Page 1
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini
di adaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi 3 unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut : 1) Infeksi adalah masuknya kuman atau
mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga
menimbulkan gejala penyakit, 2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari
hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga
telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan
organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk
dalam saluran pernafasan (respiratory tract), 3) Infeksi akut adalah infeksi yang
berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses
akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Dari beberapa pengertian diatas
maka dapat disimpulkan bahwa Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah
penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari
saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
Page 2
9
termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura
(Kemenkes RI, 2012).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari : 1) Bukan pneumonia adalah
kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke arah dalam, contohnya adalah common cold, faringitis,
tonsilitis, dan otitis, 2) Pneumonia adalah didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernapas. Diagnosis gejala ini berdasarkan usia. Batas frekuensi nafas
cepat pada anak berusia dua bulan sampai <1 tahun adalah 50 kali per menit dan
untuk anak usia 1 sampai <5 tahun adalah 40 kali per menit, 3) Pneumonia berat
adalah didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai sesak
nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (chest indrawing) pada
anak berusia 2 bulan sampai <5 tahun. Untuk anak berusia <2 bulan, diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding
dada bagian bawah ke arah dalam (severe chest indrawing) (Widoyono, 2011).
2.1.3 Epidemiologi
Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak. Episode penyakit batuk pilek
pada balita di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per
tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek
sebanyak 3-6 kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui
bahwa angka kesakitan di kota cenderung lebih besar daripada di desa. Hal ini
Page 3
10
mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran
lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa (Widoyono, 2011).
Di negara berkembang, penyakit pneumonia merupakan 25%
penyumbang kematian pada anak, terutama pada bayi berusia kurang dari dua
bulan. Dari survei keehatan rumah tannga (SKRT) tahun 1986 diketahui bahwa
morbiditas pada bayi akibat pneumonia sebesar 42,4% dan pada balita sebesar
40,6%, sedangkan angka mortalitas pada bayi akibat pneumonia sebesar 24%
dan pada balita sebesar 36% (Widoyono, 2011).
Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan bahwa angka mortalitas pada bayi
akibat penyakit ISPA menduduki urutan pertama (36%), dan angka mortalitas
pada balita menduduki urutan ke dua (13%). Di Jawa Tengah pada tahun 1999
penyakit ISPA selalu menduduki ranking 1 pada 10 besar penyakit pasien rawat
jalan di puskesmas (Widoyono, 2011).
Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 melaporkan hasil Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) yang menyebutkan bahwa prevalensi ISPA adalah
9.8% pada tahun 1991 dengan kelompok usia prevalensi tertinggi adalah 12-23
bulan. Angka ini meningkat menjadi 10% pada tahun 1994 dengan prevalensi 6-
35 bulan, kemudian menurun menjadi 9% pada tahun 1997 dengan prevalensi
6-11 bulan, dan menurun lagi menjadi 8% pada tahun 2002 dengan prevalensi 6-
23 bulan (Widoyono, 2011).
Page 4
11
2.1.4 Etiologi
Etiologi ISPA terdiri dari :
Bakteri : Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, dan lain-lain.
Virus : influenza, adenovirus, sitomegalovirus.
Jamur : Aspergilus sp., Candida albicans, Histoplasma, dan lain-lain.
Aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (Bahan Bakar
Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir,
benda asing (biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain)
(Widoyono, 2011).
2.1.5 Tanda dan Gejala
Penatalaksanaan pasien batuk dan/atau kesukaran bernafas pada balita
adalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan : a) tanyakan : Berapakah usia anak?,
Apakah anak batuk? Berapa lama?, Apakah anak dapat minum?, Apakah anak
demam?, Apakah anak kejang?, b) lihat dan dengarkan (anak harus tenang) :
Apakah ada tarikan dinding dada ke dalam?, Apakah terdengar stridor? (suara
menarik nafas), Apakah terdengar wheezing? (suara mengeluarkan nafas), Lihat
apakah kesadaran anak menurun?, Periksa, apakah nafas anak cepat?, Raba
apakah ada demam?, Apakah ada tamda-tanda gizi buruk? (kurus kering), 2)
Klasifikasikan : a) nafas cepat bila anak usia <2 bulan : 60 kali per menit atau
lebih, 2 bulan sampai <1 tahun : 50 kali per menit atau lebih, 1 tahun sampai 5
tahun : 40 kali per menit atau lebih, b) penentuan adanya tanda bahaya : tidak
bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, gizi buruk,demam atau dingin
Page 5
12
(khusus untuk bayi berusia <2 bulan), c) klasifikasi penyakit : tanpa nafas cepat
→ bukan pneumonia, dengan nafas cepat saja → pneumonia, ada tanda bahaya
→ pneumonia berat (Widoyono, 2011).
2.1.6 Penatalaksanaan
1) Bukan pneumonia → perawatan dirumah.
2) Pneumonia → diobati dan orang tua diberi nasehat tentang
perawatan dirumah.
3) Pneumonia berat → di rujuk ke rumah sakit (Widoyono, 2011)
Tabel 2.1 Penatalaksanaan ISPA menurut Widoyono (2011)
Usia <2 bulan
Klasifikasi Pneumonia berat Bukan pneumonia
Tanda -Nafas cepat : ≥60x per
menit atau
-Tarikan dinding dada
bagian bawah ke arah dalam
yang kuat.
-Tidak ada nafas cepat : <60x per menit
atau
-Tidak ada tarikan dinding dada bagian
bawah ke arah dalam.
Page 6
13
Tindakan -Kirim segera ke sarana
rujukan.
-Beri antibiotik satu dosis.
-Beri orang tua nasehat cara perawatan
di rumah :
jaga agar bayi tidak kedinginan,
teruskan pemberian asi dan berikan asi
lebih sering, bersihkan hidung bila
tersumbat, anjurkan ibu untuk kembali
kontrol, bila: keadaan bayi memburuk,
nafas menjadi cepat, bayi sulit bernafas,
bayi sulit untuk minum.
Usia 2 bulan sampai <5 tahun
Klasifikasi Pneumonia berat Pneumonia Bukan pneumonia
Tanda Tarikan dinding
dada bagian bawah
ke arah dalam.
- Tidak ada
tarikan
dinding dada
bagian bawah
ke arah dalam.
- Nafas cepat :
(2 bln - <12
bln) : ≥50x
per menit.
(1 thn - <5
thn) : ≥40x
per menit.
- Tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah ke arah
dalam.
- Tidak ada nafas cepat:
(2 bln - <12 bln) : <50x per
menit.
(1 thn - <5 thn) : <40x per
menit.
Page 7
14
Tindakan -Rujuk segera ke
sarana kesehatan
-Beri antibiotik
satu dosis bila jarak
sarana kesehatan
jauh
-Obati bila demam
-Obati bila ada
wheezing.
-Nasehati ibu
untuk
melakukan
perawatan di
rumah
-Beri
antibiotik
selama 5 hari
-Anjurkan ibu
untuk kontrol
setelah 2 hari
atau lebih
cepat bila
keadaan anak
memburuk
-Obati bila
demam
-Obati bila ada
wheezing.
-Jika batuk berlangsung selama
30 hari, rujuk untuk
pemeriksaan lanjutan
-Obati penyakit lain bila ada
-Nasehati ibu untuk melakukan
perawatan dirumah
-Obati bila demam
-Obati bila ada wheezing.
2.1.7 Program Pemberantasan
Tujuan dari program pemberantasan adalah menurunkan morbiditas dan
mortalitas pada balita akibat penyakit ISPA. Kebijaksanaan program
pemberantasan untuk menemukan dan mengobati ISPA secara dini dengan
melibatkan lintas program dan lintas sektor. Strategi yang dilakukan menemukan
dan mengobati ISPA sedini mungkin secara tepat, kerja sama lintas program dan
lintas sektor yang melibatkan peran serta masyarakat terutama kader, dukungan
pelayanan kesehatan yang memadai (Widoyono, 2011).
Page 8
15
Langkah-langkah : 1) Menemukan penderita ISPA secara lintas program
dengan program gizi saat mendata balita untuk diberi vitamin A, memberi
pelayanan tablet Fe (tablet besi) untuk ibu hamil, memberi vitamin A (pada bulan
Februari dan Agustus), menanggulangi Kekurangan Kalori Protein (KKP), 2)
Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) melacak kesehatan neonatal, membina
bidan/dukun bayi, memberi pelayanan imunisasi bagi ibu hamil, Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) lainnya : Malaria saat PCD, Kusta saat chase dan kontak
survei, TBC paru saat pelacakan, Rabies saat registrasi dan vaksinasi vektor,
DBD saat penyuluhan epidemiologis, dan imunisasi di posyandu, 3) Merujuk ke
sarana kesehatan yang lebih lengkap, 4) Memberi penyuluhan kesehatan (health
promotion) (Widoyono, 2011).
Kegiatan : 1) Perencanaan : setiap balita menderita ISPA 3-6 kali setahun,
populasi balita adalah 13% dari jumlah penduduk, perkiraan morbiditas
pneumonia adalah 10% (pneumonia 7%, pneumonia berat 3%), menghitung
kebutuhan kotrimoksazol (480 mg) : 10 x 4 x 10% x 13% x jumlah penduduk,
menghitung kebutuhan parasetamol : 4 x 4 x 10% x 13% x jumlah penduduk, 2)
Pelaksanaan : menemukan dan mengobati pasien dan menerapkan sistem
rujukan kasus (Widoyono, 2011).
2.2 Faktor Risiko ISPA
2.2.1 Usia
ISPA diketahui dapat menyerang segala jenis umur. ISPA akan sangat
berisiko pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. Pada waktu anak-anak berumur
5 tahun, infeksi pernafasan yang disebabkan virus frekuensinya akan berkurang,
tetapi pengaruh infeksi mycoplasma pneumonia dan influenza akan meningkat.
Page 9
16
Jumlah jaringan limfa meningkat seluruhnya pada masa anak-anak dan diketahui
berulang-ulang meningkatkan kekebalan pada anak yang sedang tumbuh dewasa
(Hartono, 2012).
Beberapa agen virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua tetapi
menyebabkan sakit yang hebat di sistem pernapasan bagian bawah atau batuk
asma pada balita. Sebagai contoh, batuk rejan secara relatif pada trakeabronkitis
tidak berbahaya pada masa kanak-kanak namun merupakan penyakit serius pada
masa pertumbuhan (Marni, 2014).
2.2.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat terhadap gejala dan upaya
penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang ke pelayanan
kesehatan sudah dalam keadaan berat. Hal tersebut disebabkan oleh kurang
mengerti cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA
(Marni, 2014).
Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai
kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi
dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi
yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan perilaku
seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan
kesehatan dan juga heriditas (Marni, 2014).
Page 10
17
2.2.3 Status Gizi
Gizi kurang dan gizi buruk merupakan status gizi yang didasarkan pada
indeks berat badan menurut umur (BB/U). Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun
2017 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa
persentase gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan di Indonesia adalah 3,8%,
sedangkan persentase gizi kurang adalah 14%. Hal tersebut tidak berbeda jauh
dengan hasil PSG tahun 2016 yaitu persentase gizi buruk pada balita usia 0-59
bulan sebesar 3,4% dan persentase gizi kurang sebesar 14,43%. Provinsi dengan
persentase tertinggi gizi buruk dan gizi kurang pada balita usia 0-59 bulan tahun
2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan persentase
terendah adalah Bali (Profil Kesehatan RI, 2017).
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ
serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan
mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan
sistem kekebalan tubuh (Hartono, 2012).
Upaya Perbaikan Gizi, dalam menerapkan gizi seimbang setiap keluarga
harus mampu mengenal, mencgah, dan mengatasi masalah gizi setiap anggota
keluarganya. Upaya yang dilakukan untuk mengenal, mencegahdan mengatasi
masalah gizi adalah dengan menimbang berat badan secara teratur, memberikan
ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan, makan beraneka ragam,
menggunakan garam beryodium, dan pemberian suplemen gizi sesuai anjuran
Page 11
18
petugas kesehatan. Suplemen gizi yang diberikan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 51 tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi,
meliputi kapsul vitamin A, tablet tambah darah (TTD), makanan tambahan
untuk ibu hamil, anak balita, dan anak usia sekolah, makanan pendamping ASI,
dan bubuk multi vitamin dan mineral (Profil Kesehatan RI, 2017).
Penimbangan balita sangat penting untukdeteksi dini kasus gizi kurang dan
gizi buruk. Dengan rajin menimbang balita, maka pertumbuhan balita dapat
dipantau secara intensif sehingga bila berat badan anak tidak naik atau jika
ditemukan penyakit akan dapat segera dilakukan upaya pemulihan dan
pencegahan supaya tidak menjadi gizi kurang atau gizi buruk. Semakin cepat
ditemukan, penanganan kasus gizi kurang atau gizi buruk akan semakin baik.
Penanganan yang cepat dan tepat sesuai tata laksana kasus anak gizi buruk akan
mengurangi risiko kematian sehingga angka kematian akibat gizi buruk dapat
ditekan (Profil Kesehatan RI, 2017).
Penilaian status gizi dilakukan menggunakan antropometri yaitu : berat
badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur (height-for-age),
berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height), lingkar lengan atas kiri (left
mid-upper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan
tentang status gizi bayi dan anak-anak (Hartono, 2012).
2.2.4 Berat Badan Lahir Rendah
Pada balita dengan riwayat BBLR yaitu berat badan kurang dari 2500 gram
pada saat lahir, menyebabkan system kekebalan tubuh belum sempurna,
sehingga daya tahan tubuhnya rendah. Hal ini menyebabkan anak rentan dan
mudah terserang penyakit infeksi. Bayi lahir dengan berat badan rendah
Page 12
19
mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang
lahir dengan berat badan normal (Fikawati et al, 2015).
Beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi berat badan lahir,
antara lain umur ibu, paritas, tinggi badan ibu, jarak kelahiran, dan pekerjaan ibu.
Kehamilan yang terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun memiliki
kecenderungan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi yang adekuat untuk
pertumbuhan janin yang akan berdampak terhadap berat badan lahir bayi. Umur
ibu kurang dari 20 tahun pada saat hamil berisiko terjadinya BBLR 1,5-2 kali
lebih besar dibandingkan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun. Persalinan lebih
dari tiga kali berisiko terjadinya komplikasi seperti perdarahan dan infeksi
sehingga ada kecenderungan bayi lahir dengan kondisi BBLR (Marni, 2014).
Pada wanita yang pendek sering ditemukan adanya panggul yang sempit
dan keadaan ini dapat mempengaruhi jalannya persalinan sehingga menyebabkan
berat badan bayi yang dilahirkan rendah. Jarak kelahiraan yang pendek akan
menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi
tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya, sehingga berisiko terganggunya sistem
reproduksi yang akan berpengaruh terhadap berat badan lahir. Ibu yang bekerja
cenderung memiliki sedikit waktu istirahat sehingga berisiko terjadinya
komplikasi kehamilan, seperti terlepasnya plasenta yang secara langsung
berhubungan dengan BBLR (Marni, 2014).
2.2.5 Pemberian ASI eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) eksklusif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan
Page 13
20
dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin,
dan mineral) (Profil Kesehatan RI, 2017).
ASI mengandung kolostrum yang kaya akan antibodi karena mengandung
protein untuk daya tahan tubuh dan pembunuh kuman dalam jumlah
tinggisehingga pemberian ASI eksklusif dapatmengurangi risiko kematian pada
bayi. Kolostrum berwarna kekuningan dihasilkan pada hari pertama sampai hari
ketiga.Hari keempat sampai hari kesepuluh ASI mengandung immunoglobulin,
protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan kolostrum tetapi lemak dan kalori
lebih tinggi dengan warna susu lebih putih. Selain mengandung zat-zatmakanan,
ASI juga mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan
menganggu enzim di usus. Susu formula tidak mengandung enzim sehingga
penyerapan makanan tergantung pada enzim yang terdapat di usus bayi (Profil
Kesehatan RI, 2017).
ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI
mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan
pertumbumbuhan bayi serta mengandung antibodi yang dapat membantu bayi
membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit.
Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat
melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernapasan, kegemukan, infeksi
kandung kemih, infeksi telinga dan lainnya (Sinaga, 2012).
2.2.6 Status Imunisasi
Imunisasi adalah vaksin yang terdiri dari basil hidup yang dilemahkan atau
dihilangkan virulensinya. Vaksin imunisasi merangsang kekebalan,
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Status Imunisasi
Page 14
21
balita menggambarkan riwayat pemberian vaksin imunisasi pada balita sesuai
dengan usia balita dan waktu pemberian. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir
hingga umur 5 tahun (Fikawati et al, 2010).
Terdapat 2 imunisasi yaitu imunisasi aktif adalah dimana tubuh anak
sendiri yang membuat zat anti yang akan bertahan selama bertahun-tahun. Dan
imunisasi pasif adalah tubuh anak tidak membuat sendiri zat anti, tetapi
didapatkan dari luar tubuh dengan cara penyuntikan zat anti dari ibunya semasa
dalam kandungan. Pemberian imunisasi bertujuan untuk mengurangi angka
kesakitan dan kematian akibat beberapa penyakit yakni TBC, difteri tetanus,
batuk rejan, poliomelitis, tifus, campak, hepatitis B dan demam kuning (Marni,
2014). Oleh karena itu, berikut beberapa vaksin yang harus dilengkapi bagi anak
untuk menghindari berbagai penyakit yaitu sebagai berikut :
Vaksin BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan
intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila
terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi
tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang
benar. Kelebihan dosis dan suntikan terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya
abses tempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan
pada suhu 2oC (Marni, 2014).
Vaksin DPT, kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus
adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid
tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang
telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau
intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval
Page 15
22
4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala
biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang
berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis
yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti
dengan DT (Marni, 2014).
Vaksin polio, untuk kekebalan terhadap poliomyelitis diberikan 2 tetes
vaksin polio oral yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari suku Sabin.
Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali
dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Marni, 2014).
Vaksin campak yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan
dan dalam bentuk bubuk kering yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang
telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan
dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Dinegara berkembang imunisasi
campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan
sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian
imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang
berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya
zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan
4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak
berumur 9 bulan (Marni, 2014).
2.2.7Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang tidak
hanya dihisap oleh perokok, tetapi juga dihisap oleh orang yang ada disekitarnya
termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar anak mengeluarkan sekitar
Page 16
23
4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbonmonoksida, nitrogen oksida, hydrogen
cianida, ammonia, akrolein, acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl
cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat
mengingkatkan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia kurang
dari 2 tahun (Marni, 2014).
Asap rokok yang dihisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan
asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap slidestrea. Polusi udara yang
diakibatkan oleh asap slidestream dan asap mainstream yang sudah terekstrasi
dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang
menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa.
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko
anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk
asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat meningkatkan
resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita (Marni, 2014).
Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit
saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan
lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu
dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis
kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru
berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong
udara (Marni, 2014).
Page 17
24
2.2.8Ventilasi
Ventilasi merupakan tempat daur ulang udara yaitu tempatnya udara
masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk penghawaan didalam rumah
yakni ventilasi yang memiliki luas minimal 10% dari luas lantai rumah. Lubang
jendela suatu bangunan harus memenuhi aturan sebagai berikut : luas bersih dari
jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya 1/10 dari luas lantai ruangan,
jendela/lubang hawa harus meluas ke arah atas sampai setinggi minimal 1,95 m
dari permukaan lantai, adanya lubang hawa yang berlokasi di bawah langit-langit
sekurang kurangnya 0,35% luas lantai yang bersangkutan (Kartiningrum, 2016).
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2
tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang
berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi yang kedua adalah untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan
menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum. Dengan
adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk kedalam
rumah sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang (Kartiningrum, 2016).
2.2.9Kepadatan Hunian
Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) RI mengungkapkan bahwa aturan
luas rumah yang sehat untuk memenuhi kebutuhan minimal 9m2 untuk per jiwa
atau per orang, sehingga jika dalam satu rumah berisi 4 orang maka luas rumah
yang ideal berkisar 36m2. Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenKes) RI No.
829 menetapkan mengenai kesehatan pembangunan rumah bahwa luas ruang
tidur minimal 8m2 dan tidak digunakan untuk lebih dari 2 orang dewasa dalam 1
Page 18
25
ruang tidur, kecuali anak dengan usia dibawah 5 tahun. Kepadatan hunian atau
keadaan rumah yang sempit dengan jumlah penghuni rumah yang banyak akan
berdampak kurangnya oksigen di dalam rumah (Sukandarrumidi, 2010).
Kepadatan penghuni menimbulkan perubahan suhu ruangan yang kalor
dalam tubuh keluar disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang kan
meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut. Semakin
banyak jumlah penghuni ruangan tidur atau dengan penghuni lebih dari 2 orang
dalam ruang tidur maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran
gas atau bakteri, selain itu juga memperhambat proses penukaran gas udara
bersih yang dapat menyebabkan penyakit ISPA (Sukandarrumidi, 2010).
2.3 Tinjauan Umum Tentang Balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik
pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan
BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada
umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB
kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir.
Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima
tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan
kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) di lingkup Dinas Kesehatan (Sukarto et al, 2011).
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat
dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah
masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi
Page 19
26
dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran
sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya.Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam
keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional, menginggat angka
kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya
berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit infeksi
dan pelayanan kesehatan (Sukarto et al, 2011).
Salah satu faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses
tumbuh kembang balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. Untuk itu kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan
perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, pemeriksaan perkembangan
kecerdasan, pemeriksaan penyakit infeksi, imunisasi, perbaikan gizi dan
pendidikan kesehatan pada orang tua (Sukarto et al, 2011).