-
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sesuai dengan judul di atas (tinjauan pustaka), maka dalam Bab
ini Penulis
kemukakan gambaran mengenai tinjauan atau studi kepustakaan atas
prinsip-prinsip
dan asas serta kaidah yang mengatur mengenai tanggung jawab
mutlak (strict
liability) dalam dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun tujuan
dari tinjauan
kepustakaan ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari
penelitian hukum ini.18
Uraian studi atau tinjauan kepustakaan dimaksud terdiri dari
gambaran umum
konsep tanggung jawab hukum, strict liability vs liability based
on fault, perbedaan
strict liability dan absolute liability, strict liability dan
absolute liability dari segi
subatantif, kategori kegiatan yang dapat dikenakan asas strict
liability, kategori
kegiatan extrahazardous dalam hukum lingkungan Indonesia, strict
liability sebagai
pertanggungjawaban khusus dalam hukum lingkungan, kekhasan
strict liability,
sistem plafond dalam strict liability. Selain itu Bab ini juga
berisi sumber hukum
mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum
lingkungan hidup..
18 Rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini
dapat dilihat dalam Bab I, Sub Judul: Rumusan Masalah, hal., 9,
Supra.
-
15
A. Konsep Tangung Jawab Hukum
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam
kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Pertanggung jawaban
berasal dari kata
tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalau
ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan
sebagainya). Dalam
kamus hukum ada dua istilah menunjuk pada pertanggungjawaban,
yakni liability
(the state of being liable) dan responsibility (the state or
fact being responsible).
Liability merupakan istilah hukum yang luas (a broad legal term)
yang di dalamnya
mengandung makna bahwa menunjuk pada makna yang paling
komprehensif,
meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang
bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
menunjuk semua
karakter hak dan kewajiban. Secara etimologis, liability
merupakan istilah hukum
yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau
tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau mungkin meliputi semua karakter hak
dan kewajiban
secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi
yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Sedangkan, kaitan
dengan liability ada responsibility, berarti hal yang dapat di
pertanggungjawabkan
atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan,
kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas
undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah
liability menunjuk
pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang
-
16
dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada
pertanggungjawaban politik.
Dari responsibility ini muncul istilah responsible government
yang
menunjukan bahwa istilah ini pada umumnya menunjukan bahwa
jenis- jenis
pemerintahan dalam hal pertanggungjawaban terhadap ketentuan
atau undang-
undang public dibebankan pada departemen atau dewan eksekutif,
yang harus
mengundurkan diri apabila penolakan terhadap kinerja mereka
dinyatakan melalui
mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau melalui
pembatalan terhadap
suatu undang- undang penting yang dipatuhi.
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan
yang dilakukan
oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban
politik. Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility adalah
keharusan seseorang
untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan
kepadanya.
Disebutkan juga bahwa pertanggungjawaban mengandung makna;
meskipun
seseorang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas
yang
dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat membebaskan diri dari
hasil atau akibat
kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan
secara layak apa
yang diwajibkan kepadanya. 19
19 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal
335-337.
-
17
Suatu prinsip terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah
konsep
tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara
hukum bertanggung
jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan sanksi dalam
kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi
dikenakan
terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang
membuat seseorang
tersebut harus bertanggung jawab. Dalam kasus ini subyek
responsibility dan subyek
kewajiban hukum adalah sama dengan teori tradisional
pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban
mutlak (absolute
responsibility).20
Hukum melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya
memiliki
kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah
diantisipasi atau dilakukan
dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak
relevan. Adalah cukup
bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan oleh
legislator sebagai
harmful, yang berarti menunjukan hubungan eksternal antara
perbuatan dan efeknya.
Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari
perbuatan tersebut.
Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban
absolute.21
Suatu sikap mental deliquent, atau disebut mens rea, adalah
suatu elemen
delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam
arti lebih luas disebut
dollus atau culpa). Ketika sanksi diberikan terhadap delik
kualifikasi psikologis ini
disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan
(responsibility based on
20 Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen
Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 61.
21 Ibid.
-
18
fault atau cupability). Dalam hukum juga dikenal bentuk lain
dari kesalahan yang
dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan
(negligance). Kealpaan
adalah suatu delik omisi, dan pertanggungjawaban terhadap
kealpaan lebih
merupakan pertanggungjawaban absolute daripada
culpability.22
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan
sebagai berikut:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault
liability atau
liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku
dalam hukum
pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
khususnya Pasal
1365, 1366, dan 1367, prinsip ini menyatakan, seseorang baru
dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal
sebagai pasal
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaad),
mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu:
a) Adanya perbuatan;
b) Adanya unsur kesalahan;
c) Adanya kerugian yang diderita;
d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
22 Ibid, hal 62-63.
-
19
Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian hukum
tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang tetapi juga
kepatutan dan
kesusilaan dalam masyarakat.
Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , tanggung
jawab
hukum terhadap orang yang menderita kerugian tidak hanya
terbatas pada
perbuatannya sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan,
pegawai, agen,
perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain,
sepanjang orang
tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang
dibebankan kepada orang
tersebut.23
2. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap
bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat
membuktikan bahwa ia tidak
bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of
liability” adalah penting,
karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung
jawab, yaitu
dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua
tindakan yang
diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.24
Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat.
Dalam hal ini
tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal
ini tentu
23 Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Raja Grafindo Persada,
Jakata, 2009, hal 220.
24 E. Suherman, Masalah Tanggung jawab Pada Charter Pesawat
Udara dan Beberapa
Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (kumpulan karangan), Cet.
II, Alumni, Bandung, 1979, hal 21.
-
20
bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence).
Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas
demikian cukup
relevan. Jika digunakan teori ini,maka yang berkewajiban untuk
membuktikan
kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat
harus
menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu
saja konsumen tidak
dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat
selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia
gagal menunjukan
kesalahan tergugat.
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip strict liability sering diidentikan dengan prinsip
tanggung jawab
absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para
ahli yang memebdekan
kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict
liability adalah
pinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang
menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab. Sebaliknya absolute liability
adalah prinsip
tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada
pengecualiannya.
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute
liability,
dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri
dari tanggung
jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan
pihak yang dirugikan
sendiri. Adalah tanggung jawab mutlak.25
25 Ibid, hal 23.
-
21
B. Strict Liability VS Liability Based On Fault
Pertanggungjawaban perdata dalam konteks penegakan hukum
lingkungan
merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti
kerugian dan biaya
pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan
lingkungan. Secara
umum, terdapat dua jenis pertanggungjawaban perdata yang
diberlakukan atau dapat
digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup,
yaitu:26
1. Liability Based On Fault
Liability based on fault adalah suatu pertanggungjawaban
yang
mensyaratkan adanya unsur kesalahan atau fault. Konsep tersebut
dikenal
sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata yaitu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan
hukum
dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam
bahasa
Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya
berarti salah
(wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort
itu sendiri
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata
yang bukan
berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi
serupa dengan
pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad
dalam
sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental
lainnya. Kata
”tort” berasal dari kata latin ”torquere” atau ”tortus” dalam
bahasa Perancis,
26 Blogspot, Strict Liability Vs Liability Based On Fault,
http://destylestari.blogspot.com/2011/07/strict-liability-vs-fault-base.html.
-
22
seperti kata ”wrong” berasal dari kata Perancis ”wrung” yang
berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya,
tujuan
dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan
perbuatan
melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang
dikatakan
dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec,
honestevivere,
alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah
hidup
secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang
lain haknya).
Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan
Pasal
1380 KUHPerdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan
yang
melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain
menyebabkan
orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian
tersebut.
Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal dari Code
Napoleon.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu,
menggantikerugian tersebut.” Dengan kata lain perbuatan melawan
hukum
berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mensyaratkan
penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault). Ketentuan
Pasal ini
menunjukan mengenai konsep liability based on fault berdasarkan
kesalahan
(kesengajaan).
Ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini kemudian kembali
dipertegas dalam Pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “Setiap orang
bertanggung
jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh
perbuatannya tetapi
-
23
juga disebabkan oleh kelalaiannya.” Ketentuan Pasal ini
menunjukan
mengenai konsep liability based on fault berdasarkan kesalahan
(kelalaian).
Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan
hukum
tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak
berbuat.
Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan,
” Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang
disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
disebabkan
perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau
disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orangtua
dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
anak-anak
yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa
mereka
melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang
yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan urusan mereka,
bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan
mereka
dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang
itu. Guru
sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan
oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu
orang-orang itu
berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab yang disebutkan di
atas
berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu
membuktikan
bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu
atas mana
mereka seharusnya bertanggung jawab.“ ketentuan Pasal ini
sebenarnya lebih
mengarah kepada semangat prinsip strict liability tetang sesuatu
yang berada
dibawah pengawasannya.
-
24
Mengandalkan unsur kesalahan dalam konteks pesatnya
perkembangan
keilmuan dan teknologi sering kali menimbulkan kesulitan dalam
memprediksi risiko
yang timbul dari suatu kegiatan industri. Melihat keterbatasan
dari liability based on
fault ini maka mungkin terjadi timbulnya pencemar atau perusak
lingkungan tanpa
dapat dikenakan pertanggungjawaban. Liability based on fault
juga memungkinkan
pencemar atau perusak lingkungan terbebas dari
pertanggungjawaban perdata apabila
ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal
pencegahan melalu
pendekatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Jenis pertanggungjawaban liability based on fault atau yang
lebih dikenal
perbuatan melawan hukum, memiliki beberapa kekurangan dan
kelebihan, yaitu
diantaranya:27
1. Kelebihan
Bahwa hukum baru dapat diberlakukan kepada orang yang
benar-benar terbukti kesalahannya. Artinya hal tersebut
mengandung
asas praduga tak bersalah, dimana selama seseorang belum
dapat
dibuktikan kesalahnnya maka orang tersebut tidak dianggap
bersalah.
2. Kekurangan
Pemberlakuan asas praduga tak bersalah adalah kurang tepat
dalam lingkup perdata. Asas praduga tak bersalah ini lebih
tepat
digunakan dalam lingkup pidana.
Salah satu syarat pemberlakuan pertanggungjawaban jenis ini
adalah dengan membuktikan adanya unsur kesalahan yang
dilakukan
27 Ibid.
-
25
sehingga menimbulkan kerugian di pihak lain. Sedangkan unsur
kesalahan itu sendiri sulit dibuktikan. Terkait dengan hukum
lingkungan, seorang pencemar yang terbukti telah melakukan
upaya
maksimal pencegahan pencemaran melalui pendekatan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara konsisten dapat
terbebas dari pertanggungjawaban atas dampak kerugian yang
ditimbulkan.
2. Strict Liability
Prinsip strict liability merupakan prinsip pertanggungjawaban
hukum
(liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari
sebuah kasus
di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini
pengadilan
tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kristeria yang
menentukan, bahwa
suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict
liability jika
penggunaan tersebut bersifat non natural atau diluar kelaziman,
atau tidak
seperti biasanya. Jenis pertanggungjawaban ini muncul sebagai
reaksi atas
segala kekurangan dari sistem atau jenis pertanggungjawaban
liability based
on fault.
Pertanggungjawaban hukum konvensional selama ini menganut
asas
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on
fault), artinya
bahwa tidak seorang pun dapat dikenai tanggung jawab jika pada
dirinya tidak
terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan doktrin
tersebut
akan melahirkan kendala bagi penegak hukum di peradilan karena
doktrin ini
-
26
tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan
industri
modern yang mengadung risiko-risiko potensial.
Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 23
tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah
disempurnakan di dalam
Pasal 88 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggung jawab
mutlak adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran
ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat
dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai
batas tertentu. Di dalam strict liability, seseorang bertanggung
jawab kapan pun
kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa pertama, para korban
dilepaskan dari beban
berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara
kerugiannya dengan
tindakan individual tergugat. Kedua, para pihak pencemar akan
memperhatikan baik
tingkat kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal
ini merupakan
kelebihan strict liability dari asas kesalahan.
Penerapan asas tanggung jawab mutlak di Pengadilan Negeri
masih
didasarkan pada ketentuan normatif Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata. Artinya hakim dalam memeriksa gugatan ganti rugi dalam
kasus-kasus
lingkungan masih berpijak pada, ketentuan pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum
Perdata perihal perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan
demikian penggugat
sering kali ada dalam posisi lemah karena disini unsur kesalahan
memainkan peranan
penting dalam menentukan bertanggung jawab atau tidaknya
seseorang.
-
27
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan digunakannya
asas
tanggung jawab mutlak dalam kasus lingkungan di Pengadilan
Negeri maka hakim
harus dapat menemukan kriteria untuk menentukan apakah sebuah
kegiatan dapat
ditundukan pada asas tanggung jawab mutlak. Maka disini hakim
pengadilan harus
dapat melakukan penemuan hukum atau penggalian kriteria baru
dalam rangka
penerapan asas tanggung jawab mutlak. Sebagai salah satu bagian
dari konteks
penegakan hukum lingkungan, penerapan asas tanggung jawab mutlak
tersebut
menhadapai beberapa hambatan yang lebih disebabkan karena dari
sarana hukumnya,
terlihat belum adanya peraturan pelaksanaan lebih lanjut, dari
sumber daya
manusianya adalah hakim kurang melihat hukum lingkungan secara
luas, tetapi
sebatas yang tertulis di dalam undang-undang saja.28
Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem pertanggungjawaban
perdata
yaitu liability based on fault dan strict liability, makan dapat
dilihat beberapa
perbedaan yang memcolok antara keduanya, yaitu sebagai
berikut:
28 Ibid.
-
28
FAULT BASED LIABILITY STRICT LIABILITY
Pertanggungjawaban ditentukan
berdasarkan ada atau tidaknya
kesalahan.
Pertanggungjawaban berorientasi
pada akibat yang ditimbulkan, bukan
berdasarkan ada atau tidaknya
kesalahan.
Hanya pencemar yang terbukti
bersalah yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Semua pencemar dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Lebih memberi perlindungan hukum
bagi para pelaku usaha.
Lebih memberi perlindungan hukum
pada masyarakat dan lingkungan
hidup.
C. Perbedaan Strict Liability dan Absolute Liability
Kasus Rylands v. Fletcher yang diputuskan oleh hakim J.
Blackburn telah
melahirkan asas strict liability. Keputusan hakim tersebut
mendapat kritikan dari
Prof. Winfield yang melahirkan pengertian hukum tentang strict
liability yang
berbeda dari absolute liability. Kritik Prof. Winfield terhadap
putusan hakim
Blackburn sebagai berikut:29
29 Sebagaimana dikutip oleh Danusaputro dalam bukunya Hukum
Lingkungan-Sektor V,
hlm 58.
-
29
“One phrase of Blackburns, J’s was rather unfortunate, and that
was his discription of this liability as resting upon an absolute
duty to keep it (sc. The water) in at his peril. This liability may
be strict but is not absolute; indeed, the exceptions to the rule
indicated by Blackburn, J., himslef show that it is not.”
(Oleh Danusaputro diterjemahkan bahwa tanggung jawab ini boleh
jadi
“tegas-tepat-teliti-keras” tetapi bukan “mutlak”). Prof.
Winfield menyatakan bahwa
tanggung jawab B (Rylands) pada mulanya dimulai oleh hakim
Blackburn sebagai
absolute liability karena lahir dari “an aboslute duty to keep
it (the water) in at his
peril.”
Kritik Prof. Winfield melahirkan absolute liability30 yang
berbeda dengan
strict liability. Strict liability memang dapat digolongkan ke
dalam jenis absolute
liability karena telah melampui liability based on risk tetapi
lingkup dan isi absolute
liability jauh lebih luas dan lebih berat daripada strict
liability, sehingga perlu
dibedakan dan dipisahkan secara tegas seperti yang telah
ditunjukkan oleh Prof.
Winfield. Strict Liability memang sejenis dengan Absolute
Liability, tetapi lingkup
dan isinya sungguh berbeda dan berlainan. Oleh sebab itu
tidaklah tepat untuk
menyamakannya. Adanya pihak yang menerjemahkan Strict Liability
menjadi
tanggung jawab secara mutlak (yang secara harafiah merupakan
terjemahan-tepat dari
istilah Inggris: Absolute Liability). Dengan menampilkan
terjemahan “Strict Liability
sebagai tanggung jawab secara mutlak” maka orang lantas segera
menyamakan arti
30 Absolute Liability, secara harafiah ke dalam Bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi
“tanggung jawab secara mutlak”, karena dalam Bahasa Inggris,
absolute diterjemahkan menjadi mutlak.
-
30
strict liability dengan arti dan pengertian “Absolute
Liability.” Salah satu upaya yang
sangat berpengaruh ialah menemukan terjemahanya secara jelas
agar tidak
menimbulkan kerancuan antara strict liability dan absolute
liability.
Pengertian asas Absolute Liability apabila diterjemahkan ke
dalam bahasa
Indonesia adalah tanggung jawab secara mutlak. Menerjemahkan
absolute liability
sebagai tanggung jawab secara mutlak mengandung arti sebagai
berikut:31
1. Tidak boleh – tidak harus ada
2. Bersifat tidak-bersyarat
3. Berhakekat penuh dan lengkap
4. Harus terlaksana dan terwujud secara tepat waktu
5. Tidak mungkin dipersoalkan atau ditawar sedikitpun
Berdasarkan lima hal tersebut di dapatkan gambaran mengenai
hakikat dan
arti dari absolute liability. Hal ini karena dari istilah
absolute itu sendiri sudah
menunjukan sifat liability yang dimaksud atau segi subtantif
dari absolute liability.
Istilah Inggris “strict liability” , secara harafiah dapat
diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi:32
1. Tanggung jawab secara tegas
31 Danusaputro, op. Cit, hlm 61.
32 Danusaputro, op. cit, hlm 61
-
31
2. Tanggung jawab secara tepat
3. Tanggung jawab secara teliti
4. Tanggung jawab secara keras
“Mutlak” merupakan terjemahan tepat dari kata “absolute” maka
sebaiknya istilah
strict diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah
menjadi “Tegas.
Teliti, Tepat, Keras”. Akan tetapi, apabila arti terjemahan
dalam bahasa Indonesia
secara tegas, tepat, teliti, keras maka terjemahannya menjadi
kurang “sreg” walaupun
lebih mengena secara harafiah.
D. Strict Liability dan Absolute Liability Dilihat Dari Segi
Subtantif33
Secara subtantif, strict liability merupakan bentuk peningkatan
dari liability
based on risk yang melahirkan kewajiban hukum untuk membayar
ganti rugi yang
dikaitkan dengan penentuan batas tertinggi (unsur pembatasan)
berdasarkan
penetapan terlebih dahulu. Dengan demikian, dalam mengahadapi
kewajiban hukum
untuk melaksanakan strict liability, orang sudah tahu seberapa
beban yang harus
dipikulnya. Contohnya: CLC-1969, Pasal V, ayat (1):
“The owner of a ship shlm.l be entited to limit his liability
under this Cnvention in respect of any one incident to an aggregate
amount of 2,000 francs for each ton of the ship’s tonnage. However,
this aggregate amount shlm.l not in any event exceed 210 million
francs.”
33 Danusaputro, op. cit, hlm 63-67
-
32
Penentuan ganti rugi sebelumnya adalah sejalan dan seirama
dengan
ketentuan hukum yang mengharuskan pihak pelakunya untuk sudah
mengetahui dan
memperhitungkan sebelumnya tentang “tanggung jawab” yang harus
dipikulnya,
seperti bahaya ia harus memperhitungkan risiko dari usahanya.
Oleh karena ia telah
mengetahui sebelumnya “batas tertinggi” beban yang mungkin
dipikulnya, maka ia
dapat meringankan beban itu dengan menanggung beban tersebut
pada asuransi.
Dengan demikian, ketentuan tentang “pembatasan” beban tersebut
merupakan
peringanan (keuntungan) baginya.
Ketentuan “pembatasan” akan gugur, manakala kerusakan yang
diakibatkan
oleh “tindak-perbuatannya” terjadi dengan kesengajaan secara
nyata atau
sepengetahuannya. Dalam hal ini, keringan pembatasan akan hilang
dan ia akan
dibebankan tanngung jawab secara mutlak dengan membayar ganti
rugi secara penuh
dan lengkap. Contohnya: CLC-1969, Pasal V ayat (2):
“If the accident occured as a result of the actual fault or
privity of the owner, he shlm.l entited to avail himself of the
limitation provided in paragraph 1 of this article.”
Dengan memperbandingkan semangat dan isi pasal V ayat (1) dengan
makna
ketentuan termuat dalam Pasal V ayant (2) tersebut di atas,
tampak jelas perbedaan
antara isi ketentuan tentang “strict liability” dan ketentuan
ancaman akan berlakunya
“absolute liability”, manakala kecelakaan tersebut timbul
sebagai akibat dari
kesalahan nyata atau dengan setahu si pemilik kapal yang
menggugurkan hak-hak
untuk menerapkan ketentuan tentang “pembatasan”.
-
33
“Strict Liability” adalah tanngung jawab yang timbul tanpa
adanya kesalahan
atau kelalaian. Sebaliknya, jika kesalahan dapat dibuktikan
“adanya” maka tanggung
jawab tersebut berubah menjadi “absolute”. Justru disinilah
letak perbedaannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui secara
jelas juga bahwa
beban kewajiban terkandung dalam absolute liability dengan
sendirinya tentu lebih
berat daripada beban kewajiban yang lahir dari strict liability.
Nyatanya, absolute
liability diterapkan untuk menggantikan strict liability yang
memiliki ciri khas dalam
wujud ketentuan pembatasan jumlah ganti rugi yang dibayarnya.
Oleh sebab itu
dikatakan, bahwa absolute liability tidak mengenal pembatasan,
melainkan
menharuskan dibayarnya ganti rugi secara penuh dan lengkap,
hingga disebutnya:
“tanggung jawab tak bersyarat”.
E. Kategori Kegiatan yang Dapat Dikenakan Asas Strict
Liability
Inti dari konsep strict liability ialah bahwa dalam hal
seseorang menjalankan
jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous
atau ultrahazardous
atau abnormally dangerous, ia diwajibkan, memikul segala
kerugian yang
ditimbulkan, walaupun ia telah bertindak sangat hari-hati untuk
mencegah segala
bahaya atau kerugian tersebut, dan walaupun kerugian itu timbul
tanpa adanya
kesengajaan. Dengan demikian dalam strict liability terdapat
suatu kewajiban
tergugat untuk memikul tanggung jawab atas kerugian yang tidak
dihubungkan
dengan apa kesalahnnya. Asas strict liability muncul dari adanya
kesadaran pada
masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang dilakukan baik itu
oleh perseorangan
-
34
atau kelompok, maka orang atau kelompok tersebut tidak akan
dapat melepaskan diri
dari tanggung jawab untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh
perbuatannya itu.
Biasanya asas ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi.34
Menurut Richard A. Posner, melalui konsep ultrahazardous, tort
law
membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan
bahaya dalam derajat
yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak yang telah
bertindak hati-hati atau
pihak yang mungkin menjadi korban.35 Menurutnya contoh yang baik
untuk strict
liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh tetangga yang
memelihara macan di
rumahnya. Area strict liability telah mendorong pihak yang
menjalankan kegiatan
yang digolongkan extrahazardous untuk membuat beberapa
alternatif yang dapat
mengurangi derajat bahaya.36 Injurer akan melakukan tindakan
pencegahan pada
level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan
di bawah level
yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus
ditanggungnya.
John D. Blackburn, Elliot I. Klayman, dan Martin H. Malim dengan
merujuk
Pasal 520 Restatement of The Law of Torts di Amerika menyatakan
bahwa untuk
menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan yang
berbahaya, sehingga
dapat dikenakan asas strict liability terdapat beberapa faktor
yang dapat dijadikan
faktor penentu, yaitu:
34 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pmebangunan,
Jakarta: Erlangga,
2004, hlm 3. 35 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law,
Canada: Little Brown & Company, 1986,
p. 163. 36 Ibid.
-
35
1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi
bagi
manusia, tanah, atau benda bergerak orang lain (the activity
involves of some harm to the person, land or chattels of
others);
2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut
mempunyai
leh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi
besar (the harm which may result from it its likely to be
great);
3. Risiko tudak dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian
yang
layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the
exercise of reasonable care);
4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang
lazim
(the activity is not a mater of common usage);
5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan
itu
dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it
is
carried on);
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the
value
of activity to the community)
-
36
F. Kategori Kegiatan Extrahazardous Dalam Hukum Lingkungan
Indonesia
Indonesia sudah lama memasukan asas strict liability ke dalam
undang-
undang lingkungan hidupnya, sejak Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Tahun 1982. Sudah terjadi tiga kali perubahan dalam
Undang-Undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, sehingga kita dapat mecermati perkembangan
kategori kegiatan
extrahazardous yang dapat dikenakan asas strict liability dalam
setiap undang-undang
tersebut.
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan
Pokok-Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup37
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 memuat asas strict liability
pada Pasal
21 yang berbunyi: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis
sumber daya
tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan
atau pencemar pada
saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
yang pengaturannya
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkautan .”
menurut
penjelasan pasal sebagai berikut “tanggung jawab mutlak
dikenakan secara selektif
atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang
dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena
oleh ketentuan
termaksud.” Penyusun undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa
asas strict
liability dengan pembalikan beban pembuktian tidak begitu saja
dapat diterapkan.
Oleh karena itu, maka kata-kata yang dipergunakan adalah “dalam
beberapa
37 Indonesia C. Undang-Undang Tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 4, LN No. 12 Tahun 1982, TLN No. 3215.
-
37
kegiatan” dan “menyangkut jenis sumber daya tertentu” yang
penentuanya akan
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka
penerapan asas
strcit liability dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
perkembangan kebutuhan
kategori kegiatan yang termasuk extrahazardous yang dapat
dikenakan asas strict
liability tidak ditentukan secara tegas dalam Pasal 21 karena
akan dibuat peraturan
perundang-undangan yang mengatur jenis kegiatan dan kategori
kegiatan apa saja
yang boleh dikaitkan dengan pertanggungjawaban strict liability.
Menurut N.H.T.
Siahaan38, Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, hingga
Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1982 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997
peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum teralisasikan.
Dengan demikian
penerapan Pasal 21 ini pun tidak pernah dilakukan oleh para
pihak penegak hukum.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan
Hidup39
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan
Hidup pada Pasal 35 ayat (1) memuat asas strict liability. Pasal
tersebut berbunyi:
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan
limbah bahan
berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas
kerugian yang
38 Siahaan, op. Cit, hal 326.
39 Indonesia B, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 23, LN
No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.
-
38
ditumbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara
langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemarang dan/atau perusakan lingkungan
hidup.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka kegiatan yang
termasuk
ultrahazardous:
1) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
2) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menggunakan
bahan berbahaya dam beracun;
3) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
mencantumkan
prinsip yang kurang lebih sama dengan pasal 21 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun
1982 tidak lagi membuat embel-embel supaya pelaksanaan diatur
atau ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam rumusan pasalnya
maupun dalam
penjelasan pasal. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali suatu
undang-undang
begitu rajin merumuskan tentang akan dibuatkanya peraturan
pelaksanaan, namum
tidak pernah terjadi.
Melihat kategori extrahazardous yang ditentukan oleh
undang-undang diatas
dapat diambil benang merah bahwa pembuat undang-undang
menekankan suatu
kegiatan/usaha/tindakan yang ada kaitanya dengan bahan bahaya
beracun (B3) baik
dalam proses kegiatan/usaha maupun hasil dari proses
kegiatan/usaha tersebut. Jika
dicermati,maka kategori kegiatan yang dapat dikenakan strict
liability masih bersifat
-
39
abstrak sehingga masih memerlukan berbagai penjelasan yang
sifatnya konkrit,
seperti apakah setiap aktifitas yang berhubungan dengan B3 dapat
dikaitkan dengan
tanggung jawab strict liability? Hal ini karena begitu banyaknya
kegiatan seperti itu
yang dilakukan bukan saja oleh perusahaan-perusahaan yang
berbadan hukum, tetapi
juga oleh usaha-usaha rumah tangga dan usaha sambilan oleh orang
perorangan. Oleh
karenanya untuk menerapkan prinsip Pasal 35 ayat (1) UUPLH perlu
dibuat produk
perundang-undangan sebagai pedoman dari pelaksanaanya, namun
tidak berarti
bahwa dengan tidak adanya peraturan pelaksana tidak berarti
bahwa pasal tersebut
tidak dapat diterapkan jika timbul kasus-kasus yang relevan.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup40
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat asas strict liability pada
Pasal 88. Pasal
tersebut berbunyi “setiap orang yang tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola lombah B3,
dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.” Menurut
penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan bertanggung jawab
mutlak adalah
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar
pembayaran ganti rugi. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap
40 Undang-Undang D, Undang-Undang Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009 No. 140, TLN No.
5059.
-
40
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal 88 dapat
ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan atau telah
tersedia dana lingkungan hidup. Hal ini merupakan limtis of
liability.
Dengan demikian berdasarkan bunyi Pasal 88 Undang-Undang Nomor
32
Tahun 2009 maka menurut pembuat undang-undang, suatu kegiatan
yang termasuk
ke dalam kategori ultrahazardous sehingga dapat dikenakan asas
strict l;iability:
1) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menggunakan B3;
2) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menghasilkan
dan/atau
mengelola lombah B3;
3) Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.
Terhadap kategori yang “menimbulkan ancaman serius terhdap
lingkungan hidup”
bersifat abstark karena tidak diberikan penjelasan lebih lanjut
apa yang dimaksudkan
dengan menimbulkan ancaman serius terhadapa lingkungan. Idealnya
ketiga kategori
ini henadaknya dirincikan lagi dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009
walaupun hanya dalam garis besarnya saja supaya lebih mudah
dimengerti. Selain itu,
perlu dibuatkan kategori/skala/klasifikasi dari tingkat usaha
atau aktivitas yang
berhubungan dengan B3.
Ternyata Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, masih juga belum
mengatur lebih lanjut asas strict liability dengan peraturan
pelaksana yang dapat
dijadikan pedoman dalam menerapkan asas strict liability. Dalam
rangka memberikan
-
41
kepastian hukum asas strict liability, sebaiknya pemerintah
secepatnya mengeluarkan
peraturan yang tegas dan jelas tentang sumber daya yang
bagaimana serta bidang
kegiatan apa saja yang dapat dikaitkan dengan pertanggungjawaban
strict liability.
Mengenai asas strict liability pada tiga undang-undang yang
tersebut di atas,
dapat diintepretasikan bahwa asas strict liability merupakan
suatu pengertian yang
belum umum dalam hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sejak
semasa Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 hingga Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009,
pengaturan untuk penerapan asas strict liability masih sangan
umum. Apalagi hakim
di Indonesia yang dipengaruhi paham legistis, tidak mudah
mengaplikasikan asas
strict liability jika konsep hukum tersebut tidak diuraikan
melalui peraturan
perundang-undangan yang formalistik. Namun, selama belum adanya
penjelasan
yuridis dari peraturan perundang-undangan, para hakim dapat
bekerja keras dan
kreatif dengan mencari interpretasi sehingga putusannya
terdukung kuat secara
environmentalistik.
-
42
G. Strict Liability Sebagai Pertanggungjawaban Khusus Dalam
Hukum Lingkungan
UUPLH memperkenalkan asas tanggung jawab yang bersifat khusus
yang
disebut strict liability. Asas ini termuat dalam Pasal 35 ayat
(1) UUPLH yang bunyi
Lengkapnya sebagai berikut:
“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.”
Rumusan pasal ini secara jelas bersifat khusus karena
unsur-unsurnya telah
secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu sehingga
dapat
diidentifikasikan atau digolongkan ke dalam bentuk
pertanggungjawaban tertentu.
Unsur-unsur yang bersifat khusus yang mencirikan
pertanggungjawaban khusus itu
ialah strict liability yang ciri utamanya antara lain timbulnya
tanggung jawab
langsung dan seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehingga
tidak perlu dikaitkan
dengan unsur kesalahan. Dengan demikian pihak penggugat yang
mengalami
kerugian yang dialami diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan
tergugat (atau para
penggugat). Hal ini disitilahkan dengan pembuktian kausalitas
atau hubungan sebab
akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam green paper on
remedying
environmental dagame sebagai berikut: “Strict liability or
liability without fault,
eases the burden of establishing liability because fault need
not to be established.
-
43
However, the injured partu must still prove that the damage was
caused by some
one’s act...”
Pasal 35 UUPLH mengandung beberapa unsur penting, yaitu:
1) Suatu perbuatan atau kegiatan;
2) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup;
3) Menggunakan atau menghasilkan bahan/limbah berbahaya dan
beracun;
4) Tanggung jawab timbul secara mutlak;
5) Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat
pencemaran/perusakan lingkungan.
Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur nomor 4) dan 5) dapat
diinterpretasikan
sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam
perangkat-perangkat
hukum di Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum
bahwa tidaklah
mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada suatu
hal yang
merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya,
seseorang tidak dapat
dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau bukan atas
dasar kesalahan
sebagaimana prinsip dari “tortious liability.”
Asas strict liability ditetapkan secara limitatif, dalam arti
bahwa untuk dapat
dikenakan strict liability, kegiatan usahanya memenuhi
unsur-unsur yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Pasal 31 ayat (1) UUPLH,
kegiatan-
-
44
kegiatan tersebut adalah (1) kegiatan yang berdampak besar dan
penting terhadap
lingkungan; (2) yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun;
(3) penerapan
strict liability terhadap kegiatan-kegiatan tertentu maka
diberlakukan pengecualian
terhadap pertanggungjawaban perdata yang dikenal sebagai
Perbuatan Melawan
Hukum. Pelaku usaha dapat dibebaskan dari strict liability
apabila ia dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
disebabkan
oleh salah satu alasan yang disebutkan oleh undang-undang
yaitu:41
1. Adanya bencana alam atau peperangan; atau
2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebakan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pengganti UUPLH
juga
menerapkan strict liability dengan kriteria sebagai berikut:
1. Setiap orang
2. Tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya
3. Menggunakan B3
4. Menghasilkan dan/atau mengelola limbah b3
5. Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
41 Indonesia B, Pasal 35 ayat (2).
-
45
6. Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
7. Tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan
Akan tetapi di dalam undang-undang yang baru ini tidak
disebutkan alasan-alasan
yang dapat membebaskan seseorang tergugat dari kewajiban
membayar ganti rugi.
H. Kekhasan Strict Liability
Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapan
kerugian timbul.
Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari
beban berat untuk
membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugianya dengan
tindakan individual
tergugat; Kedua para “potential polluter” akan memperhatikanbaik
tingkat kehati-
hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal ini merupakan
kelebihan strict
liability dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang
tegas dan keras, maka
strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan.
Hanya kegiatan-
kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability.
Pertimbangan untuk
menentukan ruang lingkup strict liability:
1. Tingkat risiko; dalam hal ini risiko dianggap tinggi apabila
tidak dapat
dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi
yang
telah ada;
2. Tingkat bahaya; dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit
untuk
dicegah pada saat mulai terjadinya;
-
46
3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan; dalam hal ini si
penanggung
jawab harus menunjukan upaya maksimal untuk mencegah
terjadinya
akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain;
4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya; dalam
hal ini
pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan
secara
memadai sehingga dapat diperkirakan bahwa keuntungan yang
diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan
ongkos-ongkos
yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.
Sementara itu, John D. Blackburn, Elliot I. Klayman dan Martin
H. Malin,
dengan merujuk pada Pasal 520 Restatment of The Law of Torts di
Amerika,
menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan termasuk
kegiatan yang
berbahaya, sehingga dapat dikenakan strict liability, terdapat
beberapa faktor yang
dapat dijadikan penentu, yaitu:42
1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi
manusia,
tanah, atau benda bergerak orang lain.
2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai
kemungkinan
untuk menjadi besar.
3. Risiko dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang layak
sudah
ditetapkan.
42 Andri G. W., loc. Cit, hlm 5.
-
47
4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang
lazim.
5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu
dilakukan.
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat.
Berdasarkan teori yang didapat dari Rylands v. Fletcher ini maka
strict
liability bukan pandanan dari konsep pembuktian. Dalam konsep
strict liability, yang
terjadi justru pembebasan beban pembuktian unsur kesalahan.
Apabila yang
dibuktikan oleh tergugat adalah faktor-faktor pemaaf, maka hal
sebagaimana
layaknya suatu defences, beban secara orisinal memang terdapat
pada diri tergugat,
sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan beban pembuktian.
I. Sistem Plafond Dalam Strict Liability
Ganti rugi dalam strict liability biasanya dikaitkan dengan
sistem plafond atau
ceiling (batas maksimalisasi tanggung jawab). Ini berarti bahwa
pihak yang
bertanggung jawab hanya dibebankan sampai dengan batas tertentu.
Indonesia
tampaknya menganut paham plafond atau ceiling dalam strict
liability karena dalam
penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUPLH maupun dalam penjelasan Pasal
88 UUPPLH
dijelaskan bahwa besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar
atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas
tertentu. Pengertian
batas tertentu ialah jika menurut peraturang perundang-undangan
yang berlaku,
-
48
ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan atau
telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ketentuan sistem plafond dalam strict liability biasanya karena
didasarkan
pada ketentuan hukum internasional. Akan tetapi dapat saja dalam
strict liability tidak
dikenal batas ganti rugi maksimum. Negara Jepang dan Jerman
tidak mengenal batas
ganti rugi maksimum. Menurut M. Ramdan Andri G. W., pelaksanaan
strict liability
tidak boleh disertai dengan adanya plafond, karena hal ini akan
membatasi hal korban
intuk memperoleh ganti kerugian atas seluruh kegiatan yang
dideritanya serta akan
menurunkan tingkat kehati-hatian para pengusaha.43
43 M. Ramdan Andri G. W., Op. Cit, hlm 10