BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang meningkat (WHO, 2006). Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau (2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006). Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al., 2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008). 2.1.1 Etiologi Obesitas Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor
36
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas - sinta.unud.ac.id II.pdf · koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu arteriosklerosis tidak berhubungan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
Obesitas merupakan terjadinya timbunan lemak berlebihan atau abnormal
didalam tubuh akibat ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran kalori dan
dapat mengganggu kesehatan sedangkan overweight merupakan jumlah berlebihan
dari berat badan seseorang yaitu termasuk air, lemak, otot dan tulang. Obesitas
disini dapat terjadi jika ukuran dan jumlah sel-sel lemak tubuh seseorang
meningkat (WHO, 2006).
Definisi operasional dari obesitas dan berat badan berlebih merupakan
perhitungan indeks masa tubuh (IMT) yang sangat berhubungan dengan
perlemakan di dalam tubuh. Suatu cut-off diambil dari IMT untuk definisi obesitas
dapat berdasarkan atas (1) data statistik yang diperoleh dari populasi tertentu atau
(2) berdasarkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan
peningkatan dari lemak tubuh (WHO, 2006).
Obesitas merupakan suatu keadaan epidemi yang saat ini menjadi masalah
serius bagi dunia kesehatan. Dikatakan prevalensi obesitas telah meningkat
sebanyak tiga kali lipat selama tiga hingga empat dekade belakangan ini. Obesitas
sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting karena
berhubungan erat dengan metabolisme dan penyakit kardiovaskular (Bigaard et al.,
2005; Baum et al., 2008; Suastika, 2008).
2.1.1 Etiologi Obesitas
Obesitas itu sendiri merupakan persoalan yang terjadi akibat terjadinya
ketidakseimbangan energi, terlepas dari adanya faktor lainnya seperti faktor
genetik, sosial dan kebudayaan. Ketidakseimbangan energi tersebut timbul
bilamana asupan energi (makanan) melebihi dari penggunaan energi total (WHO,
2006).
Perbedaan antara asupan dan penggunaan energi terutama dikatakan oleh
perubahan banyaknya simpanan lemak (triasilgliserol) pada organ penyimpan
utama yaitu jaringan lemak putih (Trayhurn, 2008). Akumulasi lemak akan terjadi
pada bagian tubuh yang tidak diinginkan seperti jantung, hati, pankreas dan otot
skeletal jika suatu individu tidak dapat menyimpan kelebihan energi yang
dihasilkan pada jaringan adiposa subkutannya (Despres et al., 2006 dan Despres et
al., 2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya obesitas biasanya
bekerja secara kombinasi diantaranya diet, merokok, kehamilan, kurangnya
aktivitas fisik, penggunaan obat-obatan tertentu dan juga memiliki masalah
kesehatan tertentu (Trayhurn, 2008). Adanya penurunan dari berbagai hormon
akibat penuaan seperti hormon pertumbuhan dan produksi testosteron dapat juga
dikatakan meningkatkan akumulasi dari lemak, penurunan masa otot, dan
keseimbangan energi (Villareal, et al., 2005).
2.1.2 Epidemiologi Obesitas
Pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih
dari 2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 juta
orang akan mengalami obesitas (WHO, 2014). Obesitas semula hanya menjadi
perhatian pada Negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang tinggi,
namun belakangan secara dramatis obesitas juga mengalami peningkatan pada
negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah terutama di
daerah urban (WHO, 2014). Di negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat dan
Australia prevalensi orang dengan obesitas dan overweight tampaknya mempunyai
kecenderungan akan semakin meningkat dan telah mengenai sekitar 50-65 persen
populasi, juga meningkat secara ekstrim di beberapa negara seperti Meksiko, Mesir
dan populasi hitam di Afrika Selatan. Prevalensi tertinggi obesitas ditemukan pada
beberapa pulau-pulau daerah Pasifik, dan daerah Timur Tengah (WHO, 2014).
Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat, prevalensi obesitas dan kelebihan
berat badan mengalami peningkatan setiap tahunnya sebesar 0,5 persen, sedangkan
negara-negara Asia, Amerika Latin dan Timur Tengah sebesar 1,5-2 persen
(Mokdad, et al. 2001).
2.1.3 Pengaruh Obesitas terhadap Kesehatan
Seseorang dengan obesitas kemungkinan akan mengalami lebih banyak
masalah terhadap kesehatannya dibandingkan dengan seseorang yang memiliki
berat badan normal (Yanovski, 2002). Dari berbagai penelitian terbukti bahwa
obesitas sendiri merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap beberapa
penyakit yang tidak menular diantaranya hipertensi, DMT2, penyakit
kardiovaskular, osteoartritis, stroke, dan beberapa penyakit keganasan (kolon,
rektum, esofagus, ginjal, payudara, dan prostat) (WHO, 2014). Meskipun secara
keseluruhan telah dibuktikan mengenai beberapa pengaruh yang merugikan dari
obesitas terhadap kesehatan, obesitas sendiri sejak lama masih membingungkan
para klinisi karena sangat penyebab dan mekanismenya sangat luas. Beberapa
orang yang mengalami obesitas memiliki tekanan darah normal, profil lipoprotein-
lemak plasma yang normal, dan euglikemia, sedangkan beberapa orang lainnya
dengan berat badan yang normal kadangkala mengalami kelainan profil faktor
resiko metabolik (Depres et al., 2006).
Berbagai publikasi sejak 15 tahun terakhir telah membuktikan bahwa
sekelompok penderita obesitas yang ditandai dengan timbunan lemak berlebih di
daerah abdominal memiliki risiko tinggi untuk menderita DMT2, dislipidemia,
hipertensi dan penyakit kardiovaskuler (Despress dan Marette, 2008).
Meningkatnya prevalensi obesitas seluruh dunia mungkin mendorong prevalensi
DMT2 menjadi lebih tinggi (WHO, 2014).
Beberapa dekade terakhir telah membuktikan adanya hubungan antara
aktivitas fisik dengan SM. Kurangnya aktivitas fisik atau sendentary life akan
meningkatkan resiko terjadinya obesitas dan meningkatkan resiko terjadinya
beberapa penyebab kematian, penyakit kronik dan disabilitas (Pergola et al., 2013).
Dampak obesitas yang baru-baru ini diteliti yakni obesitas yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya 20% kejadian kanker di Amerika. Hubungan antara
obesitas dan meningkatnya resiko kanker dikarenakan berbagai penyebab salah
satunya dari parameter antropometrik dan faktor pola hidup. Parameter antopometri
termasuk BMI, peningkatan berat badan, total lemak tubuh khususnya lemak
abdominal, pola hidup termasuk sedentary lifestyle, parameter diet termasuk
makanan berkalori tinggi dan diet berkualitas rendah yang diduga berperan sebagai
faktor predisposisinya. Beberapa jenis kanker yang kemungkinan berkaitan dengan
kejadian obesitas yakni kanker esofagus, payudara, endometrium, ginjal, pankreas,
kandung empedu dan tiroid. Walaupun hingga kini mekanisme terjadinya kanker
pada obesitas belum jelas diketahui, diperkirakan adanya produksi hormon yang
berlebihan, meningkatnya insulin, insulin growth factor, dan low grade
imflammation sebagai faktor pencetus (Pergola et al,. 2013).
2.1.3.1 Obesitas dan Hipertensi
Penelitian pada tahun 1959 telah menunjukkan adanya hubungan langsung
antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan. Penelitian oleh Rahmouni et
al, 2005 juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang
mempunyai berat badan berlebih atau obesitas. Selain itu beberapa penelitian
epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas
dan hipertensi, hubungan kausalnya memang belum dapat diketahui dengan pasti,
namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas tersebut di
turunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun, oleh karena itu timbul
beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya
yaitu adanya mekanisme hemodinamik. Penelitiannya juga mendapatkan bahwa
adanya peningkatan stroke volume dan cardiac output pada penderita obesitas bila
dibandingkan dengan yang bukan obesitas dan juga didapatkan peningkatan
tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan
dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa
peningkatan stroke vulume, cardiac output dan peningkatan tahanan perifer
memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas.
Peranan aktivitas saraf simpatis, juga dikatakan sebagai faktor yang
berperan pada obesitas dengan hipertensi ditunjukkan pada penderita perempuan
obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan
darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan
sisa-sisa metabolisme katekolamin, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan
katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat.
Adanya peranan pada sistem endokrin yang diduga ikut berperan dalam
proses hipertensi pada obesitas terlihat pada adanya peningkatan kadar insulin dan
aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi
natrium di dalam glomerulus, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan
jelas mengurangi pula sekresi natrium dalam glomerulus, dalam beberapa hal
keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan
insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dalam darah yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, dan nantinya menyebabkan
hipertensi. Para peneliti tersebut sepakat bahwa menurunkan berat badan akan serta
merta dapat menurunkan tekanan darah (Rahmouni et al., 2015).
2.1.4.2 Obesitas dan Penyakit Jantung Iskemik
Penelitian Krauss et al., 1998 menunjukkan meningkatnya resiko kematian
mendadak yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas.
Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian
mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Hasil
penelitian tersebut timbul dugaan apakah obesitas berpengaruh langsung terhadap
terjadinya arteriosklerosis koroner. Pada penelitian terhadap binatang yang dibuat
obesitas ternyata peningkatan terjadinya arteriosklerosis tidak dapat dibuktikan.
Sehubungan dengan keadaan tersebut maka diadakan pengamatan pada penderita
obesitas yang dengan pemeriksaan angiografi memperlihatkan sklerosis arteria
koronaria, ternyata tidak terbukti pada pemeriksaan bedah mayat. Oleh karena itu
arteriosklerosis tidak berhubungan dengan kenaikan berat badan. Ada pendapat
bahwa obesitas tidak langsung menyebabkan terjadi arteriosklerosis koroner, tetapi
hanya merupakan tambahan risiko terjadinya serangan penyakit jantung koroner.
2.1.4.3 Obesitas dan Diabetes Melittus
Obesitas ternyata juga mempengaruhi sistem metabolism glukosa dan
energi, dan yang sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan
kejadian diabetes melitus. Pada obesitas kemungkinan terkena diabetes melitus 2,9
kali lebih sering bila dibandingkan orang yang tidak obesitas. Di Amerika telah
dilaporkan pula bahwa penderita obesitas yang umumya 20 - 45 tahun mempunyai
kecenderungan terkena diabetes melitus 3,8 kali lebih sering bila dibandingkan
dengan penderita yang berat badannya normal. Sedangkan yang umurnya 45 - 75
tahun kecenderungan terjadinya diabetes melitus 2 kali lebih sering daripada yang
memiliki berat badannya normal. Dikemukakan pula bahwa penderita obesitas
sering mengalami hiperglikemia tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme, keadaan
ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya
reseptor insulin terhadap adanya keadaan hiperglikemia. Beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa pada penderita diabetes dengan obesitas, kelainan dasarnya
adalah gangguan sekresi insulin. Sekresi insulin dikatakan terhambat sehingga
kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol dengan baik dan terdapat peningkatan
sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan
peningkatan resistensi insulin. Disamping itu hiperglikemia dan hiperinsulinemia
dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya
peningkatan hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya
jumlah reseptor insulin yang sensitif pada membran sel.
2.1.4.4 Obesitas dan Gangguan Pernafasan
Pada penderita obesitas terdapat timbunan lemak pada rongga dada dan
rongga perutnya sehingga akan menyebabkan gangguan proses pernafasan oleh
karena itu pada obesitas cenderung terjadi penurunan kapasitas vital paru yang
akan mengakibatkan penurunan fungsi paru. Kelainan ini bila dalam keadaan berat
dengan tanda-tanda somnolen dan hipoventilasi disebut dengan Pickwickian
syndrome. Keadaan ini akan menghilang bila penderita menurunkan berat
badannya.
2.1.4.5 Obesitas dan Kelainan Sendi
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban
yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung
menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi
osteoartrosis (OA) baik primer ataupun sekunder. Conway dan Mc Carthy, 2015
dalam penelitiannya atas populasi penduduk yang dibagi menjadi 4 grup, ternyata
grup yang mempunyai berat badan berlebihan dengan umur makin tua cenderung
lebih cepat menderita OA memerlukan operasi penggantian sendi. Beberapa
mekanisme termasuk mekanikal, epigenetik, peranan sitokin-sitokin pro imflamasi
seperti VEGF, IL-6, TNF-A, penurunan adiponektin yang menurun diperkirakan
sebagai penyebab terjadinya osteoarthritis pada obesitas. Sendi yang terkena adalah
sendi penyangga berat badan yaitu punggung, pangkal paha, lutut dan pergelangan
kaki.
2.1.4.6 Obesitas dan Defisiensi Hormon Testosteron
Defisiensi testosteron sering under diagnosis oleh karena tidak ada gejala
dan tanda yang spesifik. Gejala dan tanda defisiensi testosteron umumnya
diketahui pada kondisi yang sudah lanjut sehingga akan mempengaruhi prognosis
dan kualitas hidup penderita. Gejala dan tanda defisiensi testosteron dapat berupa;
menurunnya libido, menurunnya aktifitas seksual, berkurangnya massa dan
kekuatan otot, disfungsi ereksi, lemah / low energy dan depresi (Jones , 2007 ;
Mendonca et al., 2014). Assosiasi yang substansial / signifikan yang banyak
dilaporkan adalah antara kadar testosteron yang rendah dengan risiko penyakit
kardiovaskuler, seperti misalnya obesitas, resistensi insulin, inflamasi vaskuler,
hipertensi dan aterosklerosis (Bajos et al., 2010 ; Corona et al., 2011 ; Wang et al.,
2011).
Defisiensi testosteron belakangan banyak dibahas dan merupakan prediktor
yang penting dari kejadian kardiovaskuler di masa yang akan datang (Ohisson et
al., 2011 ; Wang et al., 2011).
Obesitas merupakan proinflammatory state oleh karena jaringan adipose
mensekresi berbagai substansi seperti sitokin proinflamasi, adipokin, FFA(Free
Fatty Acid) dan estrogen. Semua substansi tersebut memberikan kontribusi pada
perkembangan SM, DM tipe-2 seperti halnya pada kondisi defisiensi androgen
(Traish et al., 2009).
Visceral fat merupakan jaringan yang aktif mensekresi (active secretory
tissue) sitokin proinflamasi, adipokin, modulator biokimiawi dan faktor
proinflamatori lainnya seperti IL-6, IL-1β, PAI-1, TNFα, angiotensinogen,
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan serum amyloid A (Wang et al.,
2011).
Semua faktor tersebut memberikan kontribusi terjadinya inflamasi dan
disfungsi dari vaskuler sistemik maupun perifer (Reilly et al., 2004). FFA
mengaktifasi nuclear factor-κB pathways selanjutnya dihasilkan TNFα. TNFα
mengaktivasi lipolisis diikuti dengan meningkatnya sintesis IL-6 dan macrophage
chemoattractant protein-1 (MCP-1) yang akan meningkatkan mobilisasi makrofag
dan modulasi sensitivitas insulin. Peningkatan TNFα juga meningkatkan ekspresi
molekul adesi pada endotelium dan sel otot polos vaskuler. IL-6 menstimulasi
sintesis C-reactive protein oleh hepatosit. Aromatase merupakan enzim yang
merubah testosteron menjadi estradiol terutama di jaringan adipose. Testosteron
terbukti dapat mempengaruhi sensitivitas insulin, artinya testosteron dapat
memodulasi secara langsung sensitivitas insulin (Reilly et al., 2004 ; Wang et al.,
2011). Kadar testosteron pada penderita Sindrom Metabolik dan kaitannya dengan
komponen Sindrom Metabolik dapat dilihat pada gambar 2.5 (Wang et al., 2011)
2.1.4 Pengukuran dan Klasifikasi Obesitas
Standar pengukuran dan cara paling sederhana untuk menentukan obesitas
adalah dengan menghitung indeks masa tubuh (IMT) yang ditetapkan berdasarkan
berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter [berat/tinggi
badan (kg/m2)] (WHO, 2006). Pada umumnya IMT berkorelasi dengan adipositas
di dalam tubuh, meskipun kadangkala dapat memberikan informasi yang kurang
tepat tentang klasifikasi variasi kandungan lemak tubuh dan masa lemak intra
abdominal (Frayn et al., 2005). Dewasa ini masa jaringan adiposa dapat diukur
dengan berbagai cara, akan tetapi kebanyakan memerlukan peralatan dan teknik
yang canggih, sehingga jauh dari jangkauan untuk diterapkan secara klinis
(Villareal et al., 2005). Dibandingkan pemeriksaan lainnya, untuk memperkirakan
kandungan total lemak tubuh mempergunakan IMT mempunyai spesifisitas yang
tinggi yaitu 98-99 persen, dengan nilai prediksi positif sebesar 97 persen. Selain itu
IMT mudah dihitung dan telah direkomendasikan sebagai cara pengukuran obesitas
untuk orang dewasa (WHO, 2006).
Berbagai studi epidemiologi menunjukkan bahwa IMT berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas dari berbagai penyakit. Untuk penduduk di
wilayah Asia-Pasifik, WHO menganjurkan pemakaian kriteria yang berbeda
berdasarkan faktor risiko dan morbiditas. Pada orang Asia, cut-off untuk
overweight ( 23.0 kg/m2) dan obesitas ( 25.0 kg/m2) lebih rendah dibandingkan
dengan kriteria WHO (WHO, 2014). Usulan sementara ini berdasarkan dari hasil
penelitian pada penduduk Cina di Hongkong dan Singapura, dan keturunan India di
Mauritius. Tetapi pada penduduk asli kepulauan Pasifik diperlukan cut-off yang
lebih tinggi yaitu untuk overweight IMT 26 kg/m2 dan untuk obesitas IMT 32
kg/m2 (WHO, 2014).
Tabel 2.1
Klasifikasi kelebihan berat badan pada orang Asia dewasa berdasar IMT
(WHO, 2014)
2.1.5 Pengukuran Distribusi Lemak Tubuh
Distribusi lemak di dalam tubuh sangat menentukan resiko dari obesitas
yang dapat ditimbulkannya yakni morbiditas dan mortalitas (Depres et al., 2006).
Terdapat berbagai cara untuk menentukan secara tepat distribusi lemak tubuh
manusia.
a. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI)
Beberapa tahun belakangan alat ini telah dapat digunakan sebagai alat
untuk menjelaskan tempat berkumpulnya jaringan lemak yang kemungkinan suatu
lemak intra abdominal dan nantinya dapat memberikan informasi tentang dampak
yang dapat ditimbulkannya (Frayn, 2005). CT Scan atau MRI jaringan adiposa
intra abdominal dan subkutan dikerjakan setinggi L3/L4 dengan potongan multipel
(slices) merupakan gold standard untuk pengukuran jaringan lemak viseral
(Wajchenberg, 2000). Pada ras Kaukasus luas lemak viseral >130 cm2
berhubungan dengan sindroma metabolik sedangkan apabila <110 cm2 merupakan
risiko rendah. Kedua cara ini memiliki ketepatan yang tinggi yang juga dapat
membedakan antara lemak viseral dengan lemak subkutan (WHO, 2006; Despres et
al., 2006).
b. Dual-energy X-ray scanning
Penginderaan secara longitudinal dapat diperoleh dengan cara dual-energy
X-ray scanning (DEXA). Cara ini tidak akan menghasilkan data yang tepat
mengenai distribusi lemak tubuh seperti daerah intraabdominal, dan hanya
memberikan informasi tentang distribusi dan perubahan yang terjadi pada lemak
tubuh (Hao Wang et al., 2012). Metode ini memerlukan peralatan yang mahal dan
banyak menghabiskan waktu, cara penggunaan tidak praktis sehingga masih
diperlukan metode yang sederhana terutama untuk penelitian di lapangan dengan
jumlah sampel yang banyak (Heymsfield et al., 2001).
c. Pengukuran subcutan fat
Mengukur subcutan fat atau lapisan lemak di bawah kulit memberikan
estimasi yang baik tentang total lemak tubuh pada orang dewasa dan anak-anak
dengan berat badan normal, namun ini hanya merupakan cara tambahan untuk
mengukur total lemak tubuh. Jangka lengkung lipatan kulit memuat ukuran lemak
yang berada persis dibawah kulit yang berasal dari beberapa bagian tubuh (WHO,
2006). Pengukuran dilakukan pada 4 lokasi (bisep, trisep, subskapula dan supra-
iliaka). Seseorang dikatakan obesitas jika pada laki-laki yang memiliki total lemak
tubuh lebih dari 25% dan perempuan jika memiliki total lemak tubuh lebih dari
30% (WHO, 2006). Cara pengukuran ini tidak cocok dilakukan pada subjek yang
sangat gemuk karena tidak dapat mengukur komponen lemak intra abdominal yang
sangat penting (Baum, 2004).
d. Pengukuran lingkar pinggang (Lp) dan rasio pinggang pinggul (RPP)
Kedua cara ini sangat praktis, sederhana dan murah untuk menentukan
adanya timbunan lemak berlebih di daerah abdominal. Pengukuran obesitas ini
ditujukan untuk dapat mengidentifikasi adanya berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan obesitas tersebut. Dari berbagai penelitian terbukti bahwa Lp
dapat dipergunakan untuk menentukan lemak intra abdominal (Despress et al.,
2006). Rasio pinggang pinggul (RPP) atau waist to hip ratio (WHR) juga dapat
dipergunakan untuk mengukur obesitas abdominal, dimana PP > 0,9 pada pria dan
> 0,80 untuk wanita dipergunakan untuk menentukan adanya obesitas abdominal
(WHO, 2006). Pengukuran Lp saja ternyata terbukti merupakan cara yang baik
untuk mengukur lemak intra abdominal. Pengukuran Lp sangat kecil dipengaruhi
oleh tinggi badan atau umur dan menurunnya Lp berhubungan dengan perbaikan
faktor risiko kardiovaskuler (Hwang et al., 2012). Penelitian longitudinal selama
kurun waktu 7 tahun menunjukkan bahwa perubahan Lp lebih berkorelasi dengan
perubahan pada jaringan lemak viseral bila dibandingkan dengan perubahan pada
RPP (Despres et al., 2008). Pengukuran Lp dapat mengidentifikasi individu yang
memiliki distribusi lemak abdominal dan memiliki berbagai risiko untuk penyakit
kardiovaskuler. Pengukuran Lp sangat berkorelasi dengan pengukuran IMT dan
RPP (Lean et al., 1995). Individu dengan Lp 94-101 cm pada pria dan 80-87 cm
pada wanita 1½-2 kali memiliki satu atau lebih faktor risiko penyakit
kardiovaskular dan individu dengan Lp 102 pada pria dan 88 cm untuk wanita
memiliki 2½-4½ kali faktor risiko. Dianjurkan apabila Lp > 94 cm pada pria atau
Lp > 80 cm pada wanita tidak lagi boleh mengalami peningkatan berat badan.
Penurunan berat badan diperlukan apabila Lp > 102 cm untuk pria dan > 88 cm
untuk wanita (Lean et al., 1995).
2.2 Fungsi Jaringan Adiposa
Timbunan lemak atau adiposa pada manusia sebagian besar terdiri dari
jaringan lemak atau adiposa putih dan diperkirakan menjadi tempat utama
penyimpanan energi (Tilg dan Moshen, 2008). Penyimpanan energi oleh jaringan
adiposa putih terjadi dalam bentuk trigliserida dan bila diperlukan akan melepaskan
energi berupa asam lemak bebas. Sel adiposa putih pada tingkat seluler terdiri dari
sel adiposit yang mengandung lemak dan dikelilingi oleh matrik serat kolagen, sel
imun, fibroblast dan pembuluh darah (Trayhurn, 2008). Masa jaringan lemak
ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi,
keseimbangan kalori positif pada orang gemuk akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan lipid intraselular dan membesarnya ukuran adiposit (hipertrofi) dan
meningkatnya jumlah adiposit (hiperplasia) (Bays, et al. 2008). Beberapa
penelitian menjelaskan bahwa adiposit dari jaringan adiposa tersebut dapat
mengeluarkan protein yang bekerja secara endokrin, parakrin dan autokrin untuk
mengatur diferensiasi dari sel lemak dan juga pengaturan keseimbangan energi.
Beberapa tahun belakangan sejak leptin ditemukan, terjadi pergeseran paradigma
dalam pengertian tentang peranan fisiologis jaringan adiposa putih. Penemuan 120
bahan yang terdiri dari berbagai hormon dan sejumlah faktor autokrin dan parakrin
dihasilkan atau diproses didalam jaringan adiposa (Kirkland et al., 2003). Sebagian
dari faktor-faktor yang disebut adipokin ini adalah tissue factor, leptin, tumor