (dengan rendahnya tingkat pengelolaan lingkungan terpadu).
Sebagian besar hotel ditemukan memiliki dorongan internal dalam tujuan mereka
dan diatur pada pengambilan keputusan mereka, walaupun dengan pemahaman
yang terbatas tentang manfaat dari dorongan eksternal dan motivasi untuk sistem
manajemen yang lebih sistematis. Pertanyaan ini adalah keberhasilan EMAS baik
sebagai manajemen yang terus-menerus diperbaiki dan sebagai pasar yang
9
berbasis alat regulasi untuk hotel. Pada beberapa hotel, harus memiliki standar
lingkungan yang tinggi secara keseluruhan untuk memperoleh keuntungan pasar,
dan menghindari tantangan hukum.
2.1.2.2. Penelitian Proses Pengelolaan Lingkungan pada Perhotelan
Kepedulian pada proses pengelolaan lingkungan pada perhotelan selain
berkaitan dengan keuntungan ekonomi juga berkaitan dengan kinerja
lingkungannya yang lebih tinggi. Moreno et al. (2004) menganalisis strategi
lingkungan yang diterapkan dalam industri jasa dan dampaknya terhadap kinerja
perusahaan dari 268 hotel di Spanyol (yang dikategorikan ke dalam empat
kelompok), strategi lingkungan yang diterapkan didasarkan pada kegiatan
perlindungan lingkungan, dan menggunakannya untuk kompetisi. Hasilnya
menunjukkan adanya perbedaan antara masing-masing strategi lingkungan pada
empat kelompok dalam hal variabel kontekstual dan kinerja. Temuan ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di kelompok dengan strategi
lingkungan yang lebih maju merasakan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja
lingkungannya tetapi hal ini tidak selalu searah dengan kinerja ekonomi. Lebih
lanjut Tierney (2007:24) menjelaskan bahwa trifecta keberlanjutan yang
mangatakan bahwa good for the planet, good for people, good for profits adalah
konsep yang efektif untuk menjelaskan mengapa hotel butik harus going green,
ini adalah salah satu inisiatif maju dari para meneger hotel dalam kegiatan
operasional hotel. Meneger hotel tipe ini akan memilih bahan terbarukan dan
10
perlengkapan yang ramah lingkungan, teknologi hemat energi dan praktek
pengelolaan operasional hotel yang dampak lingkungan minimal.
Penentuan jumlah sumber daya dan emisi yang terjadi pada fasilitas wisata,
melalui analisis siklus hidup, membuka pintu untuk membangun perbaikan
struktural dan operasional serta pelaksanaan energi terbarukan. Rosselló et al.
(2007:1) menyatakan Spanyol saat ini menerima lebih dari 80 juta pengunjung,
dimana lebih dari 50% terkonsentrasi di musim panas. Peningkatan populasi, yang
terletak terutama di akomodasi wisata, menyebabkan perubahan yang mengubah
penggunaan normal infrastruktur: transportasi, energi, air dan pengelolaan limbah.
Di tempat seperti Kepulauan Balearic, dengan lebih dari 10 juta pengunjung setiap
tahunnya, terjadi peningkatan 31% dari konsumsi listrik, 60% dari konsumsi akhir
dan 30% dari produksi sampah.
Peluang untuk memotong biaya operasional dapat dilakukan dalam empat
bidang, seperti pengelolaan air limbah, pengelolaan energi, pengurangan limbah
padat dan pengelolaan dan pembelian produk-produk dengan label green (IHEI,
1993; IHA, IHEI & UNEP, 1995). Sweeting dan Sweeting, (2003) memberikan
contoh seperti Sandal Negril Beach Resort & Spa di Jamaika selama tiga tahun
mulai dari tahun 1998 sampai tahun 2000, mampu mengurangi konsumsi air
total per malam sebesar 28,6%. Menurut Dodds dan ITP (2005), untuk kegiatan
operasional hotel, biaya untuk airnya saja mencapai 15% dari tagihan
total utilitas di sebagian besar hotel dan hampir 95% dari air tawar dilepaskan
sebagai limbah tanpa adanya treatment atau perawatan yang tepat. Oleh karena
itu, pengelolaan air menjadi semakin penting bagi para pelaku bisnis perhotelan
11
karena hal ini dapat mengurangi tidak hanya biaya total konsumsi air yang
sebenarnya, tetapi juga biaya pengolahan limbah cair.
Beberapa studi telah mengidentifikasikan bahwa penghematan energi pada
hotel juga sama dengan penghematan biaya. Penghematan biaya ini terjadi dengan
melakukan penghematan energi dan praktek mengurangi konsumsi energi. Pada
banyak hotel proyek energi ini meliputi pengaturan pencahayaan, pemanasan
ruang dan sistem pendingin mencapai nilai 20% atau lebih (ORHMA, 2008).
Hilton Hotel Corporation mampu menghemat hampir US $ 2,5 juta dalam biaya
energi. Hal ini dicapai dengan menghemat hampir 43 juta kwh listrik atau setara
dengan 65 juta pon emisi CO2 di tahun 2000.
Studi yang dilakukan oleh El Dief dan Font (2010), menguraikan berbagai
praktek pengelolaan lingkungan pada hotel-hotel di Laut Merah khususnya
kegiatan operasional dan cara mengorganisasikannya. Penelitian ini menggunakan
test model konseptual, sehingga dapat menjelaskan kenapa beberapa hotel lebih
proaktif dibandingkan dengan hotel lainnya. Hasilnya ditemukan bahwa sejak
awal 1990an praktek pengelolaan lingkungan ini telah dilakukan, hanya saja
belum ada kajian akademik mengapa hanya beberapa hotel yang melakukannya
sementara yang lain tidak. Studi ini menyarankan tiga teori untuk menjelaskan
prilaku perusahaan dalam kaitannya dengan lingkungan, dimana pemotongan
biaya operasi dan meminimalkan konsumsi sumber daya adalah strategi yang
paling meyakinkan untuk dilakukan pengelolaan hotel.
Upaya pengelola bisnis perhotelan untuk meningkatkan kelestarian
lingkungan dalam kegiatan operasionalnya, dipromosikan dengan dimilikinya alat
12
ukur industri yang konsisten untuk melakukan benchmarking kegiatan operasional
saat ini dan melacak efek dari inisiatif-inisiatif keberlanjutan lingkungan. Jenis
ukuran ini juga dapat membantu para pemangku kepentingan eksternal, seperti
tamu hotel dan pemerintah, untuk mengukur upaya–upaya keberlanjutan
lingkungan hotel dilakukan oleh Zhang, Jie J et al. (2010:5). Menggunakan studi
factor eksploratory dengan menggunakan catatan analisis biaya konsumsi sumber
daya (listrik, air dan saluran pembuangan, biaya pemeliharaan lainnya, dan
laundry, linen, dan perlengkapan untuk kamar dan layanan makanan dan
minuman), dan faktor perilaku, yang sebagian besar didorong oleh laundry, linen,
dan perlengkapan kamar dan layanan makanan dan minuman. Ditemukan bahwa
secara umum, biaya dalam faktor operasi berada di bawah kontrol manajemen,
tetapi biaya dalam faktor perilaku dipengaruhi oleh kegiatan para tamu.
Susskind dan Verma (2011), menganalisis bagaimana manipulasi proses
hemat energi pada hotel kamar, dengan melihat bagaimana para tamu akan
bereaksi terhadap perubahan yang dilakukan untuk menghemat energi atau apakah
upaya konservasi ini tidak akan mengganggu tamu. Disain penelitian ini adalah
penelitian eksperimental dengan mengurangi tingkat daya televisi dan perubahan
pencahayaan di kamar mandi, dan di kamar tamu pada hotel Statler, yang
merupakan hotel berbintang empat berlian dengan 150 kamar dan dioperasikan
oleh Cornell School of Hotel Administration untuk hotel komersial dan sebagai
laboratorium pembelajaran. Penelitian ini menguji empat tingkat daya televisi
liquid crystal display (LCD) untuk ruang tamu, dan juga membandingkan reaksi
para tamu terhadap lampu compact fluorescent lamp (CFL) di kamar mandi dan
13
penggantian lampu CFL dengan lampu light emitting diodes (LED) di beberapa
kamar, kemudian para tamu diminta untuk memberikan penilaian mereka.
Hasilnya tamu tidak melihat ada perbedaan tingkat daya pada televisi dan juga
pada penggantian lampu CFL ke lampu LED. Hal ini mengindikasikan
kemungkinan bagi pengelola perhotelan untuk mengganti set televisi yang sudah
tua dengan televisi LCD, dan minimal mengganti lampu pijar dengan CFL untuk
penghematan yang cukup besar, atau mengambil langkah dengan menggunakan
lampu LED untuk lebih melestarikan energi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
tamu tidak terlihat mendukung langkah-langkah konservasi energi tersebut. Salah
satu temuan juga menyatakan bahwa banyak responden akan bersedia membayar
lebih untuk mendukung inisiatif keberlanjutan sebuah hotel.
Studi yang dilakukan Dalem (2012), menunjukan bahwa sistem pengelolaan
lingkungan sangat penting perannya dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan, tetapi berbagai praktek pengelolaan lingkungan yang terjadi, sistem
pengelolaan lingkungan belum dilakukan dengan baik pada industri perhotelan di
Bali.
Peiró-Signes et al. (2014:40) menganalisis dampak dari sistem sertifikasi
lingkungan ISO 14001 dari perspektif pelanggan pada hotel. Berdasarkan pada
perbandingan dari peringkat pelanggan 6.850 hotel di Spanyol dengan dan tanpa
sertifikasi ISO 14001, keseluruhan tamu menilai hotel dengan sertifikasi ISO
14001 mendapat appresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hotel yang
tanpa sertifikasi. Hasil ini kuat untuk kenyamanan hotel dan pelayanan hotel
dibandingkan dengan atribut hotel lainnya. Selain itu, perbedaan yang paling
14
signifikan ditemukan pada hotel berbintang empat ke atas. Sementara pada hotel
berbintang tinggi seperti pada hotel berbintang lima berlian tidak didapatkan
diferensiasi khusus antara memiliki sertifikasi ISO 14001 atau tidak, sedangkan
untuk hotel bintang tiga, sensitivitas harga mengesampingkan masalah lingkungan
dalam pertimbangan tamu. Pada hotel berbintang empat, hotel tampaknya bisa
mendapatkan keuntungan pasar yang berbeda dari sertifikasi lingkungan, dan
untuk semua hotel, disiplin manajemen yang disediakan oleh ISO 14001 dapat
memberikan keunggulan kompetitif.
2.1.3. Keterkaitan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana industri perhotelan selama
ini dikenal sebagai salah satu industri yang paling pesat perkembangannya
merespon proses pengelolaan lingkungan berdasarkan isu yang ada di masyarakat
dan pemangku kepentingan, dan menurut Lorente et al. (2003), peran pemangku
kepentingan sangat penting pengaruhnya dalam proses pengelolaan lingkungan,
karena proses pengelolaan lingkungan pada hotel merupakan respon hotel sebagai
sebuah organisasi terhadap tuntutan lingkungan dari pemangku kepentingan, dan
hal ini menunjukkan kekuatan dari para pemangku kepentingan terhadap
kepentingan menyelesaikan isu-isu lingkungan, untuk melindungi lingkungan,
dan dirasakan adanya keuntungan ekonomi dari kegiatan pengelolaan lingkungan.
Penelitian ini juga berkaitan erat dengan pengelolaan jumlah sumber daya
dan emisi yang terjadi pada fasilitas wisata (Rosselló et al. 2007:1) dimana hotel
termasuk sarana akomodasi yang menjadi penyebab terjadinya peningkatan
15
populasi khususnya terkait dengan penggunaan energi, air dan pengelolaan
limbah. Seperti pada hotel-hotel di kepulauan Balearic, dimana terjadi terjadi
peningkatan 31% dari konsumsi listrik, 60% dari konsumsi akhir dan 30% dari
produksi sampah.
Dilihat dari sisi proses, sebenarnya ada peluang untuk pemotongan biaya
operasional dari proses pengelolaan lingkungan pada hotel, hal ini dapat
dilakukan pada pengelolaan air limbah, pengelolaan energi, pengurangan limbah
padat dan pengelolaan pembelian produk-produk dengan label green (IHEI, 1993;
IHA, IHEI & UNEP, 1995). Sweeting dan Sweeting, (2003) memberikan contoh
seperti Sandal Negril Beach Resort & Spa di Jamaika, selama tiga tahun mampu
mengurangi konsumsi air total per malam sebesar 28,6%. Menurut catatan Dodds
dan ITP (2005), untuk kegiatan operasional hotel, biaya untuk air mencapai 15%
dari tagihan total utilitas di sebagian besar hotel dan hampir 95% dari air
tawar dilepaskan sebagai limbah tanpa adanya treatment atau perawatan yang
tepat.
Beberapa studi telah mengidentifikasikan bahwa penghematan energi pada
hotel juga sama dengan penghematan biaya. Penghematan biaya ini terjadi dengan
melakukan penghematan energi dan praktek mengurangi konsumsi energi. Pada
banyak hotel proyek energi ini meliputi pengaturan pencahayaan, pemanasan
ruang, sistem pendinginan ruang yang mencapai nilai 20% bahkan lebih
(ORHMA, 2008). Hilton Hotel Corporation mampu menghemat hampir US $
2,5 juta dalam biaya energi. Hal ini dicapai dengan menghemat hampir 43
juta kwh listrik atau setara dengan 65 juta pon emisi CO2 di tahun 2000. Studi
16
yang dilakukan oleh El Dief dan Font (2010), menyarankan tiga teori untuk
menjelaskan prilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan,
dimana adanya pemotongan biaya operasioal dan meminimalkan konsumsi
sumber daya adalah strategi yang paling meyakinkan untuk dilakukan dalam
pengelolaan lingkungan pada hotel.
Penelitian ini juga mencoba mengkonfirmasi apakah kegiatan pengelolaan
lingkungan pada perhotelan dapat membantu para pemangku kepentingan
eksternal, seperti tamu hotel dan pemerintah, untuk mengukur upaya–upaya
keberlanjutan lingkungan pada hotel. Zhang, Jie J et al. (2010:5), sudah
melakukan studi menggunakan alat faktor eksploratori dengan menggunakan
catatan analisis biaya konsumsi sumber daya (listrik, air dan saluran pembuangan,
biaya pemeliharaan lainnya, dan laundry, linen, dan perlengkapan untuk kamar
dan layanan makanan dan minuman), dan faktor perilaku, yang sebagian besar
didorong oleh laundry, linen, dan perlengkapan kamar dan layanan makanan dan
minuman, dimana ditemukan bahwa biaya dalam kegiatan operasional berada di
bawah kontrol manajemen, tetapi biaya dalam faktor perilaku dipengaruhi oleh
kegiatan para tamu. Sementara Susskind dan Verma (2011) melanjutkannya
dengan manipulasi proses hemat energi pada hotel kamar, dengan melihat
bagaimana para tamu akan bereaksi terhadap perubahan yang dilakukan untuk
menghemat energi atau apakah upaya konservasi ini tidak akan mengganggu
tamu. Penelitian ini menunjukkan bahwa tamu tidak terlihat mendukung langkah-
langkah konservasi energi tersebut, tetapi anehnya salah satu temuan juga
17
menyatakan bahwa banyak responden akan bersedia membayar lebih untuk
mendukung inisiatif keberlanjutan sebuah hotel.
Studi yang dilakukan Dalem (2012), menunjukan bahwa sistem pengelolaan
lingkungan sangat penting perannya dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan, tetapi berbagai praktek pengelolaan lingkungan belum dilakukan
dengan baik pada perhotelan di Bali.
2.2. Pengelolaan Lingkungan pada Hotel
Studi tentang pengelolaan lingkungan mencakup studi tentang semua
kegiatan teknis dan organisasi yang bertujuan untuk mengurangi dampak
lingkungan yang disebabkan oleh operasional perusahaan (Cramer, 1998).
Definisi ini pada hotel adalah adanya misi pengurangan dampak lingkungan, yang
penekanannya mengarah pada beberapa keputusan pengelola hotel yang secara
sengaja dapat mengurangi dampak lingkungan pada hotel.
Pengelolaan lingkungan melibatkan berbagai inisiatif lingkungan yang
mungkin berbeda dalam implementasinya, tergantung pada jenis industri,
karakteristik organisasi dan dampaknya terhadap lingkungan. Inisiatif-inisiatif
pengelolaan lingkungan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yang
berbeda seperti kategori pencegahan teknis dan organisasional, atau kategori
polusi dan pengendalian polusi (Russo dan Fouts 1997; Cramer, 1998).
Dilihat dari strategi bisnis, industri perhotelan termasuk industri baru yang
muncul dan menarik banyak minat dari praktisi industri serta pendidik, khususnya
dari sisi manajemen lingkungan. Industri perhotelan secara tradisional dianggap
18
sebagai salah satu industri yang tidak memiliki dampak besar pada lingkungan
alam dibandingkan dengan industri lainnya seperti gas dan minyak, dan industri
manufaktur produk konsumen lainnya. Namun hotel adalah salah satu sektor
bisnis utama di industri perhotelan, menyebabkan lebih banyak dampak negatif
terhadap lingkungan daripada yang disangkakan oleh masyarakat, mengkonsumsi
sejumlah besar barang tidak tahan lama baik itu barang lokal dan impor, energi
dan air, serta juga menghasilkan sejumlah besar karbon dioksida (Kirk, 1998;
Bohdanowicz, 2006).
Upaya untuk mengidentifikasi motivasi dan insentif utama untuk
menerapkan praktek-praktek ramah lingkungan di hotel telah dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman pengelola hotel dalam pengambilan keputusan dan
arah pengelolaan lingkungan di industri perhotelan. Banyak penelitian
sebelumnya telah mengidentifikasi kekuatan utama yang menentukan pengelolaan
menuju hotel yang hijau ini, dan tampaknya pada industri perhotelan hal ini telah
mencapai konsensus. Hanya saja luasnya area pengelolaan lingkungan ini dihotel
menyebabkan pengelola hotel harus secara signifikan juga memahami adanya
perbedaan dalam implimentasi proses pengelolaan lingkungan di hotel akibat dari
adanya konteks situasional yang berbeda seperti peraturan pemerintah daerah,
keseluruhan hal kepedulian sosial tentang isu-isu lingkungan, dan karakteristik
hotel.
Kirk (1998) meneliti tentang manfaat yang dirasakan oleh pengelola hotel
dari pengelolaan lingkungan. Hal-hal yang digunakan untuk mengukur manfaat
yang dirasakan pengelola dari pengelolaan lingkungan adalah: meningkatkan
19
profitabilitas, meningkatkan pelanggan dan kepuasan karyawan, meningkatkan
hubungan dengan masyarakat setempat, membantu hubungan masyarakat, dan
keuntungan pemasaran atas pesaing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengelola hotel di Inggris menunjukkan tingkat moderat dalam kesepakatan
tentang manfaat keseluruhan pengelolaan lingkungan. Manfaat yang paling
signifikan adalah potensi peningkatan hubungan masyarakat dan hubungan yang
lebih baik dengan masyarakat setempat.
Bohdanowicz (2005) melakukan penelitian dalam skala besar untuk menilai
pengelolaan lingkungan di lebih dari 600 hotel di Eropa, dan menemukan bahwa
mengurangi biaya operasi adalah hal yang paling signifikan untuk hotel dari
menerapkan pengelolaan lingkungan, diikuti oleh permintaan dari pelanggan, dan
meningkatkan citra Hotel. Mensah (2006) menyelidiki tentang praktek-praktek
pengelolaan operasional hotel yang ramah lingkungan dan menilai apa yang
dirasakan pelaku bisnis perhotelan di Ghana. Hasilnya menunjukkan bahwa
menyediakan lingkungan yang aman dan sehat, kualitas pelayanan lingkungan
yang bersih, dan mengurangi biaya dari bahaya lingkungan adalah beberapa
tujuan utama dari pengelolaan lingkungan.
Tzschentke et al (2008) menemukan bahwa pada hotel-hotel di Eropa, untuk
penginapan kecil yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, ternyata didapatkan
bahwa praktek-praktek pengelolaan operasional hotel menuju industri ramah
lingkungan ini utamanya didorong oleh etika dan adanya pertimbangan ekonomi.
Manfaat ekonomi telah dianggap sebagai salah satu keuntungan yang paling
terlihat dalam dari pengelolaan lingkungan. Sejumlah besar literatur industri telah
20
menyoroti manfaat ekonomi dari praktek ramah lingkungan sebagai salah satu
penggerak utama menuju industri hijau, dan organisasi-organisasi lingkungan
terkait telah membuktikan secara kuantitatif tentang penghematan biaya ini.
Marriott International, misalnya, saat ini memiliki 211 hotel yang
tersertifikat Energy-Star dalan sistemnya. Hotel-hotel ini memiliki penggunaan
energi 35 persen lebih sedikit dari rata-rata (Marriott International, 2007).
InterContinental Hotel Chicago O'Hare juga memanfaatkan 100 persen energi
terbarukan dari angin pada atap hijau (green roof) yang membantu mengurangi
biaya pendinginan, dan menghemat 40 persen biaya energi melalui penggunaan
lampu LED (Esposito, 2008). Penelitian akademik Banyak juga menemukan
manfaat ekonomi melalui efisiensi sumber daya yang lebih besar sebagai salah
satu pendorong yang signifikan untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan