BAB II
33
BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Fase Pertumbuhan Tanaman JagungSecara
umum jagung mempunyai pola pertumbuhan yang sama, namun interval
waktu antar tahap pertumbuhan dan jumlah daun yang berkembang dapat
berbeda. Pertumbuhan jagung dapat dikelompokkan dalam tiga tahap
yaitu: (1) fase perkecambahan, mulai saat proses imbibisi air yang
ditandai dengan pembengkakan biji sampai dengan sebelum munculnya
daun pertama; (2) fase pertumbuhan vegetatif, yaitu fase mulai
munculnya daun pertama yang terbuka sempurna sampai tasseling dan
sebelum keluarnya bunga betina (silking), fase ini diidentifiksi
dengan jumlah daun yang terbentuk; dan (3) fase reproduktif, yaitu
fase pertumbuhan setelah silking sampai masak fisiologis (Subekti
et. al., 2012).Menurut McWilliams, et. al., (1999) dalam Subekti
et. al., (2012) pertumbuhan jagung melewati beberapa fase yaitu:1.
Fase V3 - V5 (jumlah daun yang terbuka sempurna 3 5 helai). Fase
ini berlangsung pada saat tanaman berumur antara 10 - 18 hari
setelah berkecambah. Pada fase ini akar seminal sudah mulai
berhenti tumbuh, akar sudah mulai aktif, dan titik tumbuh masih di
bawah permukaan tanah. 2. Fase V6 - V10 (jumlah daun terbuka
sempurna 6 10 helai). Fase ini berlangsung pada saat tanaman
berumur antara 18 - 35 hari setelah berkecambah. Titik tumbuh sudah
di atas permukaan tanah, perkembangan akar dan penyebarannya di
tanah sangat cepat, dan pemanjangan batang meningkat dengan cepat.
Pada fase ini bakal bunga jantan (tassel) dan perkembangan tongkol
dimulai. Tanaman mulai menyerap hara dalam jumlah yang lebih
banyak, karena itu pemupukan pada fase ini diperlukan untuk
mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman.3. Fase V11 - Vn (jumlah daun
terbuka sempurna 11 sampai daun terakhir (umumnya berjumlah 15 18
helai). Fase ini berlangsung pada saat tanaman berumur antara 35 -
50 hari setelah berkecambah. Tanaman tumbuh dengan cepat dan
akumulasi bahan kering meningkat dengan cepat pula. Kebutuhan hara
dan air relatif sangat tinggi untuk mendukung laju pertumbuhan
tanaman. Tanaman sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan dan
kekurangan hara. Pada fase ini, kekeringan dan kekurangan hara
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tongkol,
dan bahkan akan menurunkan jumlah biji dalam satu tongkol karena
mengecilnya tongkol, yang akibatnya menurunkan hasil. Kekeringan
pada fase ini juga akan memperlambat munculnya bunga betina
(silking).4. Fase tasseling (berbunga jantan). Fase tasseling
biasanya berkisar antara 45 - 52 hari, ditandai oleh adanya cabang
terakhir dari bunga jantan sebelum kemunculan bunga betina. Fase
ini dimulai 2 - 3 hari sebelum rambut tongkol muncul, pada periode
ini tinggi tanaman hampir mencapai maksimum dan menyebarkan serbuk
sari (pollen). Pada fase ini dihasilkan biomas maksimum dari bagian
vegetatif tanaman, yaitu sekitar 50% dari total bobot kering
tanaman, penyerapan N, P, dan K oleh tanaman masing-masing sebesar:
60 - 70%, 50%, dan 80 - 90%.5. Fase R1 (silking). Tahap silking
diawali oleh munculnya rambut dari dalam tongkol yang terbungkus
kelobot, biasanya mulai 2 - 3 hari setelah tasseling. Penyerbukan
terjadi ketika serbuk sari yang dilepas oleh bunga jantan jatuh
menyentuh permukaan rambut tongkol yang masih segar. Serbuk sari
tersebut membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk mencapai sel telur
(ovule) dimana pembuahan akan berlangsung dan membentuk bakal biji.
Rambut tongkol muncul dan siap untuk diserbuki selama 2 - 3 hari.
Rambut tongkol tumbuh memanjang 2,5 - 3,8 cm per hari dan akan
terus memanjang hingga diserbuki. Bakal biji hasil pembuahan tumbuh
dalam suatu struktur tongkol akan dilindungi oleh tiga bagian
penting biji, yaitu: glume, lemma, dan palea, memiliki warna putih
pada bagian luar biji. Bagian dalam biji berwarna bening dan
mengandung sangat sedikit cairan. Tahap ini, apabila biji dibelah
dengan menggunakan silet, belum terlihat struktur embrio di
dalamnya. Serapan N dan P sangat cepat, dan K hampir komplit.6.
Fase R2 (blister). Fase R2 muncul sekitar 10 - 14 hari setelah
silking, rambut tongkol sudah kering dan berwarna gelap. Ukuran
tongkol, kelobot, dan janggel hampir sempurna, biji sudah mulai
nampak dan berwarna putih, pati mulai diakumulasi ke endosperm,
kadar air biji sekitar 85%, dan akan menurun terus sampai panen.7.
Fase R3 (masak susu). Fase ini terbentuk 18 - 22 hari setelah
silking. Pengisian biji yang semula dalam bentuk cairan bening
telah berubah seperti susu. Akumulasi pati pada setiap biji sangat
cepat, warna biji sudah mulai terlihat (bergantung pada warna biji
setiap varietas), dan bagian sel pada endosperm sudah terbentuk
lengkap. Kekeringan pada fase R1 - R3 menurunkan ukuran dan jumlah
biji yang terbentuk. Kadar air biji dapat mencapai 80%. 8. Fase R4
(dough). Fase R4 mulai terjadi 24 - 28 hari setelah silking. Bagian
dalam biji seperti pasta (belum mengeras). Separuh dari akumulasi
bahan kering biji sudah terbentuk, dan kadar air biji menurun
menjadi sekitar 70%. Cekaman kekeringan pada fase ini berpengaruh
terhadap bobot biji.9. Fase R5 (pengerasan biji). Fase R5 akan
terbentuk 35 - 42 hari setelah silking. Seluruh biji sudah
terbentuk sempurna, embrio sudah masak, dan akumulasi bahan kering
biji akan segera terhenti. Kadar air biji 55%. 10. Fase R6 (masak
fisiologis). Tanaman jagung memasuki tahap masak fisiologis 55 - 65
hari setelah silking. Pada tahap ini, biji-biji pada tongkol
mencapai bobot kering maksimum. Lapisan pati yang keras pada biji
telah berkembang dengan sempurna dan telah terbentuk pula lapisan
absisi berwarna coklat atau kehitaman. Pembentukan lapisan hitam
(black layer) berlangsung secara bertahap, dimulai dari biji pada
bagian pangkal tongkol menuju ke bagian ujung tongkol. Pada
varietas hibrida, tanaman yang mempunyai sifat bagian tanaman tetap
hijau (stay-green) yang tinggi, kelobot dan daun bagian atas masih
berwarna hijau meskipun telah memasuki tahap masak fisiologis. Pada
tahap ini kadar air biji berkisar 30 - 35% dengan total bobot
kering dan penyerapan NPK oleh tanaman mencapai masing-masing
100%.
B. Induksi dan Mutasi TanamanPemuliaan tanaman merupakan ilmu
pengetahuan yang bertujuan untuk memperbaiki sifat tanaman, baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemuliaan tanaman bertujuan
untuk menghasilkan varietas tanaman dengan sifat-sifat (morfologi,
fisiologi, biokimia, dan agronomi) yang sesuai dengan sistem
budidaya yang ada dan tujuan ekonomi yang diinginkan. Pemuliaan
tanaman akan berhasil jika didalam populasi tersebut terdapat
banyak variasi genetik. Variasi genetik dapat diperoleh dengan
beberapa cara, yaitu: koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi
mutasi (Crowder, 1986). Pemuliaan tanaman secara konvensional
dilakukan dengan hibridisasi, sedangkan pemuliaan secara mutasi
dapat diinduksi dengan mutagen fisik atau mutagen kimia. Mutasi
adalah suatu proses perubahan yang mendadak pada materi genetik
dari suatu sel, yang mencakup perubahan pada tingkat gen,
molekuler, atau kromosom. Induksi mutasi merupakan salah satu
metode yang efektif untuk meningkatkan keragaman tanaman. Mutasi
gen terjadi sebagai akibat perubahan dalam gen dan timbul secara
spontan. Gen yang berubah karena mutasi disebut mutan (Poehlman and
Sleper, 1995).Mutasi merupakan perubahan pada materi genetik suatu
makhluk yang terjadi secara tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar
bagi sumber variasi organisma hidup yang bersifat terwariskan.
Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam dan dapat juga terjadi
melalui induksi. Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara
mutasi yang terjadi secara alami dengan mutasi hasil induksi.
Seleksi secara alami (evolusi) maupun seleksi secara buatan
(pemuliaan) dapat menimbulkan variasi genetik untuk dijadikan dasar
seleksi tanaman. Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam, namun
peluang kejadiannya sangat kecil, yaitu sekitar 10-6 - 10-7
(Aisyah, 2009).Teknik mutasi dalam bidang pemuliaan tanaman dapat
meningkatkan keragaman genetik tanaman sehingga memungkinkan
pemulia melakukan seleksi genotipe tanaman sesuai dengan tujuan
pemuliaan yang dikehendaki. Mutasi induksi dapat dilakukan pada
tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ
reproduksi tanaman seperti biji, stek batang, serbuk sari, akar
rhizome, kultur jaringan dan sebagainya. Apabila proses mutasi
alami terjadi secara sangat lambat, maka percepatan, frekuensi dan
spektrum mutasi tanaman dapat diinduksi dengan perlakuan bahan
mutagen tertentu. Umumnya bahan mutagen bersifat radioaktif dan
memiliki energi tinggi yang berasal dari hasil reaksi nuklir
(Sisworo et. al., 2010). Induksi mutasi dapat dilakukan dengan
menggunakan mutagen kimia seperti EMS (ethylene methane sulfonate),
NMU (nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), dan lain-lain)
atau mutagen fisik (seperti sinar gamma, sinar X, sinar neutron,
dan lain-lain) (Harjadi,1988). Mutagen fisik yang telah digunakan
secara luas adalah sinar X dan sinar gamma. Kedua mutagen fisik
tersebut memiliki kemampuan penetrasi yang baik dan bersifat
sebagai radiasi ion (Micke and Donini, 1993).Mutagen kimia maupun
mutagen fisika memiliki energi nuklir yang dapat merubah struktur
materi genetik tanaman. Perubahan yang terjadi pada materi genetik
dikenal dengan istilah mutasi. Secara relatif, proses mutasi dapat
menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis tanaman baik ke arah
positif maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat
juga kembali normal. Mutasi yang terjadi ke arah sifat positif dan
terwariskan ke generasi-generasi berikutnya merupakan mutasi yang
dikehendaki oleh pemulia tanaman pada umumnya. Sifat positif yang
dimaksud adalah relatif, tergantung pada tujuan pemuliaan tanaman
(Sisworo, et. al., 2008).Pengembangan varietas unggul pada tanaman
termasuk jagung perlu terus dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengembangan
varietas unggul adalah dengan melakukan induksi mutasi dengan
iradiasi sinar gamma. Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma
telah digunakan dalam pengembangan varietas unggul tanaman anyelir
(Aisyah et. al., 2009), padi, kedelai, kacang hijau,kapas, dan
sorgum (Sisworo, et. al., 2010).Dosis iradiasi yang digunakan untuk
menginduksi keragaman sangat menentukan keberhasilan terbentuknya
tanaman mutan. Soedjono (2003) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi terbentuknya mutan antara lain adalah besarnya dosis
iradiasi. Dosis iradiasi diukur dalam satuan Gray (Gy), 1 Gy sama
dengan 0,10 krad yakni 1 J energi per kilogram iradiasi yang
dihasilkan. Dosis iradiasi dibagi tiga, yaitu: tinggi (>10 k
Gy), sedang (110 k Gy), dan rendah (< 1 k Gy). Perlakuan dosis
tinggi akan mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan
sterilitas. Pada umumnya dosis yang rendah dapat mempertahankan
daya hidup tunas, dapat memperpanjang waktu kemasakan pada
buah-buahan dan sayuran, serta meningkatkan kadar pati, protein,
dan kadar minyak pada biji jagung, kacang, dan bunga matahari.
Tanaman mutan juga memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap
serangan patogen dan kekeringan. Warna bunga atau daun dapat pula
berubah sehingga diperoleh mutan komersial (Micke and Donini,
1993). Frekuensi dan spektrum mutasi bergantung pada jenis mutagen
dan dosis yang digunakan. Broertjes dan Van Harten (1988)
menyatakan bahwa kisaran dosis radiasi sinar gamma pada tanaman
hias (anyelir) yang telah dicobakan berada pada selang yang masih
cukup lebar, yaitu antara 25 - 120 gray. Jika iradiasi dilakukan
pada benih, kisaran dosis yang efektif pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan jika dilakukan pada bagian tanaman lainnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa induksi radiasi sinar gamma dengan
dosis 100 Gy pada krisan kultivar Autum Glory, ternyata dapat
mengubah warna bunga putih tepi ungu menjadi kuning, sedangkan
dosis maksimum untuk biji-bijian dan serealia adalah 5 kGy (Sisworo
et. al., 2008).Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O)
dalam materi yang diiradiasi, maka akan semakin banyak pula radikal
bebas yang terbentuk sehingga tanaman menjadi lebih sensitif
(Herison, et al., 2008). Oleh sebab itu maka perlu dicari dosis
optimum yang efektif menghasilkan tanaman mutan yang pada umumnya
terjadi pada atau sedikit dibawah nilai LD50 (Lethal Dose 50). LD50
adalah dosis yang menyebabkan 50% kematian dari populasi yang
diradiasi.Keragaman tanaman akibat iradiasi memudahkan pemulia
untuk melakukan seleksi. Untuk menduga besarnya ragam genetik dan
lingkungan dari suatu fenotipe pada seleksi suatu genotipe dapat
dilakukan dengan menduga nilai heritabilitas. Nilai heritabilitas
akan memperlihatkan gambaran apakah karakter lebih dipengaruhi oleh
faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas tinggi
menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dibandingkan dengan
faktor lingkungan (Alnopri, 2004).Untuk membantu proses seleksi
dengan tujuan akhir pengembangan tanaman yang dapat beradaptasi
pada lingkungan tercekam, maka media tumbuh dapat ditambahkan
faktor cekaman dengan konsentrasi tinggi seperti NaCl, Al, atau
PEG. Penggunaan NaCl dan PEG sebagai agen seleksi telah digunakan
untuk menyeleksi ketahanan tanaman terhadap salinitas dan
kekeringan (Farid, 2009; Riadi, 2005). Dengan dasar kajian ini maka
dilakukan pengujian pada tanaman jagung dengan harapan diperoleh
kultivar unggul dengan sifat yang diinginkan seperti toleran
kekeringan dan salinitas secara cepat melalui mutasi induksi dan
seleksi.
C. Cekaman kekeringan dan Mekanisme Ketahanan TanamanCekaman
abiotik merupakan penyebab banyaknya kehilangan hasil pertanian di
seluruh dunia. Kondisi cekaman seperti kekeringan, salinitas, atau
suhu tinggi merupakan masalah yang harus ditangani secara serius.
Kekeringan didefenisikan sebagai kondisi dimana air tanah yang
tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara
oprimal. Kekeringan dapat menurunkan potensial air tanah sehingga
lebih rendah dari potensial air tanaman yang akan berakibat
terjadinya plasmolisis (Ghildyal dan Tomar, 1982 dalam Farid,
2009). Cekaman kekeringan akan mengubah keseimbangan air selluler
dan secara nyata membatasi pertumbuhan dan hasil tanaman (Morgan,
1984). Tanaman sangat membutuhkan air dalam pertumbuhannya. Menurut
Fitter dan Hay (1991), air merupakan senyawa yang dibutuhkan
tanaman dalam jumlah besar. Lebih dari 80% bobot basah sel dan
jaringan tanaman terdiri dari air. Air yang terkandung dalam isi
sel merupakan media untuk banyak reaksi biokimia. Oleh karena itu,
aktifitas metabolik sel tanaman akan terganggu apabila tanaman
mengalami kekeringan. Tanaman yang menderita cekaman air
(kekeringan) secara umum mempunyai ukuran yang lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal. Cekaman air
mempengaruhi semua aspek pertumbuhan tanaman, seperti proses
fisiologi dan biokimia tanaman serta menyebabkan terjadinya
modifikasi anatomi dan morfologi tanaman. Levitt (1980) menyatakan
bahwa terdapat tiga mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman
kekeringan, yaitu: (a) penghindaran (avoidance), yang ditunjukkan
oleh adanya mekanisma yang dapat membantu mengatur status air
jaringan tetap tinggi pada kondisi cekaman kekeringan; (b) toleran
(tolerance) yang ditunjukkan oleh adanya mekanisme yang
mengusahakan tanaman tetap hidup dan berproduksi pada kondisi
potensial air jaringan yang rendah; dan (c) lolos (escave) yang
ditunjukkan oleh adanya kemampuan tanaman untuk melengkapi siklus
hidupnya sebelum kelembaban tanah banyak berkurang.Respon tanaman
yang mengalami cekaman mencakup perubahan di tingkat seluler dan
molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel
menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal,
adanya rambut pada daun, penurunan ratio akar/tajuk, sensitivitas
stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon
dan nitrogen, perubahan produksi, aktivitas enzim dan hormon, serta
perubahan ekspresi gen (Salisbury and Ross, 1995)Respon tanaman
terhadap cekaman sangat ditentukan oleh tingkat cekaman yang
dialami, dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman.
Tanaman yang dihadapkan pada kondisi cekaman akan memperlihatkan
dua macam tanggapan (Salisbury and Ross, 1995) yaitu: (1) tanaman
mengubah distribusi asimilat baru untuk mendukung pertumbuhan akar
dengan mengorbankan tajuk, sehingga dapat meningkatkan kapasitas
akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk mengurangi
transpirasi; dan (2) tanaman akan mengatur derajat pembukaan
stomata untuk menghambat kehilangan air lewat transpirasi.Tanggap
tanaman terhadap cekaman kekeringan dibedakan atas toleran dan
peka. Tanaman toleran mampu mengakumulasi senyawa terlarut dalam
jumlah banyak, sedangkan tanaman peka kurang atau tidak mampu
mengakumulasi senyawa terlarut tersebut (Bohnert dan Jensen,
1995).Tanaman yang mampu bertahan hidup jika mendapat cekaman
kekeringan dikatakan sebagai tanaman toleran kering. Ketahanan
tanaman terhadap kekeringan adalah kemampuan genotipe tanaman untuk
tetap produktif dalam keadaan tercekam dibanding genotipe lain.
Secara umum cekaman salin hampir sama dengan cekaman air.
Berdasarkan respon terhadap cekaman, tanaman dapat diklasifikasikan
menjadi: (1) tanaman yang menghindari kekeringan, dan (2) tanaman
yang mentoleransi kekeringan. Tanaman yang menghindari kekeringan
akan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi
air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan
modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi
kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi
dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensitivitas
stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi
dehidrasi mencakup penyesuaian osmotik. Mekanisme adaptasi tanaman
terhadap kekeringan dengan cara menghindar dapat dilakukan melalui
akar, daun dan kutikula. Mekanisme lewat akar tanaman dilakukan
dengan memperluas sistem perakaran dan meningkatkan penyerapan air,
sedangkan mekanisme melalui daun dan kutikula bertujuan untuk
mengurangi kehilangan air. Beberapa contoh mekanisme lewat daun
seperti pengurangan luas daun, percepatan penuaan daun dewasa,
pengeringan daun pucuk muda, penggulungan daun, perubahan posisi
daun, mengurangi jumlah dan ukuran stomata. Cara adaptasi lain
adalah dengan menurunkan kehilangan air dengan cara menghasilkan
helaian daun yang kecil, kondisi ini akan meningkatkan pemindahan
bahan melalui konveksi, menurunkan suhu daun sehingga akan
menurunkan tranpirasi (Salisbury and Ross, 1995).
D. Cekaman Salinitas dan Mekanisme Ketahanan TanamanMasalah
salinitas mendapat perhatian besar karena merupakan faktor yang
paling merugikan pada daerah kering dan setengah kering. Tanah
salin tersebar luas di dunia, dan secara alamiah dipercepat oleh
perluasan penggunaan irigasi yang secara intensif menggunakan
sumber daya air oleh aktifitas manusia dan dikombinasikan dengan
tingkat penguapan yang tinggi (Arzani, 2008 dalam Turan et. al.,
2010). Salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang
berlebihan dalam tanaman dapat menyebabkan cekaman garam pada
tanaman. Cekaman garam umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah
salin, cekaman garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan
kematian tanaman. Salinitas dapat pula disebabkan oleh adanya
pencucian garam pada dataran tinggi ke dataran rendah melalui
aliran permukaan dan daerah lahan kering dengan curah hujan lebih
rendah dari evapotranspirasi. Salinitas akan menyebabkan cekaman
pada tanaman yang secara umum dibedakan berdasarkan kriteria
tertentu. Apabila konsentrasi garam belum cukup untuk menurunkan
potensial air dengan nyata ( 10-3 M) maka disebut sebagai cekaman
ion, sedangkan apabila konsentrasi garam cukup tinggi untuk
menurunkan potensial air dengan nyata sampai 0,5 - 1,0 bar ( 10-1
M), maka cekaman yang ditimbulkan disebut sebagai cekaman
salinitas. Dengan demikian, tanaman yang tahan terhadap salinitas
akan lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman
yang tahan terhadap cekaman ion (Levitt, 1980).Garam-garam yang
menimbulkan stres tanaman antara lain: NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4,
MgCl2 yang terlarut dalam air. Dalam larutan tanah, garam-garam ini
mempengaruhi pH dan daya hantar listrik. Menurut Follet et. al.,
(1981) dalam Sipayung (2003), tanah salin memiliki pH < 8,5
dengan daya hantar listrik > 4 mmhos cm-1. Toleransi tanaman
terhadap salinitas sangat beragam dengan spektrum yang luas.
Tingkat salinitas berdasarkan konduktivitas dibedakan atas; non
salin (0 2 mmhos cm-1), rendah (2 4 mmhos cm-1), sedang (4 8 mmhos
cm-1), tinggi (8 16 mmhos cm-1), dan sangat tinggi (>16 mmhos
cm-1). Banyak peneliti telah melaporkan respon tanaman terhadap
salinitas seperti pada gandum, buncis, bunga matahari, dan sorgum
(Khan et. al., 2003). Pertumbuhan tanaman dapat terpengaruh oleh
induksi salinitas yang berakibat terhadap gangguan nutrisi, efek
osmotik dan ion spesifik (Pessarakli, 1991). Cicek dan Cakirlar
(2002) menyatakan bahwa pengaruh salinitas dapat terdeteksi pada
parameter panjang tunas, berat basah dan berat kering tanaman,
jumlah substansi organik (prolin) dan anorganik (K+ dan Na+, rasio
Na+ / K+ ) pada jaringan daun, dan luas daun tanaman.Ashraf and
Foolad (2007) menyatakan bahwa tanaman akan mengembangkan berbagai
mekanisme untuk mempertahankan produktivitas tanaman pada kondisi
cekaman garam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman dan
varietas sangat bervariasi ketahanannya terhadap salinitas.
Dordipour et. al., (2004) menyatakan pula bahwa pengaruh salinitas
tergantung pada fase pertumbuhan saat tanaman terkena cekaman.
Hasil penelitian yang dilakukan Mansour et. al., (2005) menunjukkan
bahwa bibit jagung yang terkena 150 mmol NaCl selama 15 hari
menyebabkan berat segar dan bobot kering akar dan tajuk berkurang
secara signifikan. Menurut Sipayung (2003), pengaruh jenis-jenis
garam umumnya tidak khas terhadap tumbuhan, tetapi lebih tergantung
pada konsentrasi total garam. Salinitas tidak hanya ditentukan oleh
garam NaCl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang berpengaruh
dan menimbulkan cekaman pada tanaman. Turan et. al., (2010)
menyatakan pula bahwa salinitas tanah ditandai peningkatkan
konsentrasi P, Mn dan Zn, K dan Fe tanaman. Meskipun klorida
sebagai mikronutrien esensial untuk semua tanaman tingkat tinggi
dan natrium sebagai nutrisi mineral untuk banyak halophytes, namun
akumulasi garam dapat membatasi pertumbuhan dan reproduksi
tumbuhan, serta dapat menyebabkan toksisitas pada tanaman tidak
toleran terhadap garam yang dikenal sebagai glycophytes.
Spesies-spesies tanaman yang hanya mentoleransi konsentrasi garam
rendah termasuk dalam kelompok tanaman glikofita, sedangkan
spesies-spesies tanaman yang mentoleransi konsentrasi garam tinggi
termasuk kelompok tanaman halofita (Sipayung, 2003).Tanaman yang
tumbuh pada keadaan salin akan dihadapkan pada tiga macam cekaman,
yaitu :1) cekaman keracunan mineral yang disebabkan oleh garam, 2)
cekaman air karena tekanan osmosis (osmoticum), dan 3) gangguan
nutrisi mineral dalam tanaman (Blum, 1988; Eart dan Davis, 2003).
Cekaman, yang pertama dikatakan sebagai primary salt injury,
sedangkan yang kedua dan ketiga dikatakan sebagai secondary
salt-induce stress (Levitt, 1980). Dari terminologi tersebut,
terdapat hubungan langsung antara cekaman salinitas dan cekaman
air. Peningkatan kadar garam dalam air tanah akan menurunkan
potensial osmotik, sehingga cekaman salinitas akan menghadapkan
tanaman pada cekaman garam sekunder (physiological drought stress).
Tanaman yang toleran terhadap tanah yang kadar garamnya tinggi
termasuk tanaman halofit yaitu tanaman yang dapat hidup di atas
tanah yang secara fisiologis kering. Hal ini berarti bahwa tanaman
yang toleran terhadap garam dengan sendirinya dapat diharapkan juga
akan toleran terhadap kekeringan (Hussain et. al., 2004).Sebagian
besar tanaman budidaya sensitif terhadap cekaman garam, karena
salinitas (NaCl) menyebabkan penurunan laju fotosintesis,
pertumbuhan vegetatif, ketidaktersediaan air dan ketidakseimbangan
serapan hara oleh tanaman, penghambatan dalam perkecambahan biji
karena gangguan ion beracun dan efek osmotik (Turkmen et. al.,
2002.). Selanjutnya Harjadi dan Yahya (1988) menyatakan pula bahwa
tanaman yang mengalami cekaman garam umumnya mempunyai daun yang
lebih sempit, lebih gelap, nisbah tajuk-akar menurun, berkurangnya
anakan, menunda dan menurunkan pembungaan serta jumlah dan ukuran
buah lebih kecil. Tajuk umumnya lebih sensitif terhadap gangguan
kation daripada akar, dan terdapat perbedaan besar antara spesies
tanaman dalam kemampuan untuk mencegah atau mentolerir konsentrasi
garam yang berlebih (Munns, 2002). Akumulasi garam menyebabkan
kerusakan struktur tanah dan menghambat keseimbangan udara dan air
untuk proses biologis yang terjadi pada akar tanaman. Sebagai efek
merugikan dari salinisasi, hasil panen menurun, sedangkan kesuburan
tanah akan hilang dan bersifat ireversibel (Supper, 2003 dalam
Tahir, 2009). Cekaman garam menyebabkan berbagai efek pada
fisiologi tanaman seperti laju respirasi meningkat, toksisitas ion,
perubahan pertumbuhan tanaman, distribusi mineral, dan
ketidakstabilan membran yang dihasilkan dari perpindahan kalsium
oleh natrium, permeabilitas membran, dan penurunan tingkat
fotosintetik (Ashraf, 2003 dalam Tahir, 2009). Mekanisme toleransi
tanaman terhadap salinitas meliputi mekanisme morfologi dan
fisiologi. Mekanisme morfologi dilakukan dengan cara pengurangan
jumlah daun untuk memperkecil kehilangan air dari tanaman dan
melakukan pengubahan struktur khusus, yaitu penebalan dinding sel
untuk mempertahankan keseimbangan air tanaman (Soepandie, 2003).
Salinitas menyebabkan perubahan struktur dalam memperbaiki
keseimbangan air tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat
mempertahankan turgor dan seluruh proses biokimia untuk pertumbuhan
dan aktivitas normal. Perubahan struktur mencakup ukuran daun yang
lebih kecil, stomata yang lebih kecil persatuan luas daun,
peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada
permukaan daun, serta lignifikasi akar yang lebih awal (Harjadi dan
Yahya, 1988).Ada dua mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman
salinitas yaitu penghindaran (avoidance) dan toleran (tolerance).
Pada mekanisme penghindaran, tanaman tidak dapat mengubah cekaman
lingkungan, tetapi cekaman dicegah masuknya ke dalam tanaman dengan
membentuk barier. Tanaman yang toleran terhadap cekaman mampu
mengurangi atau mencegah ketegangan (strain) yang terjadi atau
memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh ketegangan yang diimbas
oleh cekaman (Levitt, 1980).Salinitas dan kekeringan akan
mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, yaitu: 1) meningkatkan
tekanan osmotik, 2) peningkatan potensi ionisasi, 3) infiltrasi
tanah menjadi buruk, 4) kerusakan dan terganggunya stuktur tanah,
5) permeabilitas tanah buruk, 6) penurunan produktivitas. Salinitas
atau konsentrasi garam-garam terlarut yang cukup tinggi akan
menimbulkan cekaman dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan
tanaman (Sipayung, 2003).Levitt (1980) menyatakan bahwa tumbuhan
mengatasi cekaman air pada lingkungan salin adalah dengan melakukan
osmoregulasi. Osmoregulasi adalah upaya tumbuhan untuk menjaga
turgor sel dengan mengakumulasi solut yang memiliki berat molekul
rendah, seperti ABA, proline, glisin, betain, manitol, gliserol.
Akumulasi senyawa metabolit sekunder tersebut mampu mempertahankan
turgor daun pada keadaan potensial air daun yang menurun dengan
menurunkan potensial osmotik. Mekanisme toleransi tanaman terhadap
salinitas yang paling nyata adalah adaptasi morfologi. Tanaman yang
toleran terhadap salin akan berusaha menimbun NaCl dalam vakuola
sel daun. Didalam sitoplasma dan organela, konsentrasi garam tetap
rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas enzim dan metabolisme.
Tanaman yang toleran terhadap salin juga mampu mencapai
keseimbangan termodinamik tanpa terjadi kerusakan jaringan yang
berarti, karena tanaman dapat menyesuaikan tekanan osmotik selnya
untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Menurut Levitt (1980), tanaman
menjaga turgor dengan meningkatkan kandungan larutan sel untuk
mengimbangi cekaman osmotik eksternal. Pengaturan osmotik dengan
penyerapan garam akan diikuti masalah keracunan Na+ dan Cl-,
sedangkan pengaturan osmotik dengan akumulasi metabolit akan
terjadi kompetisi dengan komponen-komponen pertumbuhan. Substrat
garam khususnya NaCl mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap
kualitas dan hasil tanaman. Penghambatan aktivitas rubisco,
fotosintesa, dan meningkatkan akumulasi prolin dan karbohidrat pada
kacang polong dengan perlakuan NaCl 50 mM, 75 mM, sedangkan pada
100 mM sangat kuat menghambat semua aktivitas tanaman. Prolin dan
karbohidrat akan diakumulasi dalam jaringan saat cekaman salinitas
yang disebabkan adanya penyesuaian osmotik. Sedangkan pada kedelai,
perlakuan cekaman garam dapat menghambat aktivitas rubisco karena
sensitifitas ion klorin. Garam-garam larut di daerah perakaran
dapat menurunkan penyerapan air dan ion-ion esensial oleh tanaman.
Perlakuan NaCl dapat menyebabkan defisiensi K dan meningkatkan
kandungan Na, Ca, Mg dan Cl pada tanaman, sehingga toleransi pada
garam nampaknya berhubungan dengan ketidakmampuan tanaman yang
rentan untuk mengurangi pengangkutan ion ke tajuk dan sebaliknya
tanaman tahan menjaga konsentrasi yang rendah dari Na dan Cl dalam
tajuk sementara konsentrasi ion Na meningkat pada akar.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Jagung
Lahan MarginalLahan Subur
Lahan Kering dan Salin
Varietas Unggul spesifik toleran kering dan salin kering
Varietas Unggul
Pemuliaan MutasiIradiasi Sinar Gamma
Seleksi: - PEG untuk kekeringan - NaCl untuk Salinitas
Genotipe Toleran Kekeringan dan Salinitas
Seleksi dan Pengujian laboratorium/Lapangan
Karakteristik secara Morfologis dan Biokimia
Genotipe Harapan Toleran Kekeringan, Salinitas dan Produktivitas
tinggi
Gambar 1. Kerangka konseptual penelitianF. Hipotesis1. Terdapat
dosis iradiasi yang dapat digunakan untuk menghasilkan mutan jagung
yang toleran terhadap kekeringan dan salinitas.2. Terdapat karakter
morfologis dan fisiologis yang dapat dijadikan tolok ukur toleransi
jagung terhadap kekeringan dan salinitas, dan terdapat korelasi
antara parameter pengamatan pada fase perkecambahan di tingkat
laboratorium dengan fase vegetatif dan produksi.3. Terdapat
genotipe toleran dan atau peka terhadap kekeringan dan salinitas
yang tetap konsisten mulai dari fase fase perkecambahan hingga fase
reproduksi.4. Terdapat nilai heritabilitas dari setiap parameter
pertumbuhan pada kondisi tercekam yang mengarah pada tolok ukur
toleransi kekeringan dan salinitas.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Jagung
Lahan MarginalLahan Subur
Lahan Kering dan Salin
Varietas Unggul spesifik toleran kering dan salin kering
Varietas Unggul
Pemuliaan MutasiIradiasi Sinar Gamma
Seleksi: - PEG untuk kekeringan - NaCl untuk Salinitas
Genotipe Toleran Kekeringan dan Salinitas
Seleksi dan Pengujian laboratorium/Lapangan
Karakteristik secara Morfologis dan Biokimia
Genotipe Harapan Toleran Kekeringan, Salinitas dan Produktivitas
tinggi
Gambar 1. Kerangka konseptual penelitian